Untuk beberapa detik, Ruby hanya menatap Nio. Lalu akhirnya ia menyerah. Ia menyandarkan tubuhnya lebih baik, membiarkan dirinya berselimut hangat dan meregangkan jari-jarinya dari rasa pegal.
“Kalau aku tertidur lagi, jangan sentuh wajahku tiba-tiba,” gumamnya, setengah bercanda.Nio mengangkat alis. “Kau tahu?”“Sulit untuk tidak tahu. Sentuhan itu…” Ia menatap mata Nio. “...aneh tapi menenangkan.”Seketika itu juga, keheningan menyusup kembali ke antara mereka. Tapi kali ini bukan karena kecanggungan, melainkan kedekatan yang perlahan mulai tumbuh dan nyaman.“Aku cuma ingin kau tidur nyenyak,” bisik Nio akhirnya.Ruby memejamkan mata, tersenyum kecil. “Sekarang aku bisa.”Nio melangkah kembali ke ranjangnya. Ia menatap Ruby sekali lagi sebelum menarik selimutnya dan kembali berbaring. Tapi kali ini, hatinya jauh lebih tenang. Ia tahu, walau sempat dilanda ketakutan dan rasa bersalah, ada seseorang di ruangan itu yangDi tengah kesibukan memeriksa laporan keuangan terbaru dari salah satu cabang baru, Nio duduk dengan serius di balik meja kerjanya. Pandangannya fokus, jemarinya mengetuk-ngetuk ringan dokumen sambil sesekali melirik ke layar laptop. Angka-angka memenuhi kepalanya, setiap ketidaksesuaian langsung ia catat.Namun, konsentrasinya buyar seketika saat suara notifikasi dari ponselnya berdenting. Ia meraihnya tanpa berpikir, mengira itu pesan biasa dari Ruby atau laporan tambahan dari tim audit. Tapi alisnya langsung bertaut saat membaca isi pesan itu.[Apa kau senang? Kita lihat, sampai kapan kau akan bertahan!]Nio menatap layar ponsel itu dalam diam, rasa dingin menjalar di tengkuknya. Nomor pengirim tidak dikenal. Tidak ada nama, tidak ada tanda siapa pelakunya. Hanya kata-kata tajam dan dingin yang mengisyaratkan sesuatu yang lebih gelap di balik pekerjaan yang tengah ia jalani.Pintu ruangannya diketuk pelan.“Masuk,” kata Nio tanpa melep
“Proyek ini sudah dalam tahap perencanaan akhir?” tanya Nio setelah mendalami isi dari brosur proyek yang dia baca.Wilona mengangguk. “Benar. Dan sekarang kami sedang memilih mitra strategis untuk sistem logistik dan distribusi material, serta pengelolaan pembangunan yang efisien. Karena itulah kami menghubungi perusahaan Anda, Nio.”Nio menatapnya, sedikit terkesan dengan pendekatannya yang langsung dan terstruktur. “Anda ingin menjalin kerja sama dalam bentuk joint-operation atau kontrak jasa?”“Awalnya kontrak jasa,” jawab Wilona. “Namun jika memungkinkan, saya tidak menutup peluang untuk kolaborasi investasi dalam proyek lanjutan. Kami mencari mitra yang bukan hanya efisien, tapi juga memiliki komitmen terhadap nilai keberlanjutan.”Nio menautkan jari-jarinya. “Saya menghargai pendekatan Anda. Jujur saja, proyek seperti ini menarik. Kami memang sedang mencari peluang kerja sama yang sejalan dengan visi masa depan. Tapi ada satu hal yang ingin
Perjalanan menuju kantor cukup lancar. Cuaca cerah, langit biru bersih, seolah ikut merayakan kehidupan baru mereka yang perlahan tapi pasti menjelma indah. Saat tiba di kantor, ia masuk dari pintu samping, tak ingin membuat kehebohan. Namun beberapa pegawai yang melihatnya tetap menyapa ramah, dan Nio membalas dengan anggukan tenang.Di lantai atas, Ruby sudah menunggunya di ruangannya.“Kamu cepat juga,” kata Ruby sambil menyimpan dokumen ke dalam map.“Karena aku lapar,” jawab Nio sambil tersenyum.Ruby tertawa kecil. “Ayo, aku tahu tempat yang enak.”***Restoran Jepang itu tampak tenang, dengan arsitektur kayu khas dan lampion gantung yang berayun pelan setiap kali pintu digeser terbuka. Begitu memasuki ruangan, aroma kaldu dashi dan kecap asin menyambut Ruby dan Nio, menenangkan sekaligus membangkitkan rasa lapar.Nio membuka pintu geser dengan satu tangan, mempersilakan Ruby masu
Mentari pagi menyelinap hangat melalui jendela besar kamar, membasuh ruang itu dengan cahaya keemasan yang lembut. Di atas ranjang luas dengan selimut yang masih kusut oleh malam penuh kehangatan, Ruby mengerjapkan mata perlahan. Cahaya menyentuh wajahnya, dan ia menggeliat kecil, merenggangkan tubuh yang masih lelah. Saat itulah suara lembut terdengar, memecah keheningan dengan hangat.“Selamat pagi,” ucap Nio yang masih berada di sebelahnya.Ruby menoleh, tersenyum kecil. Matanya masih sayu tapi penuh kehangatan. “Selamat pagi,” balasnya lirih.Tanpa perlu berkata lebih banyak, mereka saling mendekat dan bertukar ciuman lembut di pagi hari. Ciuman itu bukan sekadar kebiasaan, melainkan tanda syukur bahwa mereka masih di sini, bersama.Nio membelai rambut Ruby sejenak sebelum perlahan turun dari ranjang. “Aku bersihkan diri dulu, lalu aku buatkan sarapan.”Ruby hanya mengangguk, masih menikmati kehangatan selimut
Nio menatap wajah istrinya yang sedang tertidur dengan penuh cinta. Nafas Ruby teratur, rambutnya sedikit berantakan, tetapi tetap terlihat cantik dalam balutan keheningan. Nio tersenyum tipis. Ada debar hangat di dadanya. Dia merasa sulit percaya bahwa semua ini nyata, bahwa wanita yang kini terlelap di sisinya adalah istrinya, bahwa semua perjuangan dan luka telah membawanya ke tempat ini. Tempat yang dipenuhi ketenangan dan cinta. Tatapan Nio begitu lembut, nyaris rapuh. Seolah-olah jika dia berkedip terlalu lama, semuanya akan menghilang dan kembali menjadi mimpi. Seakan-akan mendengar kegundahan dalam hati Nio, Ruby perlahan membuka matanya. Dia mendapati Nio masih terjaga, menatapnya tanpa berkedip. "Kenapa tidak tidur?" tanya Ruby dengan suara serak khas orang yang baru bangun. Nio menghela napas pelan, lalu menyentuh pipi Ruby. "Karena semua ini terasa seperti mimpi." Ruby tersenyum, matanya mengerjap lucu. Dia mendekat, lalu mengecup bibir Nio dengan lembut. "Masih sepert
Nio menoleh pelan, menatap wajah wanita yang selama ini selalu bersamanya melewati tekanan, luka, dan kebahagiaan yang tumbuh perlahan. Dalam diam, dia menyentuh pipi Ruby dengan lembut, membuat Ruby menoleh, mata mereka bertemu dalam tatapan yang jujur dan hangat. “Aku mencintaimu, Ruby,” bisik Nio, suara yang rendah, tetapi dalam. Ruby terdiam sejenak, seolah-olah kata-kata itu butuh beberapa detik untuk sampai ke dalam hatinya. Kemudian dia mengangguk perlahan, senyum tipis menghiasi bibirnya. “Aku juga mencintaimu, Nio ... sejak lama,” jawabnya, tulus tanpa ragu. Waktu seakan-akan berhenti saat keduanya hanya saling menatap. Tak ada lagi beban perusahaan, masa lalu, atau rasa takut yang menggantung di antara mereka. Yang tersisa hanya dua hati yang akhirnya saling terbuka sepenuhnya. Dengan gerakan lembut dan perlahan, Nio menarik wajah Ruby mendekat. Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang hangat bukan ciuman yang terburu-buru atau penuh hasrat, tetapi ciuman yang dalam, tenan