Paragraf 02
Remang-remang langit atap berwarna keabu-abuan. Suara air mengalir tertangkap oleh sepasang daun telinga. Satu stel pakaian kerja tergeletak di sisi kanan ranjang. Aku berdiri sedikit miring ke kiri di hadapan cermin lemari. Menyisir rambut kusut dan membetulkan letak kacamata minus. Di badanku yang tidak terlampau kurus. Telah terbungkus sempurna sepasang bra di dada dan sepotong celana dalam di pangkal paha. Setelah itu, aku oleskan deodoran di kedua ketiak. Lalu membiarkannya kering oleh udara yang mengular di sekitar. Kutengok sesekali jam di dinding kamar yang tergantung. Memastikan jika masih ada waktu untukku sarapan atau sekadar menyesap secangkir teh di cafe lantai bawah. Tangan kananku kemudian meraih pakaian yang terbaring di ranjang. Mungkin jika bisa berbicara, suara protes akan terdengar dari mulut mereka dengan lancangnya. Karena sudah terlalu lama dibiarkan begitu saja. Kumasukkan kedua lengan secara bergantian melalui lubang yang tersedia di kiri dan kanan kemeja bermotif kotak-kotak. Terus berlanjut dengan mengancingkan bagian depan pakaian secara teratur dan terstruktur. Kukenakan pula span dasar berbahan polyester warna terracotta. Di pergelangan tangan kanan, seutas karet gelang dengan kencang melingkar tanpa jeda. Aku berdiri lagi kali ini di depan cermin lemari, dengan sikap tegak sempurna. Tas selempang tergantung di paku yang tertancap di dinding. Sebotol parfum berdiri takzim di dekat meja rias minimalis. Si sebelahnya, masih pada area meja rias, diam dengan khusyuk bedak padat bernuansa kekuningan. Persis sama dengan tone warna kulit milikku yang sepertinya warisan dari mendiang ibu. Aku berpindah dari lemari menuju ke meja minimalis. Menyapu spon bedak ke permukaan wajah yang dipenuhi flek hitam bekas jerawat. Lalu menyemprot beberapa spray minyak wangi ke arah lipatan lengan dan badan. Kuhirup aroma khas cita rasa vanilla dan bunga anggrek merah. Ritual terakhir adalah mengalungkan tas selempang ke pundak kanan lalu menyilang ke bawah sampai ke pinggang bagian kiri. Bagian puncak acara adalah dengan terbukanya pintu kamar selebar-lebarnya. Untuk mengizinkan aku keluar dari kamar, melangkah menuju ke toko buku yang harus kujaga. *** Langkah kaki perlahan menuruni tangga Gedung Supernova. Diperhatikan kembali, rupanya gedung ini hanya setengah kali lipat luas Gedung Nebula. Yang berarti, jumlah penghuni seberang lebih banyak dari gedung yang kuinjak sekarang. “Yaah… Segalanya kini memang dinilai berdasarkan kekayaan dan kekuasaan.” gumamku dalam pikiran sendiri. Braak! Suara barang terjatuh dari arah tangga lantai 3. Aku tersentak sedikit lalu memutar kepala ke arah belakang. “A, A, aduh! Maaf ya, Mbak. Saya terburu-buru menuruni anak tangga. Karena sudah terlambat untuk membuka toko yang ada di lantai pertama.” ujarnya tergopoh membereskan aksesoris yang terjatuh di lantai. Mataku melirik cepat segala macam printilan imut dan menggemaskan. Pita mengkilap warna pink, kertas origami berbagai bentuk juga warna, dan aneka macam boneka hewan berukuran sebesar jari kelingking. Aku putuskan mendekati cewek berwajah polos tersebut. Duduk berjongkok tepat di hadapannya. Rambut pirang kecoklatan yang agak keriting. Ditambah lagi warna kulitnya yang kuning langsat. Berwajah lembut namun agak tegas di kedua bola mata. Tanganku perlahan memungut benda-benda lucu dan aneh itu. Sesuatu yang mustahil akan kubawa ke dalam kamar atau sekadar sengaja dibeli untuk dikoleksi. “Ah, terima kasih banyak, Mbak. Rasanya aku belum pernah melihatmu sebelum ini? Penghuni baru gedung?” tanya si cewek yang ternyata suaranya mirip sekali dengan anak kecil berumur belasan tahun. “Iya. Begitulah. Saya penghuni kamar no. 17 lantai 04.” jawabku singkat dengan raut muka kaku layaknya kanebo musim panas. “Wah! Persis di sebelah kamar Mas Bakri. Perkenalkan, aku penghuni kamar no 07 di lantai 3. Namaku, Lila Shangrila.” Aku merespon hanya dengan sebuah senyuman keterpaksaan. “Aduh! Sudah hampir mendekati pukul 8. Baiklah, aku pamit menuju toko dulu, ya? Semoga harimu menyenangkan di sini!” Gadis itu melangkah cepat menuju ke bawah. Meninggalkan aura cerah layaknya bunga matahari di pagi hari. Aku bisa mendengar sedikit tawa kecilnya setelah perkenalan singkat tadi. “Sepertinya, aku juga harus segera bergegas membuka tokoku.” gumamku perlahan di dalam hati. *** Berada tepat di pinggir jalan utama kota. Di sebuah perempatan di mana setiap jenis manusia beserta sifat aslinya saling bertegur sapa. Berdiri sebuah toko buku kecil yang memperjualbelikan berbagai jenis buku bacaan. Juga menyediakan jasa peminjaman buku dengan tarif harian. Aku merogoh ke dalam tas ransel. Meraba dan mencari kunci kecil untuk membuka gembok yang terkait di sisi atas dan bawah pintu toko. Butuh waktu lumayan lama untuk menemukan benda kecil berbahan alumunium itu. Segera, ekor kunci itu kucolok ke dalam lubang kecil di bawah gembok besi. Kuputar-putar sampai terdengar bunyi, cekrek. Yang artinya, gembok sudah terlepas dari kaitan. Dan pintu toko dengan gampangnya bisa segera kubuka. Di dalam ruangan yang berukuran 5x5 meter. Hanya ada rak kayu besar melingkari setiap sudut tempat. Hanya ada buku dan buku sejauh mata memandang. Terselip sebuah meja di dekat pintu sebelah kanan. Dan disanalah aku akan bertugas sebagai pemilik sekaligus penjaga toko. Sebagai atasan merangkap bawahan. Aku menyuruh dan aku pula yang memerintah diri sendiri. “Haaah. Memangnya ada yang bisa diandalkan kecuali badan milik pribadi.” gumamku dalam pikiran untuk kesekian kali. Kemoceng bulu ayam terkapar di tepian rak dekat meja. Beberapa berkas bercampur baur di laci bagian bawah. Serta beberapa tumpukan buku yang belum tersampul plastik. Tangan kananku meraih kemoceng. Mengibaskan benda bertekstur lembut itu di setiap permukaan benda yang nampaknya berdebu. Meja, rak kayu, jejeran buku, lemari, laci, dan benda lainnya. “Hachi! Hachi!” Udara tiba-tiba keluar melesat melalui rongga pernapasan atas. Aku menggosok hidung hingga merah. Kemudian membersihkannya dengan sapu tangan yang disimpan di dalam saku kemeja. Ketika kegiatan. bersih-bersih mendekati garis finish. Telinga ini menangkap suara keramaian dari luar toko. Lebih tepatnya, bunyi tawa manusia dari arah pusat perbelanjaan yang berada di antara Gedung Nebula dan Gedung Supernova. Aku tak menggubris. Cukup mengintip dari balik pintu yang terbuka lebar. Tiga mobil sport mewah membelah jalan raya. Dengan kecepatan bak cahaya di ruang hampa udara. Kendaraan kelas atas itu kemudian berhenti tepat di halaman depan Gedung Nebula. Aku melengos menuju ke meja kerja. Merapikan dan menyusun kertas berkas berdasarkan abjad. Menata ulang susunan buku menurut alphabet. Dan tak lupa, mengikat rambut panjangku dengan karet gelang yang melingkari pergelangan tangan kanan. Sementara di luar sana, suara teriakan dan histeris kaum perempuan terdengar riuh bergelora. Mengubah udara pagi yang sejuk menjadi lebih panas dari biasanya. ***Paragraf 22Aku merebah menahan nafas di atas kursi di balik meja. Setelah rombongan boyband VizCall itu beranjak menjauh dari toko. Kutarik udara dalam-dalam dari hidung lalu kemudian membuangnya perlahan dari rongga mulut. Berusaha mengembalikan kestabilan emosi setelah berhasil diaduk oleh aura intimasi yang sangat kuat dari tatapan mata milik Vikar Amar. Keringat sebesar butiran beras tiba-tiba menetes dari kening dan kedua pipiku. Kuseka wajah yang sudah lusuh ini dengan selembar tisu yang berasal dari dalam laci meja. Dan entah mengapa, tiba-tiba pikiranku langsung memerintah kedua tanganku untuk meraih gawai. Lalu menekan nomor Lila untuk melakukan panggilan video melalui aplikasi hijau.“Haaai… Halo Mbak Nara!” sapa Lila dengan cerianya dari balik layar gawai yang menyala bercahaya.“Halo, Lila. Temani aku beristirahat sebentar, ya?” pintaku yang wajahnya masih menyisakan guratan kelelahan.“Astaga, Mbak Nara! Kenapa mukamu kusut begitu? Apa boyband VizCall itu juga mengacak-a
Paragraf 21“Kalian bertiga bisa tidak cari tempat untuk syuting video klip di tempat lain?” tegurku pada ketiga anggota boyband VizCall yang sudah nangkring terlebih dahulu di depan pekarangan toko sedari pagi tadi. Sementara aku terburu-buru berangkat ke toko lantaran mendapatkan laporan dari Lila. Jika toko gadis itu sebelum ini juga disalahgunakan untuk pengambilan beberapa adegan dalam video klip mereka.“Cepatlah periksa toko bukumu, Mbak Nara! Para anggota Boyband VizCall itu baru saja selesai mengobrak-abrik bagian dalam toko. Dan menurut si Vikas itu, mereka tengah mencari sejenis tempat estetik yang dipenuhi banyak buku. Lalu kedua anggotanya mengarahkan mobil menuju toko Mbak Nara!” celoteh Lila panjang lebar di penghujung speaker gawai. Sementara aku baru saja selesai membenahi pakaian dan celana yang kukenakan.Secepat kilat, aku menuruni tangga dan melangkah cepat menuju ke toko buku.Dan inilah pemandangan yang kudapati sebelum toko dibuka. Ketiga pria –yang menurut seb
Paragraf 20Kepalaku mengangguk sambil memejamkan mata. Dengan telinga yang berfokus pada setiap kata dari lirik lagu boyband ViCall yang berjudul “Samudera Luka”, kubayangkan skenario terburuk di dalam pikiran sendiri. Berkisah tentang seorang wanita yang ditinggal mati kekasih hatinya. “Hmm…. Hmm.. Naa… Hmm…” aku berdehem mengikuti melodi piano dan gitar yang menggiring lagu berdurasi 3 setengah menit tersebut.“Naraa! Tumben sekali mendengarkan lagu saat istirahat? Biasanya baca buku atau gak mengecek sosial media?” tanya Kak Apsa setengah berteriak. Suaranya menembus pertahanan headset yang menutupi lubang telinga.Aku membuka mata sambil melepaskan perangkat jemala sebelah kanan. Disusul sebuah senyuman tipis kemerahan lantaran menahan malu karena kepergok mendengar lagu romantis dari boyband yang paling kubenci saat ini.“Kak Apsa mau mengembalikan novel yang dipinjam?” sambutku yang melihat lengan kanannya tengah menggendong 2 buah novel yang berasal dari tokoku.“Iya. Sekalia
Paragraf 19 “Hah? Apa-apaan brosur-brosur yang menempel di setiap dinding di gedung ini?” tanyaku agak lantang lantaran merasa terganggu dengan beraneka ragam kertas edaran yang tersebar di depan bangsal gedung Supernova. Sementara, di gedung seberang, tiga orang anggota Boyband yang menghebohkan tempo hari sibuk menyebar ke 3 penjuru berbeda dari setiap sisi gedung Nebula. Membagikan secara sopan selebaran yang sama dengan yang ditempel di dinding gedung Supernova. “Oooh. Begitu ya? Maksudnya karena gedung ini rata-rata penghuninya kelas bawah, jadi cukup diperlakukan ala kadarnya?” keluhku namun dengan suara pelan. Agar gak terdengar oleh telinga orang lain. Meskipun, wajah ini mungkin sudah menunjukkan ekspresi ketidaksukaan yang teramat sangat dalam kepada ketiga cowok kurang ajar itu. Dengan hati yang masih dongkol, kuputuskan mencabut selembar pamflet yang menempel erat di salah satu dinding pondasi bangunan. Mengabaikan 3 orang lelaki yang berada di gedung seberang. Yang masi
Paragraf 18Jam di dinding baru menunjukkan pukul delapan malam. Namun, aku belum juga memasak hidangan untuk disantap oleh perut yang sudah mulai separuh kosong. Adalah tumpukan pakaian dan celana kotor yang membuat jadwal makan malamku mundur setengah jam dari biasanya. Ditambah lagi, ada gaun biru navy yang dipinjamkan oleh Lila saat kami menghadiri pesta ulang tahun ibu kandung dari si kembar Nona Alice dan Elsie. Namun, gadis itu mengatakan kalau ia berniat memberikan gaun tersebut padaku.“Gaun ini untuk Mbak Nara saja. Gratis!” ucapnya meyakinkan kala itu saat kami tengah menyantap makanan pesta di meja bundar ketika pembawa acara selesai memperkenalkan ibu si kembar di atas panggung megah.“Apa? Enggak lah! Mana bisa begitu? Berapa uang yang harus dibayar?” sahutku dengan mulut yang masih mengunyah potongan kue yang diambil dari piring keramik yang berada tepat di tengah bundaran meja.“Aduh! Nanti saja membicarakan hal itu di sini.”“Berapa Lila? Sebutkan saja nominalnya. Ini
Paragraf 17“Bagaimana kalau aku bantu sebentar?” tawar suara pria dari arah belakang. Kala itu, aku sedang menghadap ke dinding sambil sibuk mengira-ngira di mana letak posisi yang pas untuk kutipan dan juga untuk beberapa potongan koran bekas yang kutemukan di gudang belakang. Leher dan kepala spontan berputar menghadap ke sumber suara. Rupanya, Mas Apsa tengah berdiri sambil memperhatikanku yang kebingungan.“Lho? Mas Apsa? Bukankah jadwal mengembalikan bukunya masih tersisa besok? Atau ingin menambah satu lagi bahan bacaan untuk di kamar?” sapaku dengan memutar badan secara penuh untuk menghadap ke arahnya.“Tidak. Hanya kebetulan lewat saja, lalu melihat Nara yang sepertinya butuh bantuan.” ujar pria yang terlihat lebih dewasa dari wajahnya itu.“Yaaah. Aku memang sedang mendekorasi ulang toko ini. Soalnya, dari luar kelihatan sangat gak menarik.”“Aku bantu, ya?”“Tidak merepotkan?”“Jangan kuatir. Aku baru saja menyelesaikan proyek lukisan untuk sebuah pameran di sebuah mall k