LOGINBenci dan cinta itu beda tipis. Keberadaannya sama-sama di hati dan terkadang, mereka melebur menjadi satu sikap yang membingungkan. Ulasan masa lalu yang tak hentinya berputar di dalam ingatan merusak segala upaya untuk memusnahkan. Luka yang terjadi di masa lalu tak ubahnya cambukan menyakitkan yang tak pernah usai sampai di masa sekarang.
Kali ini kebimbangan tak bisa dienyahkan. Ada satu sisi hatinya yang merindukan, tetapi satu sisi lainnya meneriakkan kebencian. Demi Tuhan, ketenangan itu berubah menjadi kekalutan yang tidak bisa dipadamkan.
“Aku pasti sudah gila,” gumaman itu keluar dari mulut Galen yang merasa kegilaannya bertambah semakin parah.
Dia terus mengontrol isi pikirannya agar tidak melakukan sesuatu yang akan disesalinya. Dorongan kuat yang ada di dalam dirinya untuk menemui Levana dia tekan dalam-dalam agar tidak tumpah dan membuatkan bertindak impulsif. Menekankan kepada dirinya jika dia sangat membenci perempuan itu meskipun dia tahu ada sisi hatinya yang tengah meneriakkan kerinduan.
“Jangan gila, Galen,” bisiknya pada dirinya sendiri. Dia sandarkan kepalanya pada sandaran kursi mobil dan memegang erat kemudi. Pengaruh Levana terhadapan ketenangannya ternyata begitu besar sampai kehidupan yang normal itu harus terusik.
Tidak! Galen menolak untuk luluh pada perasaan mellow yang tiba-tiba saja merasuki relung jiwanya. Dia tekankan sekali lagi pada dirinya sendiri jika Levana bukanlah perempuan yang patut untuk mendapatkan maaf apalagi kesempatan kedua darinya.
Mengeluarkan ponsel dari saku jasnya, Galen memutuskan untuk menghubungi Fandi untuk memberikan satu perintah yang harus dilakukan. Setelahnya, dia memutuskan untuk melajukan kendaraan roda empat itu dengan kecepatan tinggi. Galen membutuhkan pelampiasan untuk hatinya yang sedang resah.
Di sinilah dia sekarang. Berdiri di depan samsak untuk melampiaskan rasa yang mengganjal di dalam hati. Dia akan memberikan pukulan pada benda mati tersebut sampai dia kelelahan dan berharap setelahnya merasa lega.
“Suatu hari nanti, aku pasti menjadi pantas untuk kamu dan keluargamu, Gal.” Potongan ingatan masa lalu itu tiba-tiba merebak cepat memenuhi kepalanya. “Aku akan bekerja keras untuk itu.”
Levana tidak pernah menunjukkan rendah diri kepada siapa pun. Dia yang hanya hidup sendiri dengan segala kekurangan yang dimilikinya, dia mampu untuk kuliah dengan mencari bea siswa. Dia tak ingin tenggelam dalam kemiskinan terus menerus. Baginya, dengan memutus rantai kemiskinan adalah dengan sekolah tinggi.
“Kamu pantas, Lev. Kamu pantas utukku. Aku yakin keluargaku akan menerima kamu menjadi bagian dari kami.”
Galen sangat mencintai Levana. Dia menjatuhkan hatinya begitu dalam hanya untuk gadis itu. Tidak mudah mendapatkan hati seorang Levana Shava. Dia harus berjuang dan meyakinkan kepada perempuan itu jika dia bersungguh-sungguh. Usahanya tentu saja membuahkan hasil, karena Levana akhirnya menerima dirinya.
Berada di antara anak-anak dari keluarga kaya, tidak membuat Levana merasa terkucilkan. Dia yang mudah bergaul itu nyatanya memiliki teman-teman yang mengerti tentang kondisi hidupnya.
“Levana Shava.” Galen mencengkram pinggiran samsak itu dengan kuat. Melepaskan sarung tangan tinju, lalu melemparkannya ke sembarang arah. “Aku benar-benar membencimu. Demi Tuhan, aku tidak akan pernah memaafkanmu.”
Setelah mengatakan keluhannya pada keheningan malam, Galen memilih kembali ke dalam rumah dan disambut keheningan lain dalam rumah dua lantainya tersebut. Galen berhenti di tengah tangga sambil menoleh ke belakang. Rumah itu adalah rumah yang sama yang dia tempati bersama Levana. Rumah yang dibeli atas kerja kerasnya sebelum perempuan itu meninggalkannya tanpa perasaan.
Sial! Galen tidak pernah menyangka jika hidupnya akan semenyedihkan sekarang. Perempuan yang dicintai sepenuh hati, dia selalu mengupayakan yang terbaik untuknya, tetapi nyatanya semua itu tak cukup menahan Levana untuk tetap tinggal.
Mungkin ibunya dulu benar, tidak seharusnya dia menjadikan Levana istrinya. Perempuan itu memang tak pantas.
***
“Menurtumu, hadiah ulang tahun apa yang harus saya berikan untuk Birru, Yan?”
Levana mendesah panjang ketika dia tak memiliki ide untuk memberikan hadiah ulang tahun kelima untuk putranya. Birru sudah meminta sesuatu kemarin, tetapi permintaannya yang sangat tidak masuk akal.
Yana yang duduk berhadapan untuk membahas tentang restoran itu langsung memberikan atensinya penuh pada Levana. “Ulang tahunnya diadakan di mana, Bu?” tanya Yana tidak nyambung. “Di restoran sini aja, Bu. Biar lebih meriah. Kita tempatkan di rooftop.”
“Saya juga punya pemikiran seperti itu, Yan. Sekitar pukul lima acara dimulai jadi rooftopnya udah nggak terlalu panas.”
“Nanti biar saya saja yang urus, Bu.”
Levana mengangguk meyetujui. Satu minggu lagi putranya akan genap lima tahun. Bayi satu bulan yang dulu dia bawa dengan derai air mata itu kini sudah semakin tumbuh besar. Demi Tuhan, setelah hari itu, Levana berjanji kepada dirinya sendiri untuk menjadi ibu yang berguna untuk putranya.
Dia bekerja keras agar putranya tidak merasakan kesulitan dalam hidupnya.
“Kalau soal hadiah, kenapa Ibu nggak tanya kepada Mas Birru aja, Bu? Mungkin dia ingin sesuatu.”
“Dia udah memilih sesuatu untuk hadiahnya, Yan,” ucap Levana. “Hanya saja, permintaannya sangat tidak masuk akal dan saya nggak bisa memberikannya.”
“Kenapa? Kalau bisa, saya akan membantu Ibu untuk mendapatkannya.”
Levana memilih untuk tidak memberi tahu kepada Yana permintaan Birru tersebut. Dia mengalihkan obrolan mereka untuk membahas tentang acara pesta ulang tahun putranya. Masalah kado, Levana akan menanyakan kepada Birru tentang hal itu lagi nanti.
Ketukan pintu menghentikan obrolan Levana dan Yana. Salah satu pelayan memberi tahu kepada Levana jika ada seseorang yang ingin bertemu dengannya. Levana tentu saja meminta agar pelayan itu membawa tamunya untuk datang ke ruangannya.
Yana pun memilih untuk pergi ke ruangannya sendiri dan melanjutkan pekerjaannya. Levana berdiri ketika orang yang ingin menemuinya adalah seorang lelaki. Seingatnya, dia tak memiliki janji dengan siapa pun, tetapi yang pasti, lelaki itu datang pasti untuk membicarakan pekerjaan. Ya, setidaknya itulah yang ada di dalam pikirannya.
“Ibu Levana?” tanya lelaki itu memastikan.
“Benar, Pak. Mari silakan duduk.” Levana menyambutnya dengan sangat baik. Memberikan senyum kecil untuk tamunya.
“Saya Fandi, Bu. Saya datang atas perintah Pak Galen.”
Seketika, senyum itu lenyap tidak berbekas. Dia merasakan segala gundah yang ada di dalam hatinya yang menyerangnya tanpa ampun. Tanpa bisa dicegah, jantungnya bertalu dengan kuat memompa darahnya lebih cepat dari sebelumnya.
“Pak … Galen?” ulang Levana dengan terbata.
“Benar, Bu. Saya asisten pribadi Pak Galen dan saya diperintah untuk menyampaikan sesuatu kepada Ibu.”
Ombak bernama ketakutan itu menggulung Levana. Ketidaktenangan itu seakan mampu membanting Levana tiada ampun sampai membuat tubuhnya menggigil resah. Satu pertanyaan muncul di dalam benaknya, apa yang ingin disampaikan oleh Galen lewat asisten pribadinya?
Satu sisi hatinya merasa ingin tahu, tetapi di sisi lainnya dia merasakan ini adalah sebuah bencana besar.
“Ibu baik-baik saja?” Pertanyaan Fandi mengembalikan kesadaran Levana dari lamunan yang sempat membelenggunya.
“Ya, saya baik-baik saja.” Mencoba mengais ketenangan yang sudah tercecer, Levana memberikan senyum kecil untuk Fandi. “Jadi, apa yang ingin Bapak sampaikan kepada saya?”
Menunda untuk mendengar jawaban hanya akan membuat rasa penasaran Levana semakin besar. Hal itu hanya akan membentuk dugaan yang tidak seharusnya dia pupuk di dalam angannya. Lebih baik dia segera mendengar agar keresahannya segera menguar.
“Bapak ingin bertemu dengan putranya, Bu.”
Satu kalimat itu mampu membuat lubang tak kasat mata di dalam hati Levana. Meskipun dia sudah menduga jika kedatangan Fandi adalah untuk membicarakan tentang Birru, tetapi Levana tak cukup mampu untuk menahan gejolak asing yang muncul di dalam hatinya.
“Kapan Ibu bisa mempertemukan Bapak dengan Mas Birru?”
Bahkan Fandi sudah mengetahui nama putranya. Galen pasti sudah menceritakan banyak hal tentang itu.
Lantas sekarang, apa yang harus Levana katakan kepada asisten pribadi Galen tersebut untuk memberikan kepastian? Bagaimanapun, Galen memiliki hak untuk bertemu dengan putranya. Namun, dia belum siap untuk mengizinkannya.
“Beri saya waktu, Pak.” Akhirnya itulah yang dikatakan oleh Levana sebagai jawaban. “Beri saya waktu untuk bersiap-siap.”
Fandi mengangguk. “Beri saya kepastian waktunya, Bu, agar saya bisa menyampaikan kepada Bapak.”
Lagi, Levana tidak bisa langsung menjawab. Keresahannya semakin membabi buta. Dia khawatir salah bicara dan menimbulkan masalah baru dalam hidupnya. Jauh di dalam sudut hatinya, dia ingin sekali menolak permintaan Galen yang dikirimkan lewat Fandi. Namun, bagaimana caranya dia mengatakan penolakan tersebut.
“Saya tidak bisa memberi kepastian waktunya, Mas,” ucap Levana setelah itu. “Saya perlu waktu untuk semua ini. Kedatangan Bapak yang tiba-tiba membuat saya bingung harus melakukan apa. Tolong sampaikan maaf saya kepada Pak Galen atas hal ini. Beliau bisa menemui Birru, tapi tidak di waktu dekat ini.”
Fandi tampak tidak gentar. Lelaki itu mengeluarkan sedikit ancaman untuk Levana. “Bapak tahu hal ini akan terjadi. Ada dua pilihan yang diberikan oleh Bapak untuk Ibu. Pertama, pertemukan Bapak dengan putranya. Kedua, Bapak akan mengambil putranya secara hukum.”
“Galen nggak berhak melakukan itu!” Levana tidak sadar ketika suaranya meninggi. Mencoba menenangkan dirinya, Levana melanjutkan, “Pak, tolong sampaikan kepada Galen. Saya tidak akan mengganggu hidupnya, tapi tolong jangan ganggu ketenangan saya.”
“Bapak adalah ayah dari Mas Birru, Bu. Beliau juga berhak untuk menemui putranya. Toh yang membawa Mas Birru pergi adalah Ibu. Ibu yang sudah menjauhkan seorang ayah dengan putranya.”
“Saya ….” Levana menghentikan kata-katanya. Dia tak tahu apa yang harus dikatakan untuk Fandi. Benar, semua yang dikatakan oleh Fandi adalah kebenaran.
Akan tetapi, mereka tidak tahu alasan dibalik kepergiannya malam itu. Mereka tidak tahu jika kepergiannya adalah bentuk pengorbanan yang harus dia lakukan untuk suaminya.
Ya Tuhan, Levana ingin menangis. Namun, dia tak mungkin meneteskan air mata di depan orang asing, terlebih lagi adalah asisten pribadi dari seorang Galen.
“Saya akan kembali dua hari lagi, Bu. Saya harap, Ibu bisa bekerja sama dengan baik agar Bapak tidak mengeluarkan titah yang akan membuat Ibu kerepotan.” Fandi meletakkan kartu nama di atas meja. “Atau Ibu bisa menghubungi saya setelah Ibu siap.”
Lelaki itu lantas berdiri dan pamit kepada Levana yang masih membeku di tempat duduknya. Demi Tuhan, Levana seperti dihantam ribuan nuklir di dalam hatinya sampai membuat hatinya koyak tak terbentuk.
***
Fajar menemui cucunya tanpa membawa apa pun di tangannya. Baru pukul setengah delapan malam ketika dia baru saja sampai di rumah Galen. Birru belum tidur dan dia masih asyik bersama dengan Dante di rumah sambil belajar.Kepalanya mendongak ketika Fajar datang, lalu tak ada sapaan yang keluar dari mulutnya, bocah itu menunduk kembali pura-pura sibuk. Fajar tidak protes karena dia tahu kalau cucunya itu belum ‘berdamai’ dengannya.“Mas Birru belajar apa?” tanya Fajar setelah itu. Duduk di samping Birru dan mulai pendekatannya.“Baca aja.” Meskipun singkat, tetapi tetap menjawab.“Mas Birru, Opa barusan dari rumah sakit. Mas Birru nggak mau tanya keadaan Mama?” Itu suara Daren. Sedikit membantu agar hubungan kakek dan cucu itu bisa lebih baik.Birru menatap Denta, tetapi tak acuh dengan Fajar. Suaranya pun tidak keluar sama sekali. Dia hanya diam. Nyatanya beberapa saat lalu dia begitu mengkhawatirkan ibunya yang berada di rumah sakit.Sejak pulang sekolah dia dikasih tahu oleh Bibi kala
Ruang keluarga kediaman Fajar dikelilingi keheningan yang mencekam. Pasangan suami istri yang sejak tadi sudah sampai itu hanya diam tak mengatakan apa pun. Retno tak menjelaskan sesuatu, begitu juga dengan Fajar yang tak menanyakan sesuatu.Keduanya hanya menatap ke arah yang sama dan sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.“Bisa kita buat kesepakatan, Ma.” Keheningan itu akhirnya berakhir dengan Fajar yang lebih dulu berbicara. “Setidaknya agar kita nggak terus-menerus berselesih dan bisa mengakhirinya.”Fajar sudah menyerah dengan kehidupan sebelumnya yang membuatnya dihinggapi rasa bersalah yang begitu besar. Sekarang dia hanya ingin kedamaian. Hanya kedamaian di sisa usianya yang sudah semakin menua.“Gia ingin tinggal di dekat Galen dan kami sedang mencari rumah yang barangkali akan dijual.” Meskipun itu belum final, tetapi Fajar sengaja memancing istrinya. Terbukti, perempuan tampak tidak terima. “Mungkin nanti sesekali aku juga akan menginap di sana agar dekat dengan cucu-c
“Ibu, ada Bu Retno datang.”Laporan itu membuat Levana yang memejamkan matanya itu sontak terbuka. Dia sedang berbaring di kursi malas di teras belakang rumahnya. Sejak dia tak bisa menghirup aroma masakanan yang kuat, dia tak lagi datang ke restorannya.Galen meminta Yana untuk menangani semuanya dan tentu saja perempuan itu melakukannya dengan baik. Kegiatan Levana sekarang tidak jauh-jauh dari membaca buku, atau berbaring santai di rumah.“Persilakan saja masuk, Bik.” Suaranya terdengar lemah.“Mau saya bantu jalan, Bu?” tawar Bibi setelah itu.“Nggak usah. Saya bisa kok.”Kehamilan Levana kali ini benar-benar diuji. Setiap makanan yang masuk ke dalam perut pun keluar lagi tak lama setelah itu. Suapan ayahnya hanya mempan malam itu saja dan selanjutnya tetap saja Levana memuntahkan makanannya.Galen sekarang pun terkadang hanya bekerja sebentar karena sisa waktunya digunakan untuk menemani sang istri di rumah. Ya, sekarang tidak ada pengendali apa pun dari Galen dan membuatnya beba
“Papa udah menyadari kesalahan Papa dan itu sudah cukup. Sekarang Papa bisa mencoba untuk memperbaiki semuanya.” Gia ikut menatap ke arah Birru yang tampak bahagia bermain dengan Dante yang mengangkatnya seperti pesawat. “Birru hanya anak-anak yang hatinya masih sangat lembut. Aku yakin dia akan luluh.”“Ya. Terima kasih sudah mendukung Papa.”Fajar hanya mengangguk. Lalu berlalu membawa Naka yang masih ada di gendongannya mendekati Birru. Di sana juga ada suami Gia yang duduk santai sambil menatap Birru.“Papa,” sapa lelaki itu dan bergeser agar ayah mertuanya bisa duduk di sampingnya.Fajar mendaratkan bokongnya di samping Heydar dan menurunkan Naka. Naka langsung berlari mendekati Dante dan meminta diterbangkan seperti Birru. Dante melakukannya dan Birru tertawa sambil bertepuk tangan melihat adiknya berteriak senang.Senyum Fajar tak bisa ditahan. Melihat rukunnya dua sepupu itu perasaannya menghangat. “Mereka bahagia banget,” komentarnya. “Apa pertama kali mereka bertemu juga sep
“Jadi sekarang, diam-diam Papa sudah berdamai dengan Galen dan istrinya?” Lemparan pertanyaan itu dari Retno yang sudah menunggu kedatangan sang suami.Perempuan paruh baya itu duduk di sofa ditemani sepi dan jantung yang bertalu kuat. Sejak tadi dia sudah menunggu Fajar berdiri di depannya karena dia ingin mengonfrontasi lelaki itu dengan banyak pertanyaan.Retno menoleh kepada Fajar yang terdiam di tengah ruangan sebelum dia melangkahkan kakinya. Fajar duduk di sofa yang sama sambil melepas dasi yang membelit kerah bajunya. Tarikan napasnya panjang sebelum dihembuskan keras.“Udah kemakan mulut manis Levana?” tuduhnya tak main-main.Fajar tidak marah, ia justru menjawab dengan santai. “Aku yang lebih dulu mendekati mereka dan meminta maaf atas semua kesalahan yang sudah aku perbuat di masa lalu,” akunya. “Aku udah nggak bisa lagi mejauhi mereka. Terutama Birru. Aku udah nggak bisa lagi menganggap dia nggak ada.”“Semudah itu Papa luluh dengan mereka?”“Mudah? Apa selama ini nggak cu
Pelukan Galen mengerat ketika Levana seakan terusik dalam tidurnya. Malam sudah larut, tetapi Galen lagi-lagi tak mampu memejamkan matanya. Ada banyak hal yang dipikirkan dan salah satunya adalah tentang perubahan sikap ayahnya.Ia percaya kalau ayahnya memang benar-benar sudah berubah, tetapi itu tak serta merta membuatnya merasa tenang. Entah bagaimana reaksi ibunya nanti saat sang ayah memutuskan untuk berdamai dengannya.Keesokan harinya, pagi sekali, bel pintu rumah terdengar. Masih pukul setengah tujuh dan di lantai satu disibukkan oleh kegiatan para asisten rumah tangga. Aroma makanan sudah tercium sampai keluar rumah.“Bapak Fajar.” Pintu terbuka dan Bibi terkejut atas kedatangan ayah Galen tersebut. “Mari silakan, Pak.”Fajar hanya mengulas senyum tipis sebelum melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Tatapannya mengitari ruangan dan atmosfernya masih sama seperti sebelumnya. Fajar dulu sesekali juga datang ke rumah tersebut.“Bapak mau dibuatkan kopi atau teh?” tanya Bibi







