Share

Chapter 10 Segalanya Serba Mendadak

Dwi memerintahku untuk masuk elevator. Dari bahasa tubuhnya, dia mulai geregetan lantaran aku tidak menuruti apa yang dia perintahkan. Aku tidak bisa diperdaya seperti itu. Setidaknya, jelaskan dulu mengapa dia tiba-tiba memberiku sebuah kartu, yang menurutku adalah kunci apartemen mewah ini. Aku mengangkat tanganku menunjukkan benda itu, “Kartu apa ini?”

Laki-laki bule itu memandangku tak percaya, “Kamu benar-benar tidak tahu benda itu?” Aku menggeleng kesal. Aku pura-pura berlagak bodoh supaya dia mau berbicara.

“Itu kunci kamar apartemen. Mulai sekarang kamu harus tinggal di sini. Tentu saja kamu punya kamar sendiri,” Dwi menjelaskan. Tak lama, pintu elevator kembali menutup otomatis.

Mataku membelalak, “Yang benar saja?” seruku. Salah seorang dari balik meja penyambut tamu menatapku kaget. Seberapa kaya orang ini sampai-sampai bisa menyewa dua kamar apartemen mewah. Tapi, kalau dipikir kembali, novel-novelnya memang sudah sampai diproduksi ke layar lebar. Maka dari itu, karya buatan Dwi Anggara ini tidak main-main. Dwi menekan tombol elevator kembali, tapi pintunya tak segera terbuka karena masih berjalan.

“Kita bicarakan nanti kalau sudah di atas.” Dwi celingukan seperti tidak ingin identitasnya diketahui siapapun. Aku masih tak percaya dengannya, tapi aku berusaha meredakan keragu-raguanku. Pada akhirnya, aku mematuhi perintahnya.

Pintu elevator terbuka mengeluarkan suara berdenting. Kami berdua masuk ke dalam dan menyebalkannya, hanya kami berdua di sini. Apartemen ini begitu mewah, namun aku bertanya-tanya mengapa demikian lengang. Kami berdua masih terdiam.

Tiba-tiba, hidungku mencium bau semerbak. Bukan, ini bukan bau pengharum ruangan. Bau ini muncul dari tubuh Dwi yang berdiri di hadapanku. Astaga, feromon itu lagi. Aku malah jadi mual. Kututup indra penciumanku mengurangi semua yang bercampur aduk. Antara ketegangan dan kecanggungan membuatku semakin gusar. Elevator masih berjalan menampilkan angka-angka digital yang telah melewati banyak lantai.

Aku memandang kartu–aku belum terbiasa menyebutnya kunci ̶ menampilkan desain tipografi nama apartemen ini. Sangat elegan, bahkan tidak sampai terpikirkan aku bisa memegang benda ini. Terlebih aku harus tinggal di sini demi mengurus hidup sang penulis pujaan. Yah, setidaknya aku bisa dapat pengalaman dan ilmu darinya, tidak lupa aku akan melanjutkan naskahku yang terbengkalai.

“Why are you sudden smiling?” Dwi memecah lamunanku. Aku mengumpat pada diriku yang tak sadar tersenyum akibat pikiranku.  

“Nothing.” Timpalku sambil menggeleng. Orang ini bisa melihatku mendadak tersenyum ternyata tak kusadari tanganku terlepas dari hidung demi menghindari bau feromonnya. Aku pura-pura berdeham menahan malu.

Dwi memecah keheningan di antara kami berdua, “Kamu mau aku bicara pakai Bahasa Ibuku atau Ayahku?”

Aku bingung. Mana aku tahu kalau Dwi blasteran. Rambutnya yang agak gelap dipadukan matanya hijau berkilat lebih mirip orang Kaukasia dari pada blasteran yang seperti kukira. Aku sangka, dia bisa berlogat lokal karena memang sudah lama tinggal di Tanah Air tercintaku ini. “Anda orang blasteran?” tanyaku.

“Apa itu?”

“Uh, memiliki darah campuran.”

“Oh, mixed-race, maksudmu?”

Aku mengangguk. Ya, itulah pokoknya.

“Iya. Ibuku asli orang Indonesia, sedangkan Ayahku Scottish. Maaf, ya, mungkin masih ada kata-kata yang tidak begitu kupahami. Seperti ‘blasteran’ tadi,” papar Dwi. Kepalaku mengangguk paham.

“Senyaman Anda. Boleh bahasa lokal atau Inggris, tidak masalah. Saya bisa mengerti,” balasku. Seorang asisten perlu bersikap profesional. Sudah selayaknya menguasai beberapa bahasa merupakan nilai tambah. Meskipun, aku berasal dari keluarga biasa saja, bahasa asing itu penting untuk dikuasai. Kalian tahu, globalisasi modern. Mau tak mau kita harus mengikuti jaman yang semakin cepat maju dan berkembang.

“Itu yang kusuka darimu. Aku juga mendengar dari wawancaramu, kamu terdengar paling cakap dari para calon lainnya. Entahlah, mereka kurang sesuai. You know what I mean?” Dwi mengedikkan bahunya. Aku berkedip dan sekali lagi manggut-manggut.

“Terima kasih. Semoga saya tidak mengecewakan Anda.” Aku mengulurkan tangan mengajaknya bersalaman. Dwi meraihnya. Genggamannya sangat kuat. Dibandingkan tanganku, warna kulitnya pun begitu pucat. Atau mungkin karena kulitku yang terlalu sawo matang. Baru kusadari, sejak pertama kita bertemu sama sekali belum bersalaman.

Bunyi elevator berdenting kembali menandakan lantai yang kami tuju telah sampai. Lantai terdiri lima puluh lantai setelah aku sekilas memperhatikan tombol-tombol di elevator. Sedangkan tempat tinggal Dwi berada di lantai tiga puluh. Dwi keluar, kemudian aku menyusul langkahnya yang panjang. Jujur saja, aku tak berani menengok jendela di sudut lorong apartemen. Baru membayangkan, mendadak kepalaku pusing.

Kami berdua telah sampai di depan salah satu pintu. Benar-benar aku tidak mengerti rasanya tinggal di tempat setinggi ini. Aku sangat terpukau lantaran aku bukan orang asli yang tinggal di area semacam ini. Bahkan kosanku yang sempit bukan apa-apa. Aku lebih memikirkan perutku dari pada tempat tinggal mewah. Dwi menoleh menatapku sambil menunjukkan jarinya ke lorong yang berlawanan.

“Kamu kamarnya di seberang sana. Tadinya, aku ingin kamu tinggal di sebelahku.” Dia diam sejenak, lalu berbisik, “Tapi sudah kedahuluan bapak-bapak tua.” Dwi tersenyum simpul menunjukkan tidak enak hati telah menawarkan sebuah kamar apartemen yang tidak berdekatan dengannya. Justru aku bersyukur bisa lebih jauh darinya.

“Oh, oke. Tidak masalah.” Aku mengembalikan langkahku menuju lorong yang dimaksud. Dwi tiba-tiba memanggil menyuruhku untuk menunggunya. Dia membuka pintu seketika melemparkan tasnya ke dalam. Aku menebak tas itu berisi laptop mahal dan barang berat lainnya. Menimbulkan suara berdebum.

“Ayo, kuberi arahan. Kamu belum pernah tinggal di tempat semacam ini, kan?” Dwi menyambar kunci yang kupegang. Kuikuti langkahnya dan kami kembali menyeberangi lorong jalan dari elevator tadi. Tidak jauh, Dwi berhenti di depan pintu nomor 3004. Dia mengajariku cara membuka pintu dengan menempelkan kartu pada semacam alat pemindai di gagangnya.

“Wow.” Aku berdecak kagum. Dwi menyeringai mengejekku. Wajahnya jadi menyebalkan.

Dwi menyilakanku masuk sambil menahan pintu dengan penahan magnet di bawahnya. Aku terpana sambil menengokkan kepalaku ke sana kemari.

“Kamu sudah jadi resign dari pekerjaanmu sebelumnya, kan?” Dwi menyilangkan tangannya bersandar di dinding pintu. Aku menoleh cepat.

“Iya. Saya sudah siap mulai bekerja.”

Dwi menepuk tangannya sekali. “Bagus! Setelah ini bawa barang-barang keperluanmu dan pindahlah kemari. Kamu tidak perlu bayar sewa apartemen ini.”

“Baik. Kalau begitu permisi, saya mau kembali ke kosan dulu. Terima kasih banyak atas perhatiannya, Dwi.”

“Hei, panggil saja aku Gavin mulai sekarang.”

“Eh? Ma-maaf? Bukankah nama Anda, Dwi Anggara?” celetukku.

“Dwi Anggara nama samaranku. Nama asliku Gavin. Di bukuku tercantum Dwi S Anggara, S-nya adalah Sano. Aku mencuil dari nama asliku Gavin Wells Tasano.”

Aku bingung.

“Besok sore kita berangkat ke luar kota untuk riset novel terbaruku. Jadi, bersiaplah.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status