Pintu mobil tertutup dengan suara pelan, menandakan keduanya telah tiba kembali di depan rumah mereka. Udara sore yang tenang tidak mampu meredam ketegangan yang menyelimuti langkah Ruby saat ia lebih dulu turun dan berdiri di depan pintu rumah, memeluk tasnya erat.
Nio baru melangkah turun ketika suara Ruby akhirnya pecah, tajam dan penuh emosi.“Kamu jahat, Nio…”Langkah Nio terhenti. Ia memandangi punggung Ruby yang membeku di ambang pintu. “Ruby…”“Kamu egois,” lanjut Ruby dengan suara gemetar. “Kamu terlalu keras kepala sampai rela mempertaruhkan hubungan kita demi membuktikan sesuatu yang… bahkan aku tidak pernah minta.”Nio menghela napas, mendekat pelan. “Aku melakukan itu karena aku harus. Aku harus bertanggung jawab atas semua ini.”Ruby berbalik. Matanya merah, basah oleh air mata yang tertahan sejak pertemuan mereka dengan ayahnya. “Tapi kamu mempertaruhkan kita, Nio! Kamu bisa kehilangan aku… kehilangan semua yang kiSeorang pria dengan rambut sedikit memutih dan sorot mata tajam berdiri, memandang tamunya dengan napas tertahan. “Ethan? Apa yang terjadi? Kau mau hidup?” tanyanya nyaris tak percaya. Nio menatapnya tanpa senyum. “Kita tidak punya waktu untuk menggali masa lalu, Virgo.” Virgo, mantan pembunuh bayaran yang dulu dikenal sebagai ‘Shadow Mark’, sudah lama pensiun dan menyepi dari dunia hitam. Tapi ia adalah salah satu orang yang paling Nio percayai, seseorang yang selalu tahu cara mendapatkan informasi, bahkan dari tempat yang tak pernah disentuh cahaya. “Kau seharusnya mati dua tahun lalu. Semua orang bilang begitu.” “Aku tidak mati,” jawab Nio dingin, duduk di kursi kayu di ruang tamu kecil itu. “Aku kehilangan ingatan setelah dikhianati. Dan kini aku kembali.” Virgo memperhatikan luka di lengan Nio yang belum sepenuhnya tertutup. “Lalu kenapa kau datang padaku?” “Aku butuh penyelidikan.” Nio menatap langsung ke mata pria itu. “Ada seorang pria bernama Gerry. Aku ingin tahu sia
Nio menarik napas pelan. “Dia mulai main kotor,” gumamnya. “Dan ini belum setengahnya.”Ia menatap ketiga pria itu dengan tajam. “Kalian akan tetap di sini. Tapi aku akan jaga kalian tetap hidup, asal kalian terus bicara.”Lalu ia berbalik, meninggalkan ruangan dengan Markus mengikuti dari belakang.“Sekarang kita tahu,” kata Markus pelan. “Gerry benar-benar sudah menyeberang batas.”Nio mengangguk. “Ini bukan soal bisnis lagi. Ini soal balas dendam dan kekuasaan. Dan dia menargetkan bukan cuma aku, tapi Ruby juga.”Tatapan Nio menggelap. Api perang baru saja dinyalakan.*** Cahaya senja menelusup masuk melalui jendela besar di ruang kerja bawah tanah itu, mewarnai dinding beton dengan semburat oranye keemasan. Nio duduk di kursi hitam berlapis kulit, kedua sikunya bertumpu pada meja, dan jemarinya saling bertaut rapat di depan wajahnya. Sorot matanya tajam, penuh pertimbangan dan kewaspadaan. Luka-luka di tubuhnya belu
Di dalam mobil, suasana hening beberapa saat. Markus menatap Nio dari kaca spion, raut wajahnya menyimpan kekhawatiran."Apa kita benar-benar harus melakukan ini sekarang?" tanya Markus akhirnya. "Kau bahkan belum benar-benar pulih. Dan... ini bisa berbahaya, Tuan Ethan."Nio tidak langsung menjawab. Matanya menatap kosong ke luar jendela, menyaksikan jalanan yang masih sepi."Kalau Ruby tahu aku pergi, dia bisa marah," ucapnya pelan.Markus menoleh singkat, lalu kembali fokus ke jalan. "Justru itu. Dia pasti tahu kau nekat begini. Kau baru saja hampir mati kemarin. Nona Ruby pantas tahu kalau—""Aku harus melindunginya," potong Nio tajam, tapi nada suaranya tetap rendah. "Kalau aku tinggal diam dan menunggu, orang yang mencoba membunuhku akan bergerak lagi. Mungkin kali ini bukan aku yang jadi target. Mungkin Ruby."Markus mengepalkan tangannya di kemudi. Ia tahu, ucapan Nio benar. Tapi tetap saja, melihat pria itu yang baru sem
Ruby menatap Gerry tanpa berkedip. Suara alat makan berdenting lembut di latar, samar terdengar musik jazz dari pengeras suara tua di sudut ruangan. Tapi di antara mereka, atmosfer mengeras, tegang seperti pelat baja yang tak terlihat.“Apa maksudmu bisa menghancurkanku?” tanya Ruby, suaranya pelan namun tegas.Gerry menyeka sudut mulutnya dengan serbet, meski ia belum menyentuh makanannya. “Ayahmu tidak akan mendukung seorang putri yang menikah dengan buronan bawah tanah, Ruby. Kau tahu itu.”Ruby mengangkat dagunya. “Ayahku tidak bisa menentukan siapa yang akan kucintai atau bagaimana aku menjalani hidupku.”Gerry mendengus. “Tapi dia bisa menentukan nasib perusahaan. Dan kalau kau ingin tetap memegang kendali, kau perlu memastikan bahwa reputasimu bersih. Bersama Nio ... atau Ethan, tapi itu tak mungkin.”Ruby mencengkeram sendok di tangannya, mengerahkan seluruh tenaganya untuk tidak melemparkannya ke wajah Gerry. “Kau tidak tahu apa-apa tentang dia.”“Sebaliknya,” sahut Gerry cep
Ruby menunduk, menahan emosi. Tangannya gemetar memegang ponsel. Ia sadar, ini bukan lagi hanya tentang perusahaan. Ini soal harga diri, komitmen, dan haknya untuk mempertahankan cinta yang telah ia perjuangkan dua tahun lalu.Gerry menoleh ke arahnya dengan senyum licik. “Tak perlu panik, Ruby. Aku di sini hanya untuk membantu. Kalau kau mau, kita bisa bicarakan masa depan dengan tenang. Seperti dulu.”Ruby mendongak, menatap tajam ke arah Gerry.“Jangan samakan hari ini dengan dulu, Gerry. Aku bukan perempuan yang bisa kau kendalikan seperti yang Ayahmu atau Ayahku inginkan.”Gerry mengangkat bahu seolah tak terpengaruh. “Tapi siapa pun akan menyerah saat tahu bahwa perusahaan yang dia cintai bisa hilang begitu saja... karena satu pria yang tak pernah benar-benar hadir.”Ruby menahan napas. Tidak. Dia tidak akan kalah. Lalu ia berdiri dan meninggalkan ruang rapat tanpa pamit. Matanya menatap lurus ke depan, tapi hatinya bergetar. Ia tah
Nio mengernyit. “Tidak perlu. Rumah sakit ini cukup baik.”“Tapi—”“Aku bilang cukup.” Suara Nio terdengar tenang, tapi penuh ketegasan. “Aku sudah nyaman di sini. Dan aku ingin fokus pulih, bukan berpindah-pindah.”Sarah menatapnya, kecewa. “Aku hanya ingin yang terbaik untukmu.”“Aku tahu,” ujar Nio, lalu perlahan menarik tangannya dari genggaman Sarah. “Dan yang terbaik untukku saat ini adalah istirahat, bukan pindah kamar atau terlibat dalam penyelidikan.”Sarah akhirnya bangkit, menyadari dirinya ditolak secara halus. Tapi ia menolak memperlihatkan luka egonya. Ia menarik napas, memperbaiki rambutnya dan menatap Nio dengan senyum yang dipaksakan.“Kalau begitu, aku akan meninggalkanmu sekarang. Tapi aku akan kembali nanti sore.”Nio tidak menanggapi. Ia hanya mengangguk singkat.Sarah berjalan menuju pintu, lalu sebelum benar-benar keluar, ia menoleh. “Kalau kau berubah pikiran soal rumah sakit… kau tahu ak