Share

Chapter 8: Matematika dan Bulu Tangkis

Dwi saling berdiam diri dengan Ridho, kakaknya. Niat Ridho memang untuk menemani Dwi merenung saja. Bukan menunggu pengakuan adiknya. Soal siapa yang sudah membuatnya sedih.

                Braga yang sepi dan estetik.

                “A, kenapa ya Dwi teh sibuk pisan baheula?”

                 (Kak, kenapa ya Dwi tuh sibuk banget dulu?)

 Ridho merasa lega, adiknya masih bisa bicara. Dia menatap kecantikan adiknya. Dan mencoba menjawab.

“Karena doa Ibumu, yang selalu berharap kalau kamu tidak akan pernah menjadi yang kedua.”

# # # # #

Pak Trino menatap jam di tangannya. Dwi sang wakil sekolah untuk olimpiade matematika tingkat kecamatan belum juga hadir. Destia dan Bu Rinda sama gelisahnya.

“Maaf, Dwi telat bangunnya, kemarin latihan bulu tangkis sampai malam.” Dwi menundukkan kepalanya.

“Oh iya, masih ada 15 menit kita menuju ke Balai Kantor Kecamatan buat ngerjain soal!” Pak Trino segera menyalakan mobil sewaannya.

“Alhamdulillah, kita punya mobil untuk hari ini, pinjaman dari Pak Ibih,” ucap Pak Trino sambil menyetir,

“Iya Pak, baru kali ini Destia naik kijang,” ungkap Destia.

“Semoga kalian menang dan bisa mewakili Pangalengan di Olimpiade Sains Nasional tingkat Kabupaten/Kota.” Harapan Bu Rinda yang cukup tinggi.

Sementara Dwi hanya berdiam diri. Bingung dengan pilihannya. Karena dia mulai tertarik dengan bulu angsa yang bisa ditepuk dengan raket.

# # # #

“Dwi, hayu turun, ngalamun wae!” Bu Rinda segera menyadarkan Dwi.

(Dwi, ayo turun, melamun saja!)

Dwi hanya terdiam, pikirannya kosong. Dia ingin memutuskan untuk memilih salah satunya. Namun di antara matematika dan bulu tangkis, Dwi belum mempunyai pembuktian. Sekarang, saatnya Dwi menunjukkan pembuktian di matematika terlebih dahulu.

Gadis cantik itu memasuki ruangan seleksi olimpiade tingkat kecamatan bidang studi matematika. Dia mengambil posisi tegap, berharap bisa juara sampai ke tingkat internasional suatu saat nanti.

Seorang panitia memasuki ruangan bidang studi matematika. Dwi menatap soal dan lembar jawaban yang dibawanya. Itulah lawan dia sekarang.

Dwi mengerjakan soal dengan tenang dan cepat. Dia fokus. Tak melihat ke kanan dan ke kiri. Bagaimana pun juga dia harus menjadi si nomor satu harapan keluarga.

Gadis itu pun berdiri dari kursinya. Melewati beberapa peserta yang duduk di depannya. Lalu memberikan kertas jawabannya kepada panitia. Dia pun berjalan keluar.

“Dwi, hebat euy, udah beres lagi!” Pak Trino memberikan Dwi pujian.

“Keliatan lho Pak, dia juaranya,” tambah Bu Rinda.

Sementara Destia masih berkutat dengan soal IPA. Dwi mencoba membuka mulutnya.

“Pak, Ibu, Dwi nanti izin pake surat dispensasi ya, buat datang ke PB. Tarumanagara lebih awal, soalnya hari ini pertama kalinya Dwi bakal belajar teknik main bulu tangkis,” pinta Dwi.

“Oh iya, kamu yakin mau ke kota sendiri Dwi? Bapakmu kan sekarang kerja,” kata Pak Trino memastikan niat anak didiknya ini.

“Yakin, Dwi mau naik sepeda ke sana,” ucap Dwi dengan tekad kuat.

“Sepertinya, Dwi dan Prawira bakal jadi pasangan emas olimpiade dari Pangalengan,” ungkap Ibu Rinda, mengingat momen indah Indonesia di Olimpiade Barcelona 1992.

“Dwi gak akan tanding,” ucap Dwi singkat.

Pak Trino dan Bu Rinda tercengang dengan jawaban singkat Dwi. Namun mereka yakin itu hanya bualan Dwi saja karena baru selesai mengerjakan soal olimpiade matematika. Mereka sangat yakin, Dwi akan serius menjalani setiap pilihan hidupnya. Tak lama kemudian, Destia keluar dari ruangannya.

“Ya udah atuh, kalian jajan dulu aja ya, dibayarin sama sekolah,” ajak Ibu Rinda.

“Terima kasih Ibu, Pak,” ucap Dwi dan Destia kompak.

# # # #

Jam 11 siang, saat rumahnya sedang kosong. Dwi segera mengganti pakaiannya dengan pakaian olahraga. Setelah itu menyiapkan sepedanya. Membawa tas raketnya. Dan meluncur ke kota.

Dwi mengayuh sepedanya dengan kecepatan tinggi. Namun dia lupa, lokasi PB. Tarumanagara lokasinya jauh, menggunakan mobil saja memakan waktu 1 jam 30 menit. Gadis itu kelelahan di depan Kantor Kecamatan Pangalengan.

“Dwi, biasanya juga pake pikap atuh, kamu sok jagoan banget pake sepeda, makan waktu setengah hari tau nyampe ke kota,” ujar tetangganya yang biasa Dwi dan Ageung tumpangi pikapnya.

“Iya atuh, aku ikut lagi ya!” segera Dwi menaiki mobil pikap dan membawa serta sepedanya.

“Nanti Amang bawain sepedanya ke rumah ya, nanti juga Amang bakal lewat ke tempat Eneng latihan!”

“Hatur nuhun Mang.” Dwi bersyukur atas kebaikan tetangganya.

(Terima kasih, Paman)

Sesampainya di tempat latihan bulu tangkis. Bu Yosi sudah menunggu Dwi. Baru pukul 12.30, Dwi meminta izin untuk salat dulu.

Di lapangan, setelah pemanasan, Dwi sudah dalam posisi siap menerima bola. Prawira yang melihat itu, menghampirinya. Ceritanya ingin mengajak Dwi berlatih bersama.

“Prawira, bukannya kamu harus udah latihan di Jakarta?” tanya Bu Yosi.

“Nanti dulu Bu, saya masih mau memastikan kalau di PB ini, ada perempuan yang nyaingin saya,” ujar Prawira meyakinkan Dwi.

“Ah, lebih baik kamu ke tempat latihan putra, ini urusan Ibu!” Bu Yosi sudah siap dengan lima shuttlecock di tangannya.

“Bu, Dwi udah siap tanding lawan Aurora!” ujar Prawira menantang Dwi melalui pelatihnya.

“Okay, Dwi, setelah latihan pertahanan depan, tolong bersiap melawan Shasa, juara kedua nasional. Saya pikir kamu belum siap melawan Aurora yang langganan juara nasional,” Bu Yosi melemparkan shuttlecocknya pada Dwi.

“Siap, Bu!” tegas Dwi.

“Apa–apaan sih Prawira!” teriak Aurora yang merasa tertindas dengan perkataan Prawira.

“Kalau kamu kuat di kejuaraan nasional, harusnya gak takut dong ada anak baru yang mau nantangin kamu,” jelas Prawira.

“Bukan gitu! Nanti dia belum apa–apa cidera lagi karena belum kuat ngalahin aku,” kata Aurora sedikit meremehkan Dwi.

Bu Yosi telah selesai memberikan Dwi sesi latihan. Kini dia mengajak Dwi belajar bertanding dengan rekannya. Dwi sudah belajar, teknik, strategi, dan peraturan permainan bulu tangkis dalam waktu seminggu. Tapi, berlatih secepat itu membuatnya lupa bersosialisasi dengan teman–teman latihannya.

Shasa yang dipanggil Bu Yosi segera bersiap. Tentunya dia tidak ingin kalah oleh anak baru. Bu Yosi duduk di kursi wasit. Dan, para pemain tercengang melihat Pak Sumirno. Beliau dengan antusias melihat kemampuan Dwi.

“Mari kita lihat kemampuan calon juara dunia,” ungkap Pak Sumirno.

Shasa merasa bangga dengan perkataan Pak Sumirno. Pak Sumirno segera menyadari ke–GR– an Shasa.

“Bukan kamu Sha, tapi Dwi.”

“Lha Pak, dia kan anak baru! Belum pernah tanding lagi!” protes Shasa.

“Ayo siap–siap Shasa!!” Bu Yosi menepuk kedua tangannya memberi peringatan.

“Ready, love all, play!” Bu Yosi memberi tanda agar Shasa memulai servisnya.

Mata gadis asal Pangalengan itu fokus kepada shuttlecock. Dia memukul dengan pelan namun pasti menembus pertahanan lawan. Shasa merasa tersudut dengan kemampuan Dwi yang cepat dalam berlatih. Skor babak pertama, 11 – 9, kemenangan pertama Dwi. Shasa tampaknya tidak mau kalah dengan cepat dia merebut babak kedua 4 – 11. Sorak rekan yang lain meremehkan Dwi, padahal untuk pemula, merebut babak pertama dari juara kedua nasional itu sudah luar biasa.

Dwi tampak tidak bisa menerima kekalahan. Akhirnya dia menambah kekuatannya, dan berakhir di skor 9 – 11. Dwi mengalahkan langganan juara kedua nasional. Prawira takjub melihat keajaiban tetangganya. Secepat itu Dwi mampu menguasai bulu tangkis.

Dwi terduduk di tengah lapangan. Keringatnya mengalir deras. Kakinya seperti kehilangan berat. Dia menatap Shasa yang malu.

Bu Yosi dan Pak Sumirno memberikan pujian pada Dwi. Gadis delapan tahun yang mengalahkan gadis tiga belas tahun.

Aurora yang menyaksikan pertandingan itu tampak kesal. Dia tidak ingin posisinya sebagai pemain terbaik putri di PB. Tarumanagara tergeser.

“Bangun!” Prawira menarik tangan kiri Dwi yang tidak memegang raket.

Dwi menerima uluran tangan Prawira. “Boleh aku langsung ngalahin Aa?”

“Gak boleh lha Dwi, di tempat ini, kamu harus bisa ngalahin semua atlet putri dulu, baru boleh nantangin atlet putra.”

“Oh gitu.”

Pukul 17.30 Dwi pulang bersama Prawira menaiki bus kota menuju Pangalengan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status