LOGINLevana memijat pelipisnya sedikit keras untuk mengahalau rasa sakit di kepalanya. Dia tak bisa tidur semalaman dan harus bekerja di pagi harinya. Sebenarnya tak ada yang mengharuskan Levana pergi ke restoran untuk memantau pegawainya karena dia sudah memiliki seorang manajer. Namun, dia akan menjadi lebih sinting jika hanya ada di rumah.
Permintaan Birru semalam membuatnya merasakan ada remasan di dalam hatinya. Levana selalu memberi pengertian kepada bocah itu jika ayahnya pergi bekerja di tempat yang jauh dan suatu hari nanti pasti akan pulang. Namun, Birru hanyalah anak-anak yang menginginkan kehadiran seorang ayah di sisinya. Jadi, terkadang permintaan tak masuk akal pun terlontar seperti semalam.
“Ibu sakit?” Namanya Yana dan dialah sang manajer di restoran tersebut.
“Sedikit sakit kepala, Yan. Ada apa?” tanya Leva kemudian. Menyorotkan ekspresi penasaran dalam tatapannya.
“Hanya ingin menyampaikan kepada Ibu kalau kita sudah memiliki tambahan karyawan baru. Di bagian dapur, juga pelayan.”
“Begitu? Oke, kamu urus aja.” Levana kali ini benar-benar tidak memiliki banyak tenaga untuk membahas apa pun dengan Yana. Dia hanya ingin diam di ruangannya tanpa melakukan apa pun.
Ada rasa nyeri di dalam hatinya yang membuatnya tidak berselera untuk melakukan sesuatu. Kemunculan Galen yang tiba-tiba serta permintaan Birru yang tidak masuk akal mampu membuat konfrontasi di dalam kepalanya. Benar-benar membuatnya sakit kepala.
Seharusnya dia tak perlu memikirkan permintaan Birru yang mengada-ada, tetapi percayalah jika itu mampu memengaruhinya. Levana mencoba menenangkan dirinya untuk sesuatu yang tidak seharusnya dia pikirkan. Mensugesti dirinya sendiri agar tidak terbawa pada arus yang tidak semestinya.
“Kamu kenapa, Yan?” Levana mengernyitkan kepalanya ketika perempuan itu masih ada di depannya dan tidak segera pergi dari ruangannya. “Kamu masih mau bicara?”
Yana tampak ragu untuk mengatakan sesuatu kepada Levana membuat ibu anak satu itu berdecak. “Yan, bicara aja ada apa. Saya sedang nggak mau main tebak-tebakan.”
Yana tampak ragu, tetapi dia memutuskan untuk mengangguk. “Pukul dua belas nanti, seharusnya saya pergi ke tempat klien untuk demo makanan yang akan mereka pakai di acara pernikahan. Tapi, calon mertua saya tiba-tiba saja datang ke Jakarta dan meminta kami bertemu, Bu. Saya ….”
“Saya akan menggantikan kamu,” putus Levana dengan cepat. “Kamu bisa menemui calon mertua kamu.”
“Tapi, Ibu kelihatan nggak sehat.” Yana tampak khawatir. Yana adalah manajer pertama dan sampai sekarang masih nyaman bekerja di restoran tersebut.
Sebenarnya, Levana ingin memisahkan bisnis restoran dan catering, tetapi untuk sementara waktu dia masih menjadikan satu. Usaha cateringnya belum terlalu banyak yang menggunakan. Oleh karena itu dia memilih untuk menggabungkan terlebih dulu. Setelah kateringnya nanti berjalan, barulah dia akan membuat tim katering sendiri.
“Yan, saya hanya sedikit pusing. Hanya membutuhkan istirahat sebentar dan saya akan membaik.” Levana meyakinkan manajernya tersebut.
Ya, Levana tidak boleh memanjakan dirinya untuk memikirkan masa lalu yang sudah terlepas. Dia sudah berjuang selama ini sampai di titik sekarang. Suasana hati yang keruh tak harus membuatnya mengacaukan segalanya.
Yana akhirnya keluar dari ruangan Levana setelah diyakinkan jika Levana bisa. Beberapa customer memang terkadang memilih on site tasting di mana pihak catering yang mendatangi mereka dengan membawa sampel makanan.
Levana keluar dari ruanganya di lantai dua setelah merasa lebih baik. Dia terus menekan perasaanya agar dalam kendalinya. Menyisir lantai bawah yang masih sepi pengunjung itu dengan tatapannya. Restoran buka pukul sepuluh pagi dan masih berjalan setengah jam yang lalu.
“Ibu akan berangkat sekarang?” tanya petugas kasir. “Tasternya masih dibuat, Bu.” Begitu katanya.
“Ya, selesaikan dulu. Supir ada, ‘kan?” tanyanya.
“Ada, Bu.”
Levana memilih menunggu sambil berdiri menghadap dinding kaca untuk bisa melihat lalu lalang kendaraan di jalanan. Dia beberapa kali menarik napasnya panjang untuk mengeluarkan segala sesak yang entah kenapa tiba-tiba saja menggelung hatinya tiada henti.
Sebenarnya apa yang sedang ingin Tuhan tunjukkan kepadanya? Disaat dia merasa kehidupannya sudah tertata dengan baik, kemunculan Galen membuat masa lalu yang pernah mereka jalani seolah merebak tak terkendali.
Ingatan masa-masa muda mereka seakan terus memutar memori kenangan manis yang pernah mereka alami. Demi Tuhan, Levana ingin menangis saja rasanya.
“Bu.” Panggilan itu akhirnya bisa membuatnya mengenyahkan segala keberisikan yang ada di dalam pikirannya.
Memutar tubuhnya, dia langsung mengangguk. “Sudah siap?” tanyanya memastikan.
“Sudah, Bu. Supir sudah ada di depan.”
Levana lagi-lagi hanya mengangguk dan tersenyum tipis sebelum keluar dari restoran. Memantapkan langkah, dia harus melupakan segala hal yang berbau masa lalu. Masa depannya masih panjang dan dia harus menapakinya dengan hati-hati jika tidak ingin terjerambat jatuh kembali. Hal itu hanya akan menambah luka atau bahkan menyobek luka lama yang sebenarnya tidak benar-benar sembuh.
***
“Kita pergi sekarang, Pak?” tanya itu dilontarkan oleh Fandi untuk Galen. Mereka sudah berada di dalam mobil selama setengah jam dan mengamati tempat di depannya dengan suasana yang beku.
Galen mengetatkan rahangnya. Kedua tangannya pun mengepal dengan kuat seolah dia ingin melampiaskan segala emosi yang berkecamuk di dalam kepalanya itu lewat pukulan. Galen bahkan sudah mengabaikan pertanyaan Fandi sang asisten pribadi.
“Bapak ingin mengikutinya?” tanya Fandi lagi membuat Galen mendengus marah.
“Untuk apa saya mengikutinya. Tidak ada gunanya.” Lelaki itu dengan kasar menarik dasi yang seakan membelit lehernya. “Kita kembali ke kantor,” tegasnya masih dengan mengais kewarasan pada dorongan amarah yang membelenggu dirinya.
Sepanjang perjalanan menuju kantor, Galen tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Isi kepalanya terasa bising luar biasa. Seharusnya dia tak perlu datang ke tempat itu hanya untuk membuat perasaannya hancur lebur seperti sekarang.
Setelah pertemuan tak sengaja terjadi kemarin, Galen tidak bisa tenang. Ada gejolak amarah yang muncul dalam dirinya yang sudah terpendam begitu lama. Levana adalah sebuah bentuk nyata dari hantu masa lalu yang membuatnya harus merasakan patah hati yang paling menyakitkan.
Tanpa pertimbangan, perempuan itu meninggalkannya tanpa menoleh. Membawa serta buah hatinya yang saat itu baru berusia satu bulan. Luka yang diterorehkan di hatinya begitu dalam sampai dia merasa tidak bisa mendeskripsikan rasa benci yang dia punya untuk perempuan itu.
“Bapak mau dibuatkan kopi?” Fandi mengekori Galen yang sekarang sudah masuk ke dalam ruangannya. Aura bosnya itu seakan mengeluarkan asap sehitam pekat dan suasana hatinya jelas sedang berantakan.
“Cancel jadwal hari ini, Fan. Dan jangan ganggu saya.”
“Tidak bisa, Pak.” Fandi dengan santai menolak permintaan Galen yang membuat lelaki itu seketika menoleh dan memberikan tatapan tajam kepada asprinya tersebut. “Kemarin, Bapak sudah menunda beberapa pekerjaan Bapak yang seharusnya Bapak kerjakan. Tapi, hari ini tidak bisa lagi atau semua pekerjaan Bapak akan lebih berantakan.”
“Kamu bisa membuat ulang jadwalnya, Fan.”
Kecuali Fandi, tidak ada manusia di kantor Sekala yang berani melawan Rajendra. Apa pun yang diminta dan dititahkan oleh Rajendra harus dilakukan. Namun, Fandi adalah wujud nyata dari pengendali seorang Rajendra.
Sebenarnya bukannya Rajendra takut dengan asprinya sendiri. Hanya saja, Fandi bisa mengeluarkan sifat galaknya. Rajendra terkadang akan bersikap menyebalkan dengan meminta menjadwal ulang semua kegiatannya. Hal itu akan membuat jadwal yang sudah tersusun rapi pun menjadi berantakan.
“Maaf, Pak. Tidak bisa. Bapak tetap harus menjalankan jadwal yang sudah tersusun.”
“Fandi!” Rajendra mengetatkan rahangnya dengan kuat. Ubun-ubunnya seakan terbakar ketika mendengar ucapan lelaki itu.
“Bapak bisa istirahat sampai jam makan siang. Setelah itu, tepat pukul dua nanti, Bapak memiliki pertemuan dengan Baga Persada untuk pengiriman global mereka.”
Perusahaan Rajendra bergerak dibidang Logistik pengiriman. Juga memiliki anak perusahaan dibidang Pariwisata dan Perhotelan. Rajendra tentu selalu menemui klien-klien besar untuk kerja sama tetap berjalan.
“Fandi!”
“Iya, Bapak. Saya di sini.” Fandi sudah bekerja dengan Rajendra sejak beberapa tahun lalu dan dia tahu betul jika dia harus melakukan ini.
“Kamu ingin menghancurkan perusahaan dengan meminta saya untuk meeting di saat isi kepala saya sekacau ini, Fan?”
“Justru saya tidak ingin perusahaan menjadi hancur dengan membiarkan Bapak melewatkan pertemuan. Kita tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan yang sudah diberikan.” Fandi memberikan senyum kecilnya. “Saya akan membawakan kopi untuk Bapak sebagai teman Bapak menenangkan diri.”
Tidak perlu waktu lama untuk Fandi keluar dari ruangan lelaki itu dan kembali membawakan secangkir kopi untuk bosnya tersebut. Tanpa mengatakan apa pun, dia meletakkan cangkir kopi itu di depan Galen yang sudah duduk manis di kursi kerjanya.
Tatapannya menghunus tajam ke arah Fandi, tetapi Fandi hanya menampilkan ekspresi tidak terganggu sama sekali. Fandi tahu, Rajendra pasti akan tetap pergi meeting saat waktunya tiba nanti.
Rajendra melepaskan napasnya kasar ketika Fandi sudah keluar dari ruangannya. Jika dia tak mengingat lelaki itu sudah bekerja bersamanya dalam waktu yang lama, atau mengingatkannya jika hanya Fandi yang mampu mengatasi semua jadwalnya yang terkadang serabutan itu, Rajendra pasti sudah menendang Fandi keluar dari perusahaannya.
“Levana,” ucapnya menyebut nama sang masa lalu. “Kamu benar-benar sialan. Setelah sekian lama, kamu muncul merobek luka lama yang belum sembuh sempurna.” Menutupnya rapat, sebuah pemikiran terlintas di dalam kepalanya dan dia merasa harus melakukan itu. Ya, dia harus melakukannya untuk membalas Levana.
***
Fajar menemui cucunya tanpa membawa apa pun di tangannya. Baru pukul setengah delapan malam ketika dia baru saja sampai di rumah Galen. Birru belum tidur dan dia masih asyik bersama dengan Dante di rumah sambil belajar.Kepalanya mendongak ketika Fajar datang, lalu tak ada sapaan yang keluar dari mulutnya, bocah itu menunduk kembali pura-pura sibuk. Fajar tidak protes karena dia tahu kalau cucunya itu belum ‘berdamai’ dengannya.“Mas Birru belajar apa?” tanya Fajar setelah itu. Duduk di samping Birru dan mulai pendekatannya.“Baca aja.” Meskipun singkat, tetapi tetap menjawab.“Mas Birru, Opa barusan dari rumah sakit. Mas Birru nggak mau tanya keadaan Mama?” Itu suara Daren. Sedikit membantu agar hubungan kakek dan cucu itu bisa lebih baik.Birru menatap Denta, tetapi tak acuh dengan Fajar. Suaranya pun tidak keluar sama sekali. Dia hanya diam. Nyatanya beberapa saat lalu dia begitu mengkhawatirkan ibunya yang berada di rumah sakit.Sejak pulang sekolah dia dikasih tahu oleh Bibi kala
Ruang keluarga kediaman Fajar dikelilingi keheningan yang mencekam. Pasangan suami istri yang sejak tadi sudah sampai itu hanya diam tak mengatakan apa pun. Retno tak menjelaskan sesuatu, begitu juga dengan Fajar yang tak menanyakan sesuatu.Keduanya hanya menatap ke arah yang sama dan sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.“Bisa kita buat kesepakatan, Ma.” Keheningan itu akhirnya berakhir dengan Fajar yang lebih dulu berbicara. “Setidaknya agar kita nggak terus-menerus berselesih dan bisa mengakhirinya.”Fajar sudah menyerah dengan kehidupan sebelumnya yang membuatnya dihinggapi rasa bersalah yang begitu besar. Sekarang dia hanya ingin kedamaian. Hanya kedamaian di sisa usianya yang sudah semakin menua.“Gia ingin tinggal di dekat Galen dan kami sedang mencari rumah yang barangkali akan dijual.” Meskipun itu belum final, tetapi Fajar sengaja memancing istrinya. Terbukti, perempuan tampak tidak terima. “Mungkin nanti sesekali aku juga akan menginap di sana agar dekat dengan cucu-c
“Ibu, ada Bu Retno datang.”Laporan itu membuat Levana yang memejamkan matanya itu sontak terbuka. Dia sedang berbaring di kursi malas di teras belakang rumahnya. Sejak dia tak bisa menghirup aroma masakanan yang kuat, dia tak lagi datang ke restorannya.Galen meminta Yana untuk menangani semuanya dan tentu saja perempuan itu melakukannya dengan baik. Kegiatan Levana sekarang tidak jauh-jauh dari membaca buku, atau berbaring santai di rumah.“Persilakan saja masuk, Bik.” Suaranya terdengar lemah.“Mau saya bantu jalan, Bu?” tawar Bibi setelah itu.“Nggak usah. Saya bisa kok.”Kehamilan Levana kali ini benar-benar diuji. Setiap makanan yang masuk ke dalam perut pun keluar lagi tak lama setelah itu. Suapan ayahnya hanya mempan malam itu saja dan selanjutnya tetap saja Levana memuntahkan makanannya.Galen sekarang pun terkadang hanya bekerja sebentar karena sisa waktunya digunakan untuk menemani sang istri di rumah. Ya, sekarang tidak ada pengendali apa pun dari Galen dan membuatnya beba
“Papa udah menyadari kesalahan Papa dan itu sudah cukup. Sekarang Papa bisa mencoba untuk memperbaiki semuanya.” Gia ikut menatap ke arah Birru yang tampak bahagia bermain dengan Dante yang mengangkatnya seperti pesawat. “Birru hanya anak-anak yang hatinya masih sangat lembut. Aku yakin dia akan luluh.”“Ya. Terima kasih sudah mendukung Papa.”Fajar hanya mengangguk. Lalu berlalu membawa Naka yang masih ada di gendongannya mendekati Birru. Di sana juga ada suami Gia yang duduk santai sambil menatap Birru.“Papa,” sapa lelaki itu dan bergeser agar ayah mertuanya bisa duduk di sampingnya.Fajar mendaratkan bokongnya di samping Heydar dan menurunkan Naka. Naka langsung berlari mendekati Dante dan meminta diterbangkan seperti Birru. Dante melakukannya dan Birru tertawa sambil bertepuk tangan melihat adiknya berteriak senang.Senyum Fajar tak bisa ditahan. Melihat rukunnya dua sepupu itu perasaannya menghangat. “Mereka bahagia banget,” komentarnya. “Apa pertama kali mereka bertemu juga sep
“Jadi sekarang, diam-diam Papa sudah berdamai dengan Galen dan istrinya?” Lemparan pertanyaan itu dari Retno yang sudah menunggu kedatangan sang suami.Perempuan paruh baya itu duduk di sofa ditemani sepi dan jantung yang bertalu kuat. Sejak tadi dia sudah menunggu Fajar berdiri di depannya karena dia ingin mengonfrontasi lelaki itu dengan banyak pertanyaan.Retno menoleh kepada Fajar yang terdiam di tengah ruangan sebelum dia melangkahkan kakinya. Fajar duduk di sofa yang sama sambil melepas dasi yang membelit kerah bajunya. Tarikan napasnya panjang sebelum dihembuskan keras.“Udah kemakan mulut manis Levana?” tuduhnya tak main-main.Fajar tidak marah, ia justru menjawab dengan santai. “Aku yang lebih dulu mendekati mereka dan meminta maaf atas semua kesalahan yang sudah aku perbuat di masa lalu,” akunya. “Aku udah nggak bisa lagi mejauhi mereka. Terutama Birru. Aku udah nggak bisa lagi menganggap dia nggak ada.”“Semudah itu Papa luluh dengan mereka?”“Mudah? Apa selama ini nggak cu
Pelukan Galen mengerat ketika Levana seakan terusik dalam tidurnya. Malam sudah larut, tetapi Galen lagi-lagi tak mampu memejamkan matanya. Ada banyak hal yang dipikirkan dan salah satunya adalah tentang perubahan sikap ayahnya.Ia percaya kalau ayahnya memang benar-benar sudah berubah, tetapi itu tak serta merta membuatnya merasa tenang. Entah bagaimana reaksi ibunya nanti saat sang ayah memutuskan untuk berdamai dengannya.Keesokan harinya, pagi sekali, bel pintu rumah terdengar. Masih pukul setengah tujuh dan di lantai satu disibukkan oleh kegiatan para asisten rumah tangga. Aroma makanan sudah tercium sampai keluar rumah.“Bapak Fajar.” Pintu terbuka dan Bibi terkejut atas kedatangan ayah Galen tersebut. “Mari silakan, Pak.”Fajar hanya mengulas senyum tipis sebelum melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Tatapannya mengitari ruangan dan atmosfernya masih sama seperti sebelumnya. Fajar dulu sesekali juga datang ke rumah tersebut.“Bapak mau dibuatkan kopi atau teh?” tanya Bibi







