Beranda / Romansa / Rahasia Malam Itu / Bab 6-Jejak Masa Lalu Yang Membayang

Share

Bab 6-Jejak Masa Lalu Yang Membayang

Penulis: iskz08
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-14 07:00:06

Pagi Jakarta belum sepenuhnya bising ketika Anetta duduk di meja kerjanya. Di luar, kaca jendela lantai tinggi memperlihatkan jalanan yang mulai padat, mobil-mobil merayap seperti semut mencari arah. Tapi bukan hiruk pikuk itu yang mengganggu pikirannya, melainkan percakapan semalam dengan dirinya sendiri—percakapan yang tak pernah selesai sejak bertemu lagi dengan Anthony.

Ia membuka laptop, mencoba menenggelamkan diri dalam laporan. Namun setiap kali layar menyala, yang muncul di benaknya bukan angka-angka, melainkan tatapan mata coklat amber yang menusuk. Tatapan itu sama persis seperti lima tahun lalu, malam di mana hidupnya berubah selamanya.

Anetta memejamkan mata sejenak, tapi suara di kepalanya tak mau diam. “Aku tidak akan mundur kali ini, Ta.” Kalimat itu menggema, membuatnya semakin sulit bernapas.

Sementara itu, di sisi lain kota, Anthony berdiri di balkon apartemennya. Kopi hitam mengepul di tangan, tetapi nyaris tak disentuh. Pikirannya masih terpaku pada ruang rapat kemarin, pada sorot mata Anetta yang penuh pertahanan.

“Masih sama keras kepalanya,” gumam Anthony pelan. Namun di balik keluhan itu, ada nada kagum yang tak bisa ia sembunyikan bahkan dari dirinya sendiri.

Ia tahu Anetta menyembunyikan sesuatu. Bukan hanya sikap dingin atau formalitas bisnis. Ada hal lain, lebih besar, lebih dalam. Dan naluri Anthony—yang jarang salah dalam urusan membaca orang—berteriak bahwa rahasia itu menyangkut masa lalu mereka.

Telepon di meja berdering, memotong lamunannya. Anthony mengangkatnya. “Ya?”

“Pak Reynard, jadwal Anda siang ini dengan tim marketing sudah diatur. Lalu sore ada rapat dengan investor dari Singapura,” lapor asistennya.

“Baik. Pastikan juga, aku ingin data lengkap tentang perusahaan milik Anetta. Semua detail, termasuk struktur kepemilikan, laporan lima tahun terakhir, bahkan hal-hal pribadi jika memungkinkan.”

Ada jeda di ujung telepon sebelum suara asistennya kembali terdengar. “Tentu, Pak. Akan saya urus.”

Anthony menutup telepon dengan senyum tipis. Ia bukan hanya seorang CEO—ia terbiasa mendapatkan apa yang diinginkan, dengan cara apa pun. Dan kali ini, bukan sekadar proyek bisnis yang ingin ia kuasai, melainkan kebenaran yang disembunyikan seorang wanita bernama Anetta.

Hari bergulir, dan sore harinya Anetta pulang lebih cepat dari biasanya. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya jauh lebih lelah sejak bertemu kembali dengan sosok Anthony Reynard. Begitu memasuki rumah, langkah kakinya disambut suara riang kecil.

“Mamaaaa!” Dion berlari dengan kaki mungilnya, langsung memeluk kaki Anetta. Bocah berusia empat tahun itu tersenyum lebar, membawa serta aroma bedak bayi dan kepolosan yang seolah mampu meruntuhkan semua dinding hati ibunya.

Anetta tersenyum hangat, menunduk lalu mengangkat Dion ke gendongannya. “Mama pulang, sayang. Sudah makan?”

“Udah! Tante Karin nemenin aku tadi,” jawab Dion polos.

Sekilas, Anetta menoleh ke arah ruang tamu, tempat Karin melambai sambil tersenyum. Asisten pribadinya itu memang sering membantu menjaga Dion jika Anetta terlalu sibuk.

Anetta menghela napas lega, lalu menatap wajah putranya. Inilah rahasia yang tak boleh Anthony ketahui, pikirnya. Dion adalah dunia kecil yang ia lindungi mati-matian, buah dari malam yang hingga kini tak pernah ia ceritakan kepada siapa pun.

Saat Dion tertawa renyah karena digelitik, Anetta menyadari satu hal: apa pun yang terjadi, ia harus menjaga agar anak ini tetap jauh dari bayangan masa lalunya.

Malam itu, setelah Dion tertidur, Anetta duduk di balkon rumah dengan segelas teh hangat. Lampu kota berkelip di kejauhan. Ia membuka buku catatan kecil, tempat ia menulis setiap kali hati terlalu penuh.

Anthony muncul lagi. Aku tidak tahu harus bagaimana. Bagian dari diriku masih sakit mengingat masa lalu, tapi bagian lain takut dia bisa mengetahui tentang Dion. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Anak ini adalah milikku, tanggung jawabku, dan tidak ada seorang pun—termasuk ayah kandungnya—yang berhak merenggutnya.

Tangannya sedikit bergetar saat menutup buku itu. Ia sadar, semakin dekat Anthony mencoba masuk ke hidupnya, semakin besar risiko rahasia ini terbongkar.

Di tempat lain, Anthony kembali larut bekerja hingga larut malam. Namun di layar laptopnya, bukan laporan investor yang membuatnya menatap lama, melainkan sebuah foto lama yang tersimpan di folder pribadinya.

Foto itu diambil lima tahun lalu—di sebuah pesta sederhana, dengan Anetta berdiri di sampingnya, tersenyum malu-malu. Anthony menyentuh layar, jemarinya berhenti tepat di wajah Anetta.

“Ta… kali ini aku tidak akan biarkan kamu pergi begitu saja.” Suaranya pelan, tapi penuh tekad.

Keesokan paginya, kabar mengejutkan datang lebih cepat dari yang Anetta duga.

“Karin, kamu bilang apa barusan?” tanya Anetta, nyaris tak percaya.

Asistennya menatap layar tablet. “Bu, rapat lanjutan dengan tim Reynard Group dipercepat jadi lusa. Dan… Pak Anthony sendiri yang minta langsung bertemu dengan Ibu, tanpa staf tambahan.”

Anetta tercekat. Jantungnya kembali berdebar kencang, seperti baru saja dihadapkan pada sebuah ujian hidup yang belum siap ia jalani. Tapi tidak punya pilihan lain untuk tidak mengikuti.

“Baik,” jawab Anetta akhirnya, meski suaranya terdengar kaku.

Di dalam hati, Anetta tahu satu hal: pertarungan baru saja dimulai. Pertarungan antara masa lalu yang ia kubur rapat-rapat, dan masa kini yang mulai diguncang oleh hadirnya kembali Anthony Reynard.

Setelah percakapan dengan Karin usai, Anetta bersandar di kursinya. Tangannya refleks memijat pelipis. Nafas panjang keluar dari mulutnya, seolah ingin menyingkirkan semua beban. Tapi semakin ia mencoba, bayangan Anthony justru makin jelas menari di benak Anetta.

Ia lalu menoleh ke arah meja, memperhatikan bingkai foto Dion yang selalu ia letakkan di sana. Senyum lugu putranya membuat hati Anetta sejenak terasa ringan. “Mama harus kuat,” bisiknya pelan. “Demi kamu, sayang.”

Di ruang sebelah, Dion masih asyik dengan mainannya. Suara mobil-mobilan yang ditabrakkan ke dinding bercampur dengan tawa kecilnya. Anetta menoleh sambil tersenyum samar. Betapa kontrasnya dunia kecil Dion dengan dunia rumit yang ia jalani. Anak itu sama sekali tidak tahu bahwa ada badai besar yang bisa menghantam kehidupannya kapan saja.

Sementara pada tempat berbeda, di apartemen Anthony, pria itu duduk di kursi kerja dengan laptop terbuka, tapi pikirannya tidak sepenuhnya di layar. Ia mengetik email, lalu menghapus, lalu mengetik lagi. Pikirannya melayang ke senyum Anetta di masa lalu, lalu ke tatapan dinginnya saat terakhir kali bertemu di ruang rapat. Sungguh terlihat begitu berlawanan.

Anthony menegakkan tubuhnya. “Kalau aku ingin kembali ke hidupnya, aku harus tahu apa yang sebenarnya ia sembunyikan,” gumamnya lirih. Ia meraih ponselnya dan menghubungi seseorang. “Cari tahu semua tentang Anetta. Aku tidak mau ada detail yang terlewat. Aku ingin jawaban secepatnya.”

Setelah menutup telepon, Anthony berdiri di depan jendela besar. Lampu kota berkelip-kelip di bawah sana, seperti sekumpulan bintang yang jatuh ke bumi. Namun matanya hanya menatap kosong, tenggelam dalam keyakinan bahwa ia sedang mendekati sesuatu yang besar—sesuatu yang bisa mengubah segalanya.

Di unit apartemen miliknya, Anetta masih terjaga. Malam semakin larut, tapi tidur tak kunjung datang. Ia hanya bisa berbaring di samping Dion yang terlelap, mendengarkan napas tenang putranya. Tangannya menyusuri rambut Dion, lembut, penuh kasih.

“Semoga kamu selalu aman, nak. Mama janji, apa pun yang terjadi, Mama tidak akan biarkan siapa pun merebutmu, termasuk Papamu sendiri.” bisiknya dalam gelap.

Anetta tahu, pertempuran sesungguhnya baru dimulai. Dan kali ini, ia tidak hanya berhadapan dengan Anthony Reynard sang CEO dingin, tapi juga dengan Anthony Reynard, ayah dari anak yang kini tertidur pulas di sampingnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Rahasia Malam Itu   Bab 76 - Pemecatan Direksi

    Angin sore menusuk lebih tajam dari biasanya ketika Anthony keluar dari area pusat kota. Mobilnya melaju dengan stabil di jalan tol, tapi pikirannya tidak.Setiap kilometer terasa seperti detik mundur menuju sesuatu yang tidak bisa ia tarik kembali.Nomor itu.Pesan itu.Foto itu.Dan sekarang—alamat itu.Gudang lama milik Reynard Group.Gudang yang—sialnya—pernah jadi wilayah operasional Daniel.Anthony meremas setir sampai buku jarinya memutih.“Kalau dia bohong… gue hancurin.”Nada suaranya rendah, seperti seseorang yang sedang menahan badai di dalam dadanya.Tapi ia tahu satu hal:Daniel nggak pernah kirim pesan ngawur.Nggak pernah pakai jalur darurat kecuali situasi benar-benar genting.Dan Daniel… selalu orang yang paling dulu maju kalau ada ancaman pada Anthony.Selama lima tahun ini, Daniel ada terus.Di kantor.Di rapat.Di semua masalah operasional.Selalu ada.Dan justru karena itu……Anthony tahu ini bukan jebakan murahan.Kalau Daniel bilang gawat, artinya sudah mulai re

  • Rahasia Malam Itu   Bab 75 - Daniel

    Mobil sedan milik Anthony, segera tancap gas menuju lokasi gambar yang barusan ia dapat. Gedung parkir tempat foto itu diambil bukan lokasi asing bagi Anthony. Ia mengenal pola lampunya, struktur tiangnya, bahkan cat kusam di lantai tiga yang tidak pernah diperbaiki sejak lima tahun lalu.Ia memarkir mobil di sudut yang sama seperti di foto. Sudut yang dulu ia lewati tanpa curiga. Kini, tempat itu terasa seperti luka yang belum sempat dibuka.Anthony turun dari mobil. Udara lembab memenuhi paru-parunya, bercampur aroma beton dingin dan oli lama.Ponselnya masih menggenggam pesan itu.“Tentang 5 tahun lalu. Kita perlu bicara. Jangan bawa siapa pun.”Nomor yang terpakai adalah nomor lama, pola digitnya familiar. Bahkan terlalu familiar. Seolah seseorang sengaja memakai nomor bekas yang dulu pernah dipakai divisi internal Reynard Group, nomor yang seharusnya sudah nonaktif.“Jadi kamu mau main di area abu-abu,” gumam Anthony.Ia berdiri di titik yang sama dengan sudut kamera dalam foto.

  • Rahasia Malam Itu   Bab 74 - Tentang Lima Tahun Lalu

    Anetta terbangun dengan kepala berat, seperti baru naik turun emosi semalaman. Ruang tamu masih remang, tirai hanya setengah terbuka. Namun, sosok Bram sudah tidak ada, yang tersisa hanya selimut yang dilipat rapi dan aroma kopi tipis yang menandakan seseorang pergi terlalu pagi.Ia mengucek mata. Jam berapa Bram pergi? Entahlah. Yang pasti, ia tidak sempat mengucapkan apa pun semalam… selain tertidur di bahunya seperti orang yang kehilangan benteng.“Aku harus bangun,” gumam Anetta.Baru saja ia beranjak memposisikan diri duduk, Anetta menemukan secarik kertas memo di atas meja.“Aku ada urusan pagi-pagi banget.Jangan kaget kalau bangun aku nggak ada.—Bram”Seketika senyum tipis terbit di sudut bibir Anetta setalah membaca tulisan itu. "Ck, aku kira selama ini dia kanebo kering, ternyata dia manis juga." Monolog Anetta seorang diri.Ceklek!Suara pintu kamar kecil terbuka. Dion muncul sambil menyeret selimut, rambut acak-acakan, mata masih 70% di alam mimpi.“Mama… Papa mana?” tany

  • Rahasia Malam Itu   Bab 73 - Monster Itu

    Udara di ruang kerja Anthony masih membawa aroma wiski dan debu masa lalu. Layar laptop menampilkan deretan kode yang terus berjalan, pertanda Operation Eden sudah bergerak. Namun pikirannya kini tidak lagi terpaku pada dokumen atau strategi. Ada satu nama yang terus berputar di kepalanya. Anetta. Wanita itu mungkin sedang di ruang desain sekarang, menunduk pada layar komputer seperti biasa, seolah dunia tak pernah berubah. Padahal bagi Anthony, satu kalimat di emailnya barusan sudah cukup untuk menyalakan lagi seluruh arus listrik yang ia tahan berbulan-bulan. Tanpa banyak pikir, ia meraih kunci mobil dan berjalan cepat keluar ruangan. Sekretarisnya sempat bersuara, tapi Anthony hanya berkata singkat, “kalau ada yang cari aku, bilang saja aku sedang menagih utang lama.” Lift menutup, membawanya turun menuju lantai sepuluh. Begitu pintu terbuka, aroma cat dan kertas blueprint langsung menyeruak. Lantai desain selalu punya aura yang berbeda, lebih hidup, lebih manusiawi… dan lebih

  • Rahasia Malam Itu   Bab 72 - Untukmu, Tata

    Pintu ruang rapat menutup dengan bunyi klik halus yang terlalu sopan untuk menutupi perang yang baru saja terjadi.Anthony berdiri di koridor sejenak, menatap bayangannya di kaca, rautan wajah yang sama dengan pria di balik meja tadi, hanya saja tanpa senyum manipulatif itu.Udara di lantai lima belas terasa tipis.Ia menarik napas panjang, tapi yang masuk justru aroma dingin perdebatan yang belum selesai.“Personal boundaries,” gumamnya sinis. “Lucu sekali kau bicara soal batas, Dad.” Lanjutnya.Ia lalu terus berjalan, melangkah ke ruang kerjanya, membanting pintu cukup keras untuk membuat sekretaris di luar menegang. Jasnya ia lempar ke kursi, lalu membuka kancing kemeja bagian atas, seolah ingin melepaskan genggaman tangan tak kasat mata milik sang ayah yang masih menjerat lehernya.Laptop di meja Anthony masih menyala, menampilkan sebuah email masuk dari Anetta yang belum sempat dibuka.Mata amber milik Anetta berhenti di situ. Lama.“Revisi laporan sudah saya kirim, untuk evalua

  • Rahasia Malam Itu   Bab 71 - Cuma Masih Manusia

    Langit siang menatap kota lewat kaca besar ruang kerja Anetta. Ia berdiri di depan jendela, cangkir kopinya sudah dingin, tapi tangannya masih memegang erat, seolah itu satu-satunya pegangan waras yang tersisa. Pertemuan barusan seperti luka lama yang dibuka tanpa bius.Ceklek!!Suara pintu terbuka memecah diam itu.Bram masuk tanpa mengetuk, jasnya sudah ia lepas, lengan kemeja tergulung hingga siku. Ada urat yang menonjol di lengannya, dan entah kenapa, Anetta mendadak sadar bahwa ia masih ingat persis bentuk itu, termasuk bagaimana dulu tangan itu menggenggamnya waktu ia menangis di balkon apartemen.“Jadi, beginikah caramu profesional, hm?” suara Bram pelan, tapi dingin.Anetta menoleh perlahan. “Kamu mau bahas kerjaan atau drama pribadi?” Sindir Anetta telak.Bram berjalan mendekat, langkahnya berat tapi tenang. “Kadang, dua-duanya memang nggak bisa dipisahin, Netta. Apalagi kalau kamu bawa masa lalu ke pekerjaan.” Jawab Bram sarkas.“Jangan mulai lagi, Bram. Aku udah cukup cape

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status