Share

Chapter 7: Harus Balik Modal Pokoknya!

Tahun 1996, Sari mengeluarkan isi dompetnya. Berkali–kali dia berharap isi dompetnya bertambah. Kemarin, Ageung baru mendapat uang dari kerjaannya membangun rumah anaknya Pak Amat yang kerja di Jakarta. Harusnya dapat uang banyak buat bayar sekolah dan perlengkapan anak–anaknya. Tapi malah dibelikan sepasang raket yang cukup mahal.

                “A Ageung!!! Kumaha sih? Eh bentar...” Sari seperti mendapat secercah cahaya.

                 (Kak Ageung!!! Gimana sih? Eh bentar...)

                “Ya kan si Dwi potensial, kata Ibu Yosi pelatih putri di PB. Tarumanagara,” jelas Ageung meyakinkan istrinya.

                “Kalau Si Prawira dapet uang dari bulu tangkis sabaraha?” Sari mendapat ilham untuk meyakinkan Dwi menjadi atlet bulu tangkis.

                 (Kalau Si Prawira dapat uang dari bulu tangkis berapa?)

                “Pokokna mah jutaan Neng, komo amun juara hiji!”

                (Pokoknya tuh jutaan Neng, apalagi kalau juara pertama)

                “Baguslah, Si Dwi mah kan anaknya gak mau kalah!”

                “Nanti pulang sekolah Ageung minta Si Dwi latihan bulu tangkis yang rajin!” Ageung pun bersiap menjemput Dwi dan membawakannya baju olahraga.

                “Nah kitu atuh Pak, harus balik modal pokoknya!” Sari pun bersiap membaca kembali materi pelajaran sekolah karena masa cutinya akan habis.

# # # #

                Di sekolah, Dwi sangat serius mengerjakan soal–soal matematika. Destia yang sedang mengerjakan soal–soal IPA tampak lelah. Destia aneh dengan adik kelasnya yang tak kenal rasa lelah. Sudah tiga jam dia bergelut dengan kertas–kertas lusuh di hadapannya.

                “Dwi, kita cari udara segar yuk,” ajak Destia.

                “Teh, kalau kita lengah, lawan bakal lebih rajin latihannya kata A Prawira sih gitu.” Dwi masih terus menghitung.

                “Ah kamu ini, kalah di kesempatan pertama gak apa–apa kan?”

                “Justru karena ini kesempatan pertama Teh, aku mau bikin sekolah ini diakui di Kota Bandung!” Dwi menolak ajakan Kak Destia dengan elegan.

                “Tapi Destia pusing, Wi... ya udah Destia keluar dulu ya.” Destia pun pergi mencari udara segar di depan perpustakaan.

# # # #

                Di SMA 1 Rancamada, Ridho sedang menghias kelasnya untuk kegiatan pentas seni tari. Prawira yang melihatnya merasa iri. Karena dia harus UTS sendiri di perpustakaan.

                “Ah males banget!!!”

                “Gak usah sekolah kalau males Wir!”

                “Tangan gue cedera nih gak bisa nulis!” padahal Prawira sudah membawa perlengkapan alat tulisnya.

                “Gue gue, mentang–mentang pas lulus SMA mau langsung tinggal di Jakarta!” tukas Ridho sambil turun dari meja.

                “Haha iya Dho, biar aku bisa nikahin Dwi, secepatnya,” bisik Prawira.

                “Eh, Si Dwi gak boleh ngelangkahin gue buat urusan nikah!”

                “Prawira! Mau lulus SMA gak kamu? Udah lima belas menit gak datang–datang ke perpustakaan!” tegas Pak Ahmed guru matematika di sekolah itu.

                “Jangan mentang–mentang kamu udah juara di luar negeri, kamu seenaknya telat ujian!” Pak Ahmed tak sungkan–sungkan menjewer telinga Prawira.

                Ridho yang melihat kejadian itu menahan tawanya. Bisa–bisanya laki–laki yang gak mau ujian sekolah mau nikahin adiknya. Ridho pun kembali membantu panitia mempersiapkan perlombaan.

# # #

                Ageung sampai di sekolahnya Dwi. Berharap anak itu sudah diperbolehkan pulang. Sari sangat berharap Dwi menekuni bulu tangkis saja, tidak usah mengerjakan soal–soal matematika.

                “Bapak... Dwi mau jualan leupeut dulu,” ujar Dwi saat melihat Bapaknya sudah di depan kelasnya.

                “Dwi, leupeutnya dijual di kantin PB. Tarumanagara aja.” Ageung menarik tangan anaknya sampai naik ke atas mobil pikap tetangganya yang selalu ada keperluan di kota pada jam satu siang.

                “Pak, Dwi mau fokus ngerjain soal–soal matematika lah...” rajuk Dwi.

                “Gak boleh, latihan bulu tangkis dulu atuh, biar cepet dapet uang kayak Si Prawira,” ujar Ageung berharap anaknya berubah pikiran.

                Turunlah bapak dan anak itu di depan PB. Tarumanagara. Ageung meminta Dwi untuk salat zuhur dulu dan dilanjut menyimpan leupeutnya di kantin.

                “Bu Yosi, ini Dwi udah siap jadi atlet!”

                “Tapi Pak, Dwi kan cuman mau ngalahin A Prawira doang,” sanggah Dwi.

                “Buang–buang waktu, uang, sama tenaga aja kalau niat kamu gitu doang Dwi! Udah sekalian aja pengen jadi juara dunia gitu atau olimpiade, Piala Uber, Piala Sudirman, peringkat satu dunia!”

                “Kok Bapak tau nama–nama kejuaraan bulu tangkis?” Dwi heran karena dia tidak pernah sempat menonton pertandingan bulu tangkis di Balai Desa.

                “Ya taulah, pan semua warga Desa Sukaasih suka ngedukung Prawira atuh!” kata Ageung bangga. Berharap nanti yang menghiasi layar kaca itu Dwi.

                Bu Yosi yang mendengar percakapan orang tua dan anak itu bertepuk tangan. Dia mendukung keinginan bapaknya.

                “Bisa kita mulai tes fisiknya Dwi Astriani Aprilliani?” tanya Yosi, melihat kesiapan Dwi.

                “Boleh,” ucap Dwi tidak yakin.

                “Pertama kamu harus pemanasan dulu, sudah gitu push up, lalu sit up, back up, dan lari 1,5 km, eh sebelumnya ikut saya untuk mengukur tinggi badan, berat badan, dan lingkar pinggul,” ajak Yosi ke ruangan fitness.

                “Bapak mau nunggu anaknya?” tanya Yosi melihat Ageung masih memegang pundaknya Dwi.

                “Iya saya mau nunggu Dwi, kalau saya ada kerjaan lagi baru Dwi saya lepas, saya pastikan dia gak kabur dari pelatihan ini...”

                Dwi hanya pasrah mendenger penjelasan bapaknya.

# # # #

                Braga tampak sepi di masa pandemi Covid – 19. Ridho dan Dwi yang menggunakan KTP Bandung diperbolehkan berjalan–jalan di Braga. Asal tidak berkerumun.

                “Sok atuh merenung,” suruh Ridho.

                “Parah,” ucap Dwi iseng. Mereka berdua pun duduk di salah satu bangku taman. Dwi berusaha menenangkan diri dan menghapus ingatannya soal cinta.

# # #

                Birmingham, Inggris, Tahun 2005.

                “Lupa deh gak ada tempat buat nyetel kaset, hahaha.” Arina menertawai kebodohannya membawa DVD ke hotel.

                “Ya udah mending kalian minta izin libur dulu aja ke Pelatnas,” saran Prawira.

                Di bandara, Dwi menyebarkan pandangannya. Berharap ada sesosok lelaki yang menarik perhatiannya. Arina dan Prawira kebetulan sedang asyik mengobrol.

                “A, kita juga mau kali juara olimpiade,” ujar Arina antusias berbicara dengan Prawira Sastranagara, peraih medali emas Olimpiade Athena tahun 2004 sektor tunggal putra.

                “Bukannya kamu gak serius main bulu tangkis?” tanya Prawira iseng.

                “Ya, partner aku kan serius banget orangnya.” Sesaat Arina melihat Dwi berjalan menjauhi mereka. Namun Arina malas mencari tahu.

                Dwi menemui lelaki itu. Lelaki tampan dengan tahi lalat di pipi kanannya. Dia sedang menunggu pesawatnya juga. Ketika jarak Dwi dan lelaki itu sudah cukup dekat, Dwi melambaikan tangan sebagai kode agar dia mendekat.

                Yuxuan menyadari kehadiran seorang gadis yang menarik perhatiannya. Dia pun menghampiri Dwi.

                “Yuxuan, hati – hati di jalan ya,” ucap Dwi.

                “Oh iya, kamu juga.” Yuxuan menengok ke belakang, berharap pelatih dan rekannya tidak menyadari pertemuan mereka.

                “Sampai bertemu di event kejuaraan selanjutnya!” ungkap Dwi.

                “Oke.” Yuxuan segera menemui timnya. Pesawat dari Inggris ke China akan tiba.

                “Dwi, kamu mau naik pesawat pake uang sendiri?” tepukan tangan Ko Ranja di bahunya menyadarkan gadis berkulit kuning langsat itu.

                “Oh iya Ko maaf, Dwi eh terima kasih Ko.” Dwi segera menyusul Arina dan Prawira.

                Ko Ranja pun menengok ke belakang. Melihat punggung Yuxuan, atlet muda asal China yang potensial. Sama seperti Dwi. Dari belakang saja memang lelaki itu dapat memikat kaum hawa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status