Beberapa suara menyahut rendah, sebagian mencatat, sebagian mulai gelisah.Salah satu pemegang saham senior mengangkat tangan. “Kita di sini untuk mendengar rencana masing-masing. Ruby, apakah kau sudah siap menyampaikan visimu?”Ruby mengangguk. “Tentu. Tapi sebelum itu … akan ada seseorang yang lebih baik menjelaskannya.”Semua kepala menoleh, dan pintu belakang ruang rapat kembali terbuka.Langkah berat dan tegas menggema di ruangan saat sosok pria tinggi berjas hitam memasuki ruangan. Wajahnya tenang, tapi membawa aura dingin yang langsung membungkam seisi ruangan. Beberapa orang tampak terkejut. Sebagian bahkan berdiri dari kursinya.Gerry memucat. “T-Tidak mungkin…”Ruby hanya tersenyum tipis. “Kenalkan… Nio Alenka atau sekarang dia adalah Ethan Ellias Zaferino.”Dan seketika itu, ruangan berubah menjadi hening mencekam. Semua mata terpaku padanya, pria yang selama ini diyakini telah menghi
Setelah beberapa suap, Ruby melirik ke arah Nio. “Kau mau aku bekalkan juga untuk nanti siang?”Nio menoleh dan menatapnya penuh arti. “Kalau aku bisa, aku mau bekalnya kamu juga.”Ruby tertawa. “Gombal pagi-pagi.”“Tapi beneran,” sahut Nio sambil menatap mata Ruby dalam. “Pagi kayak gini… yang bikin aku pengen pulang cepat.”Setelah sarapan selesai dan mereka berdua membereskan meja bersama, Ruby duduk di sofa ruang tengah sambil memeriksa jadwal di tablet miliknya. Ekspresinya sedikit tegang, dan Nio yang baru keluar dari dapur dengan dua gelas air langsung menyadarinya.“Kenapa mukanya kayak gitu?” tanya Nio sambil menyerahkan segelas air pada Ruby.Ruby menerimanya dan menghela napas. “Besok pagi… rapat pemilik saham dan para dewan akan diadakan. Semua orang penting akan hadir. Termasuk Papa. Dan Gerry.”Nio mengangguk pelan, menyesap airnya tanpa berkata apa-apa.Ruby menatapnya, ragu sejenak sebelum akhirn
Langit masih gelap ketika Nio akhirnya tiba di rumah. Suara lembut angin subuh berembus menyapu halaman depan, dan kabut tipis mulai menutupi taman kecil di samping garasi. Ia memarkirkan motornya perlahan, mematikan mesin tanpa suara, lalu melepas helm dan menggantungkannya di gantungan besi. Langkahnya penuh kehati-hatian saat ia memasuki rumah.Pintu utama dibuka dengan hati-hati. Udara hangat dari dalam rumah langsung menyambutnya, aroma lavender samar yang berasal dari diffuser di ruang tamu menyusup ke hidungnya. Tapi yang paling mencuri perhatiannya adalah sosok di sofa.Ruby.Ia tertidur dengan posisi duduk menyandar, selimut tipis melingkari bahunya. Kepalanya miring ke sisi kanan, rambutnya berantakan menutupi sebagian wajah. Di pangkuannya terdapat ponsel yang masih menyala entah sudah berapa kali ia mencoba menghubunginya malam itu.Hati Nio mencelos.Perempuan ini… bahkan menunggunya sampai tertidur di sofa.Ia berjalan pelan mendekat, menunduk, dan mengambil ponsel Ruby,
Rumah sakit tampak sunyi senyap saat malam telah mencapai puncaknya. Lampu-lampu di lorong menyala redup, hanya menyisakan pantulan cahaya putih pucat di lantai yang mengilap. Tidak ada suara, kecuali langkah sepatu pelan seseorang yang berjalan menyusuri koridor.Nio mengenakan jaket hitam panjang, topi gelap yang menutupi sebagian wajahnya, serta masker medis untuk menyamarkan identitasnya. Sorot matanya tajam, penuh tekad, dan tiap geraknya seolah menyatu dengan kegelapan malam. Kamera pengawas di lorong lantai tiga sudah dia perhitungkan sebelumnya, ia tahu waktu rotasi dan titik butanya.Ia berhenti di depan ruangan dokter yang kemarin memeriksanya.Tanpa suara, Nio membuka pintu dan menutupnya kembali dengan cepat. Di dalam, seorang pria paruh baya dengan jubah putih tengah menunduk membaca data pasien. Ia baru saja akan berdiri ketika merasakan sesuatu dingin dan tajam menempel di lehernya.Pisau tipis dengan bilah perak itu ditahan kuat ol
Sarah menyandarkan punggung ke sandaran kursi, menatap langit-langit bar yang dipenuhi lampu gantung kecil berwarna tembaga. “Aku tidak ingin berpikir jernih sekarang, Ethan. Aku hanya ingin melupakan bahwa barusan seseorang mengancam akan membunuh kita kalau kau gagal bawa jalur narkoba ke Macau dalam satu hari.”Dia menenggak sisanya dan mengangkat gelas pada bartender, memberi isyarat untuk satu lagi. Lalu, ia mendorong satu gelas penuh ke arah Nio. “Minum. Mungkin kalau kau mabuk sedikit, kau sadar betapa gilanya dirimu.”Namun Nio hanya menggeleng halus. “Aku harus bawa pulang motorku. Lagipula, mabuk tidak pernah ada dalam kamusku.”Sarah menghembuskan napas panjang, matanya menatap tajam pria di sampingnya. “Kau tahu ini bisa saja membunuhmu, kan? Mereka bukan main-main, Ethan.”Nio menatap lurus ke depan, menolak menunjukkan sedikit pun keraguan. “Aku tahu. Tapi aku tidak akan gagal. Semuanya akan selesai. Besok, semua akan berjalan sepert
Ruangan VIP itu remang dengan aroma cerutu mahal dan vodka kental memenuhi udara. Lampu gantung kristal bergoyang lembut di langit-langit rendah, memantulkan cahaya kekuningan ke meja bundar besar di tengah ruangan. Di sana, duduk seorang pria paruh baya bertubuh besar dengan setelan jas hitam kelam, wajahnya keras dan dingin seperti batu granit. Dialah Nikolai Fyodor, raja distribusi narkoba Rusia, sosok yang ditakuti bahkan oleh mafia Eropa Timur. Ketika pintu dibuka, mata kelabu tajam Nikolai langsung menatap ke arah pintu. “Ethan Ellias Zaferino.” Suaranya berat dan tajam seperti baja. “Aku dengar kau sempat hampir mati karena kecelakaan? Masuk rumah sakit selama seminggu?” Nio melangkah masuk perlahan, dengan langkah pasti. Sarah mengikutinya, sedikit gugup namun tetap menjaga senyumnya. “Aku baik-baik saja sekarang,” jawab Nio sambil duduk di kursi di seberang Nikolai. “Tubuhku keras kepala, seperti pemiliknya.” Nikolai terkekeh rendah. “Bagus. Dunia ini tidak punya tem