Lilia tahu William sedikit mabuk. Ia bisa menghidu bau alkohol yang menguar dari bibirnya saat mereka berdiri dalam jarak sedekat ini.
Pria itu menunduk mensejajari pandangannya saat tawa lirihnya baru saja terdengar. “Kamu tidak memiliki hak untuk memutuskan apakah kamu bisa pergi dari rumah ini atau bertahan, Lilia Zamora,” ucapnya tegas. Lilia tak sempat menjawab apa yang dikatakan oleh pria itu sebab William lebih dulu menariknya dan membuatnya terhempas di atas ranjang. “Apa kamu mau pergi dari sini karena ingin hidup dengan Nicholas?” tanyanya. “Apa yang kamu lakukan dengannya tadi? Kalian bersenang-senang di luar saat aku tidak di rumah?” Pertanyaan datang bertubi-tubi seiring William yang naik ke atas tempat tidur. Pria itu menunduk di atas Lilia yang wajahnya seketika pias. Ia mencoba melepaskan diri, tetapi itu sia-sia sebab William telah membuatnya terkunci tak bisa bergerak. “T-tidak,” jawab Lilia dalam ketidakberdayaan. “Saya benar-benar hanya pergi ke rumah sakit untuk menjenguk ibu saya setelah kami bertemu di pemakaman Nona Ivana tadi,” jelasnya, berharap secercah kesempatan yang barangkali dapat diberikan oleh pria itu agar membebaskannya. Tapi Lilia tahu William tak mempercayainya begitu saja. Seringai di bibirnya itu menyebutkan lebih banyak bahwa jawaban Lilia hanya sebatas kebohongan baginya. “Aku tahu bahwa kamu akan melakukan apapun untuk mendapatkan uang,” ujarnya. “Kamu pikir aku tidak tahu kalau Ivana memberimu uang sebagai imbalan agar kamu mau menikah denganku?” Wajah Lilia kian pias, benaknya berkecamuk penuh tanya, ‘Dari mana William tahu soal itu?’ Apa selama ini ia tahu tapi diam saja? “Apa kedatanganmu ke sini karena kamu sengaja ingin menggodaku, Lilia?” “Tidak, Tuan!” tepis Lilia dengan cepat. “Saya benar-benar hanya ingin berpamitan.” “Bohong! Aku tahu bagaimana cara licik wanita agar bisa mendapatkan uang,” ujarnya. “Aku juga bisa memberimu uang, Lilia. Tidur saja denganku, aku akan membayarmu.” Jari-jari besar William menyentuh tulang rahangnya, matanya penuh kebencian saat ia menarik plester luka dari sudut kiri bibirnya seraya bertanya, “Siapa yang memberimu ini? Nicholas?” Lilia menggeleng, “Bu-bukan.” Ia memutuskan untuk berbohong karena jika ia jujur bahwa benar Nicholas yang memberikan itu, ia tak tahu akan menjadi apa dirinya. Tatapan William berubah sayu saat ia memindai setiap sudut wajah Lilia yang tak bisa lagi menahan air mata. Lilia merasa ketakutan, tatapan William mengintimidasinya secara sempurna. Pipinya basah, air mata bermuara hebat di sana saat bayangan asing itu kembali berlalu-lalang. Sentuhan William seakan sengaja membunuhnya secara pelan-pelan. Namun rupanya, melihat air mata itu tak membuat William iba. Bukan pengampunan yang ia berikan melainkan seulas senyum mengiringi lisannya yang menuturkan, “Jangan berpura-pura,” bisiknya. “Bukankah kamu datang ke sini untuk menggodaku? Jadi nikmati saja apa yang akan kita lakukan malam ini.” “Akh—” rintihan lolos dari bibir Lilia yang menahan sakit saat William mencengkeram erat kedua tangannya, memastikan Lilia tak bisa melawan saat ia menguncinya di samping kanan dan kiri telinga. “Sakit, Tuan, jangan—” Ia berhenti bicara saat William menjatuhkan bibirnya pada Lilia. Dari sekadar kecupan yang lambat laun berubah menjadi ciuman membara. Gigitannya bertubi-tubi menghujani Lilia dengan rasa perih. Lilia berusaha melawan, tetapi semakin hal itu ia lakukan, William semakin mendominasi dirinya. Napasnya tersengal-sengal, tubuhnya terbakar oleh rasa takut. Seakan belum cukup menyakiti bibirnya, William kini menjamah leher jenjangnya. Ia tinggalkan jejaknya di sana, perih menggerus kulit. “Jangan lakukan ini,” pinta Lilia mengiba. “Tolong lepaskan saya ….” Tubuhnya kebas dibebani gagah postur William yang menindihnya. Pria itu menarik wajahnya, menegakkan punggungnya dan menguraikan kancing kemeja yang ia kenakan. Setelah ia melemparkan atasannya secara sembarangan ke lantai, dress yang dikenakan oleh Lilia berusaha ia lepas. “Tuan William!” jerit Lilia mencoba menyadarkan pria itu saat tangannya bergerak liar menyelinap masuk melalui bagian bawah dress miliknya. Lilia melihatnya seolah sedang sangat marah, kemarahan yang tak bisa ia jelaskan apa maksudnya. Apakah itu karena ia dalam pengaruh alkohol, atau ia menganggap Lilia ini hanya seorang perempuan mata duitan yang menggertaknya dengan berpamitan, sehingga William akan menahannya dengan iming-iming uang? Benak Lilia resah, sekalipun William adalah suaminya, tak ada di dalam pikiran Lilia ia akan berakhir dengan cara seperti ini. Ia tidak siap. Dan tidak ingin! Lilia menahan sekuat tenaga pergelangan tangan William yang masih berusaha merenggut pakaiannya. “Diamlah, Lilia!” hardik pria itu. “Kamu berharap bisa menjadi nyonya, ‘kan? Tak apa sekalipun kamu babysitter-nya Keano, karena aku bisa membuatmu menjadi nyonya semalam, aku pinjamkan ranjangku untukmu.” Hati Lilia seperti dirajam lara mendengar apa yang dikatakan oleh William yang secara tak langsung ingin menyebutnya tak lebih dari seorang wanita bayaran. Lilia lebih keras melawannya, ia tepis sekuat tenaga lengan pria itu sehingga Lilia bisa mengangkat tangan dan melayangkan tamparan menghantam pipi sebelah kiri William. Kebekuan menghampiri mereka dalam sesaat. William terkejut dan termangu, barangkali membutuhkan waktu baginya untuk menyadari bahwa Lilia baru saja menamparnya. Dalam situasi lengah itu, Lilia mendorong William untuk enyah dari atasnya. Lilia merapatkan dress bagian atasnya yang dua kancingnya telah terburai karena sentakan William. Bibirnya gemetar saat ia menatap pria itu dengan netranya yang pirau akibat air mata. “Saya memang butuh uang,” aku Lilia. “Tapi uang itu bukan untuk diri saya atau kesenangan saya sendiri. Jika bukan demi ibu saya, saya juga tidak akan pernah sudi menjadi istri kedua Anda, Tuan William Quist.” Lilia beringsut turun dari ranjang tersebut, kakinya mengayun gontai mengenyahkan diri saat William dari belakang berseru, “Kamu tidak akan bisa pergi dariku begitu saja, Lilia!” peringatnya. “Di manapun tempatnya, aku pasti akan menemukanmu!” Lilia tak mempedulikannya. Ia keluar dari kamar William dengan terisak-isak. Saat pintu berdebum setelah ia tutup, kakinya tiba-tiba terpancang di lantai marmer tempatnya berpijak sebab ia menjumpai Keano berdiri di sana. Anak itu sepertinya terbangun dan mencarinya, mungkin karena tak menemukan Lilia bersamanya, sehingga ia pergi ke kamar atas. “Mama,” sebut Keano lirih. “Kenapa Mama menangis?” tanyanya. “Ayo kembali ke kamar, Keano takut tidur sendirian.” Lilia berlutut di depan Keano, ia raih kedua bahu kecilnya saat air matanya berderai semakin deras. “Maaf, Keano.” Setelah itu Lilia berlari meninggalkan bocah kecil yang kebingungan itu. “MAMA!” Tangisan Keano pecah di belakangnya. Teriakannya berulang kali memanggil Lilia yang lebih dulu tiba di ujung anak tangga. “Mama! Jangan pergi!” Suara lari kecilnya mengejar ke mana Lilia pergi. “Mama, Keano ikut!” Meski pilu dan berat, keputusan Lilia sudah bulat. Ia tidak ingin ada di rumah ini. “MAMA!” ‘Maaf, Keano ….’Pagi saat Lilia membuka mata pada hari berikutnya, mendung abu-abu bergantung. Ia keluar dari kamar dan mendengar gelak tawa Keano serta William serta samar celotehan hangat Karlee dan Kathleena dari luar. Entah apa yang dilakukan oleh ayah dan tiga orang anak itu. Tapi sepertinya itu adalah sesuatu yang seru. Lilia tadinya ingin menyusul mereka. Tapi ada sesuatu yang menyita perhatiannya saat ia lebih dulu berjalan menuju ke dapur. Ada sebuah buket bunga dalam vas, sebuah tas kecil dalam paper bag, serta kue berukuran kecil yang ada di atasnya. Semuanya bertuliskan, 'Selamat hari Ibu'. Paper bag berisi tas itu dari William, kue itu dari Keano, dan buket bunga itu dari si kembar Karlee dan Kathleena. Ada dua kartu ucapan yang ada di buket bunga itu dengan tulisan, [Karlee sayang Mommy.] [Mama cantik kesayangan Kathleena.] Entah siapa yang menuliskannya, tapi Lilia sangat suka dengan semua ini. "Manisnya ...." Ia menoleh pada Agni yang berjalan meninggalkan dapur sembari mem
Berjalan memasuki rumah, sepertinya ini sudah terlalu malam. Pesta anniversary Nicholas dan Selina berjalan dengan baik meski Lilia harus mengenakan gaun yang lain, bukan yang ia rencanakan untuk dipakai sebelumnya yang warnanya serasi dengan William dan anak-anaknya. "Selamat malam, Mama." Keano yang tadi berjalan di depan Lilia berhenti dan menoleh padanya saat tiba di depan pintu kamar. Lilia mengangguk, membalas senyum anak lelakinya yang baru saja melepas jas yang ia kenakan. "Selamat malam, Sayang." Lilia mendekat, mengusap puncak kepala Keano. Kini ia tak perlu lagi berlutut untuk membuat tubuh mereka sama tingginya karena Keano sudah tumbuh besar. "Tidurlah, walaupun besok masih libur, Keano harus tetap istirahat tepat waktu." Keano mengangguk sekali lagi. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya, tapi apa yang ia lakukan membuat Lilia terenyuh. Kedua tangannya memeluk Lilia dengan erat, maniknya yang berbinar menatap Lilia cukup lama sebelum akhirnya ia bersuara. "Teri
.... Langit di pagi itu tampak lebih biru ketimbang langit yang pernah dilihat oleh William sebelumnya. Matanya menatap hamparan warna lautan itu terbentang dari ujung timur hingga ke sudut barat. Cantik sekali .... Sesaat langkahnya terhenti di atas setapak yang ada di antara rerumputan hijau yang terlihat seperti permadani. Tidak banyak orang di tempat ini. Sepertinya hanya ada dirinya, serta beberapa orang di kejauhan yang membawa buket bunga. William kembali melanjutkan langkahnya. Terus berlalu, menjauh dari gerbang tinggi di belakangnya, lalu berhenti di depan nisan yang rasanya sudah sangat lama tidak ia kunjungi. Madeline Quist. Itu adalah makam adik perempuannya. Seorang gadis yang pernah ia besarkan sebelum pergi untuk selama-lamanya. Permadani hijau yang dilihatnya itu adalah rumput yang ada di pemakaman tempat di mana pusara Madeline berada. Bukan hanya Madeline saja sebenarnya, tapi juga Ivana. William menunduk, meletakkan salah satu buket yang ada di tangannya a
Rasanya seperti baru kemarin Lilia dan William mengantar Keano masuk ke Taman kanak-kanak. Rasanya juga baru kemarin si kembar Karlee dan Kathleena itu lahir. Tapi waktu terasa sangat cepat saat seseorang dirundung oleh bahagia yang tak bertepi. Nathaniel Keano Quist, bocah kecil nan jenius itu sudah masuk ke sekolah dasar. Ia masih meminta bersama dengan teman kembarnya sedari playgroup—Jayce dan Jasenna—di sekolah dasar yang sama. Ia tumbuh terlalu tampan, dan itu mengkhawatirkan bagi Lilia karena beberapa wali murid mulai menggoda agar sebaiknya Keano dijodohkan dengan anak-anak mereka sedari kecil. Tidak ... ia tidak siap! Meski dulu pernah menggoda William dengan mengatakan bahwa ia bisa berbesan dengan keluarga Heizt dalam pernikahan muda, tapi ia tak siap! Pagi ini, Lilia baru saja keluar dari kamar setelah selesai memandikan Karlee. Ia hendak menyusul Kathleena yang sudah lebih dulu mandi dan sekarang ada di ruang makan, bersiap menyantap sarapan pagi mereka sebelum Willi
Lilia tidak bisa mengatakan betapa bahagia ia saat melihat keluarganya disempurnakan oleh lahirnya Karlee dan Kathleena. Dua bayi mungil itu tengah tidur di dalam box bayi yang dilengkapi oleh kelambu. Mengantisipasi seandainya ada nyamuk yang lolos masuk ke dalam kamar dan menggigit mereka. Sudah beberapa hari yang lalu Lilia meninggalkan rumah sakit. Tak ada yang berubah dengan kehidupannya selain ia yang harus sering bangun malam untuk menyusui anak-anaknya. Itu saja ... selebihnya tidak ada yang berubah. William mengatakan ia bisa memakai baby sitter jika kewalahan. Tapi Lilia menolak, 'Bagaimana kalau nanti kamu menikahi baby sitternya Karlee dan Kathleena dan punya istri ke dua lagi? Aku tidak mau.' Sebenarnya itu adalah sindiran. Lilia mengatakan hal itu karena dulu dirinya juga baby sitter sebelum menjadi istri kedua William. 'Sayang ... pikiran macam apa itu?' balas William yang kala itu bisa dijumpai keputusasaan yang besar dari caranya bertanya. Matanya terpejam, jem
Saat tiba di Instalasi Gawat Darurat, Lilia berjalan dengan tenang di samping William. Tidak ada kepanikan yang terjadi di sana. Mereka tahu bayinya akan lahir, anak yang mereka tunggu-tunggu, si kembar sepasang nan menggemaskan adiknya Keano. Tadinya memang ada sedikit kepanikan saat William masuk sembari menggendong Keano ke dalam mobil. Tapi Lilia menenangkannya dengan mengatakan, 'Kalau kamu panik, kita semua akan panik, William. Tenanglah ... tidak akan terjadi sesuatu yang buruk. Hubungi saja Papa dan katakan untuk menemani Keano nanti.' Setelah itu William menarik napasnya. Di pangkuannya, Keano duduk diam, menatap Lilia dan tersenyum seolah agar ia tak merasakan sakit itu sendirian. 'Mama, ayo semangat ... kita akan bertemu dengan adik sebentar lagi.' 'Iya, Sayangku. Terima kasih.' Lihat ... saat tenang, semua akan terkendali. Lilia bersiap di dalam kamar rawatnya. Dokter Sarah mengatakan bahwa ia telah mengalami pembukaan yang ke lima, cukup cepat sejak pecah air ketuba
Rasanya ... waktu berjalan dengan sangat cepat. Dihitung oleh Lilia, si kembar akan launching dalam dua Minggu dari hari ini. Ia baru saja pulang yoga dengan diantar oleh Agni dan Ron, kali ini William tidak bisa ikut karena harus menyelesaikan pekerjaan yang berkaitan dengan audit. Keluar dari kamar mandi, tubuhnya terasa sangat segar. Di ruang ganti, ia dikejutkan oleh William yang ternyata sudah pulang. Bukan hanya itu saja, pria itu juga terlihat seperti sudah selesai mandi karena rambut hitam miliknya tampak setengah basah. Kaos berkerah yang dikenakannya pun bukan pakaian yang tadi ia pakai bekerja, jadi bisa disimpulkan prianya itu sudah datang sejak tadi dan mandi di kamar lain. Senyumnya merekah saat ia bangun dan menghampiri Lilia. "Kamu sudah pulang?" tanya Lilia yang disambut anggukan darinya. Pria itu menunduk, memberi kecupan di kening Lilia sebelum mengusap perutnya. "Sudah dari tadi, Sayang," jawabnya. "Wah ... apa aku yang kelamaan berendam? Kamu mandi di tempat
"Aish ... tidak tahu tempat," desis William sembari bersedekap. Karena tidak mungkin bagi mereka untuk tak pura-pura melihat sebab seruan Keano sudah menggema memenuhi setiap sudut parkiran, jadi William memutuskan untuk menghadapinya. Sedang Lilia yang mendengar itu menoleh pada William, dalam hati diam-diam bergumam, 'Kesal karena orang lain tidak tahu tempat padahal sendirinya pun begitu.' William mungkin lebih parah bagi Lilia, di manapun ada kesempatan ia pasti menggoda Lilia. Di ruang makan, di dalam kamar Keano, di ruang baca, di tempat yang sedikit memacu adrenalin—di dalam mobil saat mereka mengantar Keano. Kadang, William meminta Giff yang mengantar Keano masuk setelah parkir, sedangkan mereka berdua akan melakukan sesuatu yang lain di dalam mobil. Dan seperti paham dengan apa yang akan mereka lakukan, maka Giff akan menurut sembari mengancam, 'Awas ya kalau sampai viral ada mobil goyang di parkiran Taman kanak-kanak, aku tidak mau mengatasinya!' Ah ... bahkan mereka me
"Hm ... tidak malam ini juga," balas Lilia singkat yang percayalah itu membuat William dilanda kelegaan yang besar. Bukan karena ia tak suka Lilia meminta sesuatu darinya. Hanya saja ... ia telah dibuat habis akal lebih dulu mendengar permintaannya yang mendadak dan tidak ia antisipasi. Padahal Tuan Alaric, ayah mertuanya itu sudah pernah mengatakan bahwa nanti William harus siaga dengan permintaan dadakan istri yang hamil di tengah malam. Saat itu ia pun bingung dan bertanya kenapa memangnya? Karena saat ia menikah dengan Ivana dulu, tidak ada sesuatu yang mencolok. Tapi sekarang, William sudah mendapatkan jawabannya. Contoh nyatanya ada di depan mata. Ia mendorong napasnya, salah satu lengannya merangkul Lilia seraya mengecup pipinya. "Baiklah ... aku akan carikan restoran yang menyediakan menu itu nanti, tapi sekarang kamu tidur lagi, bagaimana?" Lilia mengangguk memberi persetujuan. "Iya." "Selain makan itu, sekarang kamu mau makan apa?" "Hanya itu saja yang aku pikirkan