Kakinya terasa berat menatap gedung tinggi di hadapannya. Dirinya seakan terlempar kembali pada kejadian tujuh tahun lalu. Dia ingin melangkah, tetapi sesuatu seperti menahan kedua kakinya untuk tetap membeku pada tempatnya.
“Aku harus bisa. Demi Jack,” ujar Audrey berusaha menguatkan hatinya. Tetap saja rasanya sangat berat, tapi jika dia tak melakukannya sekarang, lalu kapan? Dia akan kehilangan Jack jika dia lebih mementingkan rasa sakit masa lalunya.
Akhirnya Audrey menguatkan hatinya masuk ke dalam gedung besar itu, tempatnya bekerja dulu, di mana tragedi itu telah menghancurkan segalanya.
Bagian informasi tak mengijinkannya masuk karena dia belum membuat temu janji dengan Christian.
“Kumohon, ijinkan aku bertemu dengan Christian!” seru Audrey kesal.
“Maaf, Nona. Kami tak bisa, Anda harus membuat janji terlebih dahulu.”
“Anakku bisa mati jika aku harus menunggunya turun melewati jalan ini!”
Tanpa pikir panjang Audrey memaksa masuk, dia berputar dan menghindari satpam yang mengejarnya dari belakang.
“Tangkap gadis itu!”
“Aku harus bisa bertemu Christian dengan cara apa pun,” ucapnya.
Beberapa kali satpam hampir bisa menangkap Audrey, dia berlari cukup kencang di antara kerumunan orang-orang yang berlalu lalang.
“Ugh!”
Audrey terpental karena menabrak tubuh seseorang.
“Maaf, maafkan aku,” ujar Audrey tanpa berani mengangkat kepalanya. Mati sudah! Dia pasti akan tertangkap. Audrey berdiri merapikan pakaiannya, dan mengibas celana jeansnya yang agak kotor.
“Itu dia orangnya, bawa dia pergi dari sini. Maafkan kami, Tuan Chris,” ujar salah seorang satpam.
Chris?
Barusan orang itu menyebut nama Chris?
Audrey memberanikan diri mengangkat kepalanya, dan benar saja Christian berada di hadapannya.
“Ada masalah apa?” tanya Chris.
“Maaf, gadis ini mencoba menerobos masuk untuk bertemu Anda. Kami akan membereskannya,” ujar satpam tersebut merasa bersalah ketika Chris menatapnya garang.
“Cepat bereskan, aku masih ada urusan dengan klien,” jawab Christian, kemudian melewati Audrey yang membeku di tempatnya.
Satpam itu pun mencekal lengan Audrey dengan kasar, saat itulah Audrey tersadar dari tujuan semulanya. Dia pun membalikkan badan dan berteriak sekuat tenaga, “ Christian Butt! Selamatkan anakmu!”
Christian langsung menghentikan langkahnya mendengar teriakan Audrey.
Anak?
Apa dia tak salah dengar?
Menikah saja belum, bagaimana punya anak!
Christian berbalik, kemudian berjalan ke arah Audrey. “Lepaskan dia,” pinta Christian. Ditatapnya dalam-dalam kedua mata Audrey. Wajah itu pernah dilihatnya beberapa hari lalu.
“Tapi Tuan?”
“Lepas kataku!”
“Ba-baiklah.”
“Chris,” panggil Audrey pelan. Rasanya Audrey ingin menampar wajah laki-laki di hadapannya. Dadanya terasa sakit, tubuhnya gemetar, keringat dingin mengucur dari pelipis, sekelebat ingatan masa lalunya muncul dalam pikiran Audrey.
“Aku ingat wajahmu, kau ibu dari bocah laki-laki itu, kan?” tanya Christian. Chris mencoba mendekati Audrey lebih dekat. Tapi sungguh, Audrey mendadak merasa jijik ketika Christian mendekat. Aroma tubuhnya malam itu kembali mengingatkan ingatan Audrey yang lama terkubur.
“Ja-jangan dekati aku,” ucap Audrey pelan.
“Ka-kau kenapa? Tadi kau bilang selamatkan anakku? Kau ini siapa?”
“Aku bukan siapa-siapa,” jawab Audrey.
“Kalau kau bukan siapa-siapa, kau tahu kau sudah membuatku malu. Seisi gedung mendengar suaramu,” bisik Christian.
‘Tuhan, kenapa dengan tubuhku. Begitu melihatnya aku tak mampu menggerakkan badanku, dia sudah di depan mata, aku harus membawanya ke rumah sakit,’ batin Audrey.
“Aku mau kau ikut ke rumah sakit,” jawab Audrey. Kedua matanya menatap kosong dengan pandangan berkaca-kaca.
Chris mengangkat satu alisnya.
“Untuk apa?”
“Aku membutuhkan golongan darah AB rhesus negatif milikmu, jika tidak ... dia akan mati. Puteramu akan mati,” jawab Audrey lirih menahan perasaannya yang kacau tak karuan. Rasanya dia ingin bergegas meninggalkan Christian.
“Kalau aku tak mau, lalu?”
Audrey memejamkan kedua matanya, ditariknya napas pelan-pelan, tubuhnya meluruh kemudian berlutut di depan Christian.
“Aku akan memohon sampai kau mau,” jawab Audrey sekali lagi. Kedua matanya tak bisa menahan airmata yang berusaha ditahannya sejak tadi. Dia terlihat begitu lemah, tak berdaya.
Christian menjadi salah tingkah. Seorang perempuan yang asing baginya kini bersimpuh di hadapannya hanya untuk meminta tolong?
“Bagaimana bisa kau tahu jenis golongan darahku?” tanya Christian heran. Jelas-jelas Audrey menyebut dengan pasti jenis golongan darahnya.
“Karena kau ayah dari Jack, bocah laki-laki yang kau antar ke bagian informasi beberapa hari lalu. Kau adalah ayah biologisnya,” jawab Audrey tanpa ekspresi. Wajahnya terlihat lesu, kedua mata sayu itu terlihat putus asa.
Christian terdiam. Dia ingat wajah Jack, memang wajah itu benar-benar mirip dengannya, tapi sejak kapan dia memiliki anak? Pertanyaan itu yang kini membayangi dirinya.
‘Dari kedua matanya, perempuan ini sepertinya tak berbohong. Tapi aku punya anak? Bagaimana mungkin?’ pikir Chris dalam hati. Dia masih bingung, sangat bingung.
Lody, asisten pribadinya mendekati Chris, lalu berbisik, “Coba minta nomor telepon rumah sakit, apa benar anak yang disebutnya barusan memang membutuhkan donor darah. Jangan sampai kau diperas.”
“Berikan aku nama rumah sakit, nama lengkap anakmu, aku akan mengeceknya sekarang. Jika kau sampai berbohong, aku pastikan kau tak akan hidup lama,” ancam Chris.
Audrey menyebut nama rumah sakit, dan nama lengkap Jack. Dia masih bersimpuh di depan Chris, berharap Chris akan luluh dan ikut dengannya. Dia tak peduli orang-orang akan menganggapnya gila, atau apa pun. Di dalam pikiran Audrey, dia harus segera membawa Chris sebelum terlambat.
“Bagaimana? Kau sudah menelepon rumah sakit?” tanya Christian pada Lody.
“Sudah, akurat. Kita berangkat sekarang?”
“Hey!” panggil Chris pada Audrey. Audrey tak memperhatikan panggilan Chris, dia hanya terdiam menatap lantai dengan pandangan nanar.
“Nona, kita berangkat sekarang. Kau ikut satu mobil dengan kami,” bisik Lody ke telinga Audrey. Audrey tersadar dari lamunannya, senyum tipis mengembang dari wajah pucatnya.
“Benarkah?”
“Tadi kau memohon, sekarang kau tak percaya?” sindir Christian. Beberapa pasang mata masih saja memperhatikan mereka. Lody membantu Audrey untuk berdiri.
Setidaknya membuang harga diri untuk beberapa saat membuahkan hasil. Audrey mengikuti langkah Lody dan Chris yang berjalan di depannya.
“Bubar! Kalian bukan sedang menonton drama!” maki Lody melihat beberapa orang masih berdiri tanpa beranjak dari tempatnya.
Chris memundurkan langkahnya, dan jalan tepat di samping Audrey. Audrey yang menyadari Chris berada di sampingnya langsung bergeser menghindar mengambil jarak dari Chris. Dia masih terlalu jijik untuk melihat bahkan berdekatan dengan Chris. Jika saja tak terpaksa, dia lebih memilih tak perlu menemui Chris selamanya.
“Kau kenapa? Kau seperti jijik melihatku. Ada hubungan apa kita sebelumnya?” tanya Chris penasaran. Gadis ini pasti tahu sesuatu.
Audrey menggeleng.
“Tak ada.”
“Kalau tak ada, lalu kenapa kau bisa memiliki anak dariku?”
Satu pertanyaan yang membuat Audrey bungkam seribu bahasa. Apa yang harus dikatakannya? Mana mungkin Christian bisa mengingatnya!
Christian memaksa Audrey ikut pergi bersamanya di satu mobil. Audrey tak bisa menolak, karena Christian dengan paksa menyeretnya masuk ke dalam mobil. Masih banyak hal yang membuat Chris penasaran padanya, dan dia memaksa Audrey satu mobil dengannya tak lain untuk menginterogasi Audrey. Audrey menjaga jarak dengan Chris, meski Chris beberapa kali menyuruhnya duduk untuk berdekatan dengannya, Audrey lebih memilih mepet di dekat pintu berjaga-jaga jika Chris melakukan sesuatu maka dengan mudah dia menghancurkan pintu jendela untuk berteriak. “Kau seperti ketakutan melihatku, apa aku pernah melakukan sesuatu yang buruk padamu?” tanya Chris melihat Audrey melipat kedua kakinya di depan dada, seperti orang yang ketakutan. Audrey tak mau melihat Chris, bayangan-bayangan itu kembali menyerangnya, tubuhnya dibalut ketakutan yang teramat sangat. “Hei, wanita! Kau mendadak bisu?!” bentak Chris, membuat Audrey semakin gemetar. “Tuan Chris, sejak kapan An
Dokter segera menghampiri Audrey. Wajahnya tersenyum, dia terlihat lega karena pada akhirnya Audrey kembali membawa seseorang yang bisa menyelamatkan nyawa Jack. Ketika Audrey selesai berbicara dengan dokter, Chris menarik lengan Audrey dengan kasar. “Apa kata dokter?” tanya Chris. “Kau akan dibawa ke instalasi transfusi darah, kuharap ini terakhir kali aku melihatmu,” ucap Audrey, kemudian menepis tangan Chris dari lengannya. Dia tak ingin Chris menyentuhnya. Mengingat perbuatannya saja, Audrey seperti sedang bermimpi buruk dalam keadaan terjaga. “Apa kau tak bisa katakan padaku, apa aku pernah berbuat sesuatu yang buruk padamu sehingga kau bisa mengandung anakku?” desak Christian. “Sudah kukatakan, tak perlu mengetahui apa pun. Tuan Chris, silakan ikuti dokter, dan pergi ke ruangan yang telah ditunjukkan. Anakmu membutuhkanmu. Sekali lagi aku berterima kasih karena kau bersediia menyelamatkan Jack.” Audrey mendorong dada Chris, dia t
Audrey segera mengurus surat pengunduran diri di yayasan tempatnya bekerja, sementara Jack masih berada di rumah sakit dan belum bisa dibawa pulang. Audrey berharap Christian masih belum melakukan sesuatu karena tak mungkin baginya untuk membawa Jack dalam keadaan belum membaik. Beruntung dari tempatnya bekerja, dia diberikan pesangon sehingga dia memiliki bekal cukup untuk menghidupi dirinya dan Jack selama beberapa saat sampai dia bisa mendapatkan pekerjaan baru. Audrey tak sanggup memikirkan, jika Chris sampai nekat memisahkan dirinya dan Jack. Saat ini saja dia bertahan hidup karena Jack yang selalu ada di sisinya, menguatkannya, dan menjadi tiang penopang harapannya. “Terima kasih, aku tak akan melupakan kalian,” ujar Audrey pada beberapa pengurus yayasan lainnya. Keputusan yang diambil Audrey memang sangat terburu-buru, membuat beberapa pekerja di yayasan merasa kehilangan Audrey. Meski perempuan itu selalu terlihat sedih, tapi Audrey adalah seseorang y
Audrey begitu bahagia karena selama beberapa hari ini dia akan terlepas dari pekerjaan-pekerjaan kantor yang begitu membebaninya. Perusahaan akan mengadakan gathering, semua divisi diharuskan ikut dalam acara itu. Christian—atasan sekaligus pemilik perusahaan—menyewa sebuah resort mewah dan puluhan kamar sekaligus untuk seluruh karyawan perusahaan. Dia sebagai kepala purchasing di kantor pun memiliki beberapa bawahan. Selama menjadi kepala purchasing dan bekerja dua tahun di sana, Audrey jarang berinteraksi langsung dengan Christian. Karena semua interaksi dilakukannya melalui asisten pribadi Christian—Lody. Tapi malam itu saat semua karyawan pulang lebih dulu, Audrey justru harus lembur mengerjakan beberapa sisa pekerjaan. Dia tak ingin menundanya karena besok acara gathering jadi dia ingin saat acara berlangsung dia tak perlu memikirkan urusan pekerjaan. Audrey memperhatikan jam di dinding, sudah hampir pukul delapan malam. Hanya tersisa dirinya di
Semenjak kejadian malam itu, Audrey memutuskan resign. Audrey mengakui segalanya di hadapan keluarga besar dan di depan kekasihnya. Bukannya membela, mereka justru menyalahkan Audrey. Akhirnya dia memutuskan dengan sisa tabungan yang ada, dia pergi dari dari Kota New York dan pindah ke sebuah kota kecil di Cooperstown. Dia bekerja di sebuah yayasan panti jompo di bagian administrasi, dengan gaji seadanya lalu menyewa sebuah ruangan bertipe studio sebagai tempat tinggalnya. “Audrey, kau kenapa? Wajahmu kelihatan pucat,” tanya seorang wanita tua yang menjadi rekan di tempat kerja barunya. Wanita tua itu adalah seorang kepala administrasi di tempatnya. “Aku mual, kepalaku pusing, Nyonya James.” “Mual?” “Setiap bangun pagi mualku lebih parah, aku tak tahan dengan bebauan.” “Jangan-jangan kau hamil, Sayang,” kata Nyonya James. Audrey menggigit bibir bawahnya sesaat dia teringat kejadian di malam itu, tiga bulan lalu saat Christian m
Audrey rasanya tak sanggup melihat wajah Kevin yang terlihat lesu. Lingkaran hitam di bawah matanya, belum lagi rambutnya sedikit lebih panjang dari sebelumnya, menandakan laki-laki itu tak lagi sempat mengurus dirinya. Berbeda dengan sebelumnya, wajah Kevin selalu ceria, dengan penampilan klimis, yang membuatnya terlihat memesona. Apakah karena hubungan keduanya menjadi berantakan, maka Kevin menjadi seperti itu? Apakah Audrey benar-benar membuat Kevin terpuruk? “Kevin, meski aku tak bisa berbohong jika jauh di lubuk hatiku kau masih memiliki cintaku. Tapi aku merasa aku tak akan pernah pantas bersamamu.” Kevin mendesah penuh putus asa, tak tahu lagi bagaimana membujuk Audrey untuk kembali padanya. Bukannya dia telah mengatakan dia menyesal? Kevin tak bisa memaksa. “Audrey, jika kau berubah pikiran kau tahu di mana harus menghubungiku. Sebulan, dua bulan, setahun, atau lebih aku masih akan menunggu. Aku telah membuat keputusan yang sa
Audrey menarik kursi ke arah tembok, kemudian menyandarkan kepalanya. Dia harus berbuat apa? Chris pasti sangat marah, tapi dia benar-benar membenci sosok itu. Setiap dia melihat Chris di hadapannya, ingatan-ingatan buruk itu seakan mencuat keluar dari dalam pikirannya. “Jack cepat sadar. Pria jahat itu sudah kembali, bahkan dia melakukan test DNA padamu. Aku tahu cepat atau lambat semuanya akan terbongkar, apa Tuhan tak bisa berbaik hati memberikan kebahagiaan padaku? Kenapa harus membuatmu dipertemukan dengan papa kandungmu? Aku membenci papamu, Jack.” Audrey menatap Jack, irama napasnya begitu teratur, sesekali terdengar dengkuran halus dari Jack. Audrey memainkan rambut Jack, disisirnya menggunakan jari-jarinya. Tak pernah bisa dibayangkan jika dia harus berpisah dari pria kecilnya. Akan menjadi apa dunianya nanti? Tanpa Jack mungkin dia akan menjadi gila, karena satu-satunya harapan adalah Jack, harapan untuk memandang dunia dari sisi lain. “Jangan perna
Dokter Hailey merasa tak tega melihat kondisi Audrey saat meminta obat di ruangannya beberapa jam yang lalu. Tapi dia tak bisa memberikannya secara sembarangan begitu saja tanpa mengetahui riwayat penderita. Dia bisa melihat dari kedua tatapan Audrey yang hampa, celak hitam di matanya, cara Audrey berinteraksi dengan lawan bicaranya yang tak mau menatap langsung, terkesan takut, entah apa yang disembunyikan wanita itu. Audrey tampak terlihat sangat tertekan. Hanya ada satu orang yang bisa membantu mengatasi masalah Audrey, dia yakin kawannya mau membantu Audrey. Dokter Hailey meraih ponsel dan menekan sebuah nomor. “Hallo?” Suara di seberang adalah suara seorang pria, terdengar agak serak dan basah, suara bariton khas laki-laki. “Hailey. Apa kabar?” “Leon, aku ingin meminta tolong padamu. Mungkin kau bisa membantuku,” ujar Dokter Hailey cepat tanpa basa-basi. “Katakan, apa yang bisa kubantu?” “Ibu dari pasien ya