Begitu pintu tertutup rapat, dan mobil mulai bergerak pelan meninggalkan halaman markas, Nio mengeluarkan ponselnya dari saku dalam jas. Nada sambung terdengar sebentar sebelum suara wanita itu menjawab.
"Halo?""Kita berangkat sebelum fajar," kata Nio tanpa basa-basi."Baik," jawab Sarah cepat. Suaranya kini terdengar lebih waspada. "Aku akan bersiap."Nio menutup telepon tanpa menambahkan sepatah kata pun. Ia menyandarkan punggung ke kursi, menatap ke luar jendela. Malam masih panjang, dan misi ini bukan hanya soal kekuasaan. Ada yang harus dijaga, dan ada yang harus diselesaikan.Markus menoleh sedikit, suaranya rendah, “Kau yakin ingin melakukan ini sendiri, Tuan Ethan?”Nio menjawab pelan, namun mantap, “Ini urusanku… dan saatnya diselesaikan.”***Tak lama kemudian, iring-iringan mobil yang membawa Nio dan anak buahnya melintasi jalan-jalan gelap menuju sebuah pelabuhan tua yang tampak sunyi. Di kejauhan,Kalimat itu membuat Ruby tertawa kecil, meski air matanya tetap jatuh. “Kamu tau tidak, aku benci banget rasanya kangen sama kamu?” candanya, mencoba menutupi haru yang melanda.Nio ikut tertawa, lalu menyentuh pipinya untuk menghapus air mata itu. “Kalau begitu, biar aku pastiin kamu tidak perlu kangen lagi.”Mereka saling berpandangan sejenak, lalu sama-sama tertawa. Ruby memiringkan kepalanya, mencium ujung hidung Nio, membuat lelaki itu spontan tertawa lagi. “Kamu ini kenapa jadi manja banget?” goda Nio.Ruby hanya mengangkat bahu pura-pura polos. “Salah sendiri datang setelah bikin aku nunggu lama. Jadi, siap-siap aja, aku tidak bakal berhenti nyentuh kamu.”“Silakan,” jawab Nio dengan nada santai, tapi matanya memancarkan rasa yang dalam.Ruby menelusuri wajahnya lagi, dahi, pelipis, rahang, lalu ke bibirnya. Kali ini Nio yang bergerak, menangkap jemari Ruby dan menciumnya satu per satu. Gerakan itu membuat Ruby tersipu.“T
Selesai sarapan, Nio mengusap tangannya dengan serbet lalu berkata, “Biar aku yang cuci piring.”Ruby hanya tersenyum mengangguk, walau sebenarnya ia ingin ikut membantu. Tapi entah mengapa, ia ingin melihat pemandangan sederhana itu. Nio berdiri di dapurnya, mengerjakan pekerjaan rumah, seolah semua waktu yang hilang tak pernah ada.Air mengalir pelan di wastafel, suara gesekan piring terdengar lembut. Ruby duduk di kursi, tapi matanya tak lepas dari punggung Nio. Ada sesuatu yang menenangkan sekaligus membuatnya enggan berkedip. Punggung bidang itu, gerakan tenangnya, bahkan cara bahunya bergerak semua terasa begitu nyata, terlalu berharga untuk dilewatkan.Nio, yang menyadari tatapan itu, terkekeh tanpa menoleh. “Kalau kamu menatap seperti itu terus, punggungku bisa bolong, tau?” suaranya ringan tapi penuh kehangatan.Ruby tersipu, tapi tidak menjauh. Perlahan, ia berdiri, melangkah mendekat, lalu melingkarkan kedua tangannya di pinggang Nio dari belakang. Pipinya menempel di pungg
Untuk sesaat, mereka hanya saling menatap. Mata Ruby seakan mencari jaminan bahwa ini bukan bayangan yang akan menghilang, sementara Nio membiarkan dirinya tenggelam dalam tatapan wanita yang selalu menjadi rumah baginya.Tanpa sadar, Ruby kembali memeluknya, kali ini lebih tenang tapi tetap erat. “Aku janji… tidak akan ngelepasin kamu lagi,” ucapnya di sela-sela isak kecil.Nio mengusap rambut Ruby lembut, merasa dadanya hangat sekaligus berat karena menyadari betapa dalamnya luka yang ia tinggalkan. “Dan aku janji… aku tidak akan ninggalin kamu lagi, Ruby.”Ruby tersenyum di pelukan itu, meski air matanya masih mengalir. Rasanya semua penantian, kesepian, dan rasa sakit itu terbayar lunas hanya dengan satu pagi ini.Ia memejamkan mata, mendengar detak jantung Nio yang menenangkan, lalu menarik napas panjang, mencoba menyerap kenyataan ini sepenuhnya. Di luar, cahaya pagi semakin terang, burung-burung berkicau seakan ikut merayakan kepulangan ses
Saat Ruby berdiri di ambang pintu kamar, menatap hasil kerjanya, ia menghela napas lega. Semua tampak jauh lebih baik. Rumah ini, yang beberapa hari lalu terasa dingin dan sepi, kini perlahan berubah menjadi tempat yang penuh harapan.Di ruang tamu, ia duduk sebentar di sofa, memandang keluar jendela. Matanya menatap jalan di depan rumah, membayangkan suara motor Nio yang khas, membayangkan sosoknya turun dengan jas hitam dan tatapan tenang.Ruby tahu, ia mungkin harus menunggu lama. Tapi menunggu dengan rumah yang bersih dan hati yang gembira terasa jauh lebih mudah daripada menunggu dalam kesedihan.“Kalau kau pulang, Nio… semua ini sudah siap untukmu,” bisiknya pelan, sambil tersenyum.Lalu, ia berdiri lagi, mengambil kain lap untuk mengelap meja terakhir yang belum tersentuh. Hari ini, Ruby memilih untuk percaya. Dan kepercayaan itu membuat segalanya terasa lebih hidup.***Sore mulai merayap masuk, langit di luar berubah jin
Sementara itu, di rumahnya yang sunyi, Ruby duduk di sofa dengan ponsel di tangan. Jari-jarinya sudah lelah menekan tombol panggil, mencoba menghubungi Nio untuk entah keberapa kalinya. Setiap kali, hanya nada sambung panjang yang terdengar, diikuti pesan suara yang seolah mengejeknya.Thomas pun sama saja. Sudah seminggu berlalu sejak terakhir kali mereka berbicara di kantor, dan hingga kini tidak ada kabar lanjutan tentang hasil pencarian Nio. Tidak ada lokasi baru, tidak ada petunjuk, bahkan tidak ada tanda-tanda bahwa Nio masih berada di negara yang sama. Ruby mulai merasa kesal bukan hanya pada Thomas, tapi juga pada dirinya sendiri yang tak bisa berbuat lebih.Ia bersandar di sofa, mengusap wajahnya kasar. Matanya terasa panas karena kurang tidur, sementara pikirannya terus dihantui satu pertanyaan.“Ke mana sebenarnya Nio pergi?”Tiba-tiba, suara TV yang tadinya hanya menjadi latar belakang kesunyiannya berubah menjadi sumber perhatian. Sebuah breaking news muncul di layar, tay
Nio tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap keluar jendela, melihat lampu-lampu pelabuhan di kejauhan. “Untuk orang-orang yang tidak seharusnya menjadi korban dari permainan ini.”Keheningan sejenak memenuhi ruangan, hanya terdengar bunyi detak jam di dinding.Komisaris akhirnya berdiri, berjalan ke arah lemari arsip, dan mengambil sebuah map hitam tebal. Ia menaruhnya di meja di depan Nio. “Ini salinan semua dokumen yang kau berikan, ditambah hasil penyelidikan kami. Simpan ini. Kau mungkin membutuhkannya nanti.”Nio menatap map itu, lalu kembali menatap Komisaris. “Kau benar-benar yakin memberikannya padaku?”“Kalau aku tidak yakin, kau tidak akan duduk di sini sekarang,” jawab Komisaris mantap.Senyum tipis kembali terukir di wajah Nio. Ia meraih map itu, lalu kembali mengangkat cangkir teh untuk tegukan terakhir. “Kalau begitu, semoga kita berdua sama-sama selamat sampai akhir.”Komisaris menatap Nio cukup lama setelah