Share

Rahasia Sang Juara Bulu Tangkis
Rahasia Sang Juara Bulu Tangkis
Penulis: Mia Three

Chapter 1 : Berawal dari Handuk

              Seorang wanita berusia di awal 30 –an sedang berjalan menyusuri jembatan desa yang dibawahnya mengalir sungai yang jernih. Kulitnya yang kuning langsat ditambah tinggi badan 170cm, pipinya tidak terlalu tirus, matanya besar, dan alisnya agak tebal. Dia tampak mengenang sebuah penyesalan. Tangan kanannya menyusuri pembatas jembatan. Suara air menjadi melodi indah yang mengiringi keindahan mantan Sang Kembang Desa.

                “Dulu dia kabur dari desa karena gak mau nikah lho Bu.” Para tetangga memulai cerita tentang dirinya.

                “Untungnya dia dinikahin artis ibukota ya Bu.”

                “Iya sih, kalau dulu ya gajinya milyaran tapi percuma gak punya pasangan.”

                “Ya Allah Ibu, itu masa lalu lho, udah ah masih pagi udah nambah dosa!” Bu Sasih selalu mengalihkan pembicaraan tentang dirinya.

                Wanita itu tanpa sadar meneteskan air mata. Dia pun segera pergi ke bukit yang jarang terjamah orang. Dengan mengayuh sepedanya dia meluapkan segala perasaannya.

                Di bukit yang menjauhkannya dari gunjingan. Mantan kembang desa itu mengenang hal yang seharusnya dia lupakan hingga ke akarnya.

# # #

                “Dwi, udahan dong latihannya, buset dah nih tenaga abis sebelum tanding!” keluh Arina sambil terus mengayunkan raket bulu tangkisnya.

                “Justru dengan latihan kita bisa lebih unggul dari lawan–lawan kita!” Dwi dengan tegas men – smash Arina dengan keras.

                “Parah!!!” teriak Tia, rekan sesama atlet bulu tangkis lain yang memperhatikan dari pinggir lapangan terkejut dengan suara smash yang keras dari tangan Dwi Astriani Aprilliani.

                Gadis yang bernama Arina itu melempar pandangannya ke lapangan sebelah. Ada lelaki bertubuh tinggi atletis, mata besar dan alis tebal. Dia lebih terlihat seperti orang Indonesia dibanding China. Dari baju olahraganya tertulis asal negaranya yaitu China. Arina pergi meninggalkan Dwi dan menghampiri lelaki yang sepadan dengan kecantikannya.

                “Fengying Ge!!” Arina memanggil lelaki itu dengan ceria.

                Lelaki bernama Fengying itu datang menghampiri Arina. Mereka saling melempar senyum dan semangat walau berbeda negara yang dibela.

                “Eh dia partnermu?” tanya Fengying.

                “Iya namanya Dwi.”

                “Dwi, ini Fengying sepupuku, kita satu buyut tapi beda nenek kakek hehe.” Arina mencoba mengenalkan lelaki itu pada rekannya.

                “Oh iya salam kenal.” Dwi menyambutnya dengan dingin.

                “Oh iya, Arina, Dwi, aku ingin mengenalkan partnerku juga, namanya Yuxuan.” Fengying memperkenalkan seorang lelaki yang bermata sipit, rambutnya tipis, dan ada tahi lalat kecil di pipi kanannya. Dia tak kalah tampan dengan yang mengenalkannya.

                “Hai!” sapanya dengan sedikit ceria.

                Dwi yang melihat itu langsung membawa tas raketnya dan meninggalkan stadion.

                “Hei, aku baru tahu, kamu main di ganda putra,” ujar Arina sambil menyenggol tangan sepupunya.

                “Sudah lama Rin.”

                “Okelah haha, eh kayaknya partner kamu cocok deh buat jadi pacar partner aku!” Arina memperhatikan Yuxuan yang sedang memasukkan raket–raketnya ke dalam tas.

                “Iya sih, tapi mungkin partner kamu gak bisa Bahasa Mandarin ya?” Fengying berpikir jika mereka menjalin hubungan akan tersendat di bahasa.

                “Memangnya Yuxuan tidak bisa Bahasa Inggris?”

                “Mungkin bisa kalau dilihat dari ayahnya yang seorang CEO perusahaan manufaktur di China.”

                Arina yang mendengar itu jengkel. “Kamu gak kenal sama partner kamu sendiri?”

                “Kenal lha.”

                “Hah... kamu cuman tahu kemampuan dia di bulutangkis doang! Gak asyik!” Arina segera menyusul Dwi meninggalkan stadion.

                Dibalik itu, ternyata Dwi masih berlatih di lapangan paling ujung stadion. Dia hanya meninggalkan Arina yang hobi mengobrol. Dwi pun bersimbah keringat.  Namun dia lupa membawa handuk tambahan. Tiga  handuk yang ia bawa basah kuyup dengan keringat. Dwi mencoba membuang keringatnya dengan tangan. Tak disangka ada lelaki yang meletakkan handuk di kepalanya. Dwi menarik handuk itu dan melihat wajah pemiliknya.

                “Yuxuan? Nanti aku mengembalikannya bagaimana?”

                “Tidak usah dikembalikan!” dia menjawab dengan Bahasa Inggris.

                Dwi bingung harus bagaimana dengan handuk orang lain yang berada di tangannya. Karena dia butuh, dia pun memakainya.

# # #

                Di kamar hotel yang berisi untuk dua orang, Arina keheranan dengan Dwi yang mencuci handuk. Padahal sponsor selalu memberikan handuk baru setiap harinya.

                “Handuk siapa itu?” tanya Arina curiga.

                “Handuk orang jatuh di jalan!” jawab Dwi, dia pun berjalan ke balkon untuk menjemur handuk itu. Setelah menjemur handuk, Dwi melempar pandangannya ke kanan. Dia melihat Fengying ternyata di kamar sebelah. Arina yang berada di kamar tambah penasaran karena melihat rekannya terpaku.

                “Ngapain sih sore – sore bengong, bentar lagi magrib ntar kesambet lho!” Arina yang mengikuti arah pandang Dwi bertemu dengan Fengying. Arina pun kaget, ternyata kamar mereka bersebelahan.

                Tak disangka Yuxuan sekamar dengan Fengying. Dia keheranan melihat handuknya dicuci oleh Dwi. Padahal sponsor besok akan memberikan lagi handuk yang baru.

                “Dwi, handuknya...” lirih Yuxuan.

                “Besok kukembalikan!” teriak Dwi sambil berjalan cepat ke kamarnya.

                Yuxuan penasaran dengan yang terjadi pada Dwi. Dia pun berjalan ke arah balkon kamarnya Dwi. Ntah apa yang dia inginkan. Matanya terlihat mencari sesosok perempuan yang mencuci handuknya.

                “Haha, Dwi emang pemalu kok kalau ketemu orang baru, oh ya sampai bertemu besok di stadion ya.”Arina segera menyusul Dwi.

                Di hotel yang cukup mewah di Birmingham yang dekat dengan stadion tempat diselenggarakannya turnamen bulu tangkis bergengsi All England. Dwi merasakan jantungnya ingin keluar dari raga. Tangannya gemetar, dia pun cepat–cepat bersembunyi ke balik selimut sebelum teman sekamarnya menyadari sesuatu.

                “Dwi, kenapa sih?”

                “Aku kedinginan Rin!”

                “Hmm, masa? Kayaknya loe suka deh sama cowok itu,” Arina memulai lawakannya.

                “Wah, gak gitu lha, parah!” Dwi melemparkan bantalnya kepada Arina.

                “Santai dong, ya udah istirahat sono! Besok semifinal kita harus masuk final dan juara ganda putri dari Indonesia untuk pertama kalinya!” jelas Arina sambil memakai cream tidur ke kulit wajahnya.

                Dwi menatap wanita berambut agak kemerahan, bermata sipit, berkulit putih, tubuhnya agak berisi, tingginya tidak jauh beda dengan Dwi, gen Papinya asal Korea  lebih mendominasi daripada gen Maminya dari Indonesia.

                “Ya udah gue tidur duluan ya... eh lupa dah shalat dulu ya!” Dwi segera pergi ke kamar mandi dan mengambil air wudhu.

                “Gue lagi dikasih dispensasi sama Allah!” Arina menaiki tempat tidur, menarik selimutnya, dan menutup matanya.

# # #

                Riuh penonton menyelimuti stadion diadakannya pertandingan bulu tangkis. Dwi tidak peduli dengan keributan. Dia asyik membuat soal matematika dan menjawabnya sendiri di tribun penonton. Di sampingnya, dia baru sadar ada lelaki yang menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki.

                “Rajin banget sih anak guru gue waktu SD!”

                Dwi menancapkan pandangannya pada lelaki berwajah tanpa dosa. Setelah itu kembali pada buku tulisnya. Lelaki itu menjadi malas mengobrol, tetapi dia melihat kursi kosong di samping Dwi hingga dia mengambil kesempatan.

                “Bisa kagak loe juara All England pertama kalinya?”

                “Loe ngeraguin gue?”

                “Loe kan cuman pengen ngalahin gue doang, makanya jadi atlet bulu tangkis, sialnya usia lu baru 16 tahun, lu udah juara berkali–kali, juara olimpiade matematika se – Asia lagi, wah loe tuh sempurna banget tahu gak? Orang kampung kita pasti bangga kalau kita nikah!”

                “Nikah?” Dwi menghentikan tangannya yang sedang menulis.

                “Yaiya Dwi, kan gue orang paling ganteng di kampung Sukaasih , dan loe kembang desa di sana, cocok kan!” suara keras Prawira tidak mengundang tatapan yang lain karena pertandingan sudah dimulai dan para penonton fokus dengan jagoannya masing–masing.

                “Heh, Aa kan udah punya pacar, lha masa mau nikah sama aku?!” Dwi membentak lelaki di sampingnya.

                “Haha, pacar itu kan cuman buat iseng doang, loe kan gak bisa gue isengin, bisanya gue seriusin,” tatapan Prawira teralihkan dengan pertandingan di depannya.

                “Ngaco! Jangan sok kegantengan sama sering juara loe bisa seenaknya ngelamar gue!”

                “Eh, cantik... gue kalah lho di pertandingan yang loe masuk semifinal!”

                Wanita incaran Prawira meninggalkannya. Prawira sudah lelah untuk mengejarnya. Membiarkan perempuan keras kepala itu pergi ke mana pun dia mau. 

                Wanita beralis tebal itu membawa–bawa handuk. Matanya mencari sang pemiliknya. Handuk ini bukan miliknya, bukan haknya, maka wajib dikembalikan.

                “Dwi,” panggil seorang laki–laki.

                “Alhamdulillah rezeki anak sholeh!”

                “Hah?”

                “Nggak kok, ini handuk kamu Yuxuan, terima kasih banyak ya.” Dwi menyodorkan handuk berwarna putih.

                Yuxuan mendekatkan raganya pada Dwi. Jarak membuat mereka saling merasakan napas masing–masing di tengah riuhnya sambutan penonton kepada jagoannya saat memasuki lapangan.

                “Sama–sama Dwi, kamu baik banget, aku...”

                “Maksudnya?”

                “Semoga kita bertemu di final...”

                Di saat pertandingan, jika yang kalah boleh pulang ke negaranya atau mendukung rekan yang masih bertanding. Yuxuan berharap bisa melihat Dwi lebih lama.

# # #

                Langit senja sudah menghiasi indahnya pemandangan Pangalengan. Dwi berdiri dan bersiap mengayuh sepedanya ke rumah. Untuk kenangan hari ini cukup awal dari penyesalan, hanya ini, esok kita lanjutkan...

Catatan Penulis

Aa/ A: Panggilan kakak laki - laki dari Suku Sunda

Gege/ Ge : Panggilan kakak laki - laki dari Negara China

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status