MasukAku benci diriku sendiri.
Aku benci karena semalam aku membiarkan semua batas yang kujaga selama ini runtuh di hadapannya. Anthony… Sudah bertahun-tahun aku mengenalnya, menjaga jarak yang tak terlihat tapi nyata. Ia sahabatku, rumahku, orang yang selalu jadi tempatku pulang tanpa pernah kucemari dengan perasaan yang salah. Tapi semalam, aku yang menghancurkan semuanya dengan tanganku sendiri. Aku seharusnya menolak minuman itu. Aku seharusnya menepis tatapan matanya yang menusuk sampai ke dasar jiwaku. Aku seharusnya menjauh ketika tubuhnya mendekat, ketika genggamannya membuatku gemetar. Tapi aku tidak melakukannya. Aku membiarkan diriku larut. Aku membiarkan tubuhku mencari kehangatan yang seharusnya tak kumiliki. Dan ketika akhirnya bibirnya menyentuhku, aku tahu aku sudah kalah. Rasa bersalah kini menggerogoti setiap detik nafasku. Tapi lebih dari itu, ada sesuatu yang tak bisa kuingkari: aku menginginkannya. Aku selalu menginginkannya. Aku menutup wajahku dengan kedua tangan, mencoba menepis kenyataan yang terus berputar di kepalaku. Andai waktu bisa kuputar, aku ingin menghapus malam itu. Tapi jika aku jujur, hatiku berbisik: aku tak akan pernah sanggup melupakan rasa itu. Sentuhannya. Kehangatannya. Dosa manis yang kini jadi rahasia terbesarku. Dan sekarang, aku takut. Takut menatapnya, takut kehilangan persahabatan yang selama ini jadi pijakanku. Takut kalau dia menyesali semua ini… lebih dari aku sendiri. Pagi itu, sinar matahari menembus tirai tipis kamar hotel yang menjadi saksi pergumulan panas diantara Anetta dan Anthony semalam. Kepala Anetta masih terasa berat, serta tubuh lelah akibat permainan liar yang baru berakhir beberapa jam lalu, tapi mata Anetta tak bisa menahan diri untuk menoleh ke sisi ranjang. Anthony masih tertidur di sampingnya, wajahnya tampak damai, lengan masih melingkari pinggang Anetta dengan tubuh polos yang ditutupi selimut putih.. Air mata Anetta menetes tanpa permisi. Kenangan semalam, yang seharusnya tak pernah terjadi, berhasil mengguncang hatinya. Ia menutup mata sejenak, mencoba menelan rasa bersalah yang pekat. Tidak ada jalan kembali. Tata tidak bisa memutar waktu, tidak bisa menahan detik yang telah mereka lalui. Dan dari detik itu, mungkin benih rahasia terbesar hidupnya lahir, benih yang akan mengikat mereka seumur hidup. Dengan hati berat, Anetta bangkit, meraih pakaiannya satu persatu, dan kembali mengenakannya, kemudian meninggalkan kamar sebelum Anthony benar-benar sadar. Langkahnya pelan tapi tegas, menandai awal dari pergulatan batin yang akan terus menghantuinya. Sepanjang koridor hotel, Anetta seolah bisa mendengar suara dari hatinya sendiri. Meyakinkan diri jika keputusan ia ambil bukanlah suatu kesalahan. Meskipun ada konsekuensi yang harus ia hadapi kelak. Lima Tahun Kemudian… Ballroom hotel bintang lima gemerlap di bawah cahaya lampu kristal. Musik lembut dari live band mengalun, menciptakan suasana megah yang kontras dengan jantung Anetta yang berdetak tak menentu. Ia berdiri di sudut ruangan, segelas mocktail di tangan, mengenakan gaun satin merah marun yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Beberapa mata tertuju padanya, namun ia sengaja tidak mencari perhatian. Lima tahun bukan waktu singkat, dan malam ini, ia tahu, akan mempertemukannya dengan bayang-bayang yang belum selesai. Dan benar saja. Di dekat bar, sosok itu muncul. Anthony. Ya, Anthony Reynard. Dengan wajah yang lebih terlihat dewasa tapi tak mengurangi ketampanannya barang sedikit saja. Rambutnya lebih pendek dan tertata rapi, rahangnya tegas, setelan jas navy blue menegaskan postur tegapnya. Senyum tipisnya membuat beberapa tamu wanita menoleh, namun hanya satu hal yang membuat tubuh Anetta membeku, tatapan mata elang itu. Sama seperti lima tahun lalu, tatapan yang membakar, menghidupkan kembali kenangan yang ia kubur rapat. Deg! Jantung Anetta serasa berhenti berdetak, dikala sorot mata amber tertuju jelas menghujam ke arah Anetta. Refleks Anetta meneguk minumannya cepat, berharap cairan manis itu mampu menenangkan kegelisahannya. Namun semesta seolah tak berpihak pada Anetta. Ketika derap langkah Anthony yang terlalu familiar, terlalu pasti, terdengar menyapa rungu Anetta. Suara sepatu kulitnya menapaki lantai marmer, mendekat. “Tata,” suara bariton itu dalam, berat, membuat bulu kuduknya meremang. “Lama nggak ketemu.” Anetta menelan ludah, memaksakan senyum. “Iya, Ton. Lama.” Sahut Anetta kikuk. Hening menyergap mereka sejenak, seakan ballroom yang ramai menghilang. Tatapan Anthony menelusuri wajahnya, memastikan bahwa wanita di depannya nyata, bukan sekadar bayangan yang menghantui malam-malamnya. “Kamu kelihatan beda,” ucap Anthony, lirih namun jujur. “Lebih dewasa… lebih cantik.” Lanjut Anthony memecah keheningan. Anetta tersenyum hambar. “Orang pasti berubah, Tony. Semua orang berubah.” Jawab Anetta diplomatis. Anthony setengah melangkah mendekat, aroma parfumnya yang maskulin menusuk indera Tata, mengingatkan pada malam yang ia ingin kubur selama ini. Malam ketika gaun merah marun sederhana terjatuh dilantai, ketika desahan menjadi bahasa tanpa kata, ketika peluh keduanya menyatu menjadi satu. “Kamu datang sendirian?” tanya Anetta, berusaha terdengar tenang. Anthony mengangguk. “Iya. Kamu?” “Sama.” Jawaban singkat itu membuat atmosfer di antara mereka semakin pekat. Tatapan Anthony seolah ingin mengucapkan sesuatu yang tak pantas di ruangan penuh tamu ini. Anetta ingin marah, ingin lari, tapi tubuhnya terpaku. Seorang tamu menepuk bahu Anthony, namun tatapannya segera kembali ke Anetta. “Aku nggak nyangka kamu datang. Kupikir kamu bakal cari alasan buat nggak ketemu aku lagi,” ucap Anthony, tetap menatap tajam. Anetta mendesah. “Aku datang buat temanku, bukan buat kamu.” Anthony tersenyum miring, senyum yang dulu membuat Anetta jatuh. “Tapi pada akhirnya kita ketemu juga, kan?” Degup jantung Anetta meningkat. Ia ingin menghindar, tapi Anthony lebih cepat. Tangannya menyentuh lengan Anetta dengan lembut tapi cukup kuat untuk menghentikan langkahnya. “Tata,” bisiknya nyaris tak terdengar. “Kamu masih mikirin malam itu, hmm?” Tubuh Anetta menegang. Nafasnya tercekat, jemarinya gemetar. Malam itu. Malam yang seharusnya tak pernah mereka ulang. Malam yang meninggalkan jejak yang tak pernah bisa ia hapus. “Ton… jangan di sini,” bisik Anetta hampir memohon. Anthony menunduk sedikit, mendekat ke telinganya. “Aku masih ingat semua detailnya, Ta. Desahan kamu, cara kamu memanggil namaku, bahkan rasa panas kulitmu di tanganku.” Anetta terperangkap. Lima tahun tidak menghapus apapun. Api itu masih ada, hanya tertimbun debu waktu. Ia ingin menampar, ingin menangis, atau mungkin… membiarkan Anthony mengulangnya lagi. MC memanggil tamu untuk bersulang. Anetta berhasil menarik lengannya, menyelinap di tengah kerumunan. Namun ponselnya bergetar, menampilkan foto Dion, putra kecilnya yang tersenyum di atas sepeda. Dadanya sesak. Anthony masih menatapnya dari jauh, seakan membakar punggungnya. Ia memejamkan mata sejenak, memikirkan rahasia yang selama ini dijaga yaitu Dion, buah dari malam itu, yang tak boleh diketahui Anthony. Perasaan bersalah, ketakutan, dan dorongan melindungi putranya bercampur menjadi satu. Sambil mematikan ponsel, Anetta tahu satu hal pasti: malam ini hanyalah permulaan. Pertemuan ini akan membuka luka lama, rahasia, dan godaan yang tak pernah padam. “Kamu nggak akan pernah bisa pergi lagi, Ta,” lirih Anthony, matanya tetap menatap Anetta. Tubuh Anetta membeku. Tatapan mereka saling terkunci, seperti magnet tak terpisahkan. Nafasnya terpecah antara Dion, pekerjaan, rahasia yang ia pertahankan, dan pria bermata amber yang tahu setiap detail masa lalunya. Anthony menyipitkan mata, tajam, penuh bara dan rindu yang terlalu lama terpendam. Bayangan malam itu menyeruak: alkohol, panas tubuh, desahan tertahan, kalimat yang tak mampu ia ulangi tanpa tubuh bergetar. Lima tahun usaha mengubur kenangan itu kini sirna hanya dengan satu tatapan. Langkah Anetta goyah. Musik ballroom naik satu oktaf, tapi dentuman di dada mereka jauh lebih bising. Ia meremas clutch, bertekad. Aku tidak boleh rapuh. Aku tidak boleh jatuh lagi… Namun tubuhnya menolak, seakan memberi jawaban lain. Di tengah gemerlap pesta yang penuh senyum dan tawa, dua pasang mata itu saling menantang. Malam ini membuka pintu masa lalu yang seharusnya terkunci rapat, menyalakan kembali pertemuan yang membakar, seharusnya telah lama tertimbun, dan menandai awal konflik baru, antara cinta, rahasia, godaan yang mengancam kehidupan Anetta dan putranya, dan bayangan Anthony yang mulai mengintai masa depan mereka.Angin sore menusuk lebih tajam dari biasanya ketika Anthony keluar dari area pusat kota. Mobilnya melaju dengan stabil di jalan tol, tapi pikirannya tidak.Setiap kilometer terasa seperti detik mundur menuju sesuatu yang tidak bisa ia tarik kembali.Nomor itu.Pesan itu.Foto itu.Dan sekarang—alamat itu.Gudang lama milik Reynard Group.Gudang yang—sialnya—pernah jadi wilayah operasional Daniel.Anthony meremas setir sampai buku jarinya memutih.“Kalau dia bohong… gue hancurin.”Nada suaranya rendah, seperti seseorang yang sedang menahan badai di dalam dadanya.Tapi ia tahu satu hal:Daniel nggak pernah kirim pesan ngawur.Nggak pernah pakai jalur darurat kecuali situasi benar-benar genting.Dan Daniel… selalu orang yang paling dulu maju kalau ada ancaman pada Anthony.Selama lima tahun ini, Daniel ada terus.Di kantor.Di rapat.Di semua masalah operasional.Selalu ada.Dan justru karena itu……Anthony tahu ini bukan jebakan murahan.Kalau Daniel bilang gawat, artinya sudah mulai re
Mobil sedan milik Anthony, segera tancap gas menuju lokasi gambar yang barusan ia dapat. Gedung parkir tempat foto itu diambil bukan lokasi asing bagi Anthony. Ia mengenal pola lampunya, struktur tiangnya, bahkan cat kusam di lantai tiga yang tidak pernah diperbaiki sejak lima tahun lalu.Ia memarkir mobil di sudut yang sama seperti di foto. Sudut yang dulu ia lewati tanpa curiga. Kini, tempat itu terasa seperti luka yang belum sempat dibuka.Anthony turun dari mobil. Udara lembab memenuhi paru-parunya, bercampur aroma beton dingin dan oli lama.Ponselnya masih menggenggam pesan itu.“Tentang 5 tahun lalu. Kita perlu bicara. Jangan bawa siapa pun.”Nomor yang terpakai adalah nomor lama, pola digitnya familiar. Bahkan terlalu familiar. Seolah seseorang sengaja memakai nomor bekas yang dulu pernah dipakai divisi internal Reynard Group, nomor yang seharusnya sudah nonaktif.“Jadi kamu mau main di area abu-abu,” gumam Anthony.Ia berdiri di titik yang sama dengan sudut kamera dalam foto.
Anetta terbangun dengan kepala berat, seperti baru naik turun emosi semalaman. Ruang tamu masih remang, tirai hanya setengah terbuka. Namun, sosok Bram sudah tidak ada, yang tersisa hanya selimut yang dilipat rapi dan aroma kopi tipis yang menandakan seseorang pergi terlalu pagi.Ia mengucek mata. Jam berapa Bram pergi? Entahlah. Yang pasti, ia tidak sempat mengucapkan apa pun semalam… selain tertidur di bahunya seperti orang yang kehilangan benteng.“Aku harus bangun,” gumam Anetta.Baru saja ia beranjak memposisikan diri duduk, Anetta menemukan secarik kertas memo di atas meja.“Aku ada urusan pagi-pagi banget.Jangan kaget kalau bangun aku nggak ada.—Bram”Seketika senyum tipis terbit di sudut bibir Anetta setalah membaca tulisan itu. "Ck, aku kira selama ini dia kanebo kering, ternyata dia manis juga." Monolog Anetta seorang diri.Ceklek!Suara pintu kamar kecil terbuka. Dion muncul sambil menyeret selimut, rambut acak-acakan, mata masih 70% di alam mimpi.“Mama… Papa mana?” tany
Udara di ruang kerja Anthony masih membawa aroma wiski dan debu masa lalu. Layar laptop menampilkan deretan kode yang terus berjalan, pertanda Operation Eden sudah bergerak. Namun pikirannya kini tidak lagi terpaku pada dokumen atau strategi. Ada satu nama yang terus berputar di kepalanya. Anetta. Wanita itu mungkin sedang di ruang desain sekarang, menunduk pada layar komputer seperti biasa, seolah dunia tak pernah berubah. Padahal bagi Anthony, satu kalimat di emailnya barusan sudah cukup untuk menyalakan lagi seluruh arus listrik yang ia tahan berbulan-bulan. Tanpa banyak pikir, ia meraih kunci mobil dan berjalan cepat keluar ruangan. Sekretarisnya sempat bersuara, tapi Anthony hanya berkata singkat, “kalau ada yang cari aku, bilang saja aku sedang menagih utang lama.” Lift menutup, membawanya turun menuju lantai sepuluh. Begitu pintu terbuka, aroma cat dan kertas blueprint langsung menyeruak. Lantai desain selalu punya aura yang berbeda, lebih hidup, lebih manusiawi… dan lebih
Pintu ruang rapat menutup dengan bunyi klik halus yang terlalu sopan untuk menutupi perang yang baru saja terjadi.Anthony berdiri di koridor sejenak, menatap bayangannya di kaca, rautan wajah yang sama dengan pria di balik meja tadi, hanya saja tanpa senyum manipulatif itu.Udara di lantai lima belas terasa tipis.Ia menarik napas panjang, tapi yang masuk justru aroma dingin perdebatan yang belum selesai.“Personal boundaries,” gumamnya sinis. “Lucu sekali kau bicara soal batas, Dad.” Lanjutnya.Ia lalu terus berjalan, melangkah ke ruang kerjanya, membanting pintu cukup keras untuk membuat sekretaris di luar menegang. Jasnya ia lempar ke kursi, lalu membuka kancing kemeja bagian atas, seolah ingin melepaskan genggaman tangan tak kasat mata milik sang ayah yang masih menjerat lehernya.Laptop di meja Anthony masih menyala, menampilkan sebuah email masuk dari Anetta yang belum sempat dibuka.Mata amber milik Anetta berhenti di situ. Lama.“Revisi laporan sudah saya kirim, untuk evalua
Langit siang menatap kota lewat kaca besar ruang kerja Anetta. Ia berdiri di depan jendela, cangkir kopinya sudah dingin, tapi tangannya masih memegang erat, seolah itu satu-satunya pegangan waras yang tersisa. Pertemuan barusan seperti luka lama yang dibuka tanpa bius.Ceklek!!Suara pintu terbuka memecah diam itu.Bram masuk tanpa mengetuk, jasnya sudah ia lepas, lengan kemeja tergulung hingga siku. Ada urat yang menonjol di lengannya, dan entah kenapa, Anetta mendadak sadar bahwa ia masih ingat persis bentuk itu, termasuk bagaimana dulu tangan itu menggenggamnya waktu ia menangis di balkon apartemen.“Jadi, beginikah caramu profesional, hm?” suara Bram pelan, tapi dingin.Anetta menoleh perlahan. “Kamu mau bahas kerjaan atau drama pribadi?” Sindir Anetta telak.Bram berjalan mendekat, langkahnya berat tapi tenang. “Kadang, dua-duanya memang nggak bisa dipisahin, Netta. Apalagi kalau kamu bawa masa lalu ke pekerjaan.” Jawab Bram sarkas.“Jangan mulai lagi, Bram. Aku udah cukup cape







