“Tentu saja,” jawab Nio sambil tersenyum nakal, seolah menikmati kegugupan Ruby. “Aku akan menunggu, dan setiap gaun yang kau kenakan … aku akan jujur padamu.”
Ruby mendengus kesal, meski wajahnya masih merah. “Kau selalu saja membuatku kalah.”Manajer butik lalu memanggil seorang asisten yang ramah untuk membantu Ruby ke ruang ganti. Ruby masuk dengan langkah pelan, sementara Nio duduk di sofa empuk butik, menunggu dengan sabar, meski jelas ada kilatan antusias di matanya.Gaun pertama yang dikenakan Ruby adalah model klasik dengan ekor panjang dan renda penuh. Saat ia keluar dari balik tirai, Nio langsung terdiam. Matanya berbinar, lalu berkata, “Kau terlihat seperti putri.”Ruby menahan senyum, pura-pura mengernyit. “Terlalu berlebihan, Nio. Aku bahkan kesulitan berjalan dengan ekornya.”Gaun kedua lebih modern, dengan potongan ramping dan detail manik-manik berkilau. Ruby merasa agak aneh memakainya, tapi begitu ia berdiri di depan Ni“Tentu saja,” jawab Nio sambil tersenyum nakal, seolah menikmati kegugupan Ruby. “Aku akan menunggu, dan setiap gaun yang kau kenakan … aku akan jujur padamu.”Ruby mendengus kesal, meski wajahnya masih merah. “Kau selalu saja membuatku kalah.”Manajer butik lalu memanggil seorang asisten yang ramah untuk membantu Ruby ke ruang ganti. Ruby masuk dengan langkah pelan, sementara Nio duduk di sofa empuk butik, menunggu dengan sabar, meski jelas ada kilatan antusias di matanya.Gaun pertama yang dikenakan Ruby adalah model klasik dengan ekor panjang dan renda penuh. Saat ia keluar dari balik tirai, Nio langsung terdiam. Matanya berbinar, lalu berkata, “Kau terlihat seperti putri.”Ruby menahan senyum, pura-pura mengernyit. “Terlalu berlebihan, Nio. Aku bahkan kesulitan berjalan dengan ekornya.”Gaun kedua lebih modern, dengan potongan ramping dan detail manik-manik berkilau. Ruby merasa agak aneh memakainya, tapi begitu ia berdiri di depan Ni
Pelayan mencatat pesanan dengan sopan, kemudian meninggalkan mereka berdua dengan segelas air putih yang sudah tersedia. Suasana hening sejenak, hanya diisi suara lembut musik klasik yang mengalun di latar belakang.Ruby menatap Nio sambil menyandarkan dagunya pada tangan. “Kau benar-benar serius soal perubahan namamu, ya?”Nio tersenyum tipis. “Tentu. Aku ingin semua orang mengenalku sebagai Nio Alenka. Nama itu bukan hanya milikku, tapi juga simbol dari kehidupan baru bersamamu.”Ruby tersentuh. Ia menunduk sejenak, lalu berbisik, “Aku tidak menyangka kita akan sampai sejauh ini. Ada masa ketika aku merasa segalanya akan runtuh… tapi kini aku duduk di sini bersamamu.”Nio mengulurkan tangan ke atas meja, meraih jemari Ruby dengan lembut. “Karena kita tidak pernah berhenti berusaha. Kau yang membuatku bertahan, Ruby.”Mata mereka saling bertemu, begitu dalam seakan waktu berhenti. Ruby hanya bisa tersenyum kecil, meski pipinya sedikit me
Jam makan siang akhirnya tiba. Suasana kantor mulai lengang, sebagian karyawan beranjak keluar membawa tas kecil atau sekadar dompet di tangan. Derap sepatu dan suara pintu berderit memenuhi koridor.Nio, yang sejak pagi sibuk dengan dokumen-dokumen barunya, berdiri dari kursi. Matanya melirik jam dinding. “Sudah waktunya,” gumamnya kecil. Ia merapikan jas, lalu melangkah keluar dari ruangannya.Langkahnya membawanya menuju lantai tempat Ruby bekerja. Sepanjang perjalanan, ia sempat menerima sapaan sopan dari beberapa staf.Setibanya di depan pintu berlapis kayu dengan nama Ruby terukir elegan, Nio mengetuk pelan. Tiga ketukan terdengar jelas di dalam ruangan.“Masuk,” terdengar suara Ruby dari balik pintu.Nio mendorong pintu perlahan. Pandangan pertamanya langsung jatuh pada Ruby yang tengah duduk rapi di balik meja kerjanya. Rambutnya terurai lembut, cahaya lampu ruangan jatuh ke wajahnya yang serius menatap dokumen. Pulpen masih berada di tangannya, sementara layar laptop menampil
Mereka pun duduk berhadapan di meja makan. Ruby menuangkan jus ke gelas, sementara Nio langsung meraih roti panggang. “Hmm, enak sekali. Aku kangen masakanmu.”Ruby mengangkat alis. “Padahal aku hanya bikin sarapan sederhana.”“Tetap saja, kalau dari tanganmu, selalu terasa istimewa.” Nio menatapnya penuh arti, membuat Ruby hanya bisa tersenyum malu-malu.Mereka menghabiskan sarapan dengan obrolan ringan, sesekali bercanda. Sesudahnya, Ruby segera membereskan meja, sementara Nio bersiap mengambil kunci mobil. Meski liburan singkat mereka sudah selesai, kehangatan yang tersisa membuat rumah kecil itu terasa penuh cinta.*** Mobil yang mereka kendarai akhirnya berhenti di depan gedung kantor yang menjulang gagah. Ruby dan Nio turun bersamaan, langkah mereka seirama hingga masuk ke dalam lobi yang luas dan elegan.Lift membawa mereka naik, sunyi hanya diisi dentingan angka digital yang berganti setiap lantai. Ruby menatap suaminya
“Dan aku lebih beruntung karena kamu istriku,” balas Nio cepat.Mereka tertawa kecil bersama. Malam kian larut, tapi hangatnya suasana membuat mereka enggan beranjak tidur. Rumah yang dulu terasa biasa kini dipenuhi cahaya cinta dan kenangan baru.Ruby menutup matanya sebentar, membiarkan rasa damai meresap ke dalam hati. Setelah teh hangat habis, Ruby menguap kecil sambil tersenyum. “Sepertinya tubuhku baru benar-benar sadar kalau kita sudah pulang. Aku capek sekali.”Nio menatapnya dengan lembut. “Kalau begitu, ayo kita ke kamar. Malam ini kita harus tidur cukup.”Mereka naik ke lantai atas, Ruby segera masuk lalu merebahkan diri di sisi ranjang. Nio menyusul, duduk di tepinya, lalu menatap Ruby yang sudah setengah menutup mata. “Capek sekali ya, Nyonya Alenka?”Ruby tersenyum mengantuk. “Iya, tapi bahagia.”Dengan gerakan lembut, Nio ikut berbaring di sampingnya. Ia menarik Ruby ke dalam pelukannya, membiar
Beberapa saat mereka duduk dalam diam, menikmati detik-detik terakhir sebelum bersiap. Lalu Ruby bangkit, mulai merapikan pakaian dan barang-barang mereka. Nio membantunya, melipat baju dengan cermat, memastikan tidak ada yang tertinggal. Sesekali mereka bertukar senyum kecil, seakan ingin mengusir rasa berat hati dengan kebersamaan sederhana. Selesai berkemas, Ruby berjalan ke balkon vila. Dari sana, ia bisa melihat matahari perlahan tenggelam di ufuk barat. Langit dipenuhi semburat oranye, merah, dan ungu, memantul indah di permukaan laut. Ruby berdiri terpaku, dadanya sesak oleh keindahan itu. Nio mendekat dari belakang, melingkarkan lengannya di pinggang Ruby. “Indah, kan?” bisiknya. Ruby mengangguk pelan. “Aku ingin mengingat momen ini selamanya.” “Dan kamu akan mengingatnya,” jawab Nio dengan yakin. “Karena aku ada di sini, di sisimu. Selama kita bersama, setiap tempat akan selalu terasa istimewa.” Ruby tersenyum, meski matanya sedikit berkaca. Ia menoleh, menatap wajah