Hari-hari setelah acara amal itu berlalu dengan cepat, namun bagi Alya, rasanya seperti waktu melambat. Ia masih belum bisa melupakan pertemuannya yang memalukan dengan Adrian Hartanto, CEO terkenal yang tanpa sengaja ia anggap sebagai pelayan. Setiap kali ingatan itu muncul di benaknya, wajahnya langsung memerah karena malu. Namun, lebih dari rasa malu, ada sesuatu dalam tatapan Adrian yang membuatnya penasaran. Tatapan itu tidak hanya dingin, tetapi juga seolah-olah menyimpan rahasia besar yang tidak ingin dibagikan kepada siapa pun.
Keesokan harinya, Alya kembali bekerja di kantor perusahaan tempat ia bekerja selama beberapa bulan terakhir. Perusahaan ini adalah salah satu mitra bisnis dari Hartanto Group, perusahaan yang dipimpin oleh Adrian. Meskipun ia tahu bahwa Adrian adalah orang penting di dunia bisnis, Alya tidak pernah membayangkan bahwa ia akan bertemu dengannya secara langsung, apalagi dalam situasi yang begitu memalukan. Ia berharap bahwa insiden itu tidak akan sampai ke telinga bosnya atau rekan-rekannya di kantor. Namun, harapannya mulai goyah ketika ia mendengar desas-desus tentang kedatangan Adrian ke kantor mereka minggu ini. Kabarnya, Adrian akan mengadakan rapat penting dengan tim manajemen untuk membahas proyek kolaborasi baru antara kedua perusahaan. Alya merasa cemas. Bagaimana jika Adrian mengenali dirinya? Apa yang akan ia katakan? Apakah ia akan menertawakannya di depan semua orang? Pikiran-pikiran ini membuatnya sulit berkonsentrasi pada pekerjaannya. Pada hari Senin pagi, suasana di kantor tampak berbeda dari biasanya. Semua orang terlihat lebih tegang dan sibuk. Para staf senior berkumpul di ruang rapat utama, sementara para pegawai junior seperti Alya diminta untuk tetap siaga di luar. Tidak ada yang tahu pasti apa yang akan dibahas dalam rapat tersebut, tetapi semua orang tahu bahwa ini adalah kesempatan besar bagi perusahaan mereka untuk meningkatkan reputasi di mata Hartanto Group. Alya duduk di mejanya, mencoba fokus pada dokumen-dokumen yang harus ia kerjakan. Namun, matanya terus-menerus melirik ke arah pintu ruang rapat, berharap Adrian tidak akan keluar dari sana. Ia bahkan sempat berpikir untuk mengambil cuti sakit, tetapi ia tahu bahwa itu bukanlah solusi yang baik. Ia harus menghadapi kenyataan bahwa ia mungkin akan bertemu Adrian lagi, entah bagaimana caranya. Beberapa jam kemudian, pintu ruang rapat akhirnya terbuka. Para staf senior keluar satu per satu, wajah mereka tampak serius namun puas. Bos Alya, Pak Rizal, memanggil beberapa pegawai junior, termasuk Alya, untuk masuk ke ruangan. Alya merasa jantungnya berdebar-debar saat ia melangkah masuk. Di dalam ruangan, Adrian sedang duduk di kursi kepala, dengan ekspresi yang sama dingin seperti saat mereka bertemu di acara amal. Ia tampak sedikit lebih santai, tetapi tatapannya tetap tajam dan mengintimidasi. "Baik," kata Pak Rizal dengan suara keras, mencoba memecah ketegangan. "Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, kita akan memulai proyek kolaborasi baru dengan Hartanto Group. Proyek ini sangat penting bagi perusahaan kita, jadi saya ingin semua orang memberikan yang terbaik." Adrian mengangguk sekilas, lalu berdiri dari kursinya. "Saya ingin memastikan bahwa semua detail proyek ini berjalan lancar," katanya dengan nada datar. "Oleh karena itu, saya akan mengirimkan salah satu tim saya untuk bekerja langsung di sini. Mereka akan membantu memastikan bahwa semua target tercapai tepat waktu." Semua orang di ruangan itu tampak terkejut, termasuk Alya. Ini adalah langkah yang tidak biasa bagi sebuah perusahaan sebesar Hartanto Group. Biasanya, mereka hanya mengirimkan laporan atau delegasi kecil untuk mengawasi proyek. Namun, sepertinya Adrian ingin memastikan bahwa proyek ini berhasil dengan cara yang lebih langsung. Setelah rapat selesai, Adrian meninggalkan ruangan tanpa banyak bicara. Alya merasa lega karena ia tidak mengenali dirinya, atau setidaknya itulah yang ia pikirkan. Namun, beberapa menit kemudian, Nadine—sekretaris Adrian yang Alya temui di acara amal—mendekatinya dengan senyum ramah yang terlihat palsu. "Alya, kan?" tanya Nadine dengan nada manis, meskipun ada kilatan dingin dalam matanya. "Saya ingat kamu dari acara amal minggu lalu." Alya merasa tubuhnya menegang. Ia tidak tahu apa yang Nadine inginkan darinya, tetapi ia tahu bahwa wanita itu tidak bisa dipercaya sepenuhnya. "Ya, betul," jawabnya dengan sopan, mencoba menjaga sikapnya tetap tenang. Nadine tersenyum lebih lebar. "Kamu bekerja di departemen mana?" "Departemen administrasi," jawab Alya singkat, berharap percakapan ini akan segera berakhir. "Oh, bagus sekali," kata Nadine dengan nada yang terdengar sedikit sinis. "Mungkin kamu bisa membantu kami nanti. Kami akan membutuhkan banyak dukungan dari timmu untuk memastikan proyek ini berjalan lancar." Alya hanya mengangguk, tidak tahu harus berkata apa. Nadine tampak puas dengan reaksinya, lalu berbalik dan meninggalkan ruangan. Alya merasa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi ia tidak bisa memastikan apa itu. Beberapa hari kemudian, tim dari Hartanto Group mulai bekerja di kantor mereka. Alya jarang bertemu dengan Adrian, tetapi ia sering melihat Nadine berkeliling kantor, berbicara dengan para staf senior dan mencatat hal-hal penting. Ada sesuatu dalam cara Nadine berperilaku yang membuat Alya merasa tidak nyaman. Wanita itu tampak terlalu tertarik pada segala sesuatu yang terjadi di kantor, seolah-olah ia sedang mencari sesuatu. Di tengah semua ketegangan ini, Alya mulai merasa semakin sulit untuk berkonsentrasi pada pekerjaannya. Ia sering terjebak dalam pikiran-pikiran tentang Adrian dan Nadine, serta apa yang mereka rencanakan. Ia juga mulai merasa bahwa ia tidak cocok dengan lingkungan kerja yang begitu kompetitif. Semua orang tampak begitu ambisius, sementara ia hanya ingin melakukan pekerjaannya dengan baik tanpa harus terlibat dalam politik kantor. Namun, ada satu hal yang membuatnya sedikit lebih tenang. Salah satu rekan kerjanya, Dina, tampaknya memahami perasaannya. Dina adalah seorang wanita muda yang bekerja di departemen yang sama dengan Alya. Ia sering mengajak Alya berbicara tentang hal-hal ringan di luar pekerjaan, seperti film atau musik favorit mereka. Alya merasa bahwa Dina adalah satu-satunya orang di kantor yang benar-benar peduli padanya. Suatu sore, saat mereka sedang istirahat di pantry, Dina bertanya, "Kamu baik-baik saja, ya? Kamu tampak sedikit tegang akhir-akhir ini." Alya tersenyum tipis. "Aku hanya... merasa sedikit kewalahan, mungkin. Ada banyak hal yang terjadi akhir-akhir ini." Dina mengangguk paham. "Aku tahu apa yang kamu maksud. Tim dari Hartanto Group membuat semua orang gugup. Tapi jangan khawatir, kamu pasti bisa melewatinya. Kamu kuat, Alya." Alya merasa sedikit lega mendengar kata-kata Dina. Ia tahu bahwa ia tidak sendirian dalam menghadapi semua ini. Namun, ia juga sadar bahwa ia harus lebih berhati-hati. Ada sesuatu yang tidak beres di udara, dan ia tidak ingin terjebak dalam situasi yang lebih rumit dari yang sudah ada. Hari-hari berikutnya berlalu dengan lambat. Alya mencoba fokus pada pekerjaannya, meskipun pikirannya masih dipenuhi oleh ketegangan yang terus-menerus menghantuinya. Ia tahu bahwa ia harus bersiap menghadapi tantangan-tantangan baru, terutama dengan kehadiran tim dari Hartanto Group. Namun, ia juga merasa bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi, sesuatu yang belum sepenuhnya ia pahami. Meskipun begitu, Alya tetap bertekad untuk melanjutkan hidupnya dengan tenang. Ia tidak ingin membiarkan ketegangan di kantor menguasai dirinya. Ia tahu bahwa ia harus tetap kuat, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk masa depannya. Alya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Nadine terlalu sering muncul di sekitarnya, seolah-olah wanita itu sedang mengamati setiap gerak-geriknya. Awalnya, Alya mencoba mengabaikan perasaan itu, menganggap bahwa Nadine hanya melakukan tugasnya sebagai sekretaris Adrian. Namun, semakin hari, Nadine tampak semakin tertarik pada Alya, bahkan hingga menanyakan hal-hal kecil yang seharusnya tidak penting. Pertanyaan-pertanyaan itu terdengar biasa saja, tetapi ada nada dalam suara Nadine yang membuat Alya merasa tidak nyaman. Pada hari Jumat sore, saat Alya sedang merapikan dokumen di mejanya, Nadine tiba-tiba muncul lagi. Kali ini, ia membawa secangkir kopi dan meletakkannya di atas meja Alya dengan senyum manis yang terlihat dipaksakan. "Ini untukmu," katanya, suaranya terdengar ramah namun ada sesuatu yang dingin di balik nada bicaranya. "Kamu pasti lelah bekerja keras akhir-akhir ini." Alya tersenyum tipis, mencoba bersikap sopan meskipun ia merasa curiga. "Terima kasih," jawabnya singkat, tidak yakin apakah ia harus meminum kopi itu atau tidak. Ia tahu bahwa Nadine bukan orang yang bisa sepenuhnya dipercaya, tetapi ia juga tidak ingin terlihat kasar. Nadine tidak langsung pergi. Sebaliknya, ia duduk di kursi di samping meja Alya, seolah-olah ia ingin mengobrol lebih lama. "Jadi, bagaimana menurutmu tentang proyek kolaborasi ini?" tanyanya dengan nada santai, meskipun matanya terus-menerus memperhatikan reaksi Alya. Alya mengangkat bahu, berusaha menjaga ekspresinya tetap netral. "Proyeknya cukup menantang, tapi aku yakin kita bisa melakukannya jika semua orang bekerja sama." Nadine tersenyum, tetapi senyum itu tidak sampai ke matanya. "Ya, tentu saja. Tapi aku penasaran... apa kamu sudah bertemu dengan Adrian lagi sejak acara amal itu?" Pertanyaan itu membuat Alya merasa tidak nyaman. Ia tidak tahu apakah Nadine benar-benar ingin tahu atau hanya mencoba menggali informasi. "Tidak," jawabnya dengan cepat, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya. "Aku jarang bertemu dengannya di kantor." Nadine mengangguk, tetapi ada kilatan aneh di matanya, seolah-olah ia tahu sesuatu yang tidak diketahui Alya. "Oh, begitu," katanya pelan, suaranya terdengar seperti bisikan. "Aku hanya bertanya-tanya... apa mungkin kamu salah paham tentangnya." Alya merasa tubuhnya menegang. Apa maksud Nadine dengan perkataan itu? Apakah ia mencoba memberitahunya sesuatu? Ataukah ini hanya cara Nadine untuk memancing reaksi darinya? Sebelum Alya bisa bertanya lebih lanjut, Nadine berdiri dan berkata, "Yah, aku harus kembali bekerja. Terima kasih sudah ngobrol denganku." Wanita itu tersenyum lagi, lalu berjalan pergi tanpa menoleh ke belakang. Alya menatap cangkir kopi di mejanya, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ada sesuatu dalam percakapan tadi yang membuatnya merasa tidak tenang. Nadine terlalu banyak bertanya tentang Adrian, dan ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Alya merasa bahwa wanita itu sedang mencoba menyampaikan pesan terselubung. Namun, Alya tidak punya waktu untuk memikirkan hal itu lebih jauh. Beberapa jam kemudian, bosnya, Pak Rizal, memanggilnya ke ruang rapat. Saat Alya masuk, ia terkejut melihat Adrian sudah berada di sana. Pria itu duduk di kursi kepala, dengan ekspresi yang sama dingin seperti biasanya. Namun, kali ini ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Alya merasa tidak nyaman. Tatapan itu seolah-olah menusuk langsung ke dalam jiwanya, membuatnya merasa seperti seekor mangsa yang sedang diamati oleh predator. "Alya," kata Pak Rizal dengan nada serius, "kami membutuhkan bantuanmu untuk sesuatu yang sangat penting." Alya merasa jantungnya berdebar-debar. Apa yang akan diminta oleh mereka? Ia hanya seorang pegawai junior, dan ia tidak tahu apa yang bisa ia lakukan untuk membantu proyek sebesar ini. Adrian berbicara, suaranya datar namun tajam. "Kami membutuhkan seseorang yang bisa menjadi penghubung antara tim kami dan timmu. Seseorang yang bisa memastikan bahwa semua komunikasi berjalan lancar." Alya merasa terkejut. Mengapa mereka memilihnya untuk tugas ini? Bukankah ada orang lain yang lebih senior dan lebih berpengalaman? Namun, sebelum ia bisa mengajukan pertanyaan, Pak Rizal melanjutkan, "Kami memilihmu karena kamu memiliki sikap yang baik dan mampu bekerja dengan tim. Kami yakin kamu bisa melakukannya." Alya merasa bingung. Ia tidak tahu apakah ini adalah sebuah kehormatan atau malah sebuah jebakan. Namun, ia tidak punya pilihan selain menerima tawaran itu. "Baik, Pak," katanya dengan suara pelan, mencoba menyembunyikan rasa cemasnya. Setelah rapat selesai, Adrian berdiri dari kursinya dan mendekati Alya. Ia menatapnya dengan intens, seolah-olah ingin mengatakan sesuatu. Namun, alih-alih berbicara, ia hanya memberikan satu kalimat pendek: "Kita akan bicara nanti." Alya merasa tubuhnya membeku. Apa yang Adrian maksud dengan "kita akan bicara nanti"? Apakah ia akan membahas insiden memalukan di acara amal? Atau apakah ada sesuatu yang lebih besar yang belum ia ketahui? Namun, sebelum Alya bisa bertanya lebih lanjut, Adrian sudah meninggalkan ruangan, meninggalkannya dengan segudang pertanyaan yang belum terjawab. Di luar ruangan, Nadine tampak tersenyum puas, seolah-olah ia telah berhasil mencapai tujuannya. Alya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Nadine dan Adrian tampaknya memiliki rencana yang melibatkan dirinya, tetapi ia tidak tahu apa itu. Apakah ini hanya kebetulan, atau apakah ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi? Saat ia kembali ke mejanya, Alya merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ia tidak tahu apakah ia harus merasa senang karena dipercaya untuk tugas penting ini, atau merasa takut karena mungkin ada sesuatu yang lebih rumit di balik semua ini. Yang jelas, ia tahu bahwa hidupnya tidak akan sama lagi setelah ini. Dan yang paling mengkhawatirkan, ia tidak tahu apa yang akan Adrian katakan padanya nanti. Apakah ia akan membahas insiden memalukan di acara amal? Atau apakah ada sesuatu yang lebih besar yang belum ia ketahui? Apakah Nadine terlibat dalam rencana ini? Dan yang paling penting, apakah Alya siap untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi selanjutnya? Hari itu berakhir dengan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Alya pulang ke rumah dengan perasaan cemas, tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari. Ia hanya tahu bahwa ia harus bersiap menghadapi tantangan baru, tantangan yang mungkin akan mengubah hidupnya selamanya.Alya menggenggam kemudi erat-erat, matanya menatap lurus ke depan sementara pikirannya berkecamuk. Jalanan malam yang sepi membentang di depannya, hanya diterangi oleh cahaya lampu jalan yang berpendar suram. Napasnya sedikit memburu, bukan karena ketakutan, tetapi karena antisipasi yang menggelitik dadanya. Pelabuhan lama. Tempat itu selalu menjadi perbincangan orang-orang, terkenal karena kisah-kisah kelam yang menyelimutinya. Tempat bagi mereka yang ingin menyembunyikan sesuatu, tempat pertemuan bagi orang-orang yang tidak ingin diketahui keberadaannya. Pikirannya masih melayang ke Adrian. Tatapan pria itu saat memergokinya tadi masih terukir jelas dalam ingatannya. Ketidakpercayaan, kemarahan, dan sesuatu yang lain—sesuatu yang tidak dapat Alya artikan dengan pasti. Tapi yang jelas, Adrian tidak menyukai kepergiannya. Tapi ia tidak peduli. Ada hal yang lebih penting yang harus ia lakukan saat ini. Setelah beberapa menit berkendara, ia akhirnya sampai di lokasi yang dituju. Pel
Hujan rintik-rintik mengguyur kota malam itu, seolah menjadi saksi bisu atas kekacauan yang baru saja terjadi. Alya duduk di tepi ranjangnya, matanya terpaku pada lantai kayu yang dingin. Suasana hatinya serupa badai, penuh dengan kekhawatiran dan pertanyaan yang tak terjawab.Wanita yang mengaku sebagai istri Adrian telah meninggalkan ruangan itu dengan senyuman penuh arti, menyisakan kebisuan yang menghantui. Adrian, seperti biasanya, memilih untuk tidak memberikan penjelasan apa pun. Hanya keheningan yang membuat Alya semakin tenggelam dalam labirin pikirannya.Namun malam itu berbeda. Alya tidak bisa lagi menelan diam Adrian seperti sebelumnya. Selama ini, ia telah mengorbankan banyak hal untuk hubungan yang penuh teka-teki ini, tetapi kehadiran wanita itu memecahkan sesuatu dalam dirinya. Ia tidak lagi bisa bersikap pasrah.Langkah kaki Adrian terdengar mendekat. Pintu kamar mereka terbuka perlahan, memperlihatkan sosok pria itu dengan wajah yang penuh dengan ketegangan. Ia berdi
Alya memejamkan matanya, merasakan setiap helai udara yang dingin menyentuh kulitnya. Seluruh tubuhnya masih gemetar, bukan hanya karena hawa malam yang menusuk, tetapi juga akibat dari perasaan yang meluap-luap dalam hatinya. Kata-kata Adrian, pria yang selama ini ia anggap penyelamat sekaligus penjaranya, terus terngiang di benaknya.Langkah-langkah kecil Alya terdengar lemah saat ia melintasi koridor panjang rumah itu. Masing-masing langkahnya terasa berat, seolah ada rantai tak kasat mata yang mengikat kakinya. Tatapannya kosong, tapi pikirannya penuh. Suara Adrian, perasaan pengkhianatan, dan wajah pria asing yang tiba-tiba muncul malam itu bercampur menjadi satu, menciptakan badai dalam hatinya.Ketika tiba di kamarnya, Alya mengunci pintu dan menyandarkan tubuhnya di baliknya. Nafasnya memburu, dan ia mencoba menenangkan dirinya. Namun, pikirannya kembali mengarah pada wajah Adrian—wajah yang penuh dengan kepedihan, penyesalan, dan cinta yang membingungkan."Apa yang sebenarnya
Alya berdiri di depan cermin besar di kamar mereka, matanya masih basah oleh air mata yang tak kunjung berhenti. Pikirannya penuh dengan kebenaran pahit yang baru saja ia temukan. Dokumen-dokumen itu masih berserakan di atas meja, seperti hantu yang terus mengejarnya. Setiap kata yang ia baca terasa seperti belati yang menusuk jantungnya berulang kali.Adrian, lelaki yang ia percayai, lelaki yang ia cintai, ternyata menyimpan rahasia yang begitu mengerikan. Rahasia yang bukan hanya menghancurkan kepercayaannya, tetapi juga seluruh kehidupannya. Alya menggigit bibirnya, mencoba menahan isak yang semakin keras. Namun, tubuhnya bergetar hebat, tangannya mengepal dengan kekuatan yang hampir melukai dirinya sendiri.Adrian berdiri di ambang pintu, diam dan penuh kehancuran. Tatapannya kosong, tapi wajahnya jelas menunjukkan penderitaan yang tak kalah dalam dari Alya. Ia ingin mendekat, ingin memeluk Alya, tapi langkahnya terasa begitu berat. Jarak di antara mereka kini lebih lebar dari sam
Denting jam di dinding terasa begitu menggema di ruangan yang sunyi. Alya duduk di sudut ruangan dengan tubuh gemetar, tangannya mencengkeram dokumen yang baru saja ia baca. Kata-kata dalam dokumen itu seakan menampar kenyataan yang selama ini ia pikir aman dan terkendali. Ia menatap Adrian dengan tatapan penuh kebingungan, namun lelaki itu tampak membisu, seolah waktu telah berhenti di antara mereka. "Apa maksud semua ini, Adrian?" Alya akhirnya bertanya dengan suara bergetar, mencoba mencari jawaban dari tatapan lelaki itu. "Kenapa semua ini terasa seperti jebakan yang kau buat sendiri?" Adrian tidak langsung menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke jendela, menatap langit malam yang kelam seakan mencari kekuatan di balik kegelapan itu. Sorot matanya menyiratkan campuran rasa bersalah, kemarahan, dan ketakutan. "Aku tidak pernah menginginkan ini terjadi," katanya pelan, suaranya hampir seperti bisikan yang terbawa angin. "Jadi, kau tahu tentang ini?" Alya mendesak, nadanya meni
Hujan mengguyur deras di luar jendela, menciptakan simfoni yang menenangkan sekaligus penuh kecemasan di hati Alya. Ia duduk di sofa ruang kerja Adrian, tangannya menggenggam secangkir teh yang kini sudah mulai mendingin. Tatapannya terpaku pada tumpukan dokumen di meja Adrian, dokumen-dokumen yang sebagian besar bertuliskan nama yang tidak ia kenal.Adrian, yang biasanya begitu tenang dan terkendali, terlihat berbeda malam ini. Ia berjalan bolak-balik di ruang kerja dengan raut wajah tegang. Bibirnya terkatup rapat, seolah-olah ia sedang mencoba menahan kata-kata yang tak ingin diucapkan.“Adrian...” panggil Alya, suaranya terdengar ragu. “Ada apa sebenarnya? Kau tampak gelisah.”Adrian menghentikan langkahnya, menatapnya sejenak dengan tatapan yang sulit diartikan. “Ini bukan sesuatu yang perlu kau khawatirkan, Alya,” jawabnya, mencoba terdengar meyakinkan.Namun, Alya tahu lebih baik daripada percaya pada kata-kata itu. Selama beberapa minggu terakhir, ia telah belajar membaca emos