Mag-log inLevana Shafa meninggalkan suami yang dicintainya – Galen Ravindra – saat lelaki itu berada di titik terendah hidupnya. Membawa seorang bayi laki-laki yang baru berusia satu bulan. Hal itu membuat Galen marah dan membenci Levana sampai ke tulang-tulangnya. Namun, yang tidak pernah Galen ketahui adalah jika ada sebuah rahasia besar yang Levana sembunyikan sebelum kepergiannya. Ketika mereka bertemu kembali setelah beberapa tahun, Galen ingin membalaskan dendamnya yang masih terpatri di dalam hati terdalamnya. Sayangnya, kebencian itu berbanding terbalik dengan kerinduannya kepada anak laki-lakinya. Bayi laki-laki yang dulu baru berusia satu bulan itu kini sudah berusia lima tahun. Tampan dan menggemaskan. Lantas, bagimana dia harus bersikap? Tetap membalaskan dendamnya kepada Levana dengan mengambil putranya, atau justru pertahanannya runtuh karena masih ada cinta yang begitu besar untuk sang mantan istri?
view more“Mas, aku ingin bercerai.”
Levana menatap suaminya dengan tatapan datar tanpa perasaan. Galen yang baru saja menenggak minumannya itu segera menoleh dan menatap istrinya dengan kening mengernyit. Tampak begitu heran.
Tidak ada reaksi yang berlebihan yang diberikan oleh Galen setelah itu kecuali hanya diam. Dia baru saja pulang dari kantor membawa serta tubuh yang lelah luar biasa. Seharusnya dia mendapatkan ketenangan saat berada di rumah, tetapi justru sebaliknya. Namun, Galen tidak menganggap ucapan istrinya itu sebagai hal yang serius.
“Sayang, kalau bercanda jangan keterlaluan. Aku baru pulang lho ini. Di perusahaan sangat tidak terkendali.” Begitu tanggapan Galen dengan lembut.
“Aku nggak sedang bercanda, Mas. Aku udah berpikir panjang dan memutuskan untuk bercerai denganmu.” Levana menjawab dengan tegas tanpa ada gurat keraguan.
Ekspresi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan gejolak apa pun. Dia hanya terlihat datar dan tidak berperasaan. Galen yang tadinya mengeluarkan senyumnya itu kini mengerutkan bibirnya. Menatap lebih dalam istrinya yang tiba-tiba berubah.
Dua hari lalu ketika dia meninggalkan Levana pergi ke kantor, semua masih baik-baik saja. Galen menginap di kantor untuk mengurus semua masalah yang terjadi pada perusahaannya. Perusahaan itu sedang dalam ambang pailit dan Galen berupaya untuk menyelamatkannya.
“Kenapa kamu tiba-tiba seperti ini?” Galen masih berbicara lembut. Dia tidak ingin membentak Levana meskipun dia ingin. Galen masih berpikir jika ini hanya sebuah candaan istrinya sekedar untuk bermain-main. “Apa kita ada masalah selama ini?”
“Kita nggak pernah memiliki masalah, Mas. Tapi, kamu yang bermasalah.” Levana menusuk suaminya dengan ucapannya. “Aku pikir perusahaan kamu akan tetap terkontrol dengan baik, ternyata sekarang justru limbung dan hampir bangkrut.”
“Kamu ingin cerai karena perusahaanku bermasalah?” Galen mencoba menebak.
“Iya. Aku tahu kondisi perekonomianmu sedang tidak bagus. Perusahaan sebentar lagi pailit. Lalu, bagaimana denganku dengan anak kita kedepannya? Aku rasa aku nggak bisa bertahan denganmu kalau harus ikut menanggung semua beban ini.”
“Kamu pikir karena perusahaan sekarang bermasalah, lantas kamu menganggap aku nggak bisa menafkahi kalian?”
“Kamu memang bisa menafkahiku, tapi apa bisa memberikanku lebih dari itu?” Levana masih bertahan dengan ekspresi datar yang dimiliki. Dia layaknya tokoh antagonis yang berada di sebuah film. Hal itu mampu menyentil perasaan Galen.
“Sayang.” Galen mendekat pada Levana. Lelaki itu menggengam tangan istrinya dengan kuat menunjukkan jika dia tak ingin kehilangan perempuan yang dicintianya. “Aku tahu sekarang perusahaan sedang dalam masa krisis, tapi kita pasti akan bisa melewati semuanya. Aku sedang berjuang sekarang.”
“Nggak ada jaminan perusahaan itu bangkit tanpa suntikan dana, Mas. Aku tahu mendapatkan dana sebanyak itu nggak mudah. Jadi, aku putuskan untuk mundur. Aku nggak bisa berada di sisimu lagi.”
Galen terdiam tak bisa berkata-kata. Tatapannya mengarah lurus pada mata Levana dan mencari kebohongan dalam sorot mata istrinya. Namun, seperti palu yang memukul hatinya, Galen tidak menemukan sorot lain di sana. Dia hanya melihat keteguhan Levana dengan keputusan yang diambil.
Beranjak, Galen mengusap wajahnya dengan kasar. Dia merasa seperti kehilangan setengah dari jiwanya. Apa benar, perempuan yang ada di depannya itu adalah Levana-nya. Apa benar yang sekarang dihadapi adalah istrinya? Perempuan yang selalu bersikap lembut dan mencintainya? Itulah pertanyaan yang bercokol di dalam kepala Galen saat ini.
“Lev, tunggulah sebentar lagi. Benar-benar sebentar lagi. Aku janji akan menyelesaikan semuanya dengan benar dan kita bisa hidup seperti sebelumnya.” Galen mengatakan itu dengan sungguh-sungguh tanpa ada keraguan sedikitpun. “Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Aku akan menganggap kamu nggak pernah mengatakan apa pun sebelumnya, tetaplah di sini, di sisiku.”
Levana menggeleng. “Mulai sekarang Mas harus bisa mencoba untuk hidup tanpa aku. Akan ada perempuan yang lebih baik yang akan menggantikanku. Yang pasti, dia lebih tulus dariku.”
“Tapi aku nggak mau sama siapa pun selain kamu, Lev. Kamu lupa kalau perpisahan kita akan berdampak pada anak kita? Kamu istriku, Lev. Kamu yang seharusnya ada bersamaku dan mendampingiku bagaimanapun keadaannya! Ingat, Birru masih bayi dan dia butuh kita.”
“Dia hanya butuh aku, Mas. Dia nggak butuh kamu.” Kalimat itu sepergi godam yang menghantam nurani. “Sorry, Mas. Aku benar-benar nggak bisa melanjutkan hidup sama kamu.”
“Apa kamu nggak percaya kalau aku akan mampu melewati semua ini? Aku nggak minta kamu berjuang bersamaku. Aku hanya ingin kamu ada di sini menungguku pulang dan memberiku dukungan. Itu aja.” Galen masih mencoba untuk mempertahankan istrinya di sisinya.
Galen menatap Levana yang masih tampak begitu tenang. Lelaki itu terlihat sudah mulai tersulut emosi. Wajahnya bahkan sudah memerah karena amarah. Namun, dia masih mencoba untuk tidak berucap kasar kepada perempuan yang sudah memberikannya satu putra tersebut.
“Aku nggak bisa Mas. Aku akan tetap pergi dan tolong segera urus surat perceraiannya.”
“Kenapa kamu harus bersikap seperti ini, Lev. Apa yang kurang aku berikan ke kamu selama ini?” Pada akhirnya, Galen tidak lagi bisa menahan diri untuk tidak berteriak. “Aku selalu berjuang untuk memberikan yang terbaik untuk kamu. Untuk kita. Lalu kenapa kamu harus meminta cerai di saat aku berada di titik terendah dalam hidupku, Lev. Apa yang harus aku lakukan agar kamu bisa tetap tinggal?” Galen berdiri dan mondar-mandir tidak tenang.
Kali ini Levana berdiri. Dia mendekati Galen dan menatap suaminya penuh dengan rasa berkecamuk. Sayangnya, dia terlalu mahir mengolah ekspresi wajahnya agar terlihat tetap tenang.
“Percayalah, Mas. Akan ada hal lebih besar di depan sana yang akan bisa kita dapatkan kalau kita berpisah.”
“Omong kosong!” Galen meledak dalam amarah. “Jangan-jangan, kamu menemukan lelaki yang lebih kaya dariku?”
Levana diam tidak menjawab. Dia memilih untuk tidak menjelaskan apa pun kepada Galen dan menelan apa pun sendiri.
“Aku ke atas dulu. Aku akan bersiap untuk pergi.” Levana pergi begitu saja dari hadapan Galen. Setetes air mata tak lagi bisa dibendung yang pada akhirnya meluncur begitu saja. Namun, dia segera menyekanya agar tidak terlihat lemah di depan Galen.
Dengan langkah lebar, Levana menaiki tangga meninggalkan Galen. Mengenakan outernya, menggendong bayinya yang sudah membebatnya menggunakan selimut agar tetap hangat, Levana bergegas untuk mengambil koper yang sudah dipersiapkan. Lantas, dia keluar dari kamar dan kembali memasang wajah datarnya.
Galen sudah menunggu di depan kamar dengan kemarahan yang terlihat di wajahnya. “Sepertinya kamu sudah mempersiapkan semuanya,” ucap Galen. “Kamu bahkan sudah mengepak barang-barangmu sebelum aku pulang. Lalu, Birru ….”
“Tetaplah sehat, Mas.” Levana memutus ucapan Galen cepat. “Jangan lupa makan. Mungkin kita hanya berjodoh sampai di sini. Aku harap setelah ini Mas akan bahagia.”
Levana memberikan tatapan ketegarannya di depan sang suami. Tidak ada jejak kesedihan yang terlihat di wajahnya. Levana berjalan melewati Galen sebelum suara suaminya menghentikan langkahnya.
“Tinggalkan putraku di sini.” Suara Galen begitu dingin dan tajam. “Aku yang berhak atas dia.”
“Dia masih bayi dan dia lebih membutuhkanku. Aku tidak akan meninggalkan Birru di sini bersamamu dengan kondisimu yang masih berantakan. Fokuslah pada perusahaanmu dan tidak perlu memikirkan kami.”
“Aku tidak memikirkan kamu, Leva. Tapi, aku sedang memikirkan putraku. Ke mana kamu akan membawanya!” Galen sedikit meninggikan suaranya.
“Ke mana pun asal tidak di sini.” Levana menggenggam pegangan koper dengan kuat menahan segala gejolak yang muncul di dalam hatinya. Memberikan lontaran kalimat yang membuat Galen akan setengah mati membencinya. “Birru seorang laki-laki, di masa depan, dia tak membutuhkan kamu sebagai wali nikahnya.”
***
Fajar menemui cucunya tanpa membawa apa pun di tangannya. Baru pukul setengah delapan malam ketika dia baru saja sampai di rumah Galen. Birru belum tidur dan dia masih asyik bersama dengan Dante di rumah sambil belajar.Kepalanya mendongak ketika Fajar datang, lalu tak ada sapaan yang keluar dari mulutnya, bocah itu menunduk kembali pura-pura sibuk. Fajar tidak protes karena dia tahu kalau cucunya itu belum ‘berdamai’ dengannya.“Mas Birru belajar apa?” tanya Fajar setelah itu. Duduk di samping Birru dan mulai pendekatannya.“Baca aja.” Meskipun singkat, tetapi tetap menjawab.“Mas Birru, Opa barusan dari rumah sakit. Mas Birru nggak mau tanya keadaan Mama?” Itu suara Daren. Sedikit membantu agar hubungan kakek dan cucu itu bisa lebih baik.Birru menatap Denta, tetapi tak acuh dengan Fajar. Suaranya pun tidak keluar sama sekali. Dia hanya diam. Nyatanya beberapa saat lalu dia begitu mengkhawatirkan ibunya yang berada di rumah sakit.Sejak pulang sekolah dia dikasih tahu oleh Bibi kala
Ruang keluarga kediaman Fajar dikelilingi keheningan yang mencekam. Pasangan suami istri yang sejak tadi sudah sampai itu hanya diam tak mengatakan apa pun. Retno tak menjelaskan sesuatu, begitu juga dengan Fajar yang tak menanyakan sesuatu.Keduanya hanya menatap ke arah yang sama dan sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.“Bisa kita buat kesepakatan, Ma.” Keheningan itu akhirnya berakhir dengan Fajar yang lebih dulu berbicara. “Setidaknya agar kita nggak terus-menerus berselesih dan bisa mengakhirinya.”Fajar sudah menyerah dengan kehidupan sebelumnya yang membuatnya dihinggapi rasa bersalah yang begitu besar. Sekarang dia hanya ingin kedamaian. Hanya kedamaian di sisa usianya yang sudah semakin menua.“Gia ingin tinggal di dekat Galen dan kami sedang mencari rumah yang barangkali akan dijual.” Meskipun itu belum final, tetapi Fajar sengaja memancing istrinya. Terbukti, perempuan tampak tidak terima. “Mungkin nanti sesekali aku juga akan menginap di sana agar dekat dengan cucu-c
“Ibu, ada Bu Retno datang.”Laporan itu membuat Levana yang memejamkan matanya itu sontak terbuka. Dia sedang berbaring di kursi malas di teras belakang rumahnya. Sejak dia tak bisa menghirup aroma masakanan yang kuat, dia tak lagi datang ke restorannya.Galen meminta Yana untuk menangani semuanya dan tentu saja perempuan itu melakukannya dengan baik. Kegiatan Levana sekarang tidak jauh-jauh dari membaca buku, atau berbaring santai di rumah.“Persilakan saja masuk, Bik.” Suaranya terdengar lemah.“Mau saya bantu jalan, Bu?” tawar Bibi setelah itu.“Nggak usah. Saya bisa kok.”Kehamilan Levana kali ini benar-benar diuji. Setiap makanan yang masuk ke dalam perut pun keluar lagi tak lama setelah itu. Suapan ayahnya hanya mempan malam itu saja dan selanjutnya tetap saja Levana memuntahkan makanannya.Galen sekarang pun terkadang hanya bekerja sebentar karena sisa waktunya digunakan untuk menemani sang istri di rumah. Ya, sekarang tidak ada pengendali apa pun dari Galen dan membuatnya beba
“Papa udah menyadari kesalahan Papa dan itu sudah cukup. Sekarang Papa bisa mencoba untuk memperbaiki semuanya.” Gia ikut menatap ke arah Birru yang tampak bahagia bermain dengan Dante yang mengangkatnya seperti pesawat. “Birru hanya anak-anak yang hatinya masih sangat lembut. Aku yakin dia akan luluh.”“Ya. Terima kasih sudah mendukung Papa.”Fajar hanya mengangguk. Lalu berlalu membawa Naka yang masih ada di gendongannya mendekati Birru. Di sana juga ada suami Gia yang duduk santai sambil menatap Birru.“Papa,” sapa lelaki itu dan bergeser agar ayah mertuanya bisa duduk di sampingnya.Fajar mendaratkan bokongnya di samping Heydar dan menurunkan Naka. Naka langsung berlari mendekati Dante dan meminta diterbangkan seperti Birru. Dante melakukannya dan Birru tertawa sambil bertepuk tangan melihat adiknya berteriak senang.Senyum Fajar tak bisa ditahan. Melihat rukunnya dua sepupu itu perasaannya menghangat. “Mereka bahagia banget,” komentarnya. “Apa pertama kali mereka bertemu juga sep
“Jadi sekarang, diam-diam Papa sudah berdamai dengan Galen dan istrinya?” Lemparan pertanyaan itu dari Retno yang sudah menunggu kedatangan sang suami.Perempuan paruh baya itu duduk di sofa ditemani sepi dan jantung yang bertalu kuat. Sejak tadi dia sudah menunggu Fajar berdiri di depannya karena dia ingin mengonfrontasi lelaki itu dengan banyak pertanyaan.Retno menoleh kepada Fajar yang terdiam di tengah ruangan sebelum dia melangkahkan kakinya. Fajar duduk di sofa yang sama sambil melepas dasi yang membelit kerah bajunya. Tarikan napasnya panjang sebelum dihembuskan keras.“Udah kemakan mulut manis Levana?” tuduhnya tak main-main.Fajar tidak marah, ia justru menjawab dengan santai. “Aku yang lebih dulu mendekati mereka dan meminta maaf atas semua kesalahan yang sudah aku perbuat di masa lalu,” akunya. “Aku udah nggak bisa lagi mejauhi mereka. Terutama Birru. Aku udah nggak bisa lagi menganggap dia nggak ada.”“Semudah itu Papa luluh dengan mereka?”“Mudah? Apa selama ini nggak cu
Pelukan Galen mengerat ketika Levana seakan terusik dalam tidurnya. Malam sudah larut, tetapi Galen lagi-lagi tak mampu memejamkan matanya. Ada banyak hal yang dipikirkan dan salah satunya adalah tentang perubahan sikap ayahnya.Ia percaya kalau ayahnya memang benar-benar sudah berubah, tetapi itu tak serta merta membuatnya merasa tenang. Entah bagaimana reaksi ibunya nanti saat sang ayah memutuskan untuk berdamai dengannya.Keesokan harinya, pagi sekali, bel pintu rumah terdengar. Masih pukul setengah tujuh dan di lantai satu disibukkan oleh kegiatan para asisten rumah tangga. Aroma makanan sudah tercium sampai keluar rumah.“Bapak Fajar.” Pintu terbuka dan Bibi terkejut atas kedatangan ayah Galen tersebut. “Mari silakan, Pak.”Fajar hanya mengulas senyum tipis sebelum melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Tatapannya mengitari ruangan dan atmosfernya masih sama seperti sebelumnya. Fajar dulu sesekali juga datang ke rumah tersebut.“Bapak mau dibuatkan kopi atau teh?” tanya Bibi












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments