MasukAngin sore menusuk lebih tajam dari biasanya ketika Anthony keluar dari area pusat kota. Mobilnya melaju dengan stabil di jalan tol, tapi pikirannya tidak.Setiap kilometer terasa seperti detik mundur menuju sesuatu yang tidak bisa ia tarik kembali.Nomor itu.Pesan itu.Foto itu.Dan sekarang—alamat itu.Gudang lama milik Reynard Group.Gudang yang—sialnya—pernah jadi wilayah operasional Daniel.Anthony meremas setir sampai buku jarinya memutih.“Kalau dia bohong… gue hancurin.”Nada suaranya rendah, seperti seseorang yang sedang menahan badai di dalam dadanya.Tapi ia tahu satu hal:Daniel nggak pernah kirim pesan ngawur.Nggak pernah pakai jalur darurat kecuali situasi benar-benar genting.Dan Daniel… selalu orang yang paling dulu maju kalau ada ancaman pada Anthony.Selama lima tahun ini, Daniel ada terus.Di kantor.Di rapat.Di semua masalah operasional.Selalu ada.Dan justru karena itu……Anthony tahu ini bukan jebakan murahan.Kalau Daniel bilang gawat, artinya sudah mulai re
Mobil sedan milik Anthony, segera tancap gas menuju lokasi gambar yang barusan ia dapat. Gedung parkir tempat foto itu diambil bukan lokasi asing bagi Anthony. Ia mengenal pola lampunya, struktur tiangnya, bahkan cat kusam di lantai tiga yang tidak pernah diperbaiki sejak lima tahun lalu.Ia memarkir mobil di sudut yang sama seperti di foto. Sudut yang dulu ia lewati tanpa curiga. Kini, tempat itu terasa seperti luka yang belum sempat dibuka.Anthony turun dari mobil. Udara lembab memenuhi paru-parunya, bercampur aroma beton dingin dan oli lama.Ponselnya masih menggenggam pesan itu.“Tentang 5 tahun lalu. Kita perlu bicara. Jangan bawa siapa pun.”Nomor yang terpakai adalah nomor lama, pola digitnya familiar. Bahkan terlalu familiar. Seolah seseorang sengaja memakai nomor bekas yang dulu pernah dipakai divisi internal Reynard Group, nomor yang seharusnya sudah nonaktif.“Jadi kamu mau main di area abu-abu,” gumam Anthony.Ia berdiri di titik yang sama dengan sudut kamera dalam foto.
Anetta terbangun dengan kepala berat, seperti baru naik turun emosi semalaman. Ruang tamu masih remang, tirai hanya setengah terbuka. Namun, sosok Bram sudah tidak ada, yang tersisa hanya selimut yang dilipat rapi dan aroma kopi tipis yang menandakan seseorang pergi terlalu pagi.Ia mengucek mata. Jam berapa Bram pergi? Entahlah. Yang pasti, ia tidak sempat mengucapkan apa pun semalam… selain tertidur di bahunya seperti orang yang kehilangan benteng.“Aku harus bangun,” gumam Anetta.Baru saja ia beranjak memposisikan diri duduk, Anetta menemukan secarik kertas memo di atas meja.“Aku ada urusan pagi-pagi banget.Jangan kaget kalau bangun aku nggak ada.—Bram”Seketika senyum tipis terbit di sudut bibir Anetta setalah membaca tulisan itu. "Ck, aku kira selama ini dia kanebo kering, ternyata dia manis juga." Monolog Anetta seorang diri.Ceklek!Suara pintu kamar kecil terbuka. Dion muncul sambil menyeret selimut, rambut acak-acakan, mata masih 70% di alam mimpi.“Mama… Papa mana?” tany
Udara di ruang kerja Anthony masih membawa aroma wiski dan debu masa lalu. Layar laptop menampilkan deretan kode yang terus berjalan, pertanda Operation Eden sudah bergerak. Namun pikirannya kini tidak lagi terpaku pada dokumen atau strategi. Ada satu nama yang terus berputar di kepalanya. Anetta. Wanita itu mungkin sedang di ruang desain sekarang, menunduk pada layar komputer seperti biasa, seolah dunia tak pernah berubah. Padahal bagi Anthony, satu kalimat di emailnya barusan sudah cukup untuk menyalakan lagi seluruh arus listrik yang ia tahan berbulan-bulan. Tanpa banyak pikir, ia meraih kunci mobil dan berjalan cepat keluar ruangan. Sekretarisnya sempat bersuara, tapi Anthony hanya berkata singkat, “kalau ada yang cari aku, bilang saja aku sedang menagih utang lama.” Lift menutup, membawanya turun menuju lantai sepuluh. Begitu pintu terbuka, aroma cat dan kertas blueprint langsung menyeruak. Lantai desain selalu punya aura yang berbeda, lebih hidup, lebih manusiawi… dan lebih
Pintu ruang rapat menutup dengan bunyi klik halus yang terlalu sopan untuk menutupi perang yang baru saja terjadi.Anthony berdiri di koridor sejenak, menatap bayangannya di kaca, rautan wajah yang sama dengan pria di balik meja tadi, hanya saja tanpa senyum manipulatif itu.Udara di lantai lima belas terasa tipis.Ia menarik napas panjang, tapi yang masuk justru aroma dingin perdebatan yang belum selesai.“Personal boundaries,” gumamnya sinis. “Lucu sekali kau bicara soal batas, Dad.” Lanjutnya.Ia lalu terus berjalan, melangkah ke ruang kerjanya, membanting pintu cukup keras untuk membuat sekretaris di luar menegang. Jasnya ia lempar ke kursi, lalu membuka kancing kemeja bagian atas, seolah ingin melepaskan genggaman tangan tak kasat mata milik sang ayah yang masih menjerat lehernya.Laptop di meja Anthony masih menyala, menampilkan sebuah email masuk dari Anetta yang belum sempat dibuka.Mata amber milik Anetta berhenti di situ. Lama.“Revisi laporan sudah saya kirim, untuk evalua
Langit siang menatap kota lewat kaca besar ruang kerja Anetta. Ia berdiri di depan jendela, cangkir kopinya sudah dingin, tapi tangannya masih memegang erat, seolah itu satu-satunya pegangan waras yang tersisa. Pertemuan barusan seperti luka lama yang dibuka tanpa bius.Ceklek!!Suara pintu terbuka memecah diam itu.Bram masuk tanpa mengetuk, jasnya sudah ia lepas, lengan kemeja tergulung hingga siku. Ada urat yang menonjol di lengannya, dan entah kenapa, Anetta mendadak sadar bahwa ia masih ingat persis bentuk itu, termasuk bagaimana dulu tangan itu menggenggamnya waktu ia menangis di balkon apartemen.“Jadi, beginikah caramu profesional, hm?” suara Bram pelan, tapi dingin.Anetta menoleh perlahan. “Kamu mau bahas kerjaan atau drama pribadi?” Sindir Anetta telak.Bram berjalan mendekat, langkahnya berat tapi tenang. “Kadang, dua-duanya memang nggak bisa dipisahin, Netta. Apalagi kalau kamu bawa masa lalu ke pekerjaan.” Jawab Bram sarkas.“Jangan mulai lagi, Bram. Aku udah cukup cape




![Malam Itu, Bos! [Hasrat Yang Tak Terpadamkan]](https://acfs1.goodnovel.com/dist/src/assets/images/book/43949cad-default_cover.png)


