‘Adik anda meninggal bunuh diri.’
Presley hanya bisa menatap gundukan tanah merah di hadapannya dengan pandangan kosong. Bahunya bergetar dalam usaha menahan isakan lolos dari mulutnya. Kenapa? Hanya kata itu yang terus menerus berputar dalam kepalanya, menyiksanya layaknya gunung yang siap memuntahkan lahar panas.
‘Sayangnya, adik anda sedang mengandung ketika dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.’
Apa itu rasa sakit? Presley tidak pernah mengetahuinya sampai dia menerima kabar yang menjungkirbalikkan hidupnya sampai nyaris membuatnya kehilangan akal. Dia tidak ingin mempercayainya. Tidak ada alasan masuk akal kenapa adiknya harus mengakhiri hidup dengan cara menyedihkan seperti itu. Dan mengandung ….
“Apa kau baik-baik saja?”
Presley menoleh, menatap wanita paruh baya yang setia menungguinya meski semua pelayat sudah melangkah pergi. Dia sendirian sekarang. Kenyataan yang membuatnya merasa seperti berada di tepi jurang.
“Sebaiknya kita pulang, sebentar lagi hujan.”
Presley menatap gumpalan awan yang menggelap. Terlalu lelah bahkan hanya untuk sekedar membuka suara.
“Ayo, kau butuh istirahat Presley.”
Dengan enggan Presley menarik langkahnya. Dia menoleh, sekali lagi menatap makam yang masih mengeluarkan bau tanah basah.
Aku akan menemukan dan membuatnya menderita, Eva. Aku berjanji, batinnya pedih sebelum benar-benar berlalu, meninggalkan keheningan menyesakkan di belakangnya. Masih ada yang harus dia lakukan. Presley melajukan langkah dengan sebuah tekad yang terpatri dalam dadanya.
Mereka berdua berjalan dalam hening. Bersyukur dengan jarak tempuh yang harus mereka lalui. Sapuan angin kencang memberikan sedikit rasa tenang dalam dadanya yang sesak.
“Eva anak yang ceria, rasanya tidak mungkin jika dia ….”
Presley memalingkan pandangan, tidak ingin wanita yang menemaninya melihatnya menangis. Semua ini terlalu menyakitkan.
“Kau baik-baik saja?”
“Aku baik,” balasnya datar. Dia memaksakan senyumnya.
Perjalanan tiga puluh menit berhenti saat mereka berdiri di depan sebuah rumah beton bertingkat dengan cat yang mulai memudar.
“Istirahatlah, Presley. Wajahmu terlihat pucat.”
Wanita yang menemainya sekaligus pemilik apartemen kecil yang dia tinggali tersenyum menguatkan sebelum meninggalkannya.
Presley mengangguk tidak kentara. Tidak ada waktu untuk istirahat sekarang. Dia harus melakukan sesuatu. Presley memasuki kamar adiknya, menyapu pandangan sebelum mulai membongkar isinya.
“Di mana kau menyembunyikannya Eva,” ucapnya gemetar saat tangannya mulai mengacak-acak kamar adiknya.
“Seharusnya ada sesuatu di sini,” ujarnya putus asa, membongkar isi lemari adiknya dan mengeluarkan isinya.
Nihil.
Tidak putus asa, Presley melanjutkan pencariannya dengan membongkar laci adiknya. Tangannya yang gemetar terus melakukan penjelajahan. Presley jatuh terduduk di atas ranjang saat tidak juga menemukan petunjuk yang dia cari.
“Siapa laki-laki yang seharusnya bertanggung jawab atas kematianmu, Eva,” bisiknya tercekat. Presley mengusap wajahnya, air matanya kembali bercucuran. Adiknya yang ceria dan begitu hidup tidak mungkin mati dengan cara menyakitkan seperti itu.
Tunggu!
Presley menegang. Pandangannya tertuju pada ranjang yang dia duduki. Adiknya tidak pernah merahasiakan apa pun darinya selama ini, tapi kepergian Eva telah membuatnya menyadari satu hal. Adiknya menjalin hubungan dengan seseorang pria dan sayangnya dia tidak tahu hal itu sampai dia kehilangan adiknya untuk selamanya.
Perasaan gugup menguasainya saat Presley perlahan berdiri dan mengangkat kasur adiknya dan apa yang dia temukan membuat tubuhnya serasa dilolosi satu persatu.
Selembar foto yang mengungkapkan segalanya.
***
“Ariston Kavakos, salah satu miliuner Yunani dengan kekayaan berlimpah. Pemilik bisnis perkapalan terbesar di Eropa itu juga memiliki raksasa perhotelan yang membuatnya sekali lagi menghiasi majalah Forbes. Kavakos sekali lagi membuktikan kalau mereka tidak mudah untuk ditumbangkan. Sejauh yang diketahui, Ariston Kavakos adalah pewaris tunggal. Cassanova yang tidak pernah bertahan dengan wanita lebih dari satu bulan itu berhasil membawa bisnis perkapalan mereka melesat jauh melampaui harapan.”
Presley mengernyit membaca rentetan informasi yang dia dapatkan dari internet. Tangannya lincah mengetik beberapa kata dan hasilnya dalam sekejap muncul. Presley tidak pernah tahu kalau adiknya memiliki kekasih, sampai kejadiaan nahas itu membuka semuanya. Selembar foto yang terselip di bawah kasur menjadi petunjuk bagi Presley untuk menemukan laki-laki yang telah mencampakkan adiknya.
“Aku akan membunuhnya,” desis Presley penuh dendam. Mata hijau topaznya menatap layar ponselnya yang menampilkan wajah seorang pria dalam balutan jas.
“Aku bersumpah akan membuat laki-laki itu hancur, Eva. Dia akan mendapat balasan menyakitkan hingga pria brengsek itu menyesal karena pernah mengenalmu,” ujarnya sedingin gunung es.
Adiknya bukan hanya mati karena frustrasi ditinggalkan laki-laki paling berengsek yang pernah dia tahu, tapi juga mati membawa kehidupan yang mulai tumbuh dan membawanya dalam kegelapan tak bertepi.
“Aku bersumpah …,” desisnya dengan bibir bergetar. Pupilnya melebar karena kemarahan yang mendidih. “Nyawa harus dibayar nyawa.”
Presley menyeringai. “Kau menggunakan kekayaanmu untuk menjerat gadis polos dan masih lugu bukan? Kau akan menerima akibatnya, Ariston.”
Dia tidak pernah menyangka adiknya memiliki hubungan dengan salah satu miliuner Yunani. Bagaimana mereka bisa bertemu? Pertanyaan itu mau tidak mau menghantuinya. Kedudukan mereka jelas tidak memungkinkan adiknya dan keluarga Kavakos berada dalam satu momen menyenangkan.
Adiknya yang polos pastilah tertipu rayuan miliuner bajingan itu. Sekarang dia harus menyusun rencana bagaimana membalaskan dendamnya. Ariston Kavakos tidak akan bisa lolos semudah itu.
Kematian tragis dan menyakitkan adiknya akan dibayar mahal pria itu.
“Kau suka bermain-main dengan nyawa bukan, Ariston,” bisiknya sinis, masih dengan pandangan yang menatap layar ponsel.
“Kita akan bermain. Permainan yang melibatkan darah."
Presley mendorong tubuh Ariston saat dia masih punya kekuatan untuk melakukannya.“Kupikir kau ingin kita minum,” serunya lembut, berusaha menunjukkan wajah cerianya. Dia menatap ke mana pun kecuali pada Ariston.“Ada apa?”Pertanyaan itu seperti sengatan listrik. Presley berusaha mempertahankan ekspresi tenangnya meski saat ini dia merasa kalut. Ariston bukan orang yang mudah dibohongi.“Bukan apa-apa, aku hanya merasa lelah, Ariston.”“Kau tahu kalau kau ini pembohong yng payah?” Ariston mendekat dan Presley merasa jantungnya seperti siap meninggalkannya.Saat pria itu berdiri tepat di depannya, Presley yakin kalau suara detak jantungnya bisa di dengar pria itu.Kedua tangan Ariston mengurung Presley di dinding.“Kau tidak mau mengatakanya padaku?”Presley cepat-cepat menggeleng sebelum kinerja otaknya berantakan dan dia tidak bisa berpikir. Pandangan Ariston jatuh pada bibirnya dan langsung memberikan efek pada perutnya. Beruntung, saat Presley yakin dia tidak akan selamat suara bu
Sekali lagi.Mereka terjebak dan berada dalam pelarian. Presley menatap Ariston yang tengah fokus menyetir. Rahang mengeras dan otot-otot wajahnya yang terlihat jelas menunjukkan kalau pria itu marah.Terkadang dia benar-benar lupa betapa kaya dan berkuasanya seorang Ariston. Dua hal yang pasti akan menarik minat banyak orang khususnya para pencari berita. Presley menoleh ke belakang hanya karena merasa perlu, meski kecepatan mobil Ariston membuatnya ragu kalau wartawan itu bisa mengejar mereka.“Wartawan itu tidak akan mengejar kita jika itu yang kau takutkan.”Presley memiringkan badannya sehingga fokusnya sepenuhnya pada Ariston. “Apa memang selalu seperti ini? Kau dikejar dan dikerubungi wartawan di mana pun kau berada?”Ariston tertawa mencemooh. “Saat kau memiliki kekayaan yang bisa menundukkan siapapun, percayalah kau akan jadi mangsa yang menarik bagi siapapun.”“Apa kau tidak bisa mengatasinya? Membuat wartawan menjauhimu?”Ariston menatap Presley sebentar. “Menurutmu kenapa
“Ketika ayahku terlalu mabuk atau terlalu marah dengan semuanya biasanya dia menggunakan tangan pada ka—maksudku aku untuk melampiaskannya. Dia bisa sangat marah ketika aku bertindak tidak masuk akal.”“Tidak masuk akal?”Ariston mengangkat bahu enggan, jelas sekali topik ini membuatnya tidak nyaman.“Ya. Aku menentangnya disetiap kesempatan, bentuk pemberontakan anak remaja dan saat itu terjadi aku biasanya melarikan diri ke sini dan wanita itu akan memberiku makan.”“Berapa usiamu saat hal itu terjadi?” tanya Presley penasaran.Seorang pelayan datang dan meletakkan makanan di meja mereka. Presley merasa air liurnya hampir menetes melihat makanan yang disajikan. Tangannya secara refleks mengambil sendok namun langsung mengaduh kesakitan.Presley merasakan gerakan di sampingnya dan ternyata Ariston sedang menggeser tempat duduknya. Pria itu sekarang duduk persis di sampingnya.“Ada apa?”“Kau tahu, Presley, saat kau butuh bantuan yang perlu kau katakan hanya memintanya.”Presley menge
“Proses pemulihannya lebih cepat dari yang kuperkirakan.”Presley tersenyum mendengar penuturan dokter yang memeriksanya.“Apa ini berarti sebentar lagi tangan saya akan bisa digerakkan dengan normal?” tanyanya antusias.Dokter wanita berambut sebahu itu tersenyum menyetujui.“Tetap saja, berhati-hati lebih bagus. Nah, obat ini akan membantu mempercepat pengeringan luka dan juga mengurangi rasa sakit di lengan dan telapak tanganmu.”Presley mengulurkan tangannya yang tidak terluka untuk meraih resep yang disodorkan, namun sebuah tangan besar mendahuluinya. Dia menoleh, menatap Ariston yang sejak tadi hanya diam dan menyimak. Ekspresi wajah pria itu tidak menunjukkan apa pun.“Terima kasih,” ucap Ariston datar. Pria itu berdiri seolah sudah tidak sabar meninggalkan ruangan. Kening Presley berkerut.“Ayo, kita pergi!”Meski heran, Presley memutuskan untuk menurut. Setelah sedikit mengangguk pada dokter yang memeriksanya dia mengikuti langkah Ariston.“Ada apa?” tanyanya langsung.“Apany
Presley hampir meloncat karena kaget. Dia berbalik dan mengumpat pelan. Sepertinya dia harus mulai membiasakan diri dengan kehadiran Ariston yang mendadak.“Apa yang kau lakukan di sini? Kupikir kau memintaku bersiap untuk makan malam?”Ariston mengangkat bahu. Dia berjalan dan menutup pintu di belakangnya.“Aku tahu kau akan melakukannya.”“Melakukan apa?”Saat Presley mengikuti arah pandang Ariston seketika dia sadar kalau tangannya masih menyingkap pakaian yang dia kenakan sampai menunjukkan perutnya. Buru-buru Presley menurunkan bajunya.“Aku bisa melakukannya.”“Dengan tangan terluka seperti itu?”“Itu bukan masalah. Sedikit rasa sakit sebagai pengingat agar lebih berhati-hati. Selalu ada hal positif untuk setiap peristiwa yang terjadi,” ucapnya melantur berhasil membuat sudut mulut Ariston terangkat.Saat pria itu berdiri di depannya, Presley menahan napas.“Aku sudah pernah melihat seluruh tubuhmu, Presley. Kenapa kau harus malu? Kau memiliki tubuh yang indah.”Wajah Presley me
Presley menatap Marta, tapi gadis itu sedang menatap Ariston. Bikini one piece yang dikenakan gadis itu membalut tubuhnya yang sempurna. Presley meringis, seandainya dia memiliki tubuh seperti itu.“Kau pikir apa yang kau lakukan?” ujar Ariston datar.“Aku bosan dan Presley tidak membutuhkan bantuanku. Bagaimana menurutmu?” Marta memutar-mutar badannya, menunjukkan lekuk tubuhnya. “Aku membelinya waktu liburan di italian. Ini edisi terba—““Kau tahu kenapa kau ada di sini, bukan?” potong Ariston, sama sekali tidak tertarik mendengar ocehan Marta.Marta merengut. “Aku tahu,” gadis itu kini menatapnya. “Tapi Presley baik-baik saja. Luka di lengannya juga tidak buruk. Kenapa kau begi—““Aku tidak tahu apa yang kau katakan Marta, tapi sekali lagi kau mengabaikan kebutuhan Presley, kau harus pergi dari rumah ini,” gumam Ariston dingin, berlalu dari hadapan mereka berdua.Presley meringis dan tersenyum minta maaf. “Dia bisa sangat tidak masuk akal. Tidak usah cemas, dia tidak akan melakukan