Share

Chapter 6 Lingga, Sang Pria yang Hidup Sederhana

Tiga hari lalu aku bermimpi menjadi seorang detektif. Lantaran aku ketiduran setelah membaca novel detektif karangan Dwi Anggara. Sebuah novel yang menceritakan seorang tokoh detektif swasta lokal menuntaskan kasus kejahatan berunsur supranatural. Dan di dalam mimpi ini, aku sebagai tokoh utama, bisa melihat seakan korban yang dibunuh oleh ‘makhluk’ itu tepat di depan mataku. Belum sempat ingin melawan ‘makhluk’ itu, aku terbangun gara-gara alarm ponselku berdering nyaring. Aku hampir mengumpat kepada perakit alarm ponsel buruk ini. Tapi, tanpa ponsel hidupku juga bakal lebih merana, sisi baikku juga berterima kasih pada pembuat ponsel murahanku ini.

Mimpi indahku menjadi seorang detektif, bubar.

Kenapa aku menceritakan mimpiku tiga hari lalu? Ya, karena aku tidak lagi mendapatkan mimpi indahku itu lagi. Aku sudah berusaha membaca novel sebelum tidur dan tidak ada lagi mimpi menjadi seorang detektif. Mimpi memang aneh, sesekali muncul yang bagus tidak pernah muncul kembali. Sebenarnya, kalau kita bermimpi saat tidur artinya otak kita menandakan masih bekerja dengan baik. Kecuali di saat letih. Kau seakan layaknya orang mati. 

“Oi, Ngga, tolong, rak bagian susu ditambah lagi!” Perintah Doni. Si kasir yang tidak mau menggantikan aku seharian ini mondar-mandir dari gudang makanan.

“Oke,” jawabku tanpa mengeluh. Kuseret kakiku berjalan lagi masuk gudang mencari satu kotak kardus penuh berisi susu kotak.

Bekerja sebagai pegawai minimarket kenyataannya ada sedikit suka tapi lebih banyak duka. Yang kusukai bekerja di minimarket ini, dapat banyak teman. Bisa berbincang dengan bermacam konsumen yang cerewet ̶ tidak semua, hanya kebanyakan yang kutemui seringnya lebih cerewet. Hikmahnya, aku sebagai laki-laki jadi terbiasa sabar. Dukanya, yah, aku jadi kurang mencari pengalaman dunia luar.

Terus terang, aku sendiri mulai bosan bekerja sebagai pegawai. Kalau dihitung-hitung memasuki bulan ini sudah tiga tahun aku bekerja. Karena aku tidak tahu harus ke mana lagi demi memenuhi kehidupan sebagai anak rantau di ibu kota metropolitan. Aku memutuskan pergi dari rumah lantaran aku tidak punya orang tua. Bisa saja aku mencari pekerjaan di kota asalku, tapi sebagai laki-laki pada umumnya aku lebih suka mencari nafkah dan pengalaman banyak dari manapun.

Aku melirik arloji lawasku pemberian dari almarhum bapak. ‘Penuh kenangan’, kata beliau. Arloji ini diberikan ketika aku masuk kuliah semester pertama. Suatu hari, aku pulang bersama tukang ojek di daerahku. Di saat itu juga aku melihat kecelakaan. Korbannya adalah bapakku. Seketika beliau meninggal di tempat kejadian.

Betul, arloji ini banyak kenangan. Kenangan yang tidak perlu kuingat semestinya.

“Don, aku mau istirahat sebentar lagi,” pintaku setelah menata susu-susu kotak.

Lelaki di balik meja kasir itu mendongak. Tangannya tak lepas dari uang yang sedang bergerak menghitung. Mulutnya komat-kamit hanya menjawab menggunakan kepalanya seraya mengangguk. Doni ini seorang lulusan sekolah akuntasi, kalau sambil memejamkan mata otaknya sudah spontan menghitung uang seperti mesin.

Di kepalaku terbersit ingin mengganggunya. Selagi toko sedang tidak ada orang pada jam mendekati makan siang. Aku menghampirinya melongokkan kepalaku penasaran dengan kegiatan kawan kasirku ini. Pelan-pelan tangan kiriku bergerak meraih sikut tangan yang sibuk menghitung lembaran uang. SRAK!

Uang berhamburan. Aku berlari secepat kilat, sayangnya, sedikit terpeleset saking cerobohnya.

“LINGGA! Kau ini lupa umur, hah?” Teriak Doni mendengus kesal.

Dia marah tentu saja. Mengulang hitungan uang merupakan hal yang menyebalkan. Tapi, aku tidak peduli. Beginilah aku akibat saking bosannya. Pegawai lain sudah biasa meladeni keusilanku. Terkadang tak hanya jail. Aku pernah mengkhayalkan hal-hal aneh. Misalnya, minimarket ini mendadak diserang para berandal kriminal lalu menembaki kaca-kaca toko menggunakan senjata.

Atau bahkan di kala aku bergantian sif malam membayangkan tiba-tiba ada wanita bermulut sobek membeli pembalut. Yah, menurutku itu lucu. Setelah aku bercerita pada kawan-kawan sesama pegawai mereka hanya melirikku tak percaya. Malahan kepalaku ditimpuk kardus bekas.

Akhirnya, bisa istirahat di ruang belakang merupakan suatu kebebasan. Aku mengambil botol minumku dari tas punggung. Meneguknya hingga hampir setengah masih menahan tawa akibat ulahku sendiri. Setelah minum pun rasanya napasku masih tersengal-sengal. Sebuah kursi kosong menggodaku untuk segera duduk supaya diriku tenang.

Sudah waktunya makan siang. Bekal di dalam tas kuambil bersamaan dengan sebuah novel detektif terbitan terbaru. Novel karangan orang Indonesia yang misterius. Dwi S Anggara tertera di punggung buku dan sampul depannya. Selain novel luar negeri atau pengarang detektif lainnya, Dwi S Anggara adalah yang paling aku nikmati.

Aku suka baca semua novel detektif atau pembunuhan semacamnya. Ingin kucoba membaca berbagai genre namun entah mengapa aku malah belum menyukainya. Sebab, dari segi cerita rata-rata lebih seperti teka-teki untuk novel detektif. Penulis meminta kita berpikir dan menebak jalan ceritanya. Dan aku menyukainya. Untuk novel karangan Dwi Anggara ini hampir mirip cerita Sherlock Holmes dipadukan supranatural dengan mengambil lokasi latar belakang di Indonesia.

Itulah kenapa aku suka berkhayal yang tidak bisa diterima banyak orang. Doni juga sempat menyuruhku lebih baik khayalanku ini diceritakan kepada khalayak umum. Bagi mereka yang menyukai cerita-cerita di luar nalar pasti bakal membacanya. Menurutku ide Doni menarik dan aku sudah mencobanya. Sayangnya, baru dapat setengah halaman aku menyerah. Begitu mengusir kebosanan, kuambil segera novel karangan Dwi Anggara. Biarkan otakku saja yang bereksplorasi.

Novel-novel Dwi Anggara sudah aku kumpulkan dari awal pertama kali terbit dua tahun lalu hingga yang terbaru di tahun ini. Dia begitu dikagumi hingga media-media banyak membicarakan pengarang misterius ini. Tidak ada yang tahu di mana dia tinggal, media sosial bahkan tidak ada. Kecuali para penggemarnya yang seakan mereka pemilik akun Dwi Anggara. Bagaikan dikendalikan oleh seseorang, dia harus disembunyikan lalu penerbit itu menggunakan uangnya.

Seseorang mendadak menepuk pundakku. Aku mendongak menatap mata seorang gadis. “Sudah selesai makan, Ngga?” tanya Cintya. Dia harus menggantikan Doni untuk sif kasir.

Aku masih termenung mengumpulkan kesadaran. Bayangan cerita dari novel Dwi Anggara belum bisa mengembalikanku kembali pada realita.

“Eh, belum. Baru saja mau makan siang,” jawabku.

“Kau ini, saking seriusnya baca sampai kelupaan makan.”

Wajahku memerah karena malu. Ibarat bocah yang ketahuan makan tidak dihabiskan.

Cintya mengamati bekal makan siangku seperti tergoda, “Lauk apa hari ini? Bekalmu selalu menarik setiap hari.” 

“Mau minta?”

Cintya menggeleng.

“Aku sudah makan tadi.”

Buku novel kutaruh di samping bekal lalu aku melanjutkan makan. Masih menatapku selagi makan siang, tiba-tiba Cintya berceletuk, “Kau bisa jadi istri yang berbakat.”

Sontak aku tersedak keras. Cintya ikut terkejut dengan reaksiku. Dia segera mengambil botol air minumku dan habis sudah air minumku.

Tak kusangka dia lebih parah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status