"Jangan gila kamu Adrian, hanya karena wanita ini kamu mau melukai diri mu sendiri," bentak ayah Adrian."Di segalanya bagiku, dia hidup ku," teriak Adrian frustasi."Gak Adrian semua ini salah, kamu keterlaluan," ucap Aruna kecewa, ia tak menyangka bahwa selama ini telah menikah dengan adiknya sendiri.Aruna merasa telah di tipu habis-habisan oleh orang terdekatnya."Jangan bilang begitu Aruna," ucap Adrian pelan sambil berjalan ke arah Aruna."Jangan mendekat Adrian, aku sudah terlalu muak sama kamu," teriak ku."Lihat ayah, ini semua gara-gara ayah yang membocorkan semuanya ke Aruna," ucap Adrian menatap ayah Adrian dengan tatapan penuh kebencian."Ini bukan salah dia," tunjuk Aruna pada ayah Adrian."Tapi salah kamu Adrian," lanjut Aruna."Kita seharusnya memang tak pernah bersama Adrian, hubungan ini salah, dan aku lega karena telah bercerai dengan mu," ucap Aruna dingin lalu melangkah pergi."Kalau kamu pergi aku akan melukai diri ku sendiri Aruna," ucap Adrian yang kembali menga
PlakSatu tamparan mendarat di pipi Aruna, sehingga meninggalkan bekas kemerahan di pipinya.Aruna mendongak dan melihat Sarah ibu Adrian yang menatap ku nyalang."Saya juga bilang apa, dia ini memang wanita pembawa sial," teriak Sarah sambil menujuk ke arah Aruna."Awas saja kamu, saya akan melaporkan kamu ke polisi karena sudah mencelaki anak saya," lanjut Sarah.Aruna menatap Sarah malas, apalagi bibir merah menyala terus berkomat-kamit tanpa menanyakan dulu kejadian sebenarnya."Stop Sar," ucap ayah Adrian yang jengah melihat istrinya datang-datang sudah mencari masalah."Kenapa mas? Seharusnya kamu laporin dia kepolisi," kesal Sarah, matanya melotot ke arah suaminya."Adrian yang melukai dirinya sendiri bukan ulah Aruna," jelas ayah Adrian."Aku sudah menjelaskan semuanya pada Aruna," lanjutnya lagi.Sarah yang mengerti ucapan dari suaminya langsung terdiam sejenak, Aruna melihat ke belakang Sarah yang terdapat Zia yang terlihat terkejut mendengar ucapan ayah Adrian."Bagus kalau
Amar menatap kepergian Aruna dengan rasa penyesalan yang teramat dalam di hatinya, ia tak menyangka rahasia besar yang dulu Amar sembunyikan akhirnya terbongkar juga sekarang.Dengan susah payah Amar berjuang untuk menutupi semua ini, tapi tetap saja sepandai-pandai menyimpan bangkai pasti akan tercium juga, dan ia percaya peribahasa itu sekarang, setelah mengalaminya sendiri."Hen," panggil seseorang lelaki jangkung sambil menepuk bahu Amar dari belakang.Amar terkejut, dan melihat siapa yang memanggilnya."Frikas," panggil Amar tak percaya bisa bertemu dengannya di rumah sakit ini."Ngeliatin siapa lo?" tanya Frikas yang sejak tadi memperhatikan Amar yang sedang menatap lurus lorong kosong di depannya."Aruna," jawab Amar pelan."Mana gak ada?" tanya Frikas celingukan."Dia udah pergi dari tadi,"" Terus kenapa lo bengong di sini, nanti kesambet tau rasa," ucap Frikas bercanda."Aruna sudah tau semuanya Kas, semua yang gue sembunyiin selama ini dari dia," seru Amar.Frikas menghembu
Sarah yang melihat Zia dari kejauhan segera menghampirinya dan menatap Zia Tajam."Kemana aja? Seharusnya jagain Adrian," ucap Sarah dengan emosi tertahan sambil mencekal tangan Zia kencang."Kan Adrian juga masih di ruang operasi ma," jawab Zia, untuk apa ia menjaga Adrian sedangkan Adrian sendiri masih di tangani di dalam"Jawab aja kamu, dari mana?" tanya Sarah lagi."Toilet ma," bohong Zia sambil meringis merasakan sakit di tangannya."Bohong kamu, pasti habis ketemu sama Aruna," tenan Sarah.Zia menelan ludahnya perlahan, ia menatap Sarah dengan takut-takut."Gak kok ma," jawab Zia."Inget, jangan sampai Adrian ngejar Aruna lagi, saya lebih setuju sama kamu," ucap Sarah sebelum melepaskan cengkramannya dan melangkah pergi meninggalkan Zia.Zia menghela nafas lega, sampai saat ini ia pun bingung dengan sikap mertuanya, kadang bersikap baik dan kadang bersikap kasar pada Zia tanpa alasan yang jelas seperti sekarang ini.Matanya melihat pergelangan tangannya yang memerah, lalu duduk
"Kamu ini apaan sih mas?" bentak Sarah tak suka, saat ia sudah di depan Tio, tangannya berkecak pinggang menatap Tio nyalang."Kenapa? Dia ngadu lagi," jawab Tio, ayah Adrian marah."Wajar dong dia ngadu ke aku, dia itu menantu di keluarga kita," sentak Sarah tak terima."Duduk dulu sini," suruh suaminya, menepuk kursi yang kosong di sampingnya, tak perlu di suruh dua kali Sarah langsung duduk di kursi sebelah Tio.Saat Sarah akan berbicara lagi, sebuah tangan menghentikannya."Aku dulu yang bicara," celetuk Tio cepat."Kamu gak liat Adrian terlalu tertekan dengan semua yang ia hadapi selama ini," "Senggaknya kamu jangan terlalu memaksakan, agar Adrian bisa menerima Zia dan bayinya," sergahnya "Gimana sih mas! Aku mau yang terbaik buat Adrian, dia pantas mendapatkan wanita baik-baik bukan seperti Aruna, Anak hasil zina mu dulu,""Jangan ungkit-ungkit yang udah-udah Sar," kesal Tio tak suka, Sarah selalu mengungkit-ngungkit kesalahannya dulu, padahal sudah berpuluh-puluh tahun terjad
Amar membuka matanya dan melihat ke arah Frikas yang tengah asik memainkan ponsel, ia mengambil ponselnya yang berada di atas nakas di sampingnya.Ia mencet tombol on, ponsel pun menyala, wajahnya terlihat kecewa ketika melihat tak ada pesan atau telepon dari Aruna, padahal sejak tadi Amar terus menghubungi Aruna tapi tak ada jawaban sampai sekarang.Hanya ada pesan dari bundanya, itu pun bunda Amar tak tahu kalau ia sedang di rawat ia takut bukan malah akan menyusul ke sini, apalagi sekarang ayah masih berobat Di Singapura, ia hanya memberitahu kalau masuk rumah sakit cuman ke Frikas.Amar menekan tombol hijau untuk menelepon Aruna lagi."Maaf nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar servis area, cobalah beberapa saat lagi,"Amar kesal ia melemparkan bantal ke arah Frikas yang tengah asik memainkan ponselnya, saat yang menjawab teleponnya bukan Aruna melainkan operator.Frikas yang di lemari bantal terkejut dan menatap Amar heran, pasalanya Amar terus berdecak samb
Aruna terkejut ketika ia melihat orang yang bertamu ke rumahnya sekarang, apalagi melihat kondisi Amar yang seperti belum sembuh total."Run," pagii Amar yang sejak tadi memperhatikan Aruna sambil tersenyum."Mau ngapain?" tanya Aruna setelah sadar dari lamunannya."Ada yang perlu aku omongin," jawab Amar was-was."Apa?" tanya Aruna lagi."Kita bisa bicara di dalam," usul Amar karena ia tak enak membicarakan hal sepenting itu sambil berdiri apalagi kalau terdengar oleh tetangga bisa makin besar masalahnya."Ini penting," lanjut Amar, yang tak mendapat respon dari Aruna.Aruna malah memperhatikan ke arah belakang Amar yang berdiri Frikas sambil melihat ke arah Aruna kikuk."Oh ini, Frikas kamu masih kenalkan," ucap Amar sambil bergeser ke samping, agar terlihat jelas wajah Frikas yang berdiri di belakangnya."Tentu," jawab Aruna pelan sambil menganggukan kepalanya.""Hai Run," sapa Frikas tapi tak mendapat respon dari Aruna."Jadi boleh kita bicara di dalam," ucap Amar."Di sini aja, ce
"Gak ada lagi yang perlu di bicarakan, jadi silahkan pergi," usir Aruna sarkas sambil melihat ke arah pintu."Run," ucap Amar sambil mendeket ke arah Aruna duduk di sampingnya dan menggenggam tangan Aruna erat.Matanya terbuka lebar, Aruna kaget ketika riba-tiba Amar langsung menarik tubuhnya dalam dekapannya."Lepasin," berontak Aruna sambil mendorong dada bidang Amar ke belakang tapi tak bisa, karena tenaga Amar yang kuat meskipun baru ke luar rumah sakit dan belum sehat sepenuhnya, tapi tenaga Laki-laki sangat jauh dengan perempuan."Bentar Run, aku kangen," ucap Amar lembut dan mengenggelamkan kepalanya di ceruk leher Aruna, menghirup wangi yang selama ini Amar rindukan.Ada rasa hangat yang Aruna rasakan, ada kerinduan yang terbalaskan.Ingin rasanya Aruna membalas pelukan Amar, tapi ia takut! Takut memberi harapan lagi pada Amar, ia takut Amar akan berpikir ia mau lagi kembali padanya seperti dulu.Aruna tak mau mengulang kesalahan yang sama untuk menerima kembali orang-orang ya