Pagi Jakarta belum sepenuhnya bising ketika Anetta duduk di meja kerjanya. Di luar, kaca jendela lantai tinggi memperlihatkan jalanan yang mulai padat, mobil-mobil merayap seperti semut mencari arah. Tapi bukan hiruk pikuk itu yang mengganggu pikirannya, melainkan percakapan semalam dengan dirinya sendiri—percakapan yang tak pernah selesai sejak bertemu lagi dengan Anthony.
Ia membuka laptop, mencoba menenggelamkan diri dalam laporan. Namun setiap kali layar menyala, yang muncul di benaknya bukan angka-angka, melainkan tatapan mata coklat amber yang menusuk. Tatapan itu sama persis seperti lima tahun lalu, malam di mana hidupnya berubah selamanya. Anetta memejamkan mata sejenak, tapi suara di kepalanya tak mau diam. “Aku tidak akan mundur kali ini, Ta.” Kalimat itu menggema, membuatnya semakin sulit bernapas. Sementara itu, di sisi lain kota, Anthony berdiri di balkon apartemennya. Kopi hitam mengepul di tangan, tetapi nyaris tak disentuh. Pikirannya masih terpaku pada ruang rapat kemarin, pada sorot mata Anetta yang penuh pertahanan. “Masih sama keras kepalanya,” gumam Anthony pelan. Namun di balik keluhan itu, ada nada kagum yang tak bisa ia sembunyikan bahkan dari dirinya sendiri. Ia tahu Anetta menyembunyikan sesuatu. Bukan hanya sikap dingin atau formalitas bisnis. Ada hal lain, lebih besar, lebih dalam. Dan naluri Anthony—yang jarang salah dalam urusan membaca orang—berteriak bahwa rahasia itu menyangkut masa lalu mereka. Telepon di meja berdering, memotong lamunannya. Anthony mengangkatnya. “Ya?” “Pak Reynard, jadwal Anda siang ini dengan tim marketing sudah diatur. Lalu sore ada rapat dengan investor dari Singapura,” lapor asistennya. “Baik. Pastikan juga, aku ingin data lengkap tentang perusahaan milik Anetta. Semua detail, termasuk struktur kepemilikan, laporan lima tahun terakhir, bahkan hal-hal pribadi jika memungkinkan.” Ada jeda di ujung telepon sebelum suara asistennya kembali terdengar. “Tentu, Pak. Akan saya urus.” Anthony menutup telepon dengan senyum tipis. Ia bukan hanya seorang CEO—ia terbiasa mendapatkan apa yang diinginkan, dengan cara apa pun. Dan kali ini, bukan sekadar proyek bisnis yang ingin ia kuasai, melainkan kebenaran yang disembunyikan seorang wanita bernama Anetta. Hari bergulir, dan sore harinya Anetta pulang lebih cepat dari biasanya. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya jauh lebih lelah sejak bertemu kembali dengan sosok Anthony Reynard. Begitu memasuki rumah, langkah kakinya disambut suara riang kecil. “Mamaaaa!” Dion berlari dengan kaki mungilnya, langsung memeluk kaki Anetta. Bocah berusia empat tahun itu tersenyum lebar, membawa serta aroma bedak bayi dan kepolosan yang seolah mampu meruntuhkan semua dinding hati ibunya. Anetta tersenyum hangat, menunduk lalu mengangkat Dion ke gendongannya. “Mama pulang, sayang. Sudah makan?” “Udah! Tante Karin nemenin aku tadi,” jawab Dion polos. Sekilas, Anetta menoleh ke arah ruang tamu, tempat Karin melambai sambil tersenyum. Asisten pribadinya itu memang sering membantu menjaga Dion jika Anetta terlalu sibuk. Anetta menghela napas lega, lalu menatap wajah putranya. Inilah rahasia yang tak boleh Anthony ketahui, pikirnya. Dion adalah dunia kecil yang ia lindungi mati-matian, buah dari malam yang hingga kini tak pernah ia ceritakan kepada siapa pun. Saat Dion tertawa renyah karena digelitik, Anetta menyadari satu hal: apa pun yang terjadi, ia harus menjaga agar anak ini tetap jauh dari bayangan masa lalunya. Malam itu, setelah Dion tertidur, Anetta duduk di balkon rumah dengan segelas teh hangat. Lampu kota berkelip di kejauhan. Ia membuka buku catatan kecil, tempat ia menulis setiap kali hati terlalu penuh. Anthony muncul lagi. Aku tidak tahu harus bagaimana. Bagian dari diriku masih sakit mengingat masa lalu, tapi bagian lain takut dia bisa mengetahui tentang Dion. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Anak ini adalah milikku, tanggung jawabku, dan tidak ada seorang pun—termasuk ayah kandungnya—yang berhak merenggutnya. Tangannya sedikit bergetar saat menutup buku itu. Ia sadar, semakin dekat Anthony mencoba masuk ke hidupnya, semakin besar risiko rahasia ini terbongkar. Di tempat lain, Anthony kembali larut bekerja hingga larut malam. Namun di layar laptopnya, bukan laporan investor yang membuatnya menatap lama, melainkan sebuah foto lama yang tersimpan di folder pribadinya. Foto itu diambil lima tahun lalu—di sebuah pesta sederhana, dengan Anetta berdiri di sampingnya, tersenyum malu-malu. Anthony menyentuh layar, jemarinya berhenti tepat di wajah Anetta. “Ta… kali ini aku tidak akan biarkan kamu pergi begitu saja.” Suaranya pelan, tapi penuh tekad. Keesokan paginya, kabar mengejutkan datang lebih cepat dari yang Anetta duga. “Karin, kamu bilang apa barusan?” tanya Anetta, nyaris tak percaya. Asistennya menatap layar tablet. “Bu, rapat lanjutan dengan tim Reynard Group dipercepat jadi lusa. Dan… Pak Anthony sendiri yang minta langsung bertemu dengan Ibu, tanpa staf tambahan.” Anetta tercekat. Jantungnya kembali berdebar kencang, seperti baru saja dihadapkan pada sebuah ujian hidup yang belum siap ia jalani. Tapi tidak punya pilihan lain untuk tidak mengikuti. “Baik,” jawab Anetta akhirnya, meski suaranya terdengar kaku. Di dalam hati, Anetta tahu satu hal: pertarungan baru saja dimulai. Pertarungan antara masa lalu yang ia kubur rapat-rapat, dan masa kini yang mulai diguncang oleh hadirnya kembali Anthony Reynard. Setelah percakapan dengan Karin usai, Anetta bersandar di kursinya. Tangannya refleks memijat pelipis. Nafas panjang keluar dari mulutnya, seolah ingin menyingkirkan semua beban. Tapi semakin ia mencoba, bayangan Anthony justru makin jelas menari di benak Anetta. Ia lalu menoleh ke arah meja, memperhatikan bingkai foto Dion yang selalu ia letakkan di sana. Senyum lugu putranya membuat hati Anetta sejenak terasa ringan. “Mama harus kuat,” bisiknya pelan. “Demi kamu, sayang.” Di ruang sebelah, Dion masih asyik dengan mainannya. Suara mobil-mobilan yang ditabrakkan ke dinding bercampur dengan tawa kecilnya. Anetta menoleh sambil tersenyum samar. Betapa kontrasnya dunia kecil Dion dengan dunia rumit yang ia jalani. Anak itu sama sekali tidak tahu bahwa ada badai besar yang bisa menghantam kehidupannya kapan saja. Sementara pada tempat berbeda, di apartemen Anthony, pria itu duduk di kursi kerja dengan laptop terbuka, tapi pikirannya tidak sepenuhnya di layar. Ia mengetik email, lalu menghapus, lalu mengetik lagi. Pikirannya melayang ke senyum Anetta di masa lalu, lalu ke tatapan dinginnya saat terakhir kali bertemu di ruang rapat. Sungguh terlihat begitu berlawanan. Anthony menegakkan tubuhnya. “Kalau aku ingin kembali ke hidupnya, aku harus tahu apa yang sebenarnya ia sembunyikan,” gumamnya lirih. Ia meraih ponselnya dan menghubungi seseorang. “Cari tahu semua tentang Anetta. Aku tidak mau ada detail yang terlewat. Aku ingin jawaban secepatnya.” Setelah menutup telepon, Anthony berdiri di depan jendela besar. Lampu kota berkelip-kelip di bawah sana, seperti sekumpulan bintang yang jatuh ke bumi. Namun matanya hanya menatap kosong, tenggelam dalam keyakinan bahwa ia sedang mendekati sesuatu yang besar—sesuatu yang bisa mengubah segalanya. Di unit apartemen miliknya, Anetta masih terjaga. Malam semakin larut, tapi tidur tak kunjung datang. Ia hanya bisa berbaring di samping Dion yang terlelap, mendengarkan napas tenang putranya. Tangannya menyusuri rambut Dion, lembut, penuh kasih. “Semoga kamu selalu aman, nak. Mama janji, apa pun yang terjadi, Mama tidak akan biarkan siapa pun merebutmu, termasuk Papamu sendiri.” bisiknya dalam gelap. Anetta tahu, pertempuran sesungguhnya baru dimulai. Dan kali ini, ia tidak hanya berhadapan dengan Anthony Reynard sang CEO dingin, tapi juga dengan Anthony Reynard, ayah dari anak yang kini tertidur pulas di sampingnya.Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai tipis ruang tamu, menyingkap wajah Anetta yang masih duduk di sofa dengan mata sembab. Malam tadi seolah tidak berakhir, bayangan Anthony masih tertinggal, bersama tatapan Dion yang polos tapi menusuk.Anetta menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin. Tangannya gemetar. Ia tahu, sejak momen itu, tidak ada jalan kembali. Dion sudah melihat terlalu banyak. Anthony sudah melangkah terlalu jauh. Dan dirinya… sudah kehabisan alasan untuk terus bersembunyi.Suara langkah kecil terdengar dari lorong. Dion muncul dengan rambut acak-acakan, membawa boneka dinosaurus kesayangannya. “Ma…” suaranya serak, “Om Anthony beneran nggak bakal datang lagi?”Pertanyaan itu menusuk dada Anetta seperti pisau tumpul. Ia berusaha tersenyum, meski bibirnya kaku. “Sayang… Om Anthony sibuk. Dia mungkin nggak bisa sering datang.”Dion menunduk, memeluk bonekanya erat. “Tapi aku suka Om, Ma. Dia bikin aku nggak takut sama gelap.” Mata kecil itu mengangkat pandangan, men
“Good girl…” gumam Anthony, suaranya pelan tapi cukup menusuk ke telinga Anetta. Pintu terbuka hanya sejengkal, menyingkap sosok pria tinggi dengan jas gelap yang rapi, aroma maskulin khasnya langsung menyeruak ke ruang tamu. Mata ambernya menatap tajam ke arah Anetta yang berdiri kaku di balik pintu, wajahnya pucat pasi. “Anthony…” suara Anetta bergetar, setengah berbisik, setengah menahan panik. “Kamu nggak seharusnya di sini.” Anthony melangkah masuk tanpa menunggu izin, bahunya mendorong pintu hingga terbuka penuh. “Aku sudah terlalu sering dilarang dengan kata ‘seharusnya’, Tata. Dan lihat hasilnya, kamu sembunyikan Dion selama lima tahun dariku.” Anetta refleks menutup pintu cepat-cepat, takut suara keras membangunkan Dion. “Jangan keras-keras… Dion sudah tidur.” Anthony mencondongkan tubuhnya sedikit, wajahnya mendekat, menurunkan nada suara. “Justru itu. Aku ingin melihatnya… bahkan hanya sekilas.” “Tidak,” Anetta segera menyela, tubuhnya bergerak menghalangi jalan ke lo
Pagi menjelang siang, kantor Atelier Anetta tampak sibuk. Beberapa desainer junior sibuk menyiapkan moodboard, sementara staf administrasi bolak-balik membawa dokumen. Di salah satu ruang kerja terbuka, Anetta berdiri di depan papan besar, mencoba mengarahkan timnya, tapi pikirannya masih terlempar pada percakapan terakhir dengan Anthony.Napasnya berat setiap kali ingatan itu kembali pada tatapan mata amber yang menuntut, suara parau yang menyinggung Dion."Kalau memang Dion anakku… aku nggak akan biarkan dia tumbuh tanpa tahu siapa ayahnya."Anetta memejamkan mata sesaat, lalu memaksa fokus kembali pada layar laptop yang menampilkan render desain lobby Skyline.“Bu Anetta,” suara Karin, asisten pribadinya, memecah lamunan. “Ada telepon dari sekolah Dion. Guru wali kelas ingin bicara sebentar.”Deg. Anetta menoleh cepat, tangannya refleks meraih ponsel kantor. “Halo, ini ibunya Dion. Ada apa, Miss Clara?”Suara hangat guru wali terdengar di seberang, meski dengan nada sedikit cemas.
Pagi itu, gedung tinggi Reynard Group berkilau diterpa sinar matahari Jakarta. Orang lalu-lalang di lobby megah, sibuk dengan ritme korporat yang padat. Di lantai paling atas, sebuah pintu kayu berukir elegan menandai ruangan CEO—Anthony Reynard. Nama itu kini membuat perut Anetta mengeras setiap kali mendengarnya. Dan sialnya, pagi ini ia justru berdiri di depan pintu itu, menahan napas sebelum mengetuk. “Bu Anetta Aileya?” suara resepsionis lantai eksekutif yang mendampingi terdengar sopan. “Silakan masuk. Pak Anthony sudah menunggu.” Anetta menelan ludah. Ia merapikan blazer putih gadingnya, menenteng map desain revisi untuk proyek kerjasama kantornya dan Reynard Group. “Baik…” jawabnya lirih. Tangannya sempat gemetar sebelum akhirnya mendorong pintu besar itu. Ruang CEO Reynard Group selalu memberi kesan megah dan dingin. Langit-langit tinggi dengan kaca jendela setebal empat lapis memperlihatkan pemandangan Jakarta yang berlapis-lapis: gedung pencakar langit, jalan raya pada
Malam itu udara Jakarta terasa lebih lembap dari biasanya. Anetta duduk di ruang tamu, menatap layar laptop yang masih terbuka di meja, tapi pikirannya melayang ke tempat lain. Setiap kali ia mencoba membaca ulang proposal desain, justru wajah Anthony muncul begitu saja.Sial. Ucapan terakhir pria itu, “Aku bakal ada di sini sampai kamu berhenti pura-pura,” masih bergema jelas di telinga Anetta.Anetta mengusap wajah dengan kedua tangan, berusaha menghapus bayangan itu. Tapi semakin ia berusaha, semakin kuat Anthony merasuk ke dalam benaknya. Bersama bayang lima tahun lalu ikut meliuk-liuk di dalam ingatan Anetta.Belum lagi efek dari sentuhan jemari Anthony pada garis rahangnya tadi, kembali menguar memori malam panas yang mereka berdua habiskan saat itu.Ding!Suara notifikasi ponsel memecah hening dan berhasil membuyarkan lamunan Anetta. Dengan ragu, ia meraih ponsel di samping laptop.[Anthony]: “Udah tidur, Baby? Atau masih mikirin aku hmm?”Anetta membeku. Tangannya gemetar sesa
Huft! Anetta menghembuskan nafas kasar, setelah pintu apartemen tertutup rapat, Anetta masih duduk terdiam di kursi makan. Tangannya meremas apron yang masih melekat di tubuh, wajahnya panas, jantungnya berdebar tak karuan. Ucapan terakhir Anthony 'See you soon, Baby' masih terngiang jelas di telinganya. Sial. Kenapa pria itu selalu tahu cara mengguncang pertahanannya? Monolog Anetta di dalam hati. “Ma, Lego-ku jatuh di bawah ranjang,” seru Dion dari dalam kamar, memecah lamunan. Anetta buru-buru bangkit, mencoba menenangkan dirinya. “Iya, sayang, mama ambilin.” Ia berjalan ke kamar Dion, membantu bocah itu mengambil Lego, lalu merapikan ranjang kecilnya. Dion menatap ibunya dengan polos. “Om Anthony baik ya, Ma. Dia lucu.” Kalimat itu membuat jantung Anetta berhenti sejenak. Dion tidak boleh terlalu dekat dengan Anthony. Setidaknya… belum sekarang. “Om Anthony itu teman lama Mama, Nak,” jawab Anetta hati-hati, mengusap rambut Dion. “Tapi Dion jangan terlalu banyak nanya dulu, y