Share

Part 8

Author: Loyce
last update Last Updated: 2025-08-13 15:00:12

Levana pulang lebih awal dari sebelumnya. Setelah bertemu dengan Fandi, dia merasa ketenangannya terusik. Dia takut tiba-tiba saja Galen mencari tahu tentang Birru dan mengambil paksa Birru dari hidupnya. Demi Tuhan, jika itu terjadi, Levana hanya akan berakhir menjadi gila detik itu juga.

“Birru mana, Sus?” tanya Levana kepada pengasuh putranya tersebut ketika sudah sampai rumah.

Menunjukkan ekspresi tidak tenangnya, Levana mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Ketakutannya mencengkram kuat dalam jiwanya. Dia bisa kehilangan apa pun di dunia ini, tetapi tidak dengan Birru.

Birru adalah hidupnya, jantungnya, dan mana mungkin dia bisa hidup jika jantungnya pergi dari raganya.

“Mas Birru main air di belakang, Bu. Baru aja.” Jawaban perempuan itu disertai dengan mengangkat handuk milik Birru untuk menunjukkan kepada Levana.

Levana tidak menunggu apa pun lagi ketika dia langsung melangkahkan kakinya ke belakang rumahnya. Kelegaan itu menghujani hatinya ketika melihat Birru tengah bermain air di kolam plastik hanya dengan mengenakan celana pendek.

Ya Tuhan, hanya melihat senyum bocah itu saja Levana merasa bahagia luar biasa. Dia singkirkan sejenak perasaan tidak nyaman yang ada di hatinya untuk memberikan balasan senyum untuk Birru.

“Mama udah pulang.” Begitu katanya sambil melonjak-lonjak. Tak lupa menunjukkan cengiran antusias kepada Levana karena kedatangan ibunya. “Birru mau renang-renang, Ma,” katanya dengan bahagia.

Levana mendekati kolam tersebut dan mengelus puncak kepala Birru dengan sayang. Menatap lekat pada bocah kecil itu dengan seksama seolah sudah lama tidak bertemu.

Tuhan, Birru adalah kebahagiaan yang tidak bisa diganti dengan apa pun. Mengesampingkan segala gundahnya, Levana mencoba untuk tidak terlihat penuh pikiran. Dia tak ingin membuat Birru melihatnya bersedih.

“Kalau begitu, Birru renang-renang aja. Mama ke kamar dulu.”

“Oke, Mama.”

Hanya jawaban itu saja yang dibutuhkan oleh Levana ketika dia berbalik pergi dari halaman belakang. Memutuskan memanjat tangga untuk bisa sampai ke kamarnya, Levana perlu menentramkan batinnya yang berkecamuk. Dia harus mengembalikan suasana hatinya yang sudah terlanjur porak-poranda akibat Galen.

Alih-alih segera merebahkan tubuhnya ketika sampai di kamar, Levana justru menyibak gorden yang menutupi pintu balkon. Angin sore terasa sepoi menghantam wajahnya. Levana duduk di kursi yang berada di sana dan mendongak menatap langit.

“Apa yang harus aku lakukan sekarang, Tuhan?” tanyanya sambil menatap awan yang bergerak pelan. “Aku tidak ingin berurusan dengan Galen lagi, tetapi aku tahu laki-laki itu tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan.”

Levana jelas tahu betul sifat lelaki itu. Galen bukan orang yang mudah dipukul mundur. Lima tahun tidak bertemu, Levana yakin Galen semakin keras kepala. Terbukti lelaki itu mampu menganggapnya tidak ada di pertemuan pertama mereka setelah lima tahun tidak bertemu.

Ya, Levana menyadari sikap Galen itu sangat wajar mengingat apa yang sudah dia lakukan kepada lelaki tersebut. Dia sudah menorehkan luka dalam yang tidak termaafkan. Meninggalkan seseorang di titik terendahnya adalah sebuah dosa besar. Tak hanya itu, dia juga sudah menjauhkan Galen dengan anak yang sangat dicintainya.  

“Tapi, dia sudah punya istri, ‘kan? Dia seharusnya tidak perlu mengusik kami lagi.” Levana terus berkata kepada keheningan yang mencekam.

Meskipun Galen sudah menikah, bukankah tidak mengingkari fakta jika Galen adalah ayah biologis Birru. Lelaki itu berhak atas putranya. Pikiran itu berkecamuk rumit.

Memejamkan mata, Levana mencoba terus mengingatkan dirinya untuk tenang. Dia harus mengurai satu per satu benang berantakan yang saling membelit isi kepalanya. Menolak Galen memang tidak mudah, tetapi dia akan berusaha. Levana akan memberikan pengertian kepada lelaki itu agar tidak perlu lagi melibatkan diri dengan Birru.

Toh pada akhirnya nanti, Birru juga tidak akan diterima oleh keluarga lelaki itu. Mungkin atas dasar itulah dia bisa ‘bernegosiasi’ dengan Galen. Keberadaan Birru di hidup Galen hanya akan menambah masalah baru dalam keluarga lelaki itu. Ibunya pasti akan menolak secara terang-terangan.

Levana ingat betul bagaimana seorang Retno Hamiruddin dengan suara lantang tidak menginginkan cucu yang dilahirkan dari rahimnya.

“Mama.” Suara itu terdengar dari luar kamar Levana, menyentak kesadaran perempuan itu.  Birru membuka pintu dan tersenyum lebar sebelum langka-langkah kakinya memupus jarak antara Levana dan Birru.

“Udah ganteng anak Mama.” Begitu kata Levana sambil merentangkan kedua tangannya.

Birru masuk ke dalam pelukan ibunya dan segera, wangi minyak telon bercampur parfum anak langsung memenuhi penciuman Levana. Meskipun sudah berusia lima tahun, suster Birru masih mengolesi minyak telon di perut dan punggungnya setiap selesai mandi.

“Mama, ayo kita jalan-jalan.” Bocah itu merangkum wajah Levana dengan kedua tangannya yang kecil. “Naik motor sama Mama seperti dulu-dulu.”

Sudah berapa bulan Levana sibuk dengan pekerjaannya sampai dia tak memiliki waktu untuk putranya. Dia pergi bekerja bebarengan dengan Birru berangkat sekolah, dan sering pulang malam ketika putranya sudah tidur. Kalaupun belum tidur, Birru sudah lelah dengan aktivitasnya sehari-hari.

“Jalan-jalan ke mana?” tanya Levana dengan lembut. “Birru nggak capek apa?”

“Birru mau keliling aja sama Mama naik motor. Nanti beli balon tiup Mama.”

Levana terkekeh kecil mendengar permintaan sederhana yang diinginkan oleh Birru. Dia pasti akan merasakan menjadi jahat jika menolak permintaan sederhana tersebut dari Birru.

“Kalau begitu, tunggu Mama, ya. Mama mandi dulu. Boleh?”

“Oke!” Birru mengacungkan kedua jempolnya dengan senyum indahnya.

Semakin lama, Birru tumbuh menjadi mirip dengan Galen. Ada satu waktu di mana Levana merasa tercubit hatinya ketika dia melihat bocah itu yang tindak tanduknya mengingatkannya pada sosok sang ayah.

Mereka pergi setengah jam setelah itu. Levana membawa Birru jalan-jalan menggunakan motor seperti yang diinginkan oleh sang putra. Berhenti di sebuah taman tak jauh dari rumah, mereka duduk di kursi taman sambil menikmati waktu berdua.

Birru langsung mengeluarkan balon tiup dan mulai memaikannya. Levana merasa suasana hatinya sedikit membaik setelah berkeliling dengan putranya. Melihat Birru yang tampak begitu bersemangat itu pun membuatnya bisa meredam gejolak rasa duka yang menggema.

***

“Jadi, apa yang kamu dapatkan?”

Galen melemparkan pertanyaan kepada Fandi sambil tangannya sibuk membubuhkan tanda tangan pada dokumen penting. Di ruangannya hanya ada dirinya dan Fandi ditemani dengan detik jam yang membuat waktu terus berjalan.

“Saya tidak sengaja bertemu dengan Ibu dan Mas Birru, Pak.”

Praktis, tangan Galen segera terhenti ketika jawaban itu meluncur dari mulut Fandi. Kemudian dia mendongak untuk sekedar memberikan tatapan menilai pada asisten pribadinya tersebut.

“Kamu bilang kamu bertemu dengan mereka?” ulang Galen sekedar untuk meyakinkan pendengarannya. “Dengan Birru?”

Fandi tidak perlu mengatakan apa pun ketika dia mengambil ponselnya. Dia lantas mengotak-atiknya sebentar lalu memberikan kepada Galen. Foto candid itu langsung tersaji di depan matanya. Levana dengan seorang bocah sambil meniup balon.

Seluruh saraf Galen seakan mati dan dia terpekur dalam diam. Untuk pertama kalinya dalam hidup setelah Levana membawa pergi putranya, kini dia bisa melihat bocah itu lagi meskipun lewat layar ponsel. Jantungnya berdentam kencang mengacaukan segala kewarasan.

“Bapak bisa menggesernya karena ada banyak foto di sana. Ada potongan video pendek yang berhasil saya rekam.”

Dengan tangan sedikit gementar, Galen melakukan apa yang dikatakan oleh Fandi. Dia menggeser layar itu ke kanan dan mendapati foto Levana dan Birru sedang tertawa. Tawa lebar itu terlihat di bibir Birru menunjukkan kebahagiaan.

Bocah itu tampan dengan potongan rambut pendek dan rapi. Birru mengenakan kaos biru dan celana pendek. Kakinya dilapisi sepatu putih dan penampilannya sungguh keren. Galen melahap gambar-gambar itu dengan tatapannya sampai selesai. Kini dia tak bisa lagi merasa tenang.

“Kirimkan ke hp saya, Fan. Kamu boleh pergi.”

Galen tidak ingin terlihat lemah di depan siapa pun. Suasana hatinya mendadak mendung. Dokumen-dokumen yang sejak tadi menjadi fokusnya sebelum foto-foto itu menggantikannya, kini sudah tertepikan.

Suara langkah kaki Fandi menjauh membuat Galen menutup matanya rapat. Tanpa dia sadari, luka masa lalu yang berusaha dia balut itu kini mengeluarkan rasa sakit yang jauh lebih mengerikan.

Mengangkat gelas minumnya, dia langsung menenggak air putih itu sampai tandas. Tak cukup di sana, dia berdiri menuju kulkas yang ada di pojok ruangan. Mengambil satu minuman bersoda dan langsung menghabiskannya. Rasa terbakar di tenggorokannya tak dia indahkan karena rasa sakit hatinya jauh lebih besar.

“Ya Tuhan.” Galen memukul tepat di jantungnya mencoba mengurai rasa sakitnya. “Ya Tuhan.”

Dengan kaki yang tremor, Galen sampai di sofa dengan hati yang porak-poranda tak karuan. Dia nyalakan laki ponselnya, lalu melihat foto-foto itu berulang-ulang. Buncahan rindu itu seakan menggulung hatinya tiada ampun.

Tanpa terasa, setitik air mata itu muncul di sudut matanya. Titik itu nyatanya berubah menjadi aliran tipis di pelipisnya. Mengusapnya dengan kasar, lelak itu tidak bisa menunggu lebih lama lagi.

“Fandi!” teriaknya dari dalam ruangannya.

Tanpa panggilan yang kedua kali, Fandi masuk ke dalam ruangan Galen. “Saya, Pak.”

“Hubungi dia dan desak perempuan itu untuk mengatur pertemuan atau saya akan benar-benar merealisasikan ucapan saya.” Setiap ucapannya penuh penekanan. “Saya hanya bisa menahan diri sampai besok atau dia akan kehilangan Birru.”

“Baik, Pak.” Fandi langsung memahami apa yang harus dilakukan. “Tapi, Pak, saya sudah menemukan di mana Mas Birru sekolah.”

Hanya sepersekian detik ketika Galen mendongak dan menatap laki-laki berkaca mata tersebut dengan ketertarikan yang hakiki. Laki-laki itu berdiri dan tanpa pertimbangan dia langsung bertitah, “Kita ke sana sekarang!”

Sejujurnya, Galen sudah tidak bisa menahan diri untuk tidak menemui Levana dan mengurus sendiri semuanya. Namun, ada sisi hatinya yang menolak untuk melakukan itu dan pada akhirnya memerintahkan Fandi untuk menggantikannya.

“Bapak, sebentar lagi ada meeting.”

“Batalkan, atau kamu bisa menjadwal ulang!” Galen melangkah lebih dulu. Namun, baru saja sampai di depan pintu, justru sekretarisnya yang menghadang.

“Lima belas menit lagi, meeting akan dimulai, Pak.”

“Cancel,” katanya dengan ringan. “Ada hal lebih penting yang harus saya lakukan sekarang.”

“Pak, hanya sebentar. Ini soal gudang baru yang ada di Kalimantan.”

“Ada apa lagi sekarang?” Galen sedikit membentak. Kepalanya sudah dipenuhi dengan masalah putranya dan dia ingin semuanya cepat terselesaikan. “Kita sudah menyelesaikan masalah gudang baru itu di meeting bulan kemarin, Vio.”

“Kali ini ada masalah baru lagi, Pak. Beberapa alat kontruksi dicuri dan beberapa pekerja tidak bisa bekerja.”

“Astaga!” Galen kali ini tidak bisa menahan dirinya untuk tidak berteriak.

Dia bahkan sudah meninggikan suaranya dan memarahi Fandi mengingat lelaki itu tidak mengatakan apa pun tadi. Vio pun mengatakan jika kabar itu baru saja diterima olehnya. Hal ini membuat Galen harus menekan amarahnya dan meluapkan pada peserta rapat.

Galen kali ini merasa jika semesta mensabotase hidupnya. Untuk bertemu dengan putranya saja, dia harus dihadapkan masalah yang membuatnya sakit kepala.

***  

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rahasia Kepergian Istriku   Part 90

    Fajar menemui cucunya tanpa membawa apa pun di tangannya. Baru pukul setengah delapan malam ketika dia baru saja sampai di rumah Galen. Birru belum tidur dan dia masih asyik bersama dengan Dante di rumah sambil belajar.Kepalanya mendongak ketika Fajar datang, lalu tak ada sapaan yang keluar dari mulutnya, bocah itu menunduk kembali pura-pura sibuk. Fajar tidak protes karena dia tahu kalau cucunya itu belum ‘berdamai’ dengannya.“Mas Birru belajar apa?” tanya Fajar setelah itu. Duduk di samping Birru dan mulai pendekatannya.“Baca aja.” Meskipun singkat, tetapi tetap menjawab.“Mas Birru, Opa barusan dari rumah sakit. Mas Birru nggak mau tanya keadaan Mama?” Itu suara Daren. Sedikit membantu agar hubungan kakek dan cucu itu bisa lebih baik.Birru menatap Denta, tetapi tak acuh dengan Fajar. Suaranya pun tidak keluar sama sekali. Dia hanya diam. Nyatanya beberapa saat lalu dia begitu mengkhawatirkan ibunya yang berada di rumah sakit.Sejak pulang sekolah dia dikasih tahu oleh Bibi kala

  • Rahasia Kepergian Istriku   Part 89

    Ruang keluarga kediaman Fajar dikelilingi keheningan yang mencekam. Pasangan suami istri yang sejak tadi sudah sampai itu hanya diam tak mengatakan apa pun. Retno tak menjelaskan sesuatu, begitu juga dengan Fajar yang tak menanyakan sesuatu.Keduanya hanya menatap ke arah yang sama dan sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.“Bisa kita buat kesepakatan, Ma.” Keheningan itu akhirnya berakhir dengan Fajar yang lebih dulu berbicara. “Setidaknya agar kita nggak terus-menerus berselesih dan bisa mengakhirinya.”Fajar sudah menyerah dengan kehidupan sebelumnya yang membuatnya dihinggapi rasa bersalah yang begitu besar. Sekarang dia hanya ingin kedamaian. Hanya kedamaian di sisa usianya yang sudah semakin menua.“Gia ingin tinggal di dekat Galen dan kami sedang mencari rumah yang barangkali akan dijual.” Meskipun itu belum final, tetapi Fajar sengaja memancing istrinya. Terbukti, perempuan tampak tidak terima. “Mungkin nanti sesekali aku juga akan menginap di sana agar dekat dengan cucu-c

  • Rahasia Kepergian Istriku   Part 88

    “Ibu, ada Bu Retno datang.”Laporan itu membuat Levana yang memejamkan matanya itu sontak terbuka. Dia sedang berbaring di kursi malas di teras belakang rumahnya. Sejak dia tak bisa menghirup aroma masakanan yang kuat, dia tak lagi datang ke restorannya.Galen meminta Yana untuk menangani semuanya dan tentu saja perempuan itu melakukannya dengan baik. Kegiatan Levana sekarang tidak jauh-jauh dari membaca buku, atau berbaring santai di rumah.“Persilakan saja masuk, Bik.” Suaranya terdengar lemah.“Mau saya bantu jalan, Bu?” tawar Bibi setelah itu.“Nggak usah. Saya bisa kok.”Kehamilan Levana kali ini benar-benar diuji. Setiap makanan yang masuk ke dalam perut pun keluar lagi tak lama setelah itu. Suapan ayahnya hanya mempan malam itu saja dan selanjutnya tetap saja Levana memuntahkan makanannya.Galen sekarang pun terkadang hanya bekerja sebentar karena sisa waktunya digunakan untuk menemani sang istri di rumah. Ya, sekarang tidak ada pengendali apa pun dari Galen dan membuatnya beba

  • Rahasia Kepergian Istriku   Part 87

    “Papa udah menyadari kesalahan Papa dan itu sudah cukup. Sekarang Papa bisa mencoba untuk memperbaiki semuanya.” Gia ikut menatap ke arah Birru yang tampak bahagia bermain dengan Dante yang mengangkatnya seperti pesawat. “Birru hanya anak-anak yang hatinya masih sangat lembut. Aku yakin dia akan luluh.”“Ya. Terima kasih sudah mendukung Papa.”Fajar hanya mengangguk. Lalu berlalu membawa Naka yang masih ada di gendongannya mendekati Birru. Di sana juga ada suami Gia yang duduk santai sambil menatap Birru.“Papa,” sapa lelaki itu dan bergeser agar ayah mertuanya bisa duduk di sampingnya.Fajar mendaratkan bokongnya di samping Heydar dan menurunkan Naka. Naka langsung berlari mendekati Dante dan meminta diterbangkan seperti Birru. Dante melakukannya dan Birru tertawa sambil bertepuk tangan melihat adiknya berteriak senang.Senyum Fajar tak bisa ditahan. Melihat rukunnya dua sepupu itu perasaannya menghangat. “Mereka bahagia banget,” komentarnya. “Apa pertama kali mereka bertemu juga sep

  • Rahasia Kepergian Istriku   Part 86

    “Jadi sekarang, diam-diam Papa sudah berdamai dengan Galen dan istrinya?” Lemparan pertanyaan itu dari Retno yang sudah menunggu kedatangan sang suami.Perempuan paruh baya itu duduk di sofa ditemani sepi dan jantung yang bertalu kuat. Sejak tadi dia sudah menunggu Fajar berdiri di depannya karena dia ingin mengonfrontasi lelaki itu dengan banyak pertanyaan.Retno menoleh kepada Fajar yang terdiam di tengah ruangan sebelum dia melangkahkan kakinya. Fajar duduk di sofa yang sama sambil melepas dasi yang membelit kerah bajunya. Tarikan napasnya panjang sebelum dihembuskan keras.“Udah kemakan mulut manis Levana?” tuduhnya tak main-main.Fajar tidak marah, ia justru menjawab dengan santai. “Aku yang lebih dulu mendekati mereka dan meminta maaf atas semua kesalahan yang sudah aku perbuat di masa lalu,” akunya. “Aku udah nggak bisa lagi mejauhi mereka. Terutama Birru. Aku udah nggak bisa lagi menganggap dia nggak ada.”“Semudah itu Papa luluh dengan mereka?”“Mudah? Apa selama ini nggak cu

  • Rahasia Kepergian Istriku   Part 85

    Pelukan Galen mengerat ketika Levana seakan terusik dalam tidurnya. Malam sudah larut, tetapi Galen lagi-lagi tak mampu memejamkan matanya. Ada banyak hal yang dipikirkan dan salah satunya adalah tentang perubahan sikap ayahnya.Ia percaya kalau ayahnya memang benar-benar sudah berubah, tetapi itu tak serta merta membuatnya merasa tenang. Entah bagaimana reaksi ibunya nanti saat sang ayah memutuskan untuk berdamai dengannya.Keesokan harinya, pagi sekali, bel pintu rumah terdengar. Masih pukul setengah tujuh dan di lantai satu disibukkan oleh kegiatan para asisten rumah tangga. Aroma makanan sudah tercium sampai keluar rumah.“Bapak Fajar.” Pintu terbuka dan Bibi terkejut atas kedatangan ayah Galen tersebut. “Mari silakan, Pak.”Fajar hanya mengulas senyum tipis sebelum melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Tatapannya mengitari ruangan dan atmosfernya masih sama seperti sebelumnya. Fajar dulu sesekali juga datang ke rumah tersebut.“Bapak mau dibuatkan kopi atau teh?” tanya Bibi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status