Paragraf 03
“Di sini tidak ada kanvas atau cat air, ya?” tanya sesosok lelaki yang baru saja melangkah dari luar menuju ke tokoku. Lelaki itu berpakaian kemeja hitam polos dengan lengan tiga perempat. Rambutnya panjang melewati tengkuk leher dengan warna alami coklat kehitaman. Warna kulitnya kuning langsat dengan alis mata yang super tebal. “Hanya ada cat air. Itu juga modelnya yang lama. Terdiri dari 12 warna dan ukurannya sebesar jari kelingking.” ucapku dengan berdiri karena hendak melangkah ke belakang untuk mengambil barang yang dimaksud. “Aaah. Itu jenis cat air untuk anak Sekolah Dasar.” sahut pelanggan pertamaku itu dengan ekspresi penuh kekecewaan. “Bagaimana? Mau lihat dulu?” lanjutku menawarkan sebuah pilihan. Lelaki berambut agak panjang itu mengangguk sambil sesekali memandangi sekeliling toko. Langkah kakiku menjauh dari meja kasir. Menuju ke rak buku paling belakang sekaligus paling terpencil. Dulu, sebelum pindah ke sini, toko buku ini adalah yang paling lengkap di daerah lain. Segala macam alat tulis serta berbagai jenis kertas kerajinan tersedia. Di deretan rak paling bawah, bertumpuk selusin cat air yang dimaksudkan. Rupanya di samping barang tersebut, masih tersisa 1 buah kanvas ukuran sedang. Berselimut debu dan sarang laba-laba. Aku tersenyum tipis sambil meraih kedua barang pesanan si pelanggan pertama, di hari pertamaku menjadi penjaga toko. Rupanya lelaki itu masih menunggu sambil berdiri. Sesekali, ia berjalan menuju rak dan membuka secara acak buku yang terpajang di sana. “Ah, kanvasnya ada juga?” tutur bibir si lelaki itu yang nampak terkejut lantaran melihatku menenteng kanvas bertaburan butiran debu. “Tapi kondisi barang dalam keadaan tidak baru. Akan kujual setengah dari harga yang tertera. Itupun kalau Tuan bersedia.” jawabku sesopan dan seramah mungkin. Meskipun wajah ini kurasa gak mencerminkan keramahtamahan yang berasal dari hati. “Aku ambil keduanya.” lanjutnya tegas. Mataku berbinar mendengar kalimat yang terlontar. Entah kekuatan dari mana, secepat kilat, kumasukkan kedua barang pesanan si lelaki tersebut ke dalam plastik sedang berwarna putih gading. “Ini barang milik Tuan.” ujarku melakukan proses serah terima barang kepemilikan. Si lelaki berwajah maskulin tersebut tidak menjawab. Ia hanya menyerahkan selembar uang seratus ribu rupiah dengan tangan kanan. Lalu dengan secepat kilat, mengambil barang belanjaan. Dan mulai beranjak menuju pintu keluar. “Uang kembaliannya, Tuan!” teriakku spontan setelah melihatnya melangkah menjauhi meja. “Ambil saja. Aku sedang terburu-buru.” Pandangan mataku membuntuti si pria yang baru saja menjauh dari tokoku. Ia berjalan cepat menuju ke arah gerbang pangkal Gedung Nebula. “Pantas saja. Rupanya ia salah satu penghuni kamar mewah di sana.” Aku kembali ke habitat awal. Meja kasir sekaligus tempat kerja. Memasukkan lembar rupiah pertama ke dalam laci di bagian kanan. “Semoga berjalan lancar untuk hari ini.” harapku sambil memilih buku apa yang akan dibaca hari ini. *** Jam dinding menunjukkan pukul 2 siang. Cuaca panas menyengat dari luar sampai masuk menembus ke dalam toko. Aku kegerahan dengan keringat mengucur di dahi juga kening yang kering karena pelembab yang sudah terkikis. Akhirnya kuputuskan untuk berjalan menuju ke halaman depan. Mencoba memperbarui penglihatan dengan menyaksikan sesuatu yang baru di luar ruangan. Kendaraan bermotor sesekali berlalu-lalang. Beberapa orang nampak berjalan santai sambil menatap gawai. Ada juga seekor kucing jantan berwarna oren, sedang tertidur pulas di bawah pohon rindang yang tumbuh secara alami di seberang tempatku berdiri. “Aaah. Mbak yang tinggal di gedung Supernova, ya?” Aku terperanjat kaget mendengar suara tanpa rupa itu. Kuputar leher ke kiri dan ke kanan. Mencoba mendeteksi sumber bunyi berasal, meski kutahu, pasti si cewek kekanakan itu yang menyapa. “Sebelah sini, Mbak.” lanjutnya lagi dari arah belakang. Ia menaiki sepeda dengan membawa sekuntum bunga mawar di bagian depan. Mengenakan topi bundar yang menutupi wajah polosnya. Pakaiannya sejenis gamis panjang mekar di bagian bawah. “Mbak penjaga toko buku ini?” Cewek kekanakan itu bertanya lagi sambil turun dari sepeda. “Iya. Mau mampir dulu?” tawarku sekadar basa-basi saja. “Gak usah! Aku juga kerja sebagai penjaga toko. Lokasinya persis di sebelah gedung Nebula. Kalau Mbak ada waktu senggang. Boleh kok lihat-lihat sebentar.” ujarnya dengan senyuman cerah. Mengalahkan teriknya matahari yang menyengat siang ini. “Oh! Jenis toko apa kalau boleh tahu?” “Toko bunga dan tanaman hias. Kami juga menawarkan jasa untuk menyusun atau mengirim buket bunga sesuai pesanan.” Lirikan mataku beralih dari wajah si cewek menuju ke seikat bunga mawar merah yang tertumpuk rapi di keranjang yang terletak di depan stang sepeda. “Apa itu pesanan pelangganmu juga?” “I, iya. Itu untuk dirangkai dengan tanaman hias lain. A, anu, nama Mbak siapakah? Rasanya tadi pagi , baru aku saja yang menyebutkan nama.” sambung si cewek dengan senyuman yang tak pernah pupus dari wajahnya yang tembam. “Namaku, Nara. Tapi, sebenarnya aku pun sudah tak ingat lagi dengan namamu yang diucapkan saat pertemuan kita tadi pagi.” tuturku dengan penuh kejujuran. “Aaaih. Jahat sekali Mbak Nara. Akan kuulangi lagi, namaku Lila Shangrila. Kamarku di lantai 3 nomor 7.” gerutu cewek di hadapanku dengan wajah cemberutnya. “Iya. Baiklah, baik. Senang berkenalan denganmu, Lila.” Tanpa sengaja, aku melukiskan seulas senyuman yang lebih lebar dari sebelumnya. *** Senja di pelupuk barat telah nampak jelas terlihat. Kondisi jalanan juga berangsur sepi dari hilir mudik kendaraan. Aktivitas manusia pun sudah mulai mendekati kata tamat. Termasuk toko buku ini yang sebentar lagi akan ditutup. Agar besok bisa lanjut untuk dibuka kembali. Aku bergegas mengelilingi ruangan. Mengecek setiap rak buku sambil mematikan stop kontak agar listrik tidak mengalir sepanjang malam. Hari ini, hanya ada 1 pengunjung sekaligus pelanggan yang membeli barang. Si cowok maskulin berkulit langsat. Sisanya, aku hanya membunuh waktu dengan membaca dan menulis naskah novel. Beberapa kali, sempat juga mengecek gawai dan melihat beberapa potongan video viral melalui aplikasi TikTok. “Yaah. Setidaknya aku masih hidup dan bernafas sampai hari ini.” bisikku kepada diri sendiri. Pintu toko kemudian kukunci dengan sangat rapat. Dan meteran listrik diturunkan secara total. Tiba-tiba, terasa getaran yang mengalir dari dalam tas selempang. Gawai milikku menerima notifikasi dari pihak penerbitan. Sebuah chat yang berasal dari editor sekaligus wanita yang terus memaksaku untuk menjadi penulis buku. Wanita yang menjerumuskanku ke dalam jurang dunia kepenulisan. “Selamat ya, Nara! Novel pertamamu kembali dicetak ulang untuk kedua kalinya.” bunyi pesan yang masuk melalui aplikasi hijau. Aku tersenyum lagi kali ini. Dengan tingkat kelebaran yang sama saat aku berhadapan dengan si cewek kekanakan itu tadi siang. ***Paragraf 22Aku merebah menahan nafas di atas kursi di balik meja. Setelah rombongan boyband VizCall itu beranjak menjauh dari toko. Kutarik udara dalam-dalam dari hidung lalu kemudian membuangnya perlahan dari rongga mulut. Berusaha mengembalikan kestabilan emosi setelah berhasil diaduk oleh aura intimasi yang sangat kuat dari tatapan mata milik Vikar Amar. Keringat sebesar butiran beras tiba-tiba menetes dari kening dan kedua pipiku. Kuseka wajah yang sudah lusuh ini dengan selembar tisu yang berasal dari dalam laci meja. Dan entah mengapa, tiba-tiba pikiranku langsung memerintah kedua tanganku untuk meraih gawai. Lalu menekan nomor Lila untuk melakukan panggilan video melalui aplikasi hijau.“Haaai… Halo Mbak Nara!” sapa Lila dengan cerianya dari balik layar gawai yang menyala bercahaya.“Halo, Lila. Temani aku beristirahat sebentar, ya?” pintaku yang wajahnya masih menyisakan guratan kelelahan.“Astaga, Mbak Nara! Kenapa mukamu kusut begitu? Apa boyband VizCall itu juga mengacak-a
Paragraf 21“Kalian bertiga bisa tidak cari tempat untuk syuting video klip di tempat lain?” tegurku pada ketiga anggota boyband VizCall yang sudah nangkring terlebih dahulu di depan pekarangan toko sedari pagi tadi. Sementara aku terburu-buru berangkat ke toko lantaran mendapatkan laporan dari Lila. Jika toko gadis itu sebelum ini juga disalahgunakan untuk pengambilan beberapa adegan dalam video klip mereka.“Cepatlah periksa toko bukumu, Mbak Nara! Para anggota Boyband VizCall itu baru saja selesai mengobrak-abrik bagian dalam toko. Dan menurut si Vikas itu, mereka tengah mencari sejenis tempat estetik yang dipenuhi banyak buku. Lalu kedua anggotanya mengarahkan mobil menuju toko Mbak Nara!” celoteh Lila panjang lebar di penghujung speaker gawai. Sementara aku baru saja selesai membenahi pakaian dan celana yang kukenakan.Secepat kilat, aku menuruni tangga dan melangkah cepat menuju ke toko buku.Dan inilah pemandangan yang kudapati sebelum toko dibuka. Ketiga pria –yang menurut seb
Paragraf 20Kepalaku mengangguk sambil memejamkan mata. Dengan telinga yang berfokus pada setiap kata dari lirik lagu boyband ViCall yang berjudul “Samudera Luka”, kubayangkan skenario terburuk di dalam pikiran sendiri. Berkisah tentang seorang wanita yang ditinggal mati kekasih hatinya. “Hmm…. Hmm.. Naa… Hmm…” aku berdehem mengikuti melodi piano dan gitar yang menggiring lagu berdurasi 3 setengah menit tersebut.“Naraa! Tumben sekali mendengarkan lagu saat istirahat? Biasanya baca buku atau gak mengecek sosial media?” tanya Kak Apsa setengah berteriak. Suaranya menembus pertahanan headset yang menutupi lubang telinga.Aku membuka mata sambil melepaskan perangkat jemala sebelah kanan. Disusul sebuah senyuman tipis kemerahan lantaran menahan malu karena kepergok mendengar lagu romantis dari boyband yang paling kubenci saat ini.“Kak Apsa mau mengembalikan novel yang dipinjam?” sambutku yang melihat lengan kanannya tengah menggendong 2 buah novel yang berasal dari tokoku.“Iya. Sekalia
Paragraf 19 “Hah? Apa-apaan brosur-brosur yang menempel di setiap dinding di gedung ini?” tanyaku agak lantang lantaran merasa terganggu dengan beraneka ragam kertas edaran yang tersebar di depan bangsal gedung Supernova. Sementara, di gedung seberang, tiga orang anggota Boyband yang menghebohkan tempo hari sibuk menyebar ke 3 penjuru berbeda dari setiap sisi gedung Nebula. Membagikan secara sopan selebaran yang sama dengan yang ditempel di dinding gedung Supernova. “Oooh. Begitu ya? Maksudnya karena gedung ini rata-rata penghuninya kelas bawah, jadi cukup diperlakukan ala kadarnya?” keluhku namun dengan suara pelan. Agar gak terdengar oleh telinga orang lain. Meskipun, wajah ini mungkin sudah menunjukkan ekspresi ketidaksukaan yang teramat sangat dalam kepada ketiga cowok kurang ajar itu. Dengan hati yang masih dongkol, kuputuskan mencabut selembar pamflet yang menempel erat di salah satu dinding pondasi bangunan. Mengabaikan 3 orang lelaki yang berada di gedung seberang. Yang masi
Paragraf 18Jam di dinding baru menunjukkan pukul delapan malam. Namun, aku belum juga memasak hidangan untuk disantap oleh perut yang sudah mulai separuh kosong. Adalah tumpukan pakaian dan celana kotor yang membuat jadwal makan malamku mundur setengah jam dari biasanya. Ditambah lagi, ada gaun biru navy yang dipinjamkan oleh Lila saat kami menghadiri pesta ulang tahun ibu kandung dari si kembar Nona Alice dan Elsie. Namun, gadis itu mengatakan kalau ia berniat memberikan gaun tersebut padaku.“Gaun ini untuk Mbak Nara saja. Gratis!” ucapnya meyakinkan kala itu saat kami tengah menyantap makanan pesta di meja bundar ketika pembawa acara selesai memperkenalkan ibu si kembar di atas panggung megah.“Apa? Enggak lah! Mana bisa begitu? Berapa uang yang harus dibayar?” sahutku dengan mulut yang masih mengunyah potongan kue yang diambil dari piring keramik yang berada tepat di tengah bundaran meja.“Aduh! Nanti saja membicarakan hal itu di sini.”“Berapa Lila? Sebutkan saja nominalnya. Ini
Paragraf 17“Bagaimana kalau aku bantu sebentar?” tawar suara pria dari arah belakang. Kala itu, aku sedang menghadap ke dinding sambil sibuk mengira-ngira di mana letak posisi yang pas untuk kutipan dan juga untuk beberapa potongan koran bekas yang kutemukan di gudang belakang. Leher dan kepala spontan berputar menghadap ke sumber suara. Rupanya, Mas Apsa tengah berdiri sambil memperhatikanku yang kebingungan.“Lho? Mas Apsa? Bukankah jadwal mengembalikan bukunya masih tersisa besok? Atau ingin menambah satu lagi bahan bacaan untuk di kamar?” sapaku dengan memutar badan secara penuh untuk menghadap ke arahnya.“Tidak. Hanya kebetulan lewat saja, lalu melihat Nara yang sepertinya butuh bantuan.” ujar pria yang terlihat lebih dewasa dari wajahnya itu.“Yaaah. Aku memang sedang mendekorasi ulang toko ini. Soalnya, dari luar kelihatan sangat gak menarik.”“Aku bantu, ya?”“Tidak merepotkan?”“Jangan kuatir. Aku baru saja menyelesaikan proyek lukisan untuk sebuah pameran di sebuah mall k