Share

Bulan Madu

Negara Amerika, Los Angeles-

Alezha dan Kaysan baru saja sampai di sebuah hotel paling terkenal di kota itu. Langsung saja ia menelepon keluarganya dan mengabarkan kalau mereka sudah sampai dengan menggunakan SIM card yang ada di negara itu.

"Kenapa tidak diangkat, ya?" gumam Alezha.

"Waktu negara ini dan negara kita berbeda delapan jam. Bisa kau bayangkan kalau di sini pukul tujuh malam, maka di sana puku tiga pagi," ujar Kaysan.

"Oh iya, aku lupa. Ya sudah, aku kirim pesan saja." Alezha langsung mengirimi pesan kepada orang tuanya dan mertuanya bahwa mereka sudah sampai.

"Ayo, makan malam. Aku yakin kau pasti lapar," ajak Kaysan.

"Tidak hanya aku, kau juga pasti lapar, 'kan?"

"Tentu saja, ayo, beres-beresnya besok saja." Kaysan langsung berjalan keluar kamar diikuti oleh Alezha.

Mereka makan di restoran yang ada di hotel itu. Alezha heran kenapa ada menu makanan khas Indonesia di sana. Padahal tidak banyak pengunjung dari Indonesia. Namun, saat pelayan menyebut namanya dan Kaysan, ia akhirnya tahu tentang kalimat 'segala sesuatunya sudah diatur di sana'.

"Baik sekali, mama dan papamu melakukan ini semua," ucap Kaysan.

"Mereka hanya ingin yang terbaik untuk kita," sahut Alezha dengan ditambah sedikit senyuman.

Setelah selesai makan, mereka pun kembali ke kamar. Alezha melaksanakan sholat Isya' begitu juga dengan Kaysan secara bergantian. Lalu mereka pun beberes pakaian karena Alezha tidak suka menunda pekerjaan. Karena rasa gengsi, Kaysan juga ikut beberes pakaiannya.

"Kau tidak pernah memasukkan pakaian ke lemari?" tanya Alezha saat melihat pakaian yang dimasukkan Kaysan berantakan.

"Tidak, semua dilakukan pelayan bahkan saat aku ada perjalanan bisnis kemanapun."

"Bolehkah aku membantumu?" 

"Kau serius?" tanya Kaysan.

"Tentu saja, mataku sakit melihat pakaian yang berantakan seperti itu." Menunjuk pakaian Kaysan yang saat ini sudah jatuh satu persatu ke lantai.

"Baiklah, terimakasih." Kaysan memundurkan langkahnya. Membiarkan Alezha membereskan pakaiannya. Melipat, menyusun sesuai jenis, hingga lemari itu sudah rapi dengan pakaiannya.

Namun tiba-tiba, "Aaaaaaaaaaa." Alezha beteriak sambil melempar sesuatu yang ia pegang ke sembarang arah.

Kaysan yang sedang berfokus pada ponselnya langsung mendatangi Alezha guna melihat apa yang terjadi. "Kenapa?" tanyanya panik.

"Apa kau tahu apa itu ruang lain untuk,,,,,celana dalam?" Alezha menatap Kaysan dengan penuh kekesalan.

"Oh, iya, maaf. Aku lupa menaruhnya di ruang lain dalam koper. Habisnya kemarin aku lama bertelepon dengan Calya, jadi saat memasukkan pakaianku, aku dalam keadaan mengantuk."

"Kau membuat aku menyentuhnya!" Alezha berdiri dan pergi ke sofa kamar itu.

"Maafkan aku, Alezha. Aku seperti melanggar aturan yang aku buat." Kaysan mendekati Alezha dan duduk di sampingnya.

"Sudahlah, lupakan saja." Alezha menarik nafas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Bagaimana bisa ia terpancing emosi hanya karena sebuah celana dalam. Kaysan, orang pertama yang sukses membuatnya berteriak, marah, kesal setelah dua tahun ini. Dan ia juga orang pertama yang membuat Alezha berteriak seperti tadi.

"Maafkan aku." Kaysan terus menatap Alezha dengan tatapan rasa bersalah.

Sebenarnya, dia bukanlah orang yang mudah meminta maaf pada orang lain. Namun sejak kejadian yang menimpanya dengannya dan Calya, ia pun berubah menjadi sosok yang lebih penyabar dan mengalah. Karena apa? Karena semenjak kejadian itu, Calya terus saja menguji kesabarannya dengan bertingkah sesuka hati, manja, cerewet, dan posesif. Karena rasa bersalahnya pada Calya, ia tidak berani melukai gadis itu dengan sikapnya.

Hening terasa saat keduanya saling diam tanpa kata. Merasa ini membuat tidak nyaman, Kaysan pun membuka suara. "Al, masih ada waktu. Ayo kita jalan-jalan ke luar. Hotel ini dekat pantai. Pasti sangat menyenangkan berjalan-jalan dibibir pantai sambil menikmati udara yang sejuk."

"Pantai?"

"Ya, pantai, ayo kita kesana." Kaysan tampak sangat antusias.

"Baiklah, sebaiknya kita berganti baju dulu. Tidak mungkin ke pantai dengan pakaian resmi seperti itu." Menunjuk pakaian Kaysan.

"Benar, aku akan mengganti bajuku." Kaysan pun beranjak dari duduknya, pergi ke lemari guna mengambil pakaiannya.

"Kay," panggil Alezha.

Kaysan menoleh. "Ada apa?" tanyanya.

"Jika mengambil pakaian di bagian tengah atau bawah, jangan asal tarik saja. Ambil secara perlahan atau angkat bagian atas pakaian yang mau kau ambil."

"Siap." Kaysan mengangkat tangannya ke kepala sembari memberi hormat. Membuat Alezha tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Ternyata ada CEO selucu Kaysan.

'Eh, apa yang aku pikirkan.' batin Alezha. Buru-buru ia menepis pikirannya tentang Kaysan.

"Aku sudah selesai ganti baju," ucap Kaysan saat baru keluar dari kamar mandi dengan pakaian khas pantainya itu.

"Ya sudah, sekarang giliranku." Alezha berjalan ke lemarinya, mengambil pakaian santainya, lalu pergi ke ruang ganti dan menukar bajunya. Untungnya sebelum pergi, ia sempat membeli beberapa pakaian santai yang tertutup, sehingga tidak terbuka dan menimbulkan sesuatu yang tidak diinginkan.

Mereka pun segera ke pantai. Berjalan di pinggiran pantai sambil menikmati angin sepoi-sepoi, sesekali kaki mereka terkena air ombak yang menjorok ke daratan.

Dan inilah bulan madu mereka, menikmati indahnya pantai sebagai sepasang teman, bukan pengantin baru.

Alezha dan Kaysan sedang berjalan-jalan di bibir pantai. Menikmati angin segar dan malam penuh bintang namun hanya sebagai teman. Mereka berjalan beriringan sambil sesekali bercerita.

"Aku mengenal keluarga Armadja. Mereka sangat hebat. Kau beruntung menjadi bagian dari keluarga itu. Sejak dulu aku selalu mengagumi nama keluarga itu."

Mendengar hal itu, Alezha hanya tersenyum. Kaysan bukanlah orang pertama yang memuji keluarganya. Banyak sekali teman-teman Alezha mendekatinya hanya untuk menumpang pamor kepopuleran Aramdja. Namun tentu saja ada seseorang yang iri padanya hingga membuatnya jatuh dalam jebakan yang dalam.

"Apa begini reaksimu ketika aku menguji keluargamu?"

"Lalu aku harus apa? Melompat kegirangan, bersorak-sorai?"

"Tidak, setidaknya ucapkanlah terimakasih, atau basa-basi yang lain."

"Baiklah, terimakasih." Alezha menatapnya lalu tersenyum.

"Kenapa kau datar sekali." Kaysan mendengkus kesal.

"Apa kau menyukai wanita yang berisik?"

Mendengar ucapann Alezha, seketika Kaysan teringat Calya yang sangat berisik dan manja, namun tetap saja membuatnya risih dan tidak nyaman. "Tidak, bukan itu. lupakanlah!"

"Kau yang bertanya duluan." Alezha menggelengkan kepalanya sembari tersenyum.

"Katakan, kenapa sampai sekarang saudara kembarmu itu tidak pernah menyapaku? Memangnya apa salahku? Bahkan saat pesta pernikahan kita, dia tidak memberi selamat."

"Dia tidak menyetujui perjodohan ini." Alezha menatap ke arah bintang yang tersusun di langit.

"Dia jelas sangat menyayangi dirimu."

"Ya, dia memang sangat menyayangi ku."

"Beruntungnya dirimu mempunyai banyak saudara kandung. Sedangkan aku hanya anak tunggal yang menjadi tumpuan harapan mereka."

"Bukankah bagus jika kau menjadi satu-satunya kebanggaan keluarga mu?" Alezha menatap heran pada Kaysan.

"Tidak, itu menjadi beban tersendiri untukku. Terlebih lagi aku harus melakukan semua keinginan mereka agar mereka senang."

"Bukankah sudah kewajiban, sebagai anak, kita tidak boleh mengecewakan orang tua kita?"

"Ya, tetapi jika itu mengorbankan perasaanmu, apa itu bagus?" Kaysan balik bertanya.

"Bagiku orang tua adalah segalanya. Apa yang membuat mereka senang, maka akan aku lakukan meski itu mengorbankan perasaan ku." Alezha kembali tersenyum sembari menatap Kaysan.

Mendengar ucapan Alezha, Kaysan merasa heran. 'Aneh, jika dilihat dari ekspresi wajahnya, aku dapat melihat sebuah senyuman yang dipaksakan. Namun, kenapa dia mudah sekali mengatakan hal itu tanpa beban?' batinnya.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Kaysan.

"Aku tidak pernah sebaik ini."

"Kau tahu? Aku adalah orang yang tidak pintar tersenyum saat ada masalah. Kau benar-benar hebat."

"Apa maksud mu aku menyembunyikan masalah?"

"Ya, aku dapat melihat sebuah keterpaksaan dalam senyuman di wajah itu."

"Kan sudah jelas, kau dan aku sama-sama mengalami keterpaksaan dalam pernikahan ini, kenapa masih bertanya?"

"Kau sangat tenang."

"Untuk apa panik, apa menurutmu panik bisa menyelesaikan masalah. Tersenyum lah, dengan begitu kau akan melupakan segala rasa sakitmu."

Kaysan kehabisan kata-kata. Ia tidak habis pikir kenapa Alezha bisa berpikiran seperti itu. 'Tersenyum dapat membuatmu melupakan rasa sakit? Yang benar saja.' batinnya.

"Sudah larut, seharusnya kita kembali ke kamar. Aku ingin menelepon orang tua kita," ujar Alezha.

"Baiklah." Kaysan mengangguk dan mengikuti langkah Alezha menuju kamar hotel mereka.

Namun, saat ia sudah sampai di lobi hotel, seseorang memanggilnya.

"Alezha!" teriak seseorang dari arah kanan Alezha.

Alezha pun menoleh ke sumber suara. Namun, betapa terkejutnya ia saat melihat yang memanggilnya adalah Sofi, teman lamanya. "Sofi?"

Sofi berjalan mendekati Alezha yang saat ini terlihat sangat tegang. Sementara Kaysan berhenti di samping Alezha.

"Sudah lama kita tidak bertemu sejak malam itu, ya." Sofi tersenyum pada Alezha, namun terlihat seperti senyuman yang tidak bersahabat.

Alezha hanya diam tanpa berani menjawab. Tangannya bergetar, namun ia segera menutupinya.

"Apakah kau Kaysan? Suami Alezha?" Menatap Kaysan sembari tersenyum ramah.

"Benar," sahut Kaysan.

"Perkenalkan aku Sofi, teman Alezha. Maaf saat pernikahan kalian aku tidak datang. Aku sedikit sibuk karena teman membantu teman kami yang sedang bercerai dengan suaminya karena berbohong, kasihan sekali, kan?" Sofi melirik Alezha yang kini mulai pucat. Jelas sekali saat itu Sofi tidak datang karena Alezha tidak mengundangnya.

"Kami mengerti kau pasti sibuk." Kaysan menyahut.

"Ya, tetapi aku senang kita bertemu di sini. Aku sedang berlibur bersama tunanganku. Kalian pasti sedang bulan madu, ya? Pasti kalian telah melewati malam-malam yang penuh cinta. Apalagi Alezha adalah seorang gadis TERHORMAT dari keluarga TERHORMAT." Terdapat penekanan pada kata terhormat yang keluar dari mulut Sofi.

"Kaysan, bolehkah aku berbicara dengan Sofi berdua saja?" tanya Alezha dengan gugup.

"Oh, ya tentu. Kalian sudah lama tidak bertemu. Mengobrollah, sepuasnya. Aku duluan, ya." Kaysan pun pergi menuju kamarnya.

"Aneh, kenapa mereka bukan seperti dua orang yang mengenal dengan baik? Seharusnya, jika sudah lama tidak bertemu, mereka berpelukan atau setidaknya mengobrol dengan akrab. Namun yang aku lihat, Alezha tampak begitu canggung. Ah, apa yang aku pikirkan? Aku tidak boleh mencampuri urusan Alezha," gumam Kaysan.

*****

"Bagaimana keadaanmu setelah kejadian malam itu? Tepatnya dua tahun lalu? Aku dengar kau langsung pergi ke Amerika dan berubah setelah pulang dari sana. Apa kejadian malam itu telah mengguncang jiwamu?" tanya Sofi dengan tatapan sinis.

Alezha masih diam. Ia tidak berani menjawab, karena itu akan lebih melukai hatinya, ia akan mengingat kejadian malam itu.

Kejadian dimana,,,,,,

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status