Share

08 Rahasia Senja

_"Terkadang membahagiakan seseorang yang kita sayang, bisa dengan cara sederhana."_

~~~

"Nja," panggilan itu memotong ucapan Senja. Keduanya menatap sumber suara. Yang ternyata laki-laki dengan baju basketnya. Siapa lagi kalau bukan Aldi.

Tatapan tajam dari Gafi terarah ke laki-laki yang berada tepat di belakang Senja. Rasa kesalnya masih terasa sampai saat ini. 

"Aldi? Kok kamu tau aku di sini?" Tanya Senja. Ucapan gadis itu terdengar oleh pendengaran Gafi. Membuatnya berdecak kesal.

Aldi tersenyum membuat matanya semakin menyipit. "Dari Asta. Aku tanya soal kamu ke dia. Yuk pulang," ujar Aldi sambil menyentuh jari-jemari Senja dengan lembut.

Senja memikirkan ucapan laki-laki bermata sipit itu. Mana mungkin Asta bisa memberitahu laki-laki di sebelahnya itu? Handphone Asta saja mati.

"Kenapa bengong?" 

Suara serak itu membuyarkan lamunan Senja. Ditatapnya laki-laki tinggi itu, yang membuatnya harus mendongak. "Em... Enggak apa-apa kok. Yaudah, ayok. Gafi, gua duluan ya?" Ujar Senja.

Gafi tersenyum singkat ke arah Senja. Namun, saat tatapannya bertemu dengan mata sipit Aldi membuat senyum itu berubah menjadi datar. Bahkan, sorot matanya terlihat seperti pisau yang begitu tajam dan menusuk.

Tatapan mata Gafi tidak beralih sedetik pun. Setiap gerakan keduanya, selalu diawasin oleh mata tajam Gafi. Sampai keduanya menghilang dari pandangan.

"Kenapa, itu orang teh keliatan teu baiknya? Urang teh, ngerasa temen-temen dia bisa ngelukain Senja," gumam Gafi.

Awan kian menghitam. Bahkan, butiran-butiran kecil dari langit mulai berjatuhan. Gafi dengan sigap berdiri dari duduknya dan melangkah dengan tergesa-gesa. 

Telepon genggamnya berbunyi, membuat laki-laki itu menghentikan langkah lebarnya. Merogoh benda pipih yang tersimpan manis di kantung celana abu-abunya itu.

Nomor Tama tertera di layar ponselnya. Laki-laki berambut ikal yang sudah melewati kerah baju itu—Tama, teman semasa kecilnya dulu tau bahwa Gafi pindah ke sekolah dan kota yang sama dengan laki-laki itu.

Pasti laki-laki berkulit sawo matang itu, ingin mengajaknya berkumpul dengan teman-teman sekolah Tama. Karena, kemarin saja Tama sudah memaksanya untuk bergabung dengan teman-temannya.

"Hm... Urang teh, masih di kafe deket sekolah," ujar Gafi yang sudah menerima telepon.

"..."

Gafi menghela nafasnya sebelum menjawab ucapan seseorang di sebrang telepon.

"Oke. Urang otw," jawabnya sambil mematikan teleponnya.

Tatapan matanya mengedar ke penjuru ruangan yang lumayan ramai. Langkah kaki lebar itu, menuju keluar kafe. Angin kencang mulai menembus kulit laki-laki berambut belah tengah itu. 

Hujan yang tadinya hanya rintikan, kini sudah turun dengan begitu derasnya. Gafi menatap sekeliling. Tidak ada siapa pun di luar. Karena, yang lain lebih memilih menunggu di dalam.

"Terobos we lah. Nunggu da pasti lama," gumamnya pada diri sendiri.

Namun, ia ingat sesuatu. Di dalam tasnya ada jas hujan yang sudah ia siapkan semalam, takut-takut hujan turun. Benar saja, hari ini hujan cukup lebat.

Dengan sigap, Gafi membuka resleting tasnya. Mengambil benda yang dapat melindungi dirinya dari terpaan hujan yang begitu turun berbondong-bondong.

Setelah semua melekat ditubuhnya. Gafi, langsung berjalan menerobos dinginnya udara sore menjelang maghrib itu. Parkiran terlihat sepi, hanya ada satu dua orang yang terlihat. 

Laki-laki itu menancapkan kunci motornya, dan membawanya keluar dari area parkir kafe itu. Dengan kecepatan sedang.

•••

"Makasih ya? Kamu mau mampir dulu? Hujannya makin gede," jelas gadis berambut sebahu itu.

Keduanya telah sampai di kediaman Senja. Untung laki-laki beralis tebal itu membawa dua jas hujan. Jadi, keduanya tidak harus basah-basahan.

"Kayaknya, aku pulang aja deh. Biar kamu juga langsung istirahat," jawab Aldi yang sudah turun dari motornya.

Mereka sedang berada di bagasi rumah Senja. Jadi, tidak terkena hujan yang begitu dingin saat bersentuhan dengan kulit wajahnya. "Serius? Masalahnya hujannya makin deres. Aku takut nanti kamu sakit," tutur Senja.

Wajah cantiknya yang basah itu terlihat begitu khawatir. "Ga apa-apa, sayang. Kan, aku pake jas hujan." Tangan besar itu sudah mengelus rambut Senja.

Senyum yang membentuk bulan sabit itu terpancar dari wajah tampan laki-laki jangkung itu. "Ga usah khawatir. Nanti, sampe rumah pasti aku kabarin," lanjutnya.

Senja mengigit bibir bawahnya. Berpikir sebentar, dan menatap ke arah luar. Di mana awan semakin menghitam, suara gemuruh petir juga saling bersautan. Bahkan, angin kencang pun berhembus membuat beberapa pepohonan saling bergerak kesana-kemari.

Rasa khawatirnya semakin dalam. "Kamu temenin aku dulu aja ya? Aku takut," lirih Senja. Matanya menatap lekat mata Aldi.

Jari-jemari Aldi menyelipkan helaian rambut yang menutupi wajah imut gadis dihadapannya. "Takut kenapa?"

"Takut ada petir. Di rumah aku sendiri, bibi lagi pulang kampung. Jadi, aku takut. Kamu mau kan, temenin aku?" Imbuh Senja.

Aldi masih memasang senyumnya. "Oke, no problem."

Senyum yang menampilkan lesung pipi di wajah Senja, membuat wajahnya semakin terlihat mengemaskan bagi Aldi. 

Laki-laki itu tau, sebenarnya Senja bukan takut karena petir atau tinggal sendirian di rumah besar itu. Tapi, gadis itu hanya takut terjadi sesuatu kepada dirinya. Untuk saat ini Aldi mau menuruti kemauan Senja.

"Yaudah, yuk. Kamu bersih-bersih. Aku tunggu kamu di ruang tamu," ajak Aldi.

Senja menganggukkan kepalanya, tangannya kini sudah menggenggam lengan Aldi dengan wajah senangnya. Jarang-jarang Aldi mau menuruti keinginannya.

Meskipun tadi saat pulang sekolah mereka bertengkar. Tapi, itu tidak akan berlangsung lama. Karena, keduanya saling mencoba menjelaskan. Dan di antara keduanya, salah satunya memilih untuk mengalah.

"Kamu ada bahan buat di masak?" Tanya Aldi saat keduanya sudah memasuki rumah Senja. 

Senja menatap laki-laki itu. "Kalo enggak salah, ada sih. Emang kenapa?" Ujar Senja yang diselingi pertanyaan.

"Aku mau masak nasi goreng spesial. Aku jamin, pasti kamu suka," tutur Aldi.

"Beneran? Tapi, engga apa-apa kalo kamu yang masak? Emang kamu enggak capek?" Senja memborbardir Aldi dengan berbagai pertanyaan.

Langkah Aldi terhenti, menatap gadis itu dengan alis yang saling bertautan. "Hem... Ga percaya ya? Yakin, ga mau nyobain masakan aku? Aku ga ngerasa capek. Jadi, kamu ga perlu khawatir. Mending sekarang kamu mandi. Udah bau asem!" Ledek Aldi dengan wajah tengilnya.

Senja reflek memukul lengan laki-laki itu. Aldi mengelus lengannya. Bibir Senja mengerucut begitu saja. "Enggak asem tau! Wangi!! Yaudah aku mau mandi. Masak yang enak ya, sayang!" Ujar Senja dengan senyum manisnya.

Membuat Aldi mencubit pipi gadis itu. "Pasti dong. Biar, pacar aku yang gemesin ini ketagihan," tutur Aldi.

Tangan mungil itu menyentuh pipi Aldi yang tegas itu. "Kalo aku ketagihan sama masakan kamu, siap-siap aja. Aku bakal minta dibuatin bekel sama kamu tiap hari! Wleee," tukas Senja. 

Tangannya yang tadinya hanya menyentuh pipi Aldi. Kini, sudah menarik dengan gemas kedua pipi Aldi.

"Aduh... Iya-iya, kalo kamu suka. Aku pasti buatin," balas Aldi yang meringis.

Senja tersenyum dengan wajah berseri-seri. Tidak, sabar dengan masakan pujaan hatinya itu. "Makasih, sayang."

Setelah berkata seperti itu. Senja langsung meninggalkan Aldi yang terpaku dengan tingkah Senja. Rasa bahagia di hati Aldi begitu terasa hari ini. Karena, untuk pertama kalinya Senja akan memakan masakannya.

"Semoga kamu suka," gumam Aldi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status