MasukSore pun tiba, mereka memutuskan untuk jalan ke taman kecil dekat hotel, tempat anak-anak lokal bermain. Ada jungkat-jungkit, perosotan, dan kursi panjang untuk orang tua duduk. Dion berlari-lari kecil, lalu berhenti ketika melihat dua anak yang lebih besar.Bukan apa-apa, hanya… bocah itu punya sejarah takut pada anak yang lebih agresif. Anthony memperhatikan dari kejauhan. Dion memandang dua anak itu. Lalu memandang kembali ke Anthony. Matanya jelas memikirkan 'Boleh mendekat nggak? Aman nggak?' Anthony berjalan pelan ke arah Dion, kemudian jongkok menyamai tinggi tubuh sang putra. “Nak. Kamu boleh main sama siapa pun, tapi kalau merasa nggak nyaman, kamu balik ke Papa.” “Kalau mereka jahat gimana?” tanya Dion kecil. Anthony tersenyum sedikit. “Kalau mereka jahat, kamu nggak harus jadi jahat balik.” “Terus gimana?” Anthony mengelus kepala Dion perlahan. “Kamu bilang, ‘Aku nggak suka itu.’ Tegas, tapi nggak marah.” Ia menunjuk dada Dion.“Laki-laki yang kuat itu bukan yang
Ini hari kedua mereka di Tokyo dan Disneyland. Anthony bangun lebih dulu. Ia duduk di sisi ranjang hotel, memperhatikan Dion yang masih meringkuk sambil memeluk boneka Mickey hasil hadiah semalam. Ada sesuatu yang berubah pada anak itu yang lebih lengket, lebih percaya, lebih… rumah. Dan anehnya, ada hal yang ikut berubah di dalam Anthony sendiri. Bukan sebagai mantan kekasih Anetta. Bukan sebagai CEO, bukan sebagai lelaki yang mencoba menebus masa lalu. Tapi sebagai ayah yang sepenuhnya jatuh hati pada anaknya. Hoam! Dion menguap kecil. “Papa…” Suara serak bangun tidur itu membuat jantung Anthony sempat berhenti. Tapi Dion melanjutkan,“…Anthony… Dion lapar.” Anthony mengernyit, separuh geli, separuh patah. “Sampai kapan kamu mau manggil Papa pakai nama belakang, Son?” tanya Anthony pada sang putra. “Kan Dion belum tau boleh apa nggak…” sahut Dion polos. Anthony mencubit pipinya pelan. “Manggil Papa juga harus izin dulu?” Balas Anthony gemas. Dion mengangguk sangat serius.
Hujan turun sejak siang dan tidak menunjukkan tanda-tanda ingin berhenti. Tetesannya menambuk lembut jendela apartemen Anetta, menciptakan suara ritmis yang menghangatkan ruangan. Lampu-lampu kuning temaram membuat ruang tamu terasa seperti kepompong, tempat di mana dunia luar tidak bisa ikut campur. Dion duduk di karpet, tengkurap dengan kaki diangkat, sibuk menyusun puzzle dinosaurus setebal buku telepon. Dinosaurus kesukaannya, tentu saja adalah T-rex, si raja kecil yang menurut Dion “galak tapi baik”. Hujan yang turun pelan memberi kesan damai. Namun di balik itu, ada getaran emosional yang belum selesai antara tiga manusia dewasa yang belajar hidup berdampingan demi satu anak. Dan hari itu… satu langkah besar akan terjadi. Tok!Tok! Tok! Ketukan lembut di pintu membuat Dion mengangkat kepala. Ia menoleh cepat, mata ambernya berbinar, seperti sudah tahu siapa yang datang. Anetta berjalan pelan menuju pintu, dan begitu ia memutar gagang, pintu terbuka sedikit, menampilkan soso
Tok! Tok! Tok! Anthony mengetuk pintu apartemen milik Anetta dengan tiga ketukan pelan, seperti seseorang yang tidak ingin mengganggu, tapi juga tidak ingin terlihat ragu. Di tangan kirinya ada tabung blueprint revisi Skyline Tower, di tangan kanannya ada sesuatu yang bahkan ia sendiri belum siap sebut sebagai keberanian untuk kembali hadir sebagai ayah, bukan sebagai laki-laki yang kehilangan. Ceklek! Pintu terbuka. Anetta muncul dengan kaus longgar dan rambut diikat sederhana. Bukan tampilan kantor, bukan tampilan formal seperti biasanya dan karena entah mengapa, justru tampilan itu membuat dada Anthony sedikit menegang. “Masuk,” ucap Anetta lembut. Mempersilahkan Anthony untuk masuk ke dalam. Anthony menunduk sedikit, refleks baru yang muncul beberapa minggu belakangan. Ia pun melangkah masuk. Tidak ada yang berubah dari interior unit itu. Masih sama persis seperti terakhir kali Anthony datang. Sehingga membuat Anthony mulai merasakan rileks, mengurangi ketegangan barusan.
Hari ketika Anetta menolak ciumannya, membuat Anthony menjadi berubah. Bukan karena penolakan tersebut tapi lebih ke tatapan mata Anetta sudah tidak ia temukan lagi seperti dulu wanita itu menatapnya. Dunia Anthony tidak runtuh saat itu. Tidak juga ia hadapi dengan dramatik. Juga tidak ada teriakan, pecahan kaca, atau ancaman dingin yang sering melekat pada citra seorang Anthony. Namun yang ada justru keheningan. Sebuah keheningan yang begitu kejam. Anthony duduk di ruang kerjanya. Punggungnya tegak, tangan terkepal ringan di atas meja, mata amber milik Anthony terpaku pada potret Anetta saat mereka wisuda kelulusan dulu. Tampak paras cantik Anetta bertambah dua kali lipat dari aslinya, dengan tubuh menggunakan balutan kebaya. Dan yang paling tidak bisa Anthony lupakan, senyum manis nan tulus tersungging jelas di sudut bibir Anetta saat mereka berdua berfoto bersama. Sorot mata Anetta menunjukkan dengan jelas, bagaimana gadis itu begitu mencintai Anthony. Namun.... sorot mata pe
Blam!! Suara pintu ruangan CEO Reynard Group tertutup rapat. Netra hazel Bram spontam beralih atensi melihat Anetta keluar dari ruang CEO Saat ini, koridor lantai 15 terasa lebih dingin dari AC-nya. Atau mungkin itu cuma efek samping dari laki-laki setinggi Bram Wiratama yang berdiri di ujung lorong dengan kedua tangan disilangkan, seolah sedang menimbang keputusan penting, padahal ia hanya menimbang emosinya sendiri. Padahal ia datang kesini untuk menandatangani berkas proyek. Ya, sesederhana itu. Tapi langkahnya berhenti ketika pintu ruang CEO terbuka. Anetta keluar. Dan dunia yang tadinya tenang, mendadak langsung bergerak satu tingkat lebih cepat. Anetta tampak profesional, rapi, elegan seperti biasa. Tapi Bram melihat detail kecil yang mungkin orang lain lewatkan. Nafas Anetta terlihat sedikit berat. Bahunya menegang lebih dari biasanya. Dan jari kanan Anetta masih menyisakan bayangan tinta—bekas tanda tangan.Bram tahu apa artinya itu. Ia tahu siapa yang ada di dalam ru







