Share

Chapter 7 Menertawakan Diri Sendiri

Cintya begitu panik. “Maaf, Lingga. Aku cuma bercanda. Bukan maksudku kamu benar-benar menyandang nama ‘istri’. Tapi-” Dia berhenti bicara takut keadaanku bakal semakin kacau.

Aku masih tersedak tapi anehnya malah sambil tertawa. Wajah Cintya menatapku cemas akibat kesalahannya yang asal celetuk.

“Iya, aku tahu kamu cuma bercanda. Memang laki-laki nggak boleh, ya, masak masakan yang enak?” balasku. Cintya menawarkan tisu kering untuk membersihkan kekacauan makan siangku.

Cintya menggeleng. Sejenak ragu dari jawaban bahasa tubuhnya.

“Boleh, dong! Justru itu nilai tambah sebagai kriteria seorang laki-laki,” timpal Cintya. Dia memang gadis yang menarik. Termasuk dia yang paling bisa mengimbangiku dengan khayalan anehku.

Aku cuma mengangguk setuju. Masih melanjutkan membereskan makan siangku yang berantakan. Lalu aku beringsut untuk mengisi ulang botol minumku. Akan tetapi, Cintya malah merebut botolku dan berlari menuju galon air minum, mungkin sebagai rasa penyesalannya. Wajahnya memerah tidak berani menatapku sembari mengembalikan botol yang telah terisi air penuh.

“Terima kasih, Cintya. Tenang saja, aku nggak sakit hati kok.” Aku berusaha menenangkannya.

Gadis berponi rapi ini berdiri canggung tidak tahu harus membalas bagaimana. Lantas dia menampilkan senyum malu-malu dan entah kenapa tiba-tiba jantungku berdebar saat memperhatikan rona wajahnya. Tampangnya seperti anak remaja, padahal jarak umur kami hanya dua tahun. Atau karena dia memiliki badan mungil, aku tak tahu. Aku tidak berani bertanya jika berkaitan bentuk tubuh terhadap perempuan kebanyakan.

Jadwal sif hari ini telah usai. Selesai berganti pakaian dari seragam toko yang berwarna tidak nyaman dipandang, aku bersiap untuk pulang. Setelah dari ruang ganti, aku menuju pintu keluar mendapati Cintya masih melayani proses pembayaran beberapa konsumen di meja kasir.  Aku pamit lalu memberikannya semangat sambil mengepalkan tanganku. Ia membalas tersenyum. Pulang di sore hari yang masih cukup cerah tidak membuatku semakin bergairah. Hari ini rasanya lelah sekali.

Pada pukul tujuh aku baru niat membersihkan seluruh tubuhku di malam hari. Sejenak mencuci rambutku terpikirkan kembali naskah cerita detektifku yang terbengkalai satu bulan. Sepertinya aku harus segera menyelesaikannya supaya pembaca bisa membaca khayalanku melalui tulisan. Alih-alih mengetik naskah, aku malah membuka salah satu media sosial dan menggulir-gulir layar ponsel. Jempolku tak diduga berhenti bergerak di salah satu akun penerbit membawa rasa penasaranku.

“Membutuhkan seorang asisten untuk penulis, diutamakan laki-laki.” Aku mengerutkan dahi. Apakah pekerjaan asisten begitu beratnya harus diutamakan laki-laki, “Maksimal berumur 30 tahun.” Baiklah, sepertinya aku bisa mencoba berganti profesi menjadi asisten mereka kalau memang jodoh. Lagi pula sudah seharusnya aku keluar dari zona nyaman demi mendapatkan pengalaman lebih banyak. “Diharapkan untuk datang ke kantor penerbit.” Kantor itu mencantumkan alamatnya kuputuskan besok pagi untuk pergi ke tempat itu. Aku masuk siang jadi kurasa tak masalah.

Setelah mengetahui ada lowongan asisten penulis, aku kembali bersemangat ke layar laptop untuk melanjutkan naskahku. Sebelum mulai, aku celingukan mencari sebungkus rokokku. Sebenarnya aku bukan perokok berat. Cuma semata-mata untuk mengalihkan rasa penatku hari ini. Semoga saja jika bisa menyelesaikan naskah ini, aku mendapatkan mimpi menjadi seorang detektif kembali. Memang kekanakan, tapi itulah impianku dari dulu. Tapi kenyataan tidak mendukungku untuk mendapatkannya.

Rokok baru habis setengah. Lantaran lidahku terasa pahit tandanya aku disuruh untuk berhenti. Tapi rasa lelah masih melandaku. Demi kesehatan mental aku lebih memilih tidur. Dan untuk naskahku, yah, hanya bertambah lima puluh kata. Aku kembali mengambil buku novel Dwi Anggara, melanjutkan halaman dari kejadian makan siang. Sayangnya, anggota tubuhku tidak membiarkanku melanjutkan kegiatan. Aku menarik napas dalam-dalam agar lebih tenang. Pada akhirnya, mataku terlelap dan diselimuti malam yang cukup gerah.

Pagi harinya aku bangun lebih awal dari bunyi lengking alarm ponsel murahanku. Kali ini tidak bermimpi apapun, lantaran aku tidur seperti orang mati. Aku memulai hariku dengan semangat. Keinginanku untuk ganti profesi kurasa ini adalah jawaban terbaik dari Sang Maha Pencipta langit dan seisinya. Aku harap ini memang jalanku. Tapi, hei, tidak ada salahnya, bukan, untuk mencoba sesuatu yang baru.

Kuseduh kopi hitamku. Memang pahit, namun tidak lagi terasa di lidahku. Berhubung hari ini aku mencoba melamar pekerjaan baru adalah hal paling membangkitkan gairahku. Sekarang pukul enam lebih dan cahaya matahari pagi mulai memamerkan binarnya. Bulan ini sudah memasuki musim penghujan seharusnya. Anehnya, beberapa hari hujan belum ingin menjatuhkan dirinya. Apapun itu patut disyukuri masih diberi kehidupan yang tenang, meskipun tidak memiliki banyak uang. Aku menertawai diriku yang sok bijak.

Selesai mempersiapkan segala yang kubutuhkan untuk wawancara di kantor penerbit, aku menyampirkan handuk kumal lalu menuju kamar mandi. Sesaat aku kembali meraih ponselku memastikan apa saja persayaratan lowongan asisten penulis.

“Sepertinya persyaratannya nggak aneh-aneh. Tapi setidaknya aku sudah mempersiapkan dokumen kalau dibutuhkan.”

Lalu aku menaikkan sebelah alis. “Kok aneh, ya, kantor penerbit malah meminta kita datang ke kantor. Biasanya kita diminta mengirimkan surel untuk pengiriman dokumen yang dibutuhkan.” Aku menggulir-gulir layar sambil mengedikkan bahu tak ambil pusing. “Pasti ini permintaan dari si penulis,” pikirku kembali.

Selesai bersiap mengenakan pakaian terbaik, aku menatap diriku ke cermin persegi tergantung di belakang pintu. Umurku yang dua tahun lagi menuju kepala tiga tidak terlalu buruk untuk wajahku. Kurapikan rambutku yang sedikit ikal ke belakang agar tidak berantakan. Aku mendengus puas bersiap mengharapkan hal baik. Aku keluar dari kos sempitku menuju sepeda motor yang sudah menunggu pemiliknya.

Perjalananku ternyata menghabiskan waktu sekitar dua puluh menit. Mengingat kota metropolitan ini mulai ramai pada pukul delapan bersamaan keberangkatan para pekerja. Beruntung aku mengendarai sepeda motor. Sejujurnya, aku lebih memilih kendaraan beroda dua ini dikarenakan lebih praktis di kota besar yang terlalu padat transportasi. Kekurangannya, tentu saja penampilanku jadi berantakan. Tidak terlalu, tapi rasanya parfum murahku hilang seketika tertinggal di jalan raya dan sudah tercampur asap angkutan umum.

Begitu sampai di lokasi, aku memakirkan motorku pada halaman parkir yang sudah disediakan. Saat menuju kantornya, aku keheranan dengan kantor penerbit yang berwujud rumah ini. Tidak jauh di belakangku, tiba-tiba tampak seseorang mengendarai kendaraan roda dua yang lebih mahal dari milikku. Terlihat motor sport itu yang jika kuamati merek dagangnya dari rakitan Jepang, terutama performa suaranya. Aku memperhatikan orang itu yang tengah melepaskan perabotannya seperti layaknya pembalap setelah memakirkan.

Sontak jantungku berdegup cepat saat mata kita bertemu. Aku seperti melihat patung bernyawa. Patung itu, maksudku, manusia itu turun dari motor besarnya dan berjalan menghampiri kemudian dia menyapa.

 “Hello, do you want to come in?”

Mulutku terbuka saking terkesimanya. Orang ini tampan sekali.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status