Share

Chapter 5 Sang Mempelai Wanita

Tidak hanya aku dan Gavin yang gelisah karena sang pengantin wanita tidak lekas nampak kehadirannya. Para tamu undangan saling berbisik bertanya-tanya pada situasi ini. Waktu sudah menunjukkan belasan menit berlalu saat aku melirik arlojiku.

“Ke mana Dani?” tanya Gavin sama seperti yang aku pikirkan. Tak ada yang tahu calon pengantin wanita itu mengapa tak memperlihatkan diri.

Ketika masih dilanda kegelisahan, aku teringat oleh gumaman Ardani yang terdengar seperti dia ingin melarikan diri. Apakah ini yang dia maksud? Namun, aku tak ingin membicarakan pertemuan kami kemarin pada Gavin. Malahan akan membuat Gavin semakin panik jika aku membahasnya. Sementara aku memikirkan keadaan, tanganku disentuh Gavin. Dia menatapku seakan memohon sesuatu.

“Temani aku ke ruang rias pengantin,” ajaknya sambil memelankan suara.

Mataku memerhatikan sekitar memandang para tamu. “Ada apa? Aku tak tahu di mana ruangannya, Gavin,” balasku.

“Akan kutanyakan pada Bella. Kulihat dia turun dari elevator sebelum masuk aula. Kemungkinan dia tahu di mana ruang rias pengantin Dani.”

Kenapa Bella tidak menyapa kami berdua? Sebagai editor Gavin, sudah seharusnya dia menyempatkan itu. Aku celingukan mencari keberadaan Bella, sedangkan Gavin mengajakku keluar dengan menarik ujung jasku sambil menghubungi seseorang. Saat kami terburu-buru melalui pintu keluar aula, para juru kamera segera menyoroti kami dari balik pintu kaca lobi hotel. Kupercepat langkah mengejar Gavin yang menuju elevator.

Bahkan, saat kami tiba sebelum masuk ke lobi, para juru kamera serentak menyorot Gavin karena sosoknya begitu gagah dan tampan ̶ mereka tidak tahu kalau di depan mereka adalah penulis misterius yang media incar selama ini. Kebetulan calon suami Ardani merupakan seorang konglomerat, sudah pasti banyak kamera dan media yang datang. Beruntung tidak ada yang mengenali Gavin. Sesampainya di depan elevator, Gavin menghentikan langkahnya. Dia mengatakan Bella bakal mengantar kita ke ruang rias pengantin. Tidak lama, aku mendengar suara sepatu tumit bergemeletuk di atas lantai keramik. Bella menghampiri kami berlari kecil.

“Halo, Dwi. Halo, Lingga. Bagaimana kabar kalian?” sapa Bella tersengal-sengal berusaha tersenyum. Aku membalas senyumannya.

“Nanti saja kau menyapa kami. Antar kami berdua ke ruangan Dani sekarang!” timpal Gavin. Bella segera menekan tombol elevator, kemudian langsung terbuka. Kami bertiga masuk bersamaan karena ruang elevator hotel ini luas. Bella menekan tombol angka dua. Gavin dan aku saling menatapi Bella yang berdiri membelakangi. Dia menunduk seakan telah melakukan kesalahan.

“Apa yang sedang terjadi?” tanya Gavin.

Bella hanya menggeleng. “Bahkan aku sendiri tidak tahu, Dwi. Terakhir aku menemuinya, Dani sudah siap menuju acaranya. Dani sempat memelukku karena aku datang pada waktu yang tepat,” balas Bella berusaha menahan kecemasan. Aku masih diam berupaya tidak membuka mulut.

Elevator berdenting menandakan kami telah sampai di lantai tujuan kami. Langkah kami begitu cepat namun tidak menimbulkan suara di atas karpet lantai. Aku berharap dalam hati semoga Ardani tidak tertimpa suatu bahaya. Mengingat ucapannya mengatakan dia ingin lari. Namun, melarikan diri dari apa dan siapa? Mimik wajahnya memang terlihat seperti dia tidak ingin menerima apa yang ada di hadapannya.

Kami bertiga kemudian berhenti di depan sebuah pintu kamar. Dia mengetuknya. Tak ada jawaban. Bella kembali menekan bel pintu kamar. Hening.

“Bagaimana kalau aku minta kunci cadangan dari resepsionis?” sela Gavin.

Bella mulai panik. “Ya, tolong, Dwi.” Gavin segera berlari menuju elevator. Ketika aku ingin mengikuti, Gavin menghentikanku supaya tak perlu ikut. Aku diperintahkan untuk menjaga Bella berjaga-jaga. Aku pun mengangguk cepat. Saking paniknya, kedua tangan Bella gemetar tak bisa mengimbangi ponselnya. Aku meraihnya dan merasakan tangannya sangat dingin dan basah. Bella begitu ketakutan.

“Tenangkan dirimu, Bella. Aku yakin tidak ada apa-apa dengan Ardani. Mungkin dia hanya terkunci.”

“Kalau begitu kenapa dia tidak berteriak minta tolong jika terkunci di dalam?” bentak Bella. Sontak aku terkejut dengan nada bicaranya. Tidak pernah Bella sepanik ini. Kugenggam kedua tangannya yang masih gemetaran, berusaha menenangkan.

“Dia tidak pernah seperti ini, Lingga.” Wajah Bella memerah, air matanya mulai jatuh. Seperti aku merasakan, bahwa Bella juga tahu apa yang disembunyikan sahabatnya itu.

Selang beberapa menit, Gavin kembali membawa sebuah kartu untuk membuka pintu kamar hotel. Pintu terbuka, Gavin berhambur masuk memanggil-manggil Ardani. Bella melepaskan pelukannya dariku mengikuti Gavin mengharapkan kabar baik. Anehnya, tidak ada sosok Ardani di manapun dalam kamar.

“Ardani!” teriak Gavin. Kami bertiga hanya melihat perlengkapan kosmetik dan pakaian ganti yang kemungkinan milik Ardani. Tidak ada seorang pun di sini. Tiba-tiba seseorang muncul dari depan pintu. Sosok wanita yang kami harapkan dia adalah orang yang kami cari.

“Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya wanita itu.

Gavin menyahut, “Apakah Anda sang perias pengantin wanita di kamar ini?”

Wanita itu mengangguk. “Ya, saya habis mendandani si pengantin.”

“Apa Anda ikut acara prosesi pernikahan?” sela Gavin. Tapi, wanita itu menggeleng. “Saya baru dapat telepon dan berniat menyusul begitu pengantin selesai setelah acara. Sebelum itu, saya ke sini lagi untuk beres-beres, dan malah bertemu dengan Anda di sini. Bagaimana bisa masuk ke sini tanpa ijin saya?” protes wanita perias itu.

“Anda juga tidak tahu bahwa sang pengantin wanita hilang? Dia tidak ada di kamar ini bahkan tidak muncul di pernikahannya,” terang Gavin.

Wanita itu terhenyak. “B-Bagaimana bisa?” Tak ada yang dapat menjawab.

Hanya aku sendiri atau apakah ada yang merasakan, bahwa wanita ini seperti ada sesuatu. Kenapa dia pergi menerima telepon, sedangkan Ardani harus bersiap turun ke aula sendiri. Seingatku, sebagai tugas perias bukankah dia harus selalu bersama sang pengantin hingga prosesi pernikahan selesai. Meskipun harus menerima telepon, setidaknya bisa diatur oleh bawahannya atau kalau bisa dimatikan ponselnya. Kemudian aku teringat apakah ada orang lain di sini.

“Bella, selama kamu menemani Ardani, apakah banyak orang di sini?”

“Tidak terlalu ramai, tapi memang ada orang tuanya. Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?”

Aku menggeleng. “Hanya penasaran saja.”

Gavin kemudian menambahkan. “Tapi, aku melihat orangtua Dani sudah menunggu di aula.”

“Ya, aku datang, tidak lama orangtua Ardani disuruh turun ke bawah oleh perias itu.” Bella menunjuk sang perias.

Wanita perias itu membelalak terkejut. “I-iya itu sudah peraturan dari calon pengantin pria bahwa orangtua mereka sudah harus bersiap di aula. Tidak dianjurkan, pengantin wanita ditemani ayahnya masuk ke altar.”

Ada yang mencurigakan di sini, aku membatin.

Sementara kami masih berdiskusi, seorang pria datang menghampiri. Pria itu kelihatan elegan dengan tuksedo hitamnya. Bisa kutebak bahwa dia adalah calon suami Ardani. Dia celingukan memerhatikan kami satu persatu.

“Di mana wanita itu?”

Gavin dan aku tersentak tak percaya. Mengapa dia memanggil Ardani dengan sebutan ‘wanita itu’. Di belakangnya disusul oleh seorang pria dan wanita paruh baya mempertanyakan hal serupa. Gavin kemudian menjelaskan apa yang terjadi. Namun, anehnya, keluarga ini tidak menampakkan kekhawatiran sama sekali.

“Kalian harus menelepon polisi sekarang,” perintah Gavin.

“Biarkan saja. Wanita itu memang memilih melarikan diri,” balas wanita paruh baya itu menyepelekan hal segenting ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status