_"Terkadang, apa yang kita harapkan tidak berjalan dengan baik."_
~~~Kepulan asap berbau tembakau itu, menari mengerumuni beberapa orang yang sedang duduk santai di atas meja tak terpakai. Bangunan yang sudah terbengkalai di belakang sekolah, terlihat begitu berantakan. Kursi yang sudah rusak tergeletak begitu saja. Tembok di sekeliling bangunan terlihat penuh dengan coretan.
Wajah dingin terlihat jelas, rahang tegasnya menampilkan amarah yang tertahan. Laki-laki dengan penampilan acak-acakan itu sedang asik menyesap rokoknya. Sedangkan beberapa orang lainnya saling bercengkraman.
"Eh, Van. Muka lu napa ditekuk gitu?" Tanya laki-laki botak itu sambil merangkul leher lawan bicaranya.
"Kita harus pantau terus, pelaku yang nyebarin berita hoax ke adek gua! Kalo pelakunya udah ketemu. Kasih pelajaran ke dia. Pastiin orang itu, ga berani lagi macem-macem!" Tegas laki-laki bermata elang itu.
Revan Agantara—seorang siswa yang selalu terlibat masalah. Bahkan, sampai membuat siswa-siswi di Sekolah Garuda itu merasa takut. Jika, berurusan dengan laki-laki itu.
Padahal Revan tidak terlalu buruk. Tapi, karena ulahnya sendiri membuat dirinya di cap siswa berandalan. Dia adalah kakak dari Senja. Jarak umur keduanya hanya berselisih setahun.
"Oh, lu tuh dari tadi mikirin rumor yang heboh tadi pagi?" Tanya laki-laki botak itu—Arya Bramantyo.
"Hm... Gua ga akan diem aja. Kalo, ada yang nyakitin adek gua! Tapi, lu harus inget! Jangan sampe ada yang tau Senja itu adek gua," jelas Revan dengan tatapan elangnya.
Arya menganggukkan kepalanya. Sesekali menyesap sebatang rokok yang tersisa sedikit itu. "Tenang, Van. Rahasia lu aman sama gua. Nanti gua suruh Banu, buat mata-matain kasus itu," ucap Arya sambil menepuk bahu Revan.
Laki-laki dengan rambut yang sudah melewati kerah baju itu, ikut menghampiri Revan dan juga Arya. "Serius bener, keknya? Bahas ape sih?" Tuturnya dengan batang rokok yang terselip di kedua jarinya.
"Lu tau, soal rumor tadi pagi?" Tanya Arya sambil menginjak putung rokoknya.
Laki-laki itu menganggukkan kepalanya. "Nah! Revan minta kita buat cari tau. Siapa yang berani nyebarin berita hoax ga jelas kek gitu," papar Arya.
"Bisa diatur. Masalah gini, gua sama Banu bisa diandelin," pungkas laki-laki itu—Tama Abraham.
"Panggil Banu. Kita susun rencana, hari ini. Jangan sampe ada yang tau! Kalo Senja, adek gua!" Ujar Revan masih dengan tatapan tajamnya. Dia tidak mau ada yang tau. Siapa Senja dalam hidup Revan Agantara.
"Nu!" Panggil Tama dengan suara bassnya.
Laki-laki yang namanya disebut itu, ijin pamit dari segerombolan seniornya itu. "Kenapa?" Tanya laki-laki berkumis tipis itu.
Tama dengan sigap merangkul Banu, agar lebih dekat dengannya. Supaya tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka. "Kita punya misi. Gua yakin! Nih, misi cocok buat lu," ujar Tama.
"Gua demen, nih! Emang gua detektif handal!" Bangga Banu. Tangannya sudah iya letakkan di dadanya sambil di tepuk-tepuk. Bibirnya tersenyum lebar.
Geplakan dari Arya di kepalanya membuat laki-laki itu meringis. "Wes... Ora usah pede," ujar Arya yang bahasa daerahnya keluar.
"Dari pada lu, cuma bisa makan doang!" Hardik Banu.
"Yeh... Malah ribut."
Revan hanya diam. Pikirannya berkelana kemana saja. Padahal, ketiga temannya sedang saling memaki.
"Udah ributnya? Ayok cabut!" Tegas Revan. Tangannya sudah menarik tas yang tergeletak di meja. Keluar terlebih dahulu setelah berpamitan kepada beberapa orang yang berada di bangunan terbengkalai itu.
•••
Awan kian semakin mengelap. Sepertinya, hujan sebentar lagi akan turun. Namun, mereka berempat masih berkutat dengan rumus-rumus yang membuat perut mulas. Tapi, itu hanya berlaku untuk Asta.
Pikirannya sama sekali tidak bisa mencerna, apa yang harus ia lakukan dengan beberapa rumus dihadapannya itu. Senja—gadis berlesung pipi itu menyadari wajah gusar dari sahabatnya itu.
"Kenapa, Ta?"
Asta yang mendengar suara lembut dari Senja langsung menatap gadis itu. Sebenarnya ia masih kesal dengan kejadian tadi. Melihat Gafi yang tersenyum saat berbicara dengan Senja. "Gapapa," jawab Asta singkat.
Senja hanya menganggukkan kepalanya. Kembali menyentuh bukunya membuat jari-jari lentiknya kini, menari di atas lembar kerjanya. "Urang dah beres. Gimana kerjaan kalian? Udah sampai mana?" Ujar Gafi diselingi pertanyaan.
Keringat di wajah Asta terlihat begitu jelas. Membuat Senja menghela nafasnya. Melihat Asta kesusahan seperti itu, membuat Senja ingin membantunya. Tapi, gadis itu sepertinya sedang tidak membutuhkan bantuannya.
"Beres!" Semangat laki-laki berkulit putih itu dengan sedikit berteriak.
Beberapa pengunjung menatap mereka dengan tatapan tidak suka. "Teu usah teriak-teriak, atuh!" Kesal Gafi. Karena, laki-laki berambut hitam pekat itu tidak suka ditatap oleh banyak orang.
Galuh hanya terkekeh. "Gua sama sekali ga ngerti," ujar Asta dengan wajah frustasinya.
Ucapannya itu membuat Gafi dan Galuh menatap Asta datar. "Heh... Lu kenape, kaga ngomong dari tadi?" Sembur Galuh dengan wajah kesalnya.
"Gua pikir, gua bisa ngerjain. Ternyata udah sejam. Satu pun soal, ga ada yang gua ngerti!" Jelas Asta dengan nada ketusnya.
"Aduh, Ta. Kalo kesusahan yang lu minta bantuan. Jangan kek kura-kura diem aje! Liat kan, jadi harus nunggu lu lagi!" Omel Galuh.
Tatapan Asta kini menatap Senja. "Lu udah selesai, Nja?" Tanya Asta dengan wajah masamnya.
"Belum. Gapapa, gua temenin lu sampe selesai. Galuh, enggak usah marah-marah. Kalo emang lu mau pulang, duluan aja bareng Gafi," ucap Senja.
Asta memasang wajah mengejek ke arah Galuh. Karena, Senja membelanya. "Urang nungguin wae," sambut Gafi. Wajahnya terlihat santai berbeda dengan Galuh, yang masih memasang wajah kesalnya.
Selama beberapa menit ketiganya membantu Asta untuk menyelesaikan pekerjaannya. Senja sesekali menatap ke langit. Terlihat awan yang semakin menghitam. Beberapa orang sudah mulai turun ke lantai satu.
"Akhirnya selesai!!" Teriak Asta.
Galuh hanya memasang wajah masamnya. Sedangkan, Gafi sudah memakai tasnya bersiap untuk pulang. Senja gadis itu sedang merapikan peralatannya, bersamaan dengan Asta.
"Udah mau hujan. Ayok pulang," ajak Galuh.
"Lu balik sama siapa?" Tanya Asta ke arah Galuh. Yang ditanya menggaruk kepalanya.
Belum sempat menjawab, getaran ponsel Asta membuat gadis itu mengabaikan Galuh dan memilih melihat layar ponselnya. "Lu mau nebeng ga?"
Pertanyaan Asta membuat Galuh membuka mulutnya. "Ga usah kaget gitu. Mumpung gua berbaik hati. Jadi, lu mau apa ga?" Tanya Asta lagi.
"Oke, gua nebeng."
"Nja, lu mau bareng apa di jemput?" Tanya Asta kepada Senja.
"Em... Engga usah, Ta. Gua minta jemput aja. Nanti ngerepotin, lagian kita enggak searah," jawab Senja.
Gafi yang mengetahui itu tidak beranjak dari tempat duduknya. Memilih menunggu gadis itu lebih dulu. "Yaudah, kalo gitu gua duluan ya. Udah ditunggu di bawah. Ayo luh, cepet!" Tutur Asta.
Gadis itu berlalu sambil melambaikan tangannya. Tanpa berkata apa pun, kepada Gafi. "Urang anter pulang aja, Nja?"
Tawaran Gafi membuat Senja menatap laki-laki itu. "Gua..."
"Nja," panggilan itu memotong ucapan Senja. Keduanya menatap sumber suara. Yang ternyata laki-laki dengan baju basketnya. Siapa lagi kalau bukan Aldi.
_"Perlakuan sederhana terkadang membuat bahagia."_~~~Cuaca begitu mendukung untuk beraktivitas di hari libur. Termasuk gadis berambut cepol dengan setelan traningnya. Senja baru saja selesai melakukan yoga. Helaan nafasnya terdengar, peluh yang membanjiri wajahnya begitu terlihat. Gadis itu menengguk botol minum berisi air mineral hingga 'tak tersisa.Bunyi ponsel terdengar nyaring. Senja melirik sebentar ke arah benda pipih yang tergeletak manis di atas meja belajarnya. Selesai menyimpan botol minum, dan mengelap keringatnya ia langsung meraih benda itu. Senyum yang menampilkan lesungnya, kini muncul begitu dalam.Gadis itu langsung menarik handuk, yang tergantung rapih di dekat pintu. Setelah melihat pesan yang entah dari siapa, gadis itu langsung bergegas mandi. Mungkin orang spesial yang akan datang.Sudah hampir setengah jam, akhirnya Senja se
_"Hidup itu tidak selalu berjalan dengan mulus. Pasti, selalu ada masalah dalam hidup. Masalah ringan, sedang, hingga masalah yang begitu rumit. Tapi, semua itu punya jalan keluarnya."_~~~"Ikut gua!"Suara berat, membuat gadis berambut pirang itu menatap ketiga orang dihadapannya dengan tatapan aneh."Mau apa sih lu?! Punya urusan sama gua?""Udah lah, lu engga usah banyak bacot!" Bentak laki-laki berkulit sawo matang itu."Ngapain sih?! Gua ga mau!" Berontak gadis itu.Namun, laki-laki bertubuh tinggi itu menyuruh kedua temannya membawa paksa Viola."Bagas!!! Lu mau ngapain gua?"Laki-laki yang dipanggil Bagas itu hanya mengedikan pundaknya, dan berjalan mengikuti kedua temannya itu.Viola, gadis itu mencoba melepas cengkraman kuat dari kedua kakak kelasnya. Namun
_"Apa yang kita pikirkan benar, belum tentu benar. Bahkan, bisa saja yang kita anggap tindakan yang benar ternyata malah sebaliknya. Sebuah kesalahan."_~~~Hujan sore di ibukota Jakarta terlihat begitu deras. Awan yang tadinya cerah, kini terlihat begitu gelap. Seharusnya semua siswa-siswi SMA GARUDA sudah pulang sejak sejam yang lalu. Namun, mereka harus menetap di ruang kelas menunggu hujan mereda."Ta, gua perlu ngomong sama lu."Ucapan itu membuyarkan lamunan Asta. Suara berat dan khas itu, menyadarkan Asta bahwa bukan lagi Senja yang duduk di sebelahnya, melainkan Galuh."Hem..."Galuh langsung duduk di sebelah gadis itu, tadi ia meminta Senja untuk berpindah tempat duduk sebentar selagi gadis itu menunggu dijemp
_"Apa pun perkataan orang lain, tidak perlu kita hiraukan. Jika itu hanya melukai diri kita. Dengarkan saja yang perlu didengar, anggap angin lalu yang tidak perlu untuk didengar."_~~~Suara riuh terdengar begitu gaduh di kelas IPA 2. Senja yang berjalan dengan penampilan yang sangat berantakan, melewati beberapa temannya yang menatapnya dengan sinis.Cangkang telur serta putih telur bercampur dengan kuningnya, bertengger manis di rambut sebahu gadis itu. Aroma menyengat menusuk indra penciuman semua orang yang ada di dalam ruang kelas.Galuh hanya mengekor dari belakang, sedangkan Gafi hanya diam duduk di kursinya. Laki-laki bermata almond itu tidak lepas memandang Senja yang terlihat tidak baik-baik saja."Bau banget badan lu, Nja. Bikin kelas bau busuk! Bersihin dul
_"Orang yang kita anggap akan ada dipihak kita ternyata sama saja dengan yang lain. Rasa kecewa itu benar-benar terasa, menyakitkan."_~~~"Enggak perlu lu anter. Gua kesini sama supir," ujar gadis berambut hitam itu. Sejak Revan dan yang lainnya pergi, keduanya sudah memutuskan untuk duduk di trotoar dekat penjual minuman dingin keliling dan tukang somay."Maneh teh kunaon, sewot terus sama urang? Urang teh punya salah kitu?" Tanya Gafi.Senja menghela nafasnya, ditatap laki-laki yang tingginya 176 cm itu. Memang Gafi tidak pernah melakukan kesalahan. Tapi bagi Senja, laki-laki itu memang harus ia jauhin. Lebih tepatnya jangan sampai berurusan dengan laki-laki dihadapannya ini."Lu enggak punya salah. Gua harap, ucapan gua di sekolah bisa lu lakuin ya? Gua enggak mau p
_"Kecewa itu......"_~~~Beberapa menit setelah Gafi meninggalkan rumah Arya. Keempat anak remaja itu asik dengan kartu dan cemilan di atas meja. Sesekali umpatan-umpatan kasar keluar dari bibir mereka."Sial! Kalah lagi gua!" Celetuk Arya.Tama hanya tertawa merasa senang, karena sejak tadi Arya selalu kalah. "Udah, lu mending maen barbie aja," ledek Banu.Hal itu membuat Arya berdecak kesal, dan melempar batal tepat ke wajah tampan laki-laki itu. "Lu kira gua cowok apaan?" Kesalnya.Banu tertawa sambil memegang perutnya yang terasa kram. "Cowok jadi-jadian hahahaha,""Si anjir! Lu kalo ngomong, perlu gua sumpel mulut lu ya?" Omel Arya."Haha