“Tuan Chris, aku sudah membawakan perempuan yang Anda minta. Apa dia perlu kuantar ke ruanganmu?”
Lelaki bernama Christian itu menatap laki-laki yang sedang berdiri di samping mejanya.
“Bawa saja. Setelah itu suruh dia tunggu di ruangan ini. Aku mau bertemu dengan klien. Setelah selesai dengan klien, aku akan menggarapnya,” jawab Christian, seperti biasa dengan wajah dingin dan angkuh miliknya, yang mampu membuat wanita mana pun tergila-gila dan memohon untuk dijadikan teman ranjang melebihi satu malam.
Tetapi tidak bagi Christian, wanita baginya hanya bisa bersama dirinya tak lebih dari satu malam. Dia tak menyukai hubungan yang terikat oleh waktu dalam tempo terlalu lama. Perempuan adalah teman semalam, jika berharap lebih maka lupakan saja.
Christian, lelaki tampan, dingin, angkuh, memiliki segalanya yang diidam-idamkan semua wanita itu tak pernah percaya adanya cinta sejati. Dia seorang CEO di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan online—OneClickZone—yang telah berdiri lebih dari 20 tahun. Usaha itu dirintis sebelumnya oleh kedua orang tua Christian.
Christian memang memiliki kharismanya sendiri. Entah sudah berapa banyak wanita yang dibuatnya sakit hati dan patah hati bersamaan.
Christian melangkah dengan pasti menuju sebuah ruangan. Di dalam ruangan itu hanya ada seorang laki-laki tua paruh baya yang telah menunggunya selama berjam-jam, wajahnya ditekuk, muram. Ketika melihat Christian memasuki ruangan itu, wajahnya semakin masam.
“Selamat siang, Tuan Jackson. Sudah lama menungguku?” tanya Christian berbasa-basi, padahal dia tahu laki-laki paruh baya itu menatapnya dengan penuh kebencian.
“Kau benar-benar keterlaluan, Christian. Aku tak pernah menyangka, kau akan menjegalku dengan cara seperti ini. Kau mengambil investor terbesar di perusahaanku, kau juga mengambil pelanggan-pelangganku dengan cara yang sangat licik!” seru laki-laki yang bernama Jackson seraya menunjuk-nunjuk Christian.
Hanya sesungging senyum yang diberikan Christian padanya.
“Kau tahu dunia bisnis Tuan Jackson. Kejam,” jawab Christian tenang, tak ada emosi sama sekali dalam nada bicara Christian. Sama seperti ketika dia menyakiti hati perempuan-perempuan yang mengharapkan cinta darinya. Datar. Dingin. Tanpa merasa bersalah.
“Kau benar-benar bajingan. Kau—“
“Kau sudah tahu aku seorang bajingan, lalu kenapa kau masih mau berbicara denganku?” tanya Christian tak peduli dengan cacian Jackson padanya. Kupingnya sudah terlalu kebal mendengar cacian dan makian dari lawan bisnisnya yang kalah telak dengan strategi perang yang dimiliki Christian.
“Bahkan kau menghina puteriku secara terang-terangan. Caramu sangat licik dengan mendekati puteriku dan memperalatnya agar kau bisa mengetahui strategi marketing kami!”
Christian melengos, senyum ketir diberikannya pada Jackson.
“Itu salahku? Puterimu sendiri yang dengan sukarela menyerahkan segalanya padaku. Kau tahu Tuan Jackson, laki-laki mana yang akan menolak jika diberikan daging segar? Bahkan aku yakin, kau pun tak akan menolaknya. Begitu kan?”
Jackson tak sanggup lagi menahan emosinya. Dia bangkit berdiri dan menampar wajah Christian. Christian tak memberi reaksi apa pun, hanya mengusap pipinya, lalu tersenyum.
“Terima kasih. Sampaikan pada puterimu, dia bisa menghubungiku kapan saja, kalau masih menginginkannya.”
“Kau benar-benar tak berperasaan!”
Jackson yang dirundung kemarahan, segera angkat kaki dari hadapan Christian. Percuma berbicara dengan Christian, karena Christian tak akan merasa sakit hati sama sekali. Semakin dia dicaci dan dimaki, semakin dia bernafsu memancing kemarahan lawannya. Hingga lawannya benar-benar menyerah dan mengibarkan bendera putih padanya.
Christian menerima panggilan telepon dari sekretarisnya yang mengatakan seorang wanita sudah menunggunya di ruangannya sejak tiga jam lalu. Wanita itu memaksa untuk segera pergi jika Christian masih belum juga menemuinya.
“Katakan padanya, aku akan segera turun ke bawah 10 menit lagi.”
“Baik Tuan Butt. Aku akan segera menyampaikannya.”
Christian bergegas turun menuju lift. Dia sudah tak sabar melepaskan penat bersama wanita yang sudah dipilih oleh kaki tangannya tadi. Entahlah, cantik atau tidak dia tak terlalu peduli, yang penting hasratnya bisa terpuaskan dan membuat plong pikirannya. Sudah beberapa hari ini dia tak bertemu dengan Clara, jadi tak ada yang bisa dimintanya dengan sukarela untuk bertukar keringat.
Clara bukan kekasihnya melainkan seorang penyanyi dan artis terkenal yang sempat dijebak Christian menggunakan foto-foto bugil miliknya. Christian menjebaknya saat mereka menghadiri acara penghargaan penyanyi berbakat di sebuah gedung. Clara sangat susah untuk didapatkan, akhirnya dia meminta seseorang untuk membuat Clara mabuk dengan memasukkan obat tidur ke dalam minumannya.
Akhirnya seperti yang diketahui, tak ada yang bisa menang dari Christian. Dia mendapatkan apa yang dia mau. Dalam keadaan tak sadar, Christian menyuruh seseorang mengambil gambar-gambar Clara dalam berbagai pose sebagai senjata untuk menaklukkan gadis itu.
Clara yang masih perawan sebelumnya, harus rela kehilangannya karena Christian sebagai tersangka memintanya secara paksa.
Christian selalu menggunakan foto-foto itu sebagai senjata agar Clara mau tidur dengannya. Setiap kali Clara berusaha menolak dia akan mengirim satu buah gambar ke ponsel gadis itu dan membuatnya terdiam.
Biasanya gadis-gadis hanya berlaku semalam untuk Christian. Tapi tidak berlaku untuk Clara, karena dia cukup istimewa. Clara selalu menolak, dan Christian tak suka penolakan. Semakin ditolak dia akan semakin mengejar. Toh, lambat laun Clara pun sengaja menolak dan menolak agar Christian tak mencampakkannya begitu saja.
Christian melepaskan jas dan dasi yang dikenakannya. Perlahan dibukanya pintu menuju ke ruang kerjanya. Dilihatnya seorang wanita berambut merah dengan tubuh sintal, seksi, serta memakai pakaian ketat yang menggoda iman sedang duduk di sofa. Wanita itu tak begitu memperhatikan kedatangan Christian, kedua tangannya sibuk memainkan handphone miliknya.
“Ehem.” Christian berdehem meminta perhatian pada wanita itu.
Wanita cantik itu mengangkat kepalanya lalu melempar senyum termanis yang dia miliki. Bagi Christian sama saja, tak ada yang benar-benar istimewa. Setidaknya bisa memuaskannya untuk beberapa saat.
Christian menelepon asisten pribadinya, “Lody, jangan ada yang masuk ke ruanganku. Kurang lebih 30 menit.”
Lody—asisten pribadi—tak menjawab, dia paham dengan maksud Christian barusan. Tak perlu ada yang dijelaskan, karena ini saatnya Christian menuntaskan hasrat yang sudah tertahan selama beberapa hari.
“Siapa namamu?”
“Adelle,” jawab wanita itu. Agak canggung.
Wanita itu hanya diam duduk di atas sofa, sementara Christian terus mendekatinya. Tatapan maut itu seakan membekukan Adelle di tempatnya, dia bahkan tak berkutik ketika Christian mulai melepaskan semua pakaiannya, berganti pada Christian yang mulai melucuti pakaiannya sendiri.
Terpampang sebuah pemandangan yang sangat dinanti-nanti setiap wanita. Tubuh kekar, dengan perut six pack, berotot, membuat Adelle menelan ludah saking gugupnya berkali-kali. Otot-otot yang berada di tubuh Christian begitu liat tercetak dengan sempurna.
“Ada yang harus kukatakan padamu,” ucap Christian dengan nada suara berat menahan gemuruh di dada. Ingin rasanya dia segera menerjang tubuh sintal, seksi tanpa busana di hadapannya.
“Ka-katakanlah,” jawab Adelle penuh keraguan. Adelle sudah diberi informasi oleh asisten pribadi Christian sebelum dia menerima tawaran untuk melayani Christian sebelumnya. Dia tahu Christian tak menganggapnya lebih dari pelacur, jadi tak ada yang bisa diharapkan selain pasrah.
“Aku tak akan memakai pengaman. Pastikan dirimu sudah meminum obat kontrasepsi, karena jika terjadi sesuatu padamu, aku tak akan bertanggungjawab,” kata Christian dengan dinginnya.
Adelle mengangguk. Ya, beberapa jam yang lalu dia telah menenggak sebuah pil kontrasepsi.
“Aku sudah meminumnya. Kau tenang saja, sekalipun terjadi sesuatu padaku, aku tak akan memintamu bertanggungjawab,” jawab Adelle sedikit lebih rileks.
“Baiklah.”
Adelle menahan rasa geli yang mulai merambat dari ujung kaki hingga ujung kepala ketika Christian mulai melancarkan aksinya. Diberikannya sentuhan-sentuhan dan kecupan-kecupan yang memabukkan Adele. Sesekali Adelle mendesah di bawah kendali Christian.
“Buka kedua pahamu lebih lebar, dan jangan menyentuhku. Aku tak mau kedua tanganmu mengotoriku,” jelas Christian padanya. Adelle mengangguk. Paham.
Adelle memejamkan matanya, ketika Christian mulai melesak menghunjamkan miliknya ke dalam diri Adelle. Dia benar-benar tak tahan. Adelle menggigit bibirnya, mencegah agar tak keluar sedikit pun suara. Masalahnya jika dia berteriak atau mengerang mengeluarkan emosi berahi, maka karyawan-karyawan kantor akan mendengarnya.
“Jangan bersuara. Aku tak akan membayarmu.”
“Ehm.”
Benar-benar indah dan menakjubkan melihat wajah Christian yang terus mengendalikan tubuhnya. Ah, seandainya laki-laki ini mau untuk dimiliki, dia bersedia untuk bercumbu setiap malam tanpa harus dibayar sepeser pun.
Christian mendesah saat memberikan hentakan terakhir, menahannya sesaat kemudian melepaskan kendali pada tubuh Adelle.
“Berpakaianlah. Cekmu ada di atas mejaku. Lupakan apa yang telah terjadi hari ini. Aku tak akan mencumbumu untuk yang kedua kalinya.”
“A-aku mengerti.”
Adelle bergegas memunguti pakaian yang terhampar di lantai, memakainya, merapikan riasan di wajahnya, kemudian mengambil cek di atas meja kerja Christian. Setelahnya dia pun pergi.
“Hidupku benar-benar monoton,” ujar Christian seorang diri. Ada rasa sepi yang dirasakannya.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Para pembaca tercinta, saya akan membagikan beberapa buku novel cetak milik saya secara gratis, bagi pengirim gems terbanyak di bulan ini. Jadi jangan lupa gems dan bintang limanya di novel ini ya :)
Christian baru saja menghabiskan malamnya dengan Clara, gadis istimewa miliknya. Clara sudah terbiasa dengan sikap dingin Christian selama beberapa bulan ini. Dia sendiri semakin tak peduli dengan sikap Christian yang seperti itu. Perasaan benci yang dirasakannya pada awal pertemuan lambat laun menimbulkan benih-benih cinta di dalam hati Clara, meski dia tahu perasaan itu akan selamanya bertepuk sebelah tangan. Karena Christian bukan tipe laki-laki yang bisa bertahan dengan satu perempuan sampai kapan pun. Berada di dekatnya saja, Clara sudah merasakan lebih dari bahagia. Walaupun dia tahu resikonya, cepat atau lambat ketika Christian merasa dia tak lagi istimewa baginya, maka dia harus siap untuk dicampakkan seperti barang usang yang tak lagi dibutuhkan. Christian mengajak Clara keluar ke sebuah mall. Diajaknya Clara menuju sebuah butik mahal yang menjual barang-barang bermerk dengan harga selangit. “Ambil yang kau butuhkan,” ucap Christian melepaska
Audrey tak henti-hentinya menarik napas. Sesekali dia melihat ke belakang, takut jika Christian terus mengikutinya. Sumpah demi apa pun, dia tak ingin lagi berhubungan apa pun dengan laki-laki itu. Cukup sekali seumur hidupnya. Audrey segera mengeluarkan kunci mobil miliknya, dan menyuruh Jack segera masuk ke dalam. “Mama, Christian sangat baik padaku. Tadi dia yang membantuku un—“ “Cukup! Jangan sebut nama itu lagi depan mama. Aku tak mau mendengarnya!” kata Audrey setengah membentak pada Jack. Kedua mata Jack memerah, menahan tangis mendengar suara bentakan Audrey. “Ma-maaf, Sayang. Mama tak bermaksud membentakmu. Tapi, lupakan laki-laki tadi. Dia bukan laki-laki yang baik. Kau tahu kan seperti apa laki-laki yang baik itu?” Jack mengangguk kemudian memeluk Audrey. “Laki-laki baik tak akan menyakiti perempuan. Seperti aku yang tak pernah menyakiti mama,” jawab Jack. “Benar. Kau tak akan pernah menyakiti mama, tidak aka
Sebelum berangkat kerja, Audrey menitipkan Jack di daycare service. Terkadang saat Audrey menatap putera satu-satunya itu, selalu terpikir dia ingin memiliki kehidupan normal seperti orang-orang lain. Memiliki keluarga utuh, tapi begitu mengingat perbuatan Chris padanya, ditepisnya keinginan itu jauh-jauh. Apa yang ditorehkan Chris padanya, tak begitu saja dengan mudah dilupakannya. Dia hanya bisa menjalani kehidupan yang sudah terlanjur dijalaninya selama tujuh tahun ini. Berjuang bersama Jack, hanya untuk meraba masa depan yang dia sendiri tak tahu ke depannya akan seperti apa. “Jack, jangan nakal. Setelah selesai bekerja kita akan membeli burger kesukaanmu, ok?” tanya Audrey serasa berjongkok di hadapan Jack. Jack memeluk Audrey sangat erat. Pria kecil itu sangat mencintai Audrey, baginya Audrey adalah cinta pertama Jack. “Mama, aku mencintai mama. Sangat mencintai mama,” ucap Jack membuat kedua mata Audrey berkaca-kaca. Dia pun sangat mencintai Ja
Kakinya terasa berat menatap gedung tinggi di hadapannya. Dirinya seakan terlempar kembali pada kejadian tujuh tahun lalu. Dia ingin melangkah, tetapi sesuatu seperti menahan kedua kakinya untuk tetap membeku pada tempatnya. “Aku harus bisa. Demi Jack,” ujar Audrey berusaha menguatkan hatinya. Tetap saja rasanya sangat berat, tapi jika dia tak melakukannya sekarang, lalu kapan? Dia akan kehilangan Jack jika dia lebih mementingkan rasa sakit masa lalunya. Akhirnya Audrey menguatkan hatinya masuk ke dalam gedung besar itu, tempatnya bekerja dulu, di mana tragedi itu telah menghancurkan segalanya. Bagian informasi tak mengijinkannya masuk karena dia belum membuat temu janji dengan Christian. “Kumohon, ijinkan aku bertemu dengan Christian!” seru Audrey kesal. “Maaf, Nona. Kami tak bisa, Anda harus membuat janji terlebih dahulu.” “Anakku bisa mati jika aku harus menunggunya turun melewati jalan ini!” Tanpa pikir panjang Audrey memak
Christian memaksa Audrey ikut pergi bersamanya di satu mobil. Audrey tak bisa menolak, karena Christian dengan paksa menyeretnya masuk ke dalam mobil. Masih banyak hal yang membuat Chris penasaran padanya, dan dia memaksa Audrey satu mobil dengannya tak lain untuk menginterogasi Audrey. Audrey menjaga jarak dengan Chris, meski Chris beberapa kali menyuruhnya duduk untuk berdekatan dengannya, Audrey lebih memilih mepet di dekat pintu berjaga-jaga jika Chris melakukan sesuatu maka dengan mudah dia menghancurkan pintu jendela untuk berteriak. “Kau seperti ketakutan melihatku, apa aku pernah melakukan sesuatu yang buruk padamu?” tanya Chris melihat Audrey melipat kedua kakinya di depan dada, seperti orang yang ketakutan. Audrey tak mau melihat Chris, bayangan-bayangan itu kembali menyerangnya, tubuhnya dibalut ketakutan yang teramat sangat. “Hei, wanita! Kau mendadak bisu?!” bentak Chris, membuat Audrey semakin gemetar. “Tuan Chris, sejak kapan An
Dokter segera menghampiri Audrey. Wajahnya tersenyum, dia terlihat lega karena pada akhirnya Audrey kembali membawa seseorang yang bisa menyelamatkan nyawa Jack. Ketika Audrey selesai berbicara dengan dokter, Chris menarik lengan Audrey dengan kasar. “Apa kata dokter?” tanya Chris. “Kau akan dibawa ke instalasi transfusi darah, kuharap ini terakhir kali aku melihatmu,” ucap Audrey, kemudian menepis tangan Chris dari lengannya. Dia tak ingin Chris menyentuhnya. Mengingat perbuatannya saja, Audrey seperti sedang bermimpi buruk dalam keadaan terjaga. “Apa kau tak bisa katakan padaku, apa aku pernah berbuat sesuatu yang buruk padamu sehingga kau bisa mengandung anakku?” desak Christian. “Sudah kukatakan, tak perlu mengetahui apa pun. Tuan Chris, silakan ikuti dokter, dan pergi ke ruangan yang telah ditunjukkan. Anakmu membutuhkanmu. Sekali lagi aku berterima kasih karena kau bersediia menyelamatkan Jack.” Audrey mendorong dada Chris, dia t
Audrey segera mengurus surat pengunduran diri di yayasan tempatnya bekerja, sementara Jack masih berada di rumah sakit dan belum bisa dibawa pulang. Audrey berharap Christian masih belum melakukan sesuatu karena tak mungkin baginya untuk membawa Jack dalam keadaan belum membaik. Beruntung dari tempatnya bekerja, dia diberikan pesangon sehingga dia memiliki bekal cukup untuk menghidupi dirinya dan Jack selama beberapa saat sampai dia bisa mendapatkan pekerjaan baru. Audrey tak sanggup memikirkan, jika Chris sampai nekat memisahkan dirinya dan Jack. Saat ini saja dia bertahan hidup karena Jack yang selalu ada di sisinya, menguatkannya, dan menjadi tiang penopang harapannya. “Terima kasih, aku tak akan melupakan kalian,” ujar Audrey pada beberapa pengurus yayasan lainnya. Keputusan yang diambil Audrey memang sangat terburu-buru, membuat beberapa pekerja di yayasan merasa kehilangan Audrey. Meski perempuan itu selalu terlihat sedih, tapi Audrey adalah seseorang y
Audrey begitu bahagia karena selama beberapa hari ini dia akan terlepas dari pekerjaan-pekerjaan kantor yang begitu membebaninya. Perusahaan akan mengadakan gathering, semua divisi diharuskan ikut dalam acara itu. Christian—atasan sekaligus pemilik perusahaan—menyewa sebuah resort mewah dan puluhan kamar sekaligus untuk seluruh karyawan perusahaan. Dia sebagai kepala purchasing di kantor pun memiliki beberapa bawahan. Selama menjadi kepala purchasing dan bekerja dua tahun di sana, Audrey jarang berinteraksi langsung dengan Christian. Karena semua interaksi dilakukannya melalui asisten pribadi Christian—Lody. Tapi malam itu saat semua karyawan pulang lebih dulu, Audrey justru harus lembur mengerjakan beberapa sisa pekerjaan. Dia tak ingin menundanya karena besok acara gathering jadi dia ingin saat acara berlangsung dia tak perlu memikirkan urusan pekerjaan. Audrey memperhatikan jam di dinding, sudah hampir pukul delapan malam. Hanya tersisa dirinya di