Beranda / Romansa / Rahasia Malam Itu / Bab 7 – Pertemuan Tanpa Jalan Mundur

Share

Bab 7 – Pertemuan Tanpa Jalan Mundur

Penulis: iskz08
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-15 10:11:55

Langkah kaki Anetta terdengar berirama di sepanjang lorong kantor Reynard Group. Hak sepatunya memantul di lantai marmer, meninggalkan gema yang terasa lebih nyaring dari biasanya. Setiap orang yang ia lewati menunduk hormat, sebagian melirik dengan rasa ingin tahu. Tak setiap hari CEO ReyCorp meminta rapat privat dengan seorang desainer interior untuk proyek besar mereka.

“Tenang, Ta. Kamu bisa hadapi ini,” bisiknya dalam hati. Tapi telapak tangannya yang dingin membantah.

Pintu ruang rapat terbuka otomatis, memperlihatkan ruangan luas dengan jendela kaca besar yang menatap langsung ke skyline Jakarta. Di ujung meja, Anthony sudah berdiri. Jas hitamnya rapi, dasi senada, seolah keluar dari majalah bisnis. Tapi bukan itu yang membuat dada Anetta sesak. Tatapan itu—tatapan yang seperti menembus pertahanannya—masih sama seperti dulu.

“Selamat pagi, Miss Anetta,” sapa Anthony dengan senyum tipis, nada formal namun sarat makna.

Anetta membalas dengan anggukan singkat, meletakkan map berisi sketsa desain. “Pagi. Mari langsung ke agenda rapat, saya sudah siapkan konsep awal untuk proyek Anda.”

Anthony terkekeh kecil, nadanya setengah mengejek. “Selalu to the point, ya? Lima tahun berlalu, tapi kamu masih sama.”

Anetta menahan diri agar ekspresinya tetap datar. “Kita di sini untuk urusan pekerjaan, Pak Reynard.”

Pria itu berjalan perlahan mendekat, sengaja tidak langsung duduk. “Aku bisa memanggilmu Anetta saja, bukan?”

“Lebih baik jangan.” Jawabannya tegas, meski jantungnya berdentum liar.

Sejenak, hening merayapi ruangan. Hanya suara AC yang mendengung halus. Akhirnya Anthony duduk, membuka laptop, dan menggeser layar ke arah Anetta.

“Baiklah, kalau begitu mari kita bicara proyek. Aku sudah lihat portofolio karyamu. Sentuhan detailmu… khas sekali. Itu sebabnya aku mau langsung bertemu denganmu, bukan lewat tim.”

Anthony membuka laptop, menampilkan blueprint gedung baru Reynard Group—sebuah proyek apartemen mewah di pusat Jakarta. “Inilah proyek yang aku percayakan padamu. Skyline Tower. 60 lantai, konsep hunian premium. Aku ingin interiornya berbeda dari kebanyakan apartemen elit yang kaku. Harus ada sentuhan personal, hangat, tapi tetap elegan.”

Anetta mencondongkan tubuh, menatap layar, lalu membuka map berisi sketsanya. “Saya sudah menyiapkan beberapa konsep. Fokus saya ada pada pencahayaan alami dan permainan material. Misalnya, ruang lobi dengan marmer putih berpadu kayu walnut, dinding kaca setinggi 12 meter untuk menampilkan panorama kota, serta chandelier modern yang bisa menjadi statement piece.”

Anthony mengangguk kecil, matanya memperhatikan bukan hanya sketsa, tapi juga cara Anetta menjelaskan.

“Untuk unit apartemen,” lanjut Anetta, “saya ingin setiap ruangan terasa hidup, bukan sekadar tempat tinggal. Ada permainan cahaya hangat, lantai parket oak agar lebih humanis, dan ruang tamu yang langsung terkoneksi dengan balkon besar. Kesan mewah tapi tetap nyaman.”

Anthony menyipitkan mata, lalu berkata pelan, “Kedengarannya seperti… sebuah rumah. Bukan sekadar properti.”

Anetta terdiam sepersekian detik, sebelum menjawab, “Karena orang membeli rumah, Pak Reynard. Bukan hanya bangunan. Mereka membeli rasa aman.”

Kata-katanya membuat Anthony menatapnya lebih lama. Ada sesuatu di balik penekanan Anetta, seakan ia bicara bukan hanya tentang klien, tapi juga dirinya sendiri.

“Dan untuk penthouse di lantai teratas,” tambah Anetta, menaruh lembar sketsa terakhir, “saya bayangkan dinding kaca penuh, perpaduan modern-minimalis dengan aksen furnitur custom. Tempat tinggal sekaligus simbol status.”

Anthony mengusap dagunya, matanya berkilat. “Kamu tahu persis bagaimana membaca pasar… dan membaca aku.”

Anetta buru-buru mengalihkan pandangan. “Saya hanya bekerja sesuai permintaan. Detail selebihnya bisa disesuaikan dengan tim Anda.”

Anthony bersandar ke kursinya, senyum samar terukir. “Tidak. Detailnya akan aku sesuaikan denganmu. Aku ingin proyek ini bernafas melalui matamu, bukan sekadar mengikuti standar pasar.”

Anetta mencondongkan tubuh, kembali menunjukkan sketsa desain interior untuk proyek properti mewah. Ia menjelaskan konsep ruang yang elegan namun hangat, fokus pada material dan pencahayaan. Tapi ia tahu benar, ini hanya permulaan. Anthony tak pernah melakukan sesuatu tanpa maksud tersembunyi.

“Jika kita bekerja sama, aku ingin keterbukaan penuh,” lanjut Anthony. “Aku ingin tahu apa yang memengaruhi setiap pilihan desainmu. Inspirasi, bahkan… sisi personal yang kamu bawa ke dalam karya.”

Kata “personal” membuat Anetta tersentak. Ia menatapnya lurus. “Itu tidak relevan.”

Anthony mengangkat alis, tersenyum samar. “Bukankah justru relevan, Ta? Desain itu cerminan jiwa. Orang yang menciptakan ruang jauh lebih penting daripada furnitur di dalamnya.”

Anetta menahan napas, sadar pria ini sedang bermain-main dengan garis batas. “Jika itu syarat Anda, sebaiknya kerja sama ini tidak perlu diteruskan.”

Ia berdiri, hendak meraih mapnya, tapi Anthony menahan dengan kalimat yang membuat langkahnya terhenti.

“Apakah ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?”

Suasana seketika berubah. Anetta merasakan jantungnya seakan melompat ke tenggorokan. Ia berbalik, menatap Anthony yang kini berdiri dengan sorot mata tajam, penuh tekad.

“Aku hanya seorang desainer interior, Pak Reynard. Tidak lebih, tidak kurang.”

“Benarkah?” Anthony maju selangkah. “Lalu kenapa aku merasa kamu lebih defensif daripada seharusnya?”

Anetta mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. “Anda salah menilai.”

Anthony tak menjawab, hanya menatapnya lama. Ada ketegangan yang tak kasat mata, seakan ruangan itu terlalu kecil untuk menampung jarak masa lalu mereka.

Akhirnya, Anetta melangkah keluar, meninggalkan Anthony sendirian. Tapi begitu pintu menutup, pria itu menghela napas panjang. Senyum tipis muncul di wajahnya. “Aku semakin yakin. Ada sesuatu yang besar yang dia sembunyikan.”

Di rumah malam harinya, Dion berlari-lari kecil di ruang tamu sambil membawa mobil-mobilan. “Mama, liat! Vroomm!”

Anetta tersenyum, menahan lelahnya. Ia jongkok, mengusap kepala putranya. “Hebat sekali, nak. Jangan sampai mobilnya nabrak dinding, ya.”

Dion terkikik, lalu menabrakkan mainannya ke kaki ibunya. “Tabrak Mama ajaaa!”

Tawa renyah anak itu membuat Anetta sedikit lupa pada tekanan hari ini. Tapi di dalam hati, bayangan Anthony di ruang rapat tadi masih menghantui. Tatapannya seolah tahu segalanya.

Saat Dion akhirnya tertidur, Anetta duduk di tepi ranjang. Ia menatap wajah polos putranya lama-lama. Air mata menitik tanpa ia sadari. “Mama janji, Mama akan lindungi kamu apa pun yang terjadi.”

Ia tahu, jarak waktu yang dulu sempat ia ciptakan sudah semakin rapuh. Anthony sedang mendekat, dan cepat atau lambat, rahasia tentang Dion bisa terbongkar.

Sementara itu, Anthony duduk di ruang kerjanya, menerima laporan dari asistennya.

“Pak, kami sudah mengumpulkan data tentang Miss Anetta. Dia desainer interior lepas yang cukup terkenal. Tidak ada catatan pernikahan, tidak ada kabar tentang pasangan, tapi…” Asisten itu ragu sejenak. “Ada indikasi dia tinggal dengan seorang anak kecil, sekitar empat tahun.”

Anthony terdiam. Kopi di tangannya tak lagi hangat. Tatapannya menajam, menyerap setiap kata. “Empat tahun?” ulangnya perlahan.

“Ya, Pak. Tapi belum ada data lebih rinci. Kami masih menyelidiki.”

Anthony menatap keluar jendela, lampu kota berkilau bagai permata. Senyum samar muncul di bibirnya. “Empat tahun… menarik sekali.”

Tangannya mengepal di atas meja. Untuk pertama kalinya, ia merasa sangat dekat pada jawaban yang selama ini ia cari.

“Ta,” gumamnya lirih, “apa yang sebenarnya kamu sembunyikan dariku? jangan bilang rahasiamu sebesar yang aku bayangkan...”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Rahasia Malam Itu   Bab 76 - Pemecatan Direksi

    Angin sore menusuk lebih tajam dari biasanya ketika Anthony keluar dari area pusat kota. Mobilnya melaju dengan stabil di jalan tol, tapi pikirannya tidak.Setiap kilometer terasa seperti detik mundur menuju sesuatu yang tidak bisa ia tarik kembali.Nomor itu.Pesan itu.Foto itu.Dan sekarang—alamat itu.Gudang lama milik Reynard Group.Gudang yang—sialnya—pernah jadi wilayah operasional Daniel.Anthony meremas setir sampai buku jarinya memutih.“Kalau dia bohong… gue hancurin.”Nada suaranya rendah, seperti seseorang yang sedang menahan badai di dalam dadanya.Tapi ia tahu satu hal:Daniel nggak pernah kirim pesan ngawur.Nggak pernah pakai jalur darurat kecuali situasi benar-benar genting.Dan Daniel… selalu orang yang paling dulu maju kalau ada ancaman pada Anthony.Selama lima tahun ini, Daniel ada terus.Di kantor.Di rapat.Di semua masalah operasional.Selalu ada.Dan justru karena itu……Anthony tahu ini bukan jebakan murahan.Kalau Daniel bilang gawat, artinya sudah mulai re

  • Rahasia Malam Itu   Bab 75 - Daniel

    Mobil sedan milik Anthony, segera tancap gas menuju lokasi gambar yang barusan ia dapat. Gedung parkir tempat foto itu diambil bukan lokasi asing bagi Anthony. Ia mengenal pola lampunya, struktur tiangnya, bahkan cat kusam di lantai tiga yang tidak pernah diperbaiki sejak lima tahun lalu.Ia memarkir mobil di sudut yang sama seperti di foto. Sudut yang dulu ia lewati tanpa curiga. Kini, tempat itu terasa seperti luka yang belum sempat dibuka.Anthony turun dari mobil. Udara lembab memenuhi paru-parunya, bercampur aroma beton dingin dan oli lama.Ponselnya masih menggenggam pesan itu.“Tentang 5 tahun lalu. Kita perlu bicara. Jangan bawa siapa pun.”Nomor yang terpakai adalah nomor lama, pola digitnya familiar. Bahkan terlalu familiar. Seolah seseorang sengaja memakai nomor bekas yang dulu pernah dipakai divisi internal Reynard Group, nomor yang seharusnya sudah nonaktif.“Jadi kamu mau main di area abu-abu,” gumam Anthony.Ia berdiri di titik yang sama dengan sudut kamera dalam foto.

  • Rahasia Malam Itu   Bab 74 - Tentang Lima Tahun Lalu

    Anetta terbangun dengan kepala berat, seperti baru naik turun emosi semalaman. Ruang tamu masih remang, tirai hanya setengah terbuka. Namun, sosok Bram sudah tidak ada, yang tersisa hanya selimut yang dilipat rapi dan aroma kopi tipis yang menandakan seseorang pergi terlalu pagi.Ia mengucek mata. Jam berapa Bram pergi? Entahlah. Yang pasti, ia tidak sempat mengucapkan apa pun semalam… selain tertidur di bahunya seperti orang yang kehilangan benteng.“Aku harus bangun,” gumam Anetta.Baru saja ia beranjak memposisikan diri duduk, Anetta menemukan secarik kertas memo di atas meja.“Aku ada urusan pagi-pagi banget.Jangan kaget kalau bangun aku nggak ada.—Bram”Seketika senyum tipis terbit di sudut bibir Anetta setalah membaca tulisan itu. "Ck, aku kira selama ini dia kanebo kering, ternyata dia manis juga." Monolog Anetta seorang diri.Ceklek!Suara pintu kamar kecil terbuka. Dion muncul sambil menyeret selimut, rambut acak-acakan, mata masih 70% di alam mimpi.“Mama… Papa mana?” tany

  • Rahasia Malam Itu   Bab 73 - Monster Itu

    Udara di ruang kerja Anthony masih membawa aroma wiski dan debu masa lalu. Layar laptop menampilkan deretan kode yang terus berjalan, pertanda Operation Eden sudah bergerak. Namun pikirannya kini tidak lagi terpaku pada dokumen atau strategi. Ada satu nama yang terus berputar di kepalanya. Anetta. Wanita itu mungkin sedang di ruang desain sekarang, menunduk pada layar komputer seperti biasa, seolah dunia tak pernah berubah. Padahal bagi Anthony, satu kalimat di emailnya barusan sudah cukup untuk menyalakan lagi seluruh arus listrik yang ia tahan berbulan-bulan. Tanpa banyak pikir, ia meraih kunci mobil dan berjalan cepat keluar ruangan. Sekretarisnya sempat bersuara, tapi Anthony hanya berkata singkat, “kalau ada yang cari aku, bilang saja aku sedang menagih utang lama.” Lift menutup, membawanya turun menuju lantai sepuluh. Begitu pintu terbuka, aroma cat dan kertas blueprint langsung menyeruak. Lantai desain selalu punya aura yang berbeda, lebih hidup, lebih manusiawi… dan lebih

  • Rahasia Malam Itu   Bab 72 - Untukmu, Tata

    Pintu ruang rapat menutup dengan bunyi klik halus yang terlalu sopan untuk menutupi perang yang baru saja terjadi.Anthony berdiri di koridor sejenak, menatap bayangannya di kaca, rautan wajah yang sama dengan pria di balik meja tadi, hanya saja tanpa senyum manipulatif itu.Udara di lantai lima belas terasa tipis.Ia menarik napas panjang, tapi yang masuk justru aroma dingin perdebatan yang belum selesai.“Personal boundaries,” gumamnya sinis. “Lucu sekali kau bicara soal batas, Dad.” Lanjutnya.Ia lalu terus berjalan, melangkah ke ruang kerjanya, membanting pintu cukup keras untuk membuat sekretaris di luar menegang. Jasnya ia lempar ke kursi, lalu membuka kancing kemeja bagian atas, seolah ingin melepaskan genggaman tangan tak kasat mata milik sang ayah yang masih menjerat lehernya.Laptop di meja Anthony masih menyala, menampilkan sebuah email masuk dari Anetta yang belum sempat dibuka.Mata amber milik Anetta berhenti di situ. Lama.“Revisi laporan sudah saya kirim, untuk evalua

  • Rahasia Malam Itu   Bab 71 - Cuma Masih Manusia

    Langit siang menatap kota lewat kaca besar ruang kerja Anetta. Ia berdiri di depan jendela, cangkir kopinya sudah dingin, tapi tangannya masih memegang erat, seolah itu satu-satunya pegangan waras yang tersisa. Pertemuan barusan seperti luka lama yang dibuka tanpa bius.Ceklek!!Suara pintu terbuka memecah diam itu.Bram masuk tanpa mengetuk, jasnya sudah ia lepas, lengan kemeja tergulung hingga siku. Ada urat yang menonjol di lengannya, dan entah kenapa, Anetta mendadak sadar bahwa ia masih ingat persis bentuk itu, termasuk bagaimana dulu tangan itu menggenggamnya waktu ia menangis di balkon apartemen.“Jadi, beginikah caramu profesional, hm?” suara Bram pelan, tapi dingin.Anetta menoleh perlahan. “Kamu mau bahas kerjaan atau drama pribadi?” Sindir Anetta telak.Bram berjalan mendekat, langkahnya berat tapi tenang. “Kadang, dua-duanya memang nggak bisa dipisahin, Netta. Apalagi kalau kamu bawa masa lalu ke pekerjaan.” Jawab Bram sarkas.“Jangan mulai lagi, Bram. Aku udah cukup cape

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status