Share

Chapter 8 Who's that handsome guy?

Aku memang laki-laki tulen. Memuji seorang pria tampan bukankah itu normal? Semua orang pasti setuju denganku setelah melihat laki-laki Kaukasia ini memang tampan. Melihat sesuatu yang indah sampai terkesima sudah bagian respon otak untuk bekerja memahami keindahan itu sendiri. Sial, aku malah jadi minder. Aku tidak tampan, tapi ibuku dulu bilang aku ini anak paling tampan.

“Y-yes, Sir!” Ah, kenapa aku malah jadi gugup. Kenapa ada bule di tempat seperti ini? Dan kenapa aku memanggilnya, Sir?

“Then, come in,” orang itu tersenyum ramah. Terlintas aku memikirkan, apa pekerjaan bule ini di penerbitan sampai-sampai bisa mendapatkan kendaraan sport keren seperti itu. Dia mendahuluiku dan parfumnya seketika meninggalkan jejaknya. Ternyata orang tampan memiliki bau parfum yang berbeda, pasti merek parfum mahal.  Ataukah itu feromonnya? Oh, gawat.

Kami berdua masuk ke ruang tamu. Aku terangkan, kantor penerbit ini jelas lebih seperti rumah. Perabotannya hampir sama, bedanya ada meja dan kursi furnitur kantor supaya terkesan sebuah kantor rumahan. Tidak terlalu sempit untuk kapasitas tiga atau lima orang, menurutku, jika lebih mungkin bakal sesak. Tiba-tiba sosok perempuan sedikit tambun muncul dari balik tembok pembatas ruang.

Oh, welcome. Who are you bringing with?” Perempuan itu menghampiri kami penasaran. Tapi dia melirikku hati-hati. ‘Bringing’? Apa aku ini semacam benda? Apa yang harus kukatakan pertama kali?

“Looks like we have a guest. I just met him outside,” jawab si bule sembari menoleh padaku mengedipkan sebelah matanya. Dia mengedipkan mata, kenapa aku merasa geli. Sepintas kedua bola matanya begitu hijau dan… jernih. Orang tuanya makan apa sampai begitu sempurnanya anak mereka ini. Bule itu kemudian masuk di balik ruangan.

Perempuan tambun itu menyilakan aku duduk. Dia begitu sopan menungguku untuk duduk terlebih dulu baru dia mengikuti. “Maaf, kalau boleh tahu, mau bertemu siapa di sini?”

“Oh, saya ingin melamar menjadi asisten penulis di penerbit ini. Apa betul ini penerbit Medium Media?” tanyaku basa-basi. Jujur saja, aku meragukan tempat ini. Bahkan seingatku Medium Media terkenal dengan toko bukunya yang estetik. Tapi kenapa kantor ini-

“Betul sekali. Pasti bingung, ya, kenapa kantor ini di luar ekspetasimu dari pada toko bukunya?” Perempuan itu seperti bisa membaca pikiranku. Mungkin, dia memang bisa membaca raut wajahku. Aku membalas sedikit tertawa sambil manggut-manggut. Aku akui, perempuan ini sangat ramah dengan cara bicaranya terhadap orang asing.

“Kantor ini khusus untuk para penulis yang menerbitkan karya mereka di penerbit ini. Bukan semacam tahanan, ya, kantor ini memang dibuat untuk para penulis yang sedang jenuh di rumah mereka. Lihat saja di depan banyak hijau-hijau, kan? Ya, ternyata cukup banyak penulis tertarik di tempat ini,” terang perempuan itu.

“Ya ampun sampai lupa perkenalan diri. Namaku Bella. Anggap saja kita sudah kenal lama, jadi nggak perlu sungkan yang penting sopan.” Bella tersenyum lebar seperti hari-harinya tidak pernah ada beban.

“Nama saya Lingga. Terima kasih sudah menerima saya. Saya kira kantor pusatnya sudah pindah di sini.”

Bella menggeleng. Rambutnya yang dia kuncir nampak kemilau dan rapi seperti habis perawatan. “Kantor pusat masih di wilayah Barat. Jadi, di sini kamu bakal menjadi calon asisten seorang penulis. Kamu yakin bisa?”

“Ya, saya harap bisa diterima. Maaf, kalau boleh tahu, penulis siapa yang membutuhkan asisten?”

“Aku mau mewawancarai kamu dulu, kalau berhasil, baru kuberitahu. Jika gagal kamu tidak boleh tahu siapa sosok penulis ini. Oke?”

Aku tercenung. Kenapa penulis ini begitu merahasiakan dirinya. Namun, aku memaklumi itu, akhirnya aku mengangguk.

Beberapa pertanyaan mulai dilontarkan dengan mudah kujawab semua tanpa kendala. Aku begitu gugup meskipun hanya kita berdua di ruang tamu ini. Kalian pikir, aku pasti bakal dibawa ke dalam ruangan untuk wawancara. Bella tidak suka itu, dia orangnya tidak suka mengintimidasi. Sebisa mungkin, tidak ada rasa canggung. Aku berhasil menjawab beberapa pertanyaan, tapi ada satu yang aku sendiri tidak bisa berbohong.

“Apa kamu rajin menulis?”

“Saya rasa begitu.”

“Berapa halaman dan berapa lama waktu pengerjaan?”

Sial, kalian tahu, kan, semalam aku tidak dapat menyelesaikannya. Apalagi naskah sudah terlantar selama satu bulan lebih sedikit. Sayang sekali, ini sudah mentok dan aku tidak bisa berbohong. Sebelumnya Bella menjelaskan, wawancara ini begitu terkait dengan sang penulis. Aku harus bisa membantu pekerjaannya jika ia sudah kewalahan dalam menulis. Kalau tidak bisa mengikuti di bawah jadwal ketat sang penulis, ia tidak segan-segan memecatku.

Dari hasil wawancara bersama Bella, dia mengatakan aku tidak diterima sebagai asisten penulis misterius ini.

Bella menggeleng sedih. Dia mengatakan aku begitu cakap dalam berkomunikasi. Bahkan pikiranku mengatakan aku bisa saja berbohong sanggup mengikuti jadwal ketatnya sang penulis. Aku tidak bisa memaksa diriku ketimbang aku mengalami tekanan mental.

Alhasil, aku berpamitan dan tak lupa mengucapkan terima kasih sudah diterima baik di kantor ini. Omong-omong pria bule tadi sama sekali tidak memperlihatkan batang hidungnya lagi. Aku ingin berpamitan dengannya.

Aku melangkahkan kakiku meninggalkan kantor. Lantas sayup-sayup aku mendengar suara dari pria bule itu. Kakiku berhenti sejenak ingin menguping. Walaupun si bule bicara bahasa Inggris, aku bisa memahaminya. Tapi tak kusangka, setelah menguping sebentar bule itu ternyata lancar menggunakan bahasa lokal. Sekilas aku mendengar Bella memujiku dari wawancara barusan. Senang rasanya seseorang mengetahui potensiku selain sebagai pegawai minimarket.

Ya sudahlah, kalau memang ini bukan jalanku untuk pindah profesi. Aku berhenti menguping berpaling dari pembicaraan dua orang di dalam. Tiba-tiba, seseorang memanggilku saat aku tiba di motorku.

Pria bule itu berlari kecil menghampiriku. Lagian dia tak perlu berlari karena aku bahkan belum bersiap menaikkan kakiku ke sepeda motor.

“Lingga, do you want to be a writer's assistant?”

Aku mengedikkan bahu, “Well, at first, but I weren't accepted.”

“Can you cook?”

Seketika kedua mataku melebar. Apa-apaan? Pertanyaan macam apa itu? Dan apa hubungannya orang ini dengan ini semua. Kalau memang pegawai kantor penerbit kenapa dia tidak muncul sedari awal dan bisa saja dia turut mewawancaraiku. Tapi, aku menjawab dengan anggukan. Sudah berapa kali seharian ini aku manggut-manggut.

“Ah, bagus! Kamu kuterima sebagai asistenku. Selamat, Lingga.”

Orang ini menjulurkan tangannya mengajak bersalaman. Senyumnya melebar senang. Sepintas wajahnya bersinar dan merona merah saking (mungkin) panasnya matahari.

“Tunggu. Apakah Anda salah satu pegawai dari kantor ini? Kenapa pertanyaannya seperti itu? Bahkan Kak Bella saja tidak ada memberikan pertanyaan tentang memasak?” bantahku tak percaya.

“Aku seorang penulis dan aku mau kamu menjadi asistenku.”

Lengang sejenak.

“Dari balik ruangan kudengar kamu begitu menyukai novelis bernama Dwi Anggara. Well, salam kenal.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status