Di depan lift parkiran, berdiri seorang wanita dengan setelan kerja elegan berwarna krem. Rambutnya tersisir rapi ke belakang, bibirnya dipulas dengan warna merah marun yang tegas. Sarah.
Wajah wanita itu memucat seketika saat melihat Ruby dan Nio berjalan beriringan… bergandengan tangan. Matanya membelalak, terutama saat melihat tangan Nio tidak hanya menggenggam tangan Ruby tapi juga menariknya mendekat dan mengecup pipi Ruby dengan lembut, tanpa ragu sedikit pun.Ruby nyaris menarik tangannya refleks, tapi sebelum sempat bergerak, genggaman Nio justru menguat. Matanya menatap Sarah dengan dingin dan tegas.Sarah membuka mulut, suaranya nyaris tercekat. “Kalian… apa hubungan kalian berdua?”Tidak ada senyum di wajah Sarah. Tatapannya campuran antara keterkejutan, kepanikan, dan rasa tidak percaya.Ruby menelan ludah. Ia bisa merasakan jantungnya berdetak cepat. Ini bukan bagian dari rencana, dan ia tahu Sarah tidak akan tinggal diam.“Aku hanya memberi pilihan,” ujar Nio, masih duduk tenang. “Kalau kau memaksa... Maka media akan sangat tertarik dengan semua dokumen pengirimanmu dari Macau ke Jepang. Mereka akan sangat tertarik dengan kerja samamu dengan Techno Company dan siapa pejabat pelabuhan yang dibayar untuk menutup mata. Kau tahu, wartawan suka skandal internasional.”Sarah langsung menyela, wajahnya mulai tegang. “Cukup, Ethan. Kau melewati batas. Ini bukan seperti sebelumnya. Kita sedang bicara tentang rantai distribusi internasional. Tentang uang besar. Tentang sistem yang sudah kami bangun selama dua tahun terakhir. Kau bagian dari ini dan tak bisa seenaknya mundur.” Nio berdiri. Suaranya tajam dan tegas, “Aku tidak mundur. Aku hanya menetapkan batas. Jika kalian mempercayaiku sebagai penghubung jalur laut, maka biarkan aku menyiapkannya dengan caraku. Tapi jika kalian sudah tak percaya lagi, maka lebih baik kita akhiri semuanya di sini.” Niko
Ruby tersipu, lalu mengangguk pelan. “Aku hanya berusaha melakukan yang terbaik. Waktu itu, kepercayaan pemegang saham mulai goyah. Aku butuh langkah besar agar perusahaan tetap berdiri.” Nio terdiam sejenak sebelum berkata dengan nada serius namun lembut, “Kau luar biasa, Ruby. Perusahaan tetap berjalan. Bahkan lebih dari itu, kau menjaga nama baik cabang ini, menghadapi dewan, menenangkan pemilik saham, dan tetap membawa kemajuan. Aku meninggalkanmu tanpa kejelasan, dan kau tetap memilih bertahan. Kenapa?” Ruby tersenyum kecil, matanya berkaca-kaca namun hangat. “Karena aku percaya kau akan kembali.” Kata-kata itu membuat dada Nio terasa sesak dalam cara yang lembut. Ada ketulusan dalam suara Ruby yang tidak bisa ia abaikan. Ia berdiri perlahan, melangkah mendekat, dan berhenti tepat di depannya. “Terima kasih,” ucap Nio lirih. “Karena percaya. Karena tak menyerah meski aku tak memberi alasan untuk tetap bertahan.”
Cahaya sore menembus tirai putih di ruang kerja Sarah, memantul pada permukaan kaca meja. Suasana tampak tenang, hampir terlalu hening… hingga suara dari televisi besar di dinding menghancurkan semua ketenangan itu.Sarah berdiri mendadak dari kursinya, napasnya memburu. Tatapannya tertuju pada layar, di mana wajah Gerry yang tertunduk diapit dua polisi begitu jelas.“Bodoh…” gumamnya penuh amarah, tangannya mengepal erat hingga buku jarinya memutih. “Bodoh, Gerry! Harusnya kau lebih hati-hati!”Ia menghempaskan tangan ke meja, membuat beberapa map dan ponsel jatuh ke lantai. Wajahnya merah padam oleh emosi yang meledak-ledak. Ia berjalan mondar-mandir, tubuhnya menegang. Bayang-bayang kegagalan mulai membayang di pelipisnya. Jika Gerry jatuh, maka jalur transaksi ilegal yang mereka sembunyikan selama ini perlahan akan terurai. Dan jika itu terjadi… namanya akan ikut terseret.“Tidak… aku tidak boleh hancur karena kesalahan orang lain.” Matanya menyala, bukan oleh ketakutan, tapi oleh
Beberapa suara menyahut rendah, sebagian mencatat, sebagian mulai gelisah.Salah satu pemegang saham senior mengangkat tangan. “Kita di sini untuk mendengar rencana masing-masing. Ruby, apakah kau sudah siap menyampaikan visimu?”Ruby mengangguk. “Tentu. Tapi sebelum itu … akan ada seseorang yang lebih baik menjelaskannya.”Semua kepala menoleh, dan pintu belakang ruang rapat kembali terbuka.Langkah berat dan tegas menggema di ruangan saat sosok pria tinggi berjas hitam memasuki ruangan. Wajahnya tenang, tapi membawa aura dingin yang langsung membungkam seisi ruangan. Beberapa orang tampak terkejut. Sebagian bahkan berdiri dari kursinya.Gerry memucat. “T-Tidak mungkin…”Ruby hanya tersenyum tipis. “Kenalkan… Nio Alenka atau sekarang dia adalah Ethan Ellias Zaferino.”Dan seketika itu, ruangan berubah menjadi hening mencekam. Semua mata terpaku padanya, pria yang selama ini diyakini telah menghi
Setelah beberapa suap, Ruby melirik ke arah Nio. “Kau mau aku bekalkan juga untuk nanti siang?”Nio menoleh dan menatapnya penuh arti. “Kalau aku bisa, aku mau bekalnya kamu juga.”Ruby tertawa. “Gombal pagi-pagi.”“Tapi beneran,” sahut Nio sambil menatap mata Ruby dalam. “Pagi kayak gini… yang bikin aku pengen pulang cepat.”Setelah sarapan selesai dan mereka berdua membereskan meja bersama, Ruby duduk di sofa ruang tengah sambil memeriksa jadwal di tablet miliknya. Ekspresinya sedikit tegang, dan Nio yang baru keluar dari dapur dengan dua gelas air langsung menyadarinya.“Kenapa mukanya kayak gitu?” tanya Nio sambil menyerahkan segelas air pada Ruby.Ruby menerimanya dan menghela napas. “Besok pagi… rapat pemilik saham dan para dewan akan diadakan. Semua orang penting akan hadir. Termasuk Papa. Dan Gerry.”Nio mengangguk pelan, menyesap airnya tanpa berkata apa-apa.Ruby menatapnya, ragu sejenak sebelum akhirn
Langit masih gelap ketika Nio akhirnya tiba di rumah. Suara lembut angin subuh berembus menyapu halaman depan, dan kabut tipis mulai menutupi taman kecil di samping garasi. Ia memarkirkan motornya perlahan, mematikan mesin tanpa suara, lalu melepas helm dan menggantungkannya di gantungan besi. Langkahnya penuh kehati-hatian saat ia memasuki rumah.Pintu utama dibuka dengan hati-hati. Udara hangat dari dalam rumah langsung menyambutnya, aroma lavender samar yang berasal dari diffuser di ruang tamu menyusup ke hidungnya. Tapi yang paling mencuri perhatiannya adalah sosok di sofa.Ruby.Ia tertidur dengan posisi duduk menyandar, selimut tipis melingkari bahunya. Kepalanya miring ke sisi kanan, rambutnya berantakan menutupi sebagian wajah. Di pangkuannya terdapat ponsel yang masih menyala entah sudah berapa kali ia mencoba menghubunginya malam itu.Hati Nio mencelos.Perempuan ini… bahkan menunggunya sampai tertidur di sofa.Ia berjalan pelan mendekat, menunduk, dan mengambil ponsel Ruby,