Penulis"Mas kenapa?" tanya Sofi pada suaminya yang ia perhatikan sejak tadi menguap. Ini adalah malam pertama mereka sebagai suami istri. Tentu saja ia sebagai istri sudah bersiap untuk melayani suaminya. "Ngantuk banget saya. Padahal pengen berkeringat sama kamu. Malah ngantuk gak bisa ditahan.""Mas emangnya kemarin gak tidur?" "Iya, gak bisa tidur memikirkan acara hari ini. Syukurlah semua berjalan lancar dan tuntas, hooam... saya tidur dulu ya. Kamu juga, pasti kamu capek. Nanti malam kita tuntaskan rasa penasaran kita." Aji tidak melepas pelukan pada siang Istri. Begitu juga Sofi yang masih betah dipeluk suaminya. Rasanya sangat nyaman hingga hanya hitungan menit, Sofi pun ikut tertidur pulas. Sofi terbangun jam dua malam. Suaminya tengah memunggunginya. Suara dengkuran halus pria itu cukup membuat wanita merasa terjaga sendirian. Ini kedua kali ia masuk ke rumah suaminya. Pertama kali saat berkenalan dengan Andre dan yang kedua, setelah sah. Ada banyak sisi rumah yang belum
"Kamu jangan terlalu capek," kata mas Gio saat ia menghampiriku di dapur. Suamiku begitu berubah sejak pindah ke kontrakan. Lebih romantis dan benar-benar sangat protektif padaku. "Biar aku yang kerjakan," katanya lagi sambil mengambil sponge cuci piring dari tanganku. "Cuma cuci piring, Mas. Soalnya mama yang masak. Aku udah bilang, biarin aku yang masak, tapi mama gak kasih.""Itu tandanya mama sayang sama kamu. Kamu udah berkorban tinggal di rumah kontrakan ini. Sudah lebih dari enam belas hari kita di sini dan terbukti kamu bisa mengikuti perintah suami kamu ini. Sudah, sana masuk, biar aku yang cuciin piring." "Makasih, Mas.""Oh, iya, gajian juga sudah aku transfer ya, Sayang. Cuma bonus aku gak transfer karena buat pegangan acara selamatan nikahan mama sama papa Aji." Aku mengangguk. Ini pertama kalinya suamiku mendapatkan bonus yang katanya delapan ratus ribu per empat bulanan. Setahun bisa dapat tiga kali bonus kehadiran, sudah sangat besar untukku. Aku masuk ke kamar unt
Aku benar-benar menunggu sampai besok, tetapi hingga jam dinding berada di angka dua belas siang. Tidak ada satu pun pesan dariku yang dibaca oleh mas Gio. Mama Sofi juga, ponsel keduanya tidak aktif. Aku mencoba menelepon untuk bertanya mereka ada di mana, tetapi tidak bisa. Kamu ke mana, sih, Mas? Aku terus menunggu. Jangankan makan siang, sarapan pun aku hanya bisa menelan satu lembar roti. Aku khawatir apa yang aku persangkakan selama ini adalah sebuah kesalahan besar. Percintaan ibu dan anak yang sedarah, tentu saja tidak mungkin terjadi. Lalu kenapa aku selalu curiga? Kring! Sering telepon membuatku terkejut. Nama papa muncul di layar. "Halo, Pa, bagaimana? Apa udah dapat kabar dari mas Gio atau mama Sofi?""Loh, justru Papa mau tanya kamu, gimana Gio? Berarti kamu juga gak tahu Gio di mana?""Iya, Pa. Ponsel mas Gio dan mama Sofi gak aktif. Apa Papa ada chat dengan mama Sofi?""Gak ada. Ya sudah kalau begitu, kamu tunggu saja kabar dari Papa ya. Sepertinya Papa tahu harus b
"Apa yang barusan kamu katakan? Kamu sakit?" mas Gio meletakkan punggung tangannya di keningku. Segera aku menepis tangan suamiku dengan kasar. "Kamu kenapa? Suami baru pulang udah ngajakin ribut?" mas Gio melotot kepadaku. Namun, aku tidak akan goyah. Tubuhku sama sekali tidak bergeser. Aku tidak mau memberikan ruang pada ibu dan anak yang mengakuinya seperti itu. Mereka tidak boleh masuk ke dalam rumahku jika belum memberikan penjelasan yang masuk akal. "Kamu dan mama adalah pasangan Ibu dan anak atau pasangan kekasih? Aku mau, kamu jujur, Mas!""Bunga, apa maksud kamu? Mama tidak menyangka kamu berpikiran picik seperti itu. Jelas kami Ibu dan anak. Kamu mau bukti? Ayo, kita ke rumah sakit tempat Mama melahirkan Gio. Semua datanya ada di sana!" Mama menarik tanganku. "Rumah yang ditunjukkan mas Gio di Pondok Indah, itu adalah rumah orang lain. Bukan rumah Mama. Satu lagi, Mama memakai berlian yang jelas-jelas mas Gio belikan, sedangkan aku sama sekali belum pernah dibelikan emas
Panggilanku sama sekali tidak direspon oleh mas Gio. Padahal ini jam makan siang. Harusnya ia standby HP. Aku mengecek kapan terakhir WA-nya aktif. Sepuluh menit yang lalu. Harusnya ia mengangkat teleponku, tetapi ini tidak. "Bunga, suami kamu mungkin sedang sibuk. Sabar dulu, jangan gegabah.""Ini gak bisa Bunga biarkan, Pa. Mas Gio udah berani main belakang. Pasti mas Gio yang belikan berlian itu untuk mama Sofi.""Mungkin Ibu mertua kamu emang punya berlian sejak dulu, tapi kamu baru tahu. Jangan fitnah, Nak. Mending kamu pulang dan bicara nanti setelah Gio pulang dari kantor. Sayang, kamu harus belajar dewasa dalam menyikapi setiap masalah ya." Aku menghela napas. Benar-benar kesal karena panggilanku diabaikan suamiku. "Mas Gio sama mama Sofi itu asli aneh banget sih, Pa. Masa setiap Bunga habis keramas, mama juga keramas. Aneh'kan?" papa malah tertawa sambil menggelengkan kepala. "Ya ampun, Nak, begitu aja jadi masalah. Memangnya kenapa kalau mertua kamu keramas juga? Namanya
POV Bunga"Apakah Mama benar-benar sudah memikirkannya? Menikah itu memang mudah, tapi kehidupan setelah menikah itu yang penuh ujian. Saya gak mau Mama gegabah." "Mama rasa, sudah saatnya Mama bahagia, Gio. Kamu juga sudah ada istri yang menjaga dan mengurus kamu. Mama juga ingin hari tua Mama, ada temannya." Mama mengambil napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. "Mama gak mungkin selamanya tinggal bersama kalian. Gak baik. Kalian punya kehidupan sendiri. Mama juga gak enak selalu menyusahkan Bunga." Mama Sofi menatapku sambil tersenyum. "Bunga gak keberatan, Ma. Kami senang Mama di sini. Hitung-hitung Bunga ada teman." Suamiku nampak masih berat melepas ibunya. Aku pun sebenarnya masih berat menyetujui papa menikahi ibu mertuaku, tetapi jika sudah cinta. Kita bisa apa? "Ma, emangnya boleh sesama besan menikah?" kali ini aku membuka suara. "Boleh saja, kenapa tidak boleh? Malah bagus'kan? Persaudaraan jadi makin erat dan terikat. Udah, kalian sarapan duluan ya. Mama mau ke