Tahun 1996, Sari mengeluarkan isi dompetnya. Berkali–kali dia berharap isi dompetnya bertambah. Kemarin, Ageung baru mendapat uang dari kerjaannya membangun rumah anaknya Pak Amat yang kerja di Jakarta. Harusnya dapat uang banyak buat bayar sekolah dan perlengkapan anak–anaknya. Tapi malah dibelikan sepasang raket yang cukup mahal.
“A Ageung!!! Kumaha sih? Eh bentar...” Sari seperti mendapat secercah cahaya.
(Kak Ageung!!! Gimana sih? Eh bentar...)
“Ya kan si Dwi potensial, kata Ibu Yosi pelatih putri di PB. Tarumanagara,” jelas Ageung meyakinkan istrinya.
“Kalau Si Prawira dapet uang dari bulu tangkis sabaraha?” Sari mendapat ilham untuk meyakinkan Dwi menjadi atlet bulu tangkis.
(Kalau Si Prawira dapat uang dari bulu tangkis berapa?)
“Pokokna mah jutaan Neng, komo amun juara hiji!”
(Pokoknya tuh jutaan Neng, apalagi kalau juara pertama)
“Baguslah, Si Dwi mah kan anaknya gak mau kalah!”
“Nanti pulang sekolah Ageung minta Si Dwi latihan bulu tangkis yang rajin!” Ageung pun bersiap menjemput Dwi dan membawakannya baju olahraga.
“Nah kitu atuh Pak, harus balik modal pokoknya!” Sari pun bersiap membaca kembali materi pelajaran sekolah karena masa cutinya akan habis.
# # # #
Di sekolah, Dwi sangat serius mengerjakan soal–soal matematika. Destia yang sedang mengerjakan soal–soal IPA tampak lelah. Destia aneh dengan adik kelasnya yang tak kenal rasa lelah. Sudah tiga jam dia bergelut dengan kertas–kertas lusuh di hadapannya.
“Dwi, kita cari udara segar yuk,” ajak Destia.
“Teh, kalau kita lengah, lawan bakal lebih rajin latihannya kata A Prawira sih gitu.” Dwi masih terus menghitung.
“Ah kamu ini, kalah di kesempatan pertama gak apa–apa kan?”
“Justru karena ini kesempatan pertama Teh, aku mau bikin sekolah ini diakui di Kota Bandung!” Dwi menolak ajakan Kak Destia dengan elegan.
“Tapi Destia pusing, Wi... ya udah Destia keluar dulu ya.” Destia pun pergi mencari udara segar di depan perpustakaan.
# # # #
Di SMA 1 Rancamada, Ridho sedang menghias kelasnya untuk kegiatan pentas seni tari. Prawira yang melihatnya merasa iri. Karena dia harus UTS sendiri di perpustakaan.
“Ah males banget!!!”
“Gak usah sekolah kalau males Wir!”
“Tangan gue cedera nih gak bisa nulis!” padahal Prawira sudah membawa perlengkapan alat tulisnya.
“Gue gue, mentang–mentang pas lulus SMA mau langsung tinggal di Jakarta!” tukas Ridho sambil turun dari meja.
“Haha iya Dho, biar aku bisa nikahin Dwi, secepatnya,” bisik Prawira.
“Eh, Si Dwi gak boleh ngelangkahin gue buat urusan nikah!”
“Prawira! Mau lulus SMA gak kamu? Udah lima belas menit gak datang–datang ke perpustakaan!” tegas Pak Ahmed guru matematika di sekolah itu.
“Jangan mentang–mentang kamu udah juara di luar negeri, kamu seenaknya telat ujian!” Pak Ahmed tak sungkan–sungkan menjewer telinga Prawira.
Ridho yang melihat kejadian itu menahan tawanya. Bisa–bisanya laki–laki yang gak mau ujian sekolah mau nikahin adiknya. Ridho pun kembali membantu panitia mempersiapkan perlombaan.
# # #
Ageung sampai di sekolahnya Dwi. Berharap anak itu sudah diperbolehkan pulang. Sari sangat berharap Dwi menekuni bulu tangkis saja, tidak usah mengerjakan soal–soal matematika.
“Bapak... Dwi mau jualan leupeut dulu,” ujar Dwi saat melihat Bapaknya sudah di depan kelasnya.
“Dwi, leupeutnya dijual di kantin PB. Tarumanagara aja.” Ageung menarik tangan anaknya sampai naik ke atas mobil pikap tetangganya yang selalu ada keperluan di kota pada jam satu siang.
“Pak, Dwi mau fokus ngerjain soal–soal matematika lah...” rajuk Dwi.
“Gak boleh, latihan bulu tangkis dulu atuh, biar cepet dapet uang kayak Si Prawira,” ujar Ageung berharap anaknya berubah pikiran.
Turunlah bapak dan anak itu di depan PB. Tarumanagara. Ageung meminta Dwi untuk salat zuhur dulu dan dilanjut menyimpan leupeutnya di kantin.
“Bu Yosi, ini Dwi udah siap jadi atlet!”
“Tapi Pak, Dwi kan cuman mau ngalahin A Prawira doang,” sanggah Dwi.
“Buang–buang waktu, uang, sama tenaga aja kalau niat kamu gitu doang Dwi! Udah sekalian aja pengen jadi juara dunia gitu atau olimpiade, Piala Uber, Piala Sudirman, peringkat satu dunia!”
“Kok Bapak tau nama–nama kejuaraan bulu tangkis?” Dwi heran karena dia tidak pernah sempat menonton pertandingan bulu tangkis di Balai Desa.
“Ya taulah, pan semua warga Desa Sukaasih suka ngedukung Prawira atuh!” kata Ageung bangga. Berharap nanti yang menghiasi layar kaca itu Dwi.
Bu Yosi yang mendengar percakapan orang tua dan anak itu bertepuk tangan. Dia mendukung keinginan bapaknya.
“Bisa kita mulai tes fisiknya Dwi Astriani Aprilliani?” tanya Yosi, melihat kesiapan Dwi.
“Boleh,” ucap Dwi tidak yakin.
“Pertama kamu harus pemanasan dulu, sudah gitu push up, lalu sit up, back up, dan lari 1,5 km, eh sebelumnya ikut saya untuk mengukur tinggi badan, berat badan, dan lingkar pinggul,” ajak Yosi ke ruangan fitness.
“Bapak mau nunggu anaknya?” tanya Yosi melihat Ageung masih memegang pundaknya Dwi.
“Iya saya mau nunggu Dwi, kalau saya ada kerjaan lagi baru Dwi saya lepas, saya pastikan dia gak kabur dari pelatihan ini...”
Dwi hanya pasrah mendenger penjelasan bapaknya.
# # # #
Braga tampak sepi di masa pandemi Covid – 19. Ridho dan Dwi yang menggunakan KTP Bandung diperbolehkan berjalan–jalan di Braga. Asal tidak berkerumun.
“Sok atuh merenung,” suruh Ridho.
“Parah,” ucap Dwi iseng. Mereka berdua pun duduk di salah satu bangku taman. Dwi berusaha menenangkan diri dan menghapus ingatannya soal cinta.
# # #
Birmingham, Inggris, Tahun 2005.
“Lupa deh gak ada tempat buat nyetel kaset, hahaha.” Arina menertawai kebodohannya membawa DVD ke hotel.
“Ya udah mending kalian minta izin libur dulu aja ke Pelatnas,” saran Prawira.
Di bandara, Dwi menyebarkan pandangannya. Berharap ada sesosok lelaki yang menarik perhatiannya. Arina dan Prawira kebetulan sedang asyik mengobrol.
“A, kita juga mau kali juara olimpiade,” ujar Arina antusias berbicara dengan Prawira Sastranagara, peraih medali emas Olimpiade Athena tahun 2004 sektor tunggal putra.
“Bukannya kamu gak serius main bulu tangkis?” tanya Prawira iseng.
“Ya, partner aku kan serius banget orangnya.” Sesaat Arina melihat Dwi berjalan menjauhi mereka. Namun Arina malas mencari tahu.
Dwi menemui lelaki itu. Lelaki tampan dengan tahi lalat di pipi kanannya. Dia sedang menunggu pesawatnya juga. Ketika jarak Dwi dan lelaki itu sudah cukup dekat, Dwi melambaikan tangan sebagai kode agar dia mendekat.
Yuxuan menyadari kehadiran seorang gadis yang menarik perhatiannya. Dia pun menghampiri Dwi.
“Yuxuan, hati – hati di jalan ya,” ucap Dwi.
“Oh iya, kamu juga.” Yuxuan menengok ke belakang, berharap pelatih dan rekannya tidak menyadari pertemuan mereka.
“Sampai bertemu di event kejuaraan selanjutnya!” ungkap Dwi.
“Oke.” Yuxuan segera menemui timnya. Pesawat dari Inggris ke China akan tiba.
“Dwi, kamu mau naik pesawat pake uang sendiri?” tepukan tangan Ko Ranja di bahunya menyadarkan gadis berkulit kuning langsat itu.
“Oh iya Ko maaf, Dwi eh terima kasih Ko.” Dwi segera menyusul Arina dan Prawira.
Ko Ranja pun menengok ke belakang. Melihat punggung Yuxuan, atlet muda asal China yang potensial. Sama seperti Dwi. Dari belakang saja memang lelaki itu dapat memikat kaum hawa.
Keringat membasahi kening hingga sekujur tubuh cantik Dwi Astriani Aprilliani. Dia tidak mengetahui penyebabnya. Pangalengan selama ini dingin. Tak memberikannya keringat.“Tuhan tadi itu apa?”Gadis itu bermimpi ada sesosok lelaki yang berada di atasnya. Duduk di antara kedua kakinya. Menatapnya seperti ingin memakannya. Dwi tidak bisa menjabarkan dengan jelas. Apa yang terjadi di dalam mimpi itu. Yang pasti... celana dalamnya basah, tetapi tidak menembus seperti ngompol. Dia ingin bertanya kepada ibunya, namun hatinya berkata, “Ini hal yang memalukan untuk ditanyakan.” Akhirnya dia diam-diam mencuci celana basahnya dan menjemurnya di jendela kamar.Sembilan jam, setelah mimpi. Di PB Tarumanagara, saat dia hendak men-smash shuttlecock perasaan licin ada di bawahnya. Perlahan, Dwi mulai merasakan sakit di bagian perut sebelah kanannya. Prawira yang melihat itu langsung menghampiri Dwi. Lelaki itu membopong Dwi hingga ke kamar mandi peremp
Lapangan bulu tangkis yang berukuran 610 x 1340 cm, menjadi saksi para anak-anak yang bermimpi atau terpaksa berada di atas lapangan karena kemampuannya. Di tempat ini, Dwi menerima servis dari Ci Lia. Arina bersiap untuk mempertahainkan skor. Untuk sementara, Dwi dan Arina unggul dua angka.# # # # Di Bandung, Dwi telah dipersiapkan menjadi wakil sekolah di Olimpiade Sains Nasional bidang Matematika. Namun anak itu jarang berada di sekolah, membuat pihak sekolah agak ragu dengan kemampuannya. Sebenarnya, Dwi sudah ditawarkan bersekolah di sekolah khusus olahraga. Tetapi, dia meragukan sekolah olahraga, SMP dan SMA Kampiun. “Yosh!” Arina mengepalkan tangannya dilanjut
Dwi memandang lukisan alam di luar jendela dari kamarnya. Berharap dahulu dia tidak bertahan dengan kerasnya kehidupan seorang atlet. Wanita itu hanya menghela napas. Memegang kencang kerudung hitamnya. Memerhatikan ujung dari gamis birunya. Wanita berusia 32 tahun itu teringat awal mula sebuah kemenangan. “Kamu adalah harapan Indonesia.” # # # # Rambut hitam sebahunya tergerai rapi. Dwi memandang luasnya lapangan Pelatnas Jakarta. Rasa malas mulai menghantuinya. Rasanya tidak ingin melanjutnya apa yang telah terlanjur dimulai. “Assalamu alaikum cantik!!!” sapa gadis berambut kemerahan dan bermata sipit. “Waalaikumussalam, kok kamu balik juga sih?!” Dwi terkejut dengan kehadiran teman sekamarnya. “Kita bawa koper cukup besar ya?” tanya Arina. “Ya terus?” Dwi ingin tidak mendengarnya. Arina menjelaskan kalau dia ingin berlomba lari dengan Dwi. Dimulai dari gerbang Pelatnas Jakarta sampai ke kamar mereka di lantai
Udara Bandung kembali dihirup Dwi. Akhirnya dia bisa terlepas dari hukuman Ko Chand dan Ko Adi. Kini dia berada di kelas 7A SMP Negeri 1 Bandung, karena sekolah ini jauh dari rumahnya Dwi, dia pun berinisiatif untuk menyewa kos. Dengan tempat tidur, lemari, dan meja bekas dari penghuni kosan sebelumnya. Dwi berjalan dengan pikiran kosong hingga... “Pagi, sepertinya kamu orang baru ya?” tanya seorang perempuan di depan kelas. “Pagi, iya nama aku Dwi Astriani Aprilliani, kamu?” Tumben sekali Dwi mau berkenalan duluan dengan orang baru. “Oh ya nama aku Sandrina, kamu gak ikutan Masa Orientasi Siswa ya?”
Hari kelima Dwi dan Arina menjalani hukuman dari Ko Adi dan Ko Chand atas kekalahan mereka. Setiap pagi mereka sibuk mencuci dan menjemur, ditambah menyetrika sebelum pergi ke tempat latihan. Dua gadis itu mencoba tabah. Tiga hari lagi pun mereka harus kembali ke rumah masing–masing untuk bersekolah. “Sabarin aja, senioritas di sini emang kental...” Ko Ranja memecah keheningan di kursi pinggir lapangan. Ko Ranja duduk di antara dua gadis potensial itu. “Hmm, Dwi belum yakin buat masuk sektor ganda putri Ko...” lirih Dwi. “Ayolah, kita latihan lagi, Koko yakin kita pasti bisa jadi juara di mana pun.” Ko Ranja berusaha membujuk mereka untuk semangat.  
Suasana di Pelatnas menjadi gaduh. Dua orang anak perempuan yang baru saja bergabung dan berstatus magang, menerima tantangan dua orang pria, senior, dan baru saja meraih medali emas Olimpiade Sydney tahun 2000. Ko Adi memerhatikan raketnya. Dwi dan Arina bersiap di seberang lapangan dan terhalang oleh net atau jaring. Ko Chand tak kalah mempersiapkan diri. “Aku...” Arina berharap ada keajaiban dunia. “Aku udah pernah menang ngelawan Prawira Sastranagara,” ungkap Dwi terlihat tanpa beban. Arina melamun.