Ekspresi aneh yang ditunjukan kasir pria itu membuat Arsyila merasa bingung. Adakah yang salah dengan pertanyaannya? Dalam hati Arsyila bertanya-tanya. Setelah beberapa detik pria itu tersenyum, kembali memasang wajah ramahnya.
“Maaf nona, sebenarnya itu bukan permen,” jawab pegawai pria itu tampak enggan.“Sudah kuduga, ini bukan permen. Lalu makanan macam apa ini?” tanya Arsyila kembali sambil membolak-balik kotak merah mungil di tangannya.“Itu … juga bukan makanan,” jawab pegawai pria itu terlihat salah tingkah. Mendengar jawaban pegawai pria, Arsyila tampak terkejut.“Lalu apa ini?” tanya Arsyila kembali mengangkat kotak merah di tangannya, mengangkatnya lebih tinggi. Lagi-lagi ekspresi aneh ditunjukkan oleh si pegawai pria. Beberapa kali bibir pria itu terbuka tertutup, terlihat sulit menjelaskan.Melihat rekannya mengalami kesulitan, seorang pegawai wanita datang. “Ada yang bisa dibantu, nona?”tanya pegawai wanita itu ramah padaDahi Arsyila berkerut merasakan rasa sakit di seluruh tubuhnya. Rasanya seperti tubuhnya jatuh lalu berguling-guling hingga menyebabkan tulangnya rontok semua. Benar, kini Arsyila ingat dirinya baru saja jatuh karena sebuah batu besar, di sebuah gang menyeramkan, di tengah-tengah hujan lebat. Seketika Arsyila membuka kedua matanya. Bola matanya berputar, menatap sekitar dengan tatapan ketakutan. Apa dia telah mati dengan mengenaskan menyusul sang kakak? Langit-langit putih dan cahaya lampu yang menyilaukan jadi yang pertama menyambut Arsyila. Ini bukan surga, Arsyila tau itu. Dimana dirinya sekarang? Arsyila berusaha bangun,namun seorang wanita muda berseragam biru tua tiba-tiba muncul dan menghentikannya.“Oh, Anda sudah bangun! Berbaringlah sebentar!” Arsyila menurut saat wanita berseragam itu membantu membaringkan kembali tubuhnya. Dari penampilannya, wanita itu mirip dengan seorang perawat. Tunggu, perawat?Arsyila kembali menatap sekelilingnya. Saat
“Terimakasih,” ucap Arsyila menerima sebungkus roti gandum dari pria yang baru saja Arsyila robek kemejanya. Sepertinya Arsyila memiliki bakat alami untuk mempermalukan diri. Setelah merobek kemeja seorang pria, perutnya dengan tak tau malu meraung meminta jatah makan. Karena itulah sekarang dirinya berakhir di sini, di teras sebuah toko roti yang letaknya tepat di sebelah klinik tempat pria itu membawa Arsyila.Hujan sudah berhenti ketika Arsyila keluar. Matahari tidak terlihat, dan langit masih terlihat suram. Arsyila memperbaiki posisi duduknya dengan tidak nyaman, kemudian melirik pria itu diam-diam. Berbagai perasaan berkecamuk dalam hatinya. Merasa malu sekaligus penasaran. Arsyila belum tau siapa sebenarnya pria yang duduk di sebelahnya, namun Arsyila sudah banyak sekali mempermalukan dirinya dan membuat pria itu kerepotan. Sungguh, Arsyila ingin menghanyutkan wajahnya sekarang. Sadar akan tatapan Arsyila, pria itu menoleh, membuat Arsyila cepat-cepat mengalihkan ta
“Foto yang mana?” Jantung Arsyila mulai berdebar saat pria itu memberinya tatapan tajam. Dengan susah payah Arsyila menelan ludahnya. Sebenarnya Arsyila belum terlalu yakin jika pria dalam foto yang ia temukan adalah pria yang saat ini ada di depannya. Tapi melihat reaksi pria itu, sepertinya mereka memang orang yang sama. Ditambah, tato di lengan mereka benar-benar serupa.“Aku akan menunjukkan foto itu. Tapi kau harus jawab dulu semua pertanyaanku,” ucap Arsyila memberanikan diri. Pria itu diam. Untuk beberapa saat Arsyila merasa gelisah. Takut pria itu kembali mengabaikannya dan benar-benar pergi seperti sebelumnya.“Aku tidak berbohong! Foto itu, aku membawanya sekarang!”tegas Arsyila berusaha meyakinkan pria itu. Dengan terburu tangan Arsyila menurunkan tas hitamnya, namun belum sempat membuka tasnya, pria itu bicara.“Namaku Zhou, Zhou Alderic. Aku teman kuliah kakakmu,” ucap pria terdengar lebih bersahabat. Pria itu mulai membuka topi dan maskernya
“Sakit,”cicit Arsyila saat nyonya Derin meneteskan obat merah di lutut Asyila yang terluka. Setengah jam yang lalu Arsyila sampai di rumahnya. Tentu dengan penampilannya yang terlihat begitu menyedihkan, menyulut mulut nyonya Derin untuk mengomelinya. Kini Arsyila sudah berada di kamarnya. Gadis itu sudah makan dan berganti pakaian. Nyonya Derin yang menatap Arsyila merasa sedikit lega. Nyonya Derin takut Arsyila berlarut-larut dalam kesedihan mengingat seberapa terpukulnya Arsyila di hari pemakaman Syakila. Sekarang mata coklat Arsyila terlihat lebih hidup, meski tak bisa menyembunyikan kesedihan yang dideritanya.Kepergian Syakila memang suatu hal yang paling menakutkan di hidup Arsyila. Arsyila merasa sangat sedih dan putus asa. Mungkin Arsyila bisa saja mati bunuh diri menyusul kakaknya sekarang. Tapi menyadari kematian Syakila adalah kematian yang disengaja, Arsyila bertekad untuk mencari tau alasan dari kematian Syakila. Alasan Syakila mengakhiri hidupnya. Untuk itu t
“Ayah?”tatapan Arsyila jatuh pada sosok tuan Derin yang tengah berdiri di depan pintu kamarnya yang setengah terbuka. Nyonya Derin yang sebelumnya dengan serius mendengarkan Arsyila kini mengalihkan perhatiannya pada sang suami. Tuan Derin yang terpanggil mulai membuka pintu kamar Arsyila lebih lebar dan masuk ke dalam. Tangannya terlihat membawa sebuah bungkusan.“Maaf mengganggu perbincangan kalian,” ucap tuan Derin menyadari kedatangannya ada di waktu yang kurang tepat.“Ah, tidak. Ayah ada perlu denganku?”tanya Arsyila penasaran. Tuan Derin adalah tipikal orang yang hanya bicara untuk sesuatu yang penting saja. Karena itulah pasti ada sesuatu yang penting hingga membawa ayahnya datang ke kamarnya.“Ini.” Arsyila bingung saat tuan Derin menyerahkan bungkusan yang dibawanya. “Tadi teman sekolahmu datang mengantarkan itu. Dia mengatakan kau harus pakai itu di hari kelulusan.” Arsyila menatap bungkusan di tangannya. Dengan penasaran tangannya ber
“Selamat atas kelulusanmu,” ucap pria tampan itu menunjukkan senyuman termanisnya. Arsyila menatapnya tanpa mengedipkan mata, mulutnya sedikit menganga. Terlalu terkejut dengan kedatangan pria yang sangat dikenalnya. Reyga, Arsyila tak meyangka pria yang beberapa hari yang lalu resmi menjadi suaminya itu hadir dalam acara kelulusannya. Reyga datang dengan setelan tuxedo hitam yang terlihat mahal. Di tangan pria itu membawa sebuah buket bunga mawar yang besarnya tiga kali lipat dari yang biasa Arsyila lihat di kamar Syakila. Wajah tampannya terlihat lebih bersinar. Pria itu sungguh seperti pangeran yang hanya muncul di cerita dongeng saja. Dia memiliki pesona yang sungguh sulit untuk dibantah. Semua siswi tampak terhipnotis oleh ketampanannya, tak terkecuali Arsyila. Gadis itu membatu, waktu terasa berhenti sesaat dimana Arsyila merasa di dunia ini hanya ada dia dan Reyga. Suara sorakan para siswa menyadarkan Arsyila bersamaan dengan buket bunga mawar merah yang
Arsyila menggosok matanya yang merah dan menyeka ingusnya dengan sapu tangan merah yang diberikan nyonya Derin padanya. Berpikir bahwa Reyga akan selalu bermurah hati pada siapa saja ternyata salah besar. Pria itu menolak mentah-mentah permohonan Arsyila untuk tinggal sedikit lebih lama bersama orang tuanya. “Maafkan aku. Tapi aku benar-benar tak memiliki waktu lagi untuk diberikan. Aku memiliki banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.”Begitulah yang diucapkan pria itu dengan wajah yang penuh sesal. Sebenarnya Arsyila kesal saat permintaannya ditolak. Tapi memikirkan posisi Reyga, Arsyila memakluminya. Bagaimana pun juga jarak antara Aston dan dan Oswald lumayan jauh. Perlu perjalanan selama hampir tujuh jam jika menggunakan bus. Reyga pasti akan membuang banyak waktunya jika dia harus menunggu satu hari lagi untuk Arsyila. Apalagi Reyga adalah seorang pengusaha. Bagi mereka sudah pasti waktu adalah sesuatu yang sangat berharga. Arsyila tak memiliki pilihan lain selain m
“Ada apa?” tanya Reyga membuat Arsyila tersentak. Gadis itu mengerjapkan matanya sesaat dan menemukan wajah tersenyum Reyga yang menatapnya ramah. Apa yang baru saja Arsyila lihat hanya halusinasinya saja? Dengan kaku Arsyila membalas senyuman Reyga. Tiba-tiba saja Arsyila mengingat percakapannya dengan Syakila. Apa yang sering Syakila katakan padanya.‘ Syila, bukankah aku sudah pernah bilang untuk tidak langsung menilai sesuatu hanya dari luarnya saja?’ Benar, bukankah Syakila sudah berkali-kali memperingatinya? “Apa yang kamu pikirkan?” tanya Reyga kembali membuat Arsyila tersentak. Wajah pria itu tampak cemas dan kebingungan. Mungkinkah Arsyila berpikir terlalu berlebihan?“Itu … Anda tidak makan?” tanya Arsyila menyadari Reyga yang tidak sedikitpun menyentuh piringnya.“Aku baik-baik saja. Aku hanya merasa tidak lapar,” jawab Reyga segera Arsyila respon dengan anggukan. Entah kenapa Arsyila merasa sedikit aneh. Reyga yang mengajaknya makan, justru tidak menyentuh piringnya. P