Entahlah, aku suka cemburu sama ibu mertuaku karena dia terlihat muda dan lebih cantik dariku. Ditambah lagi, suamiku hobi banget berlama-lama saat bersama ibu mertua.
Part 3 "Mas, apa yang ka-" "Loh, kenapa Bunga?" aku mematung saat melihat suamiku bukan sedang mengerik ibu mertua, melainkan sedang menarik rambutnya. Pakaian ibu mertua juga masih lengkap dan posisinya, ibu mertuaku sedang memunggungi mas Gio. "Bunga, ada apa?" tanya ibu mertua lagi. "Oh, ini, Ma, iseng di kamar besar sendirian, makanya saya nyusul ke sini. Namanya tempat baru dan saya gak nyaman kalau gak sama mas Gio." Mama tersenyum. "Apa kita tidur bertiga saja di sini? Ada sofa itu di pojok. Jujur Mama juga takut tidur sendirian. Maksudnya tadi, setelah mama tidur, Gio baru balik ke kamar kalian." Aku semakin terperangah. "Ma, tapi kami.... " wajah mama berubah tak senang. "Ya sudah, kalian kembali ke kamar saja. Nanti kalau Mama gak bisa tidur, Mama yang numpang tidur di kamar kalian ya. Kamar jangan dikunci. Dingin banget di sini. Airnya juga dingin. Mama gak yakin berani mandi besok pagi he he he..." Rasanya kesal bukan main. Jika tidur bertiga, maka kapan aku dan mas Gio punya waktu berdua. Jika tidak mama, maka papa yang menganggu. Kenapa papa harus mengajak mama mertuaku ikut ke Puncak? "Ayo, Sayang, kita tidur." Mas Gio menarik tanganku keluar dari kamar mama. Aku diam saja sampai duduk kembali di ranjangku. "Maafkan mama ya. Namanya orang tua. Apalagi perempuan seperti kamu. Kamu aja takut tidur sendirian, pasti mama juga begitu. Jadi gimana kalau kita lanjut yang tadi?" aku segera menepis tangan mas Gio yang hendak menarik ke ats baju piyamaku. "Udah gak mood, Mas. Ya udahlah kita tidur aja!" Aku langsung berbaring memunggungi suamiku. Aku mengira akan dibujuk, tetapi suamiku malah sudah tidur lebih dahulu. Aku terbangun pukul satu dini hari karena ingin buang air kecil. Suamiku masih mendengkur kerasa. Sungguh sangat disayangkan jika malam ini terlewat begitu saja. Mama tidak ke kamarku. Itu tandanya mama sudah tidur pulas. "Mas, bangun! Ayo yang tadi dilanjut!" Aku menepuk pundak suamiku perlahan. Aku berinisiatif yang memulai lebih dahulu. Suamiku terbangun dan kami pun akhirnya bisa berkeringat di malam itu. Ya, meskipun tetap saja merasa was-wasa jika pintu dibuka oleh mama secara tiba-tiba. Keesokan paginya, aku bangun dengan tubuh yang segar. Aku mandi dengan cepat, bermaksud segera menyiapkan sarapan. Namun, suara piring dan kucuran air dari wastafel dapur membuatku mengerutkan kening. Aku menoleh ke arah sofa tempat papa tidur semalam, tetapi papa sudah tidak ada. Aku membetulkan letak handuk kepala yang masih membungkus rambutku. "Wah, Mama sudah bangun?" sapaku ramah. Mama menoleh sambil tersenyum. "Mama keramas?" tanyaku kembali terheran-heran. Rambut mama juga ditutupi handuk kecil. Mama tengah berdiri di depan kompor sambil mengaduk nasi yang ada di penggorengan. "Iya, Mama gerah." Kecurigaan ini semakin kuat. Bukannya semalam mama bilang airnya dingin dan pasti gak berani mandi? Tetapi kenapa malah sudah keramas di jam lima pagi seperti ini? "Bukannya airnya dingin, Ma?" "Iya, ternyata di kamar mandi Mama ada shower air hangat. Jadinya mandi deh. Mana Gio? Pasti dia kelelahan ya?" mama tersenyum miring. Kalimatnya begitu ambigu menurutku. Dari mana mama tahu kalau suamiku kelelahan? "Oh, gitu, i-iya, Ma. Mas Gio masih tidur." "Wah, anak Papa sudah bangun. Papa kira bangunnya akan siang." Papa datang dengan baju kaos biru dan bagian pinggang sampai betis ditutupi handuk. Papa juga mandi dan papa juga keramas. Pikiran buruk seperti ini sangat mengangguku dan ia terlintas bukan hanya sekali dua kali, tetapi sangat sering. "Papa baru selesai mandi juga?" tanyaku. Papa mengangguk sambil menyambar pisang goreng yang ada di atas meja. "Selalu memuaskan. Enak." Puji papa pada ibu mertuaku. Apa papa naksir mama Sofi? Aduh, yang benar saja! Masa ibu mertua jadi ibu sambung! Setelah berbasa-basi dan membantu mama menata meja makan, aku pun segera naik ke kamarku untuk membangunkan mas Gio. Rupanya suamiku sudah bangun dan sedang di kamar mandi. "Aku kira kamu masih tidur, Mas." "Tiba-tiba kebangun karena batuk. Jadinya mandi aja sekalian. Kenapa, Sayang? Sarapan udah siap ya?" Mas Gio mengambil pakaian dari dalam koper kami. "Mas, mau tanya. Mama kan masih muda. Mama emang gak pengen nikah lagi?" tanyaku berbasa-basi. "Mama gak mau katanya. Dia lebih nyaman sendiri. Kenapa tiba-tiba nanya gitu?" tanya Mas Gio sambil menyisir rambutnya. "Mas, gimana kalau mama dan papa ada hubungan? Misalnya, papa naksir mama gitu." "Gak mungkin, Sayang. Papa itu ketuaan untuk mama." "Loh, mama dan papa bukannya seumuran, Mas. Kenapa papa jadi ketuaan untuk mama? Apa ada hal yang aku gak tahu?" "Oh, i-itu maksudnya.... " Bersambung"Permisi." Hanya itu yang bisa terucap dari bibirku saat berpapasan dengan Bunga dan suaminya. Rasa malu hati ini sangat tinggi bila mengingat apa yang telah aku lakukan pada Bunga di masa lalu. Bunga sudah bahagia dan aku tidak boleh mengusiknya. Jika suami Bunga menoleh sekilas ke arahku, maka Bunga langsung membuanh muka. Aku sadar dan mengerti ia tidak sudi melihat wajahku lagi. Langsung saja aku masuk menemui pemilik bengkel. Jantung ini yang sempat berdetak cepat, perlahan normal kembali saat pintu ditutup oleh pak Hutama. "Om saya udah cerita tentang kamu. Staf administrasi saya resign karena melahirkan. Bengkel ini butuh staf baru yang bisa mengatur dan melaporkan semua kegiatan serta kinerja bengkel. Karena saya di sini ada dua bengkel, motor dan mobil, saya gak mau asal-asalan mengelolanya. Harus tepat dan bagus seperti bengkel resmi lainnya.""Iya, Pak, saya mudah-mudahan bisa belajar. Saya sudah kirim CV by email.""Ah,iya, saya memang lihat ada email masuk, tapi belum
PoV GioDua Tahun KemudianHari ini tiba waktunya. Setiap detik yang berjalan sejak aku membuka mata pagi tadi, hari inilah yang paling aku nantikan. Bisa menghirup udara bebas di luar jeruji besi. Aku tersenyum pada petugas lapas yang mengantarku sampai pintu depan. "Jalani hidup baik, maka kebaikan akan datang padamu. Jangan lupa pergi ke alamat yang saya kasih." Aku terharu. Sekali lagi aku menyalami Pak Farid. Satu-satunya petugas lapas yang tegas padaku, tetapi juga baik. Bahkan ia memberikan kartu nama sebuah bengkel mobil, di mana keponakannya pemilik di sana. "Makasih Pak Farid. Nanti saya pergi ke sini. Makasih atas nasihat Bapak selama saya dibina di sini. Semoga hidup saya bisa lebih baik." Aku pun melangkah dengan penuh harap masa depan yang akan aku jalani nanti. Pria itu baik sekali. Ia bahkan menyelipkan uang tiga ratus lima puluh ribu di tasku. Uang yang akan aku gunakan untuk ongkos pulang ke kampung. Aku menyetop angkot. Tujuanku saat ini salah pemakanan. Aku rind
"Heh, kamu, buka pintunya! Majikan pulang malah bengong aja!" Uti tentu saja tidak paham maksud Sofi. Apalagi dengan bibik yang berdiri di belakang Uti, lebih tidak paham lagi. "Ya ampun, kamu pembantu di rumah ini'kan? Aku lupa nama kamu, Bik. Tolong buka pintunya. Aku mau masuk. Suamiku mana?" cecar Sofi lagi seolah-olah tidak ada masalah. Bibik hendak membukakan pintu, tapi ragu. "Kayaknya Ibu salah alamat. Di sini, saya majikannya." Uti masuk ke dalam rumah, foto pernikahan besar yang belum sempat dipajang, ia bawa ke depan. "Ini, saya nyonya di sini. Ibu jangan mengaku-ngaku ya! Sudah sana pergi sebelum saya panggil satpam! Dasar wanita stres!" Sofi yang tidak tahu apa-apa tentu saja terkejut. Kapan suaminya menikah? Menikah dengan pembantu? Saat pintu rumah dibanting keras oleh Uti, disitulah Sofi tersadar bahwa ia tidak sedang bermimpi. Dari yang ia tahu, hanya Bunga yang menikah lagi, bukan dengan Aji. Aku harus ke kantornya. Sofi pun memesan ojek online. Tujuannya adalah
Bunga baru saja selesai mandi. Setelah acara resepsi yang berlangsung sangat meriah, Bunga dan Helmi memutuskan untuk berbulan madu di rumah saja. Alias di rumah orang tua Helmi. Karena jika di rumah orang tuanya, tidak memungkinkan.Tidak masalah, Bunga mengerti posisi Helmi yang sekarang menjadi orang sibuk. Ia pun bisa menyusui baby Z sampai kenyang. Setelah itu, barulah ia bisa mandi. Baby Z sendiri sudah diangkut oleh ibu sambungnya, ibu mertuanya untuk tidur di kamar yang lain. Memang sudah langsung disediakan baby sitter untuk mengasuh baby Z agar Bunga tidak terlalu kerepotan. Notifikasi begitu banyak masuk ke ponselnya yang berisikan ucapan selamat. Sambil menunggu Helmi balik ke kamar, Bunga memutuskan untuk membaca semua pesan yang datang. Termasuk via WA dan sosial media seperti instagram dan Facebook. Ia tahu kehebohan ini pasti karena acara pernikahannya diliput salah satu televisi swasta Indonesia. Namun, sebuah akun yang mengirimkan DM di media sosialnya adalah akun
"Halo, Helmi, kamu di mana, Nak?""Di kasur, Pa, ini masih jam dua malam. Ada apa, Pa? Bunga baik-baik aja'kan? Papa masih di kampung apa udah di---""Bunga mau melahirkan, Helmi. Apa kamu bisa ke rumah sakit Budi Asih. Cepat ya.""Hah, melahirkan? B-bukannya baru tujuh bulan, Pa?""Nanti aja Papa jelaskan. Kamu ke sini dulu." Aji memutus panggilannya. Di rumah sakit ada Andre yang menemaninya malam ini, sedangkan Uti di rumah bersa bayi dan ART mereka. Sanak famili yang lain sudah pulang begitu jam sembilan malam. "Kok lama ya, Pa?" kata Andre gugup. "Iya, Papa juga gak tahu. Semoga aja semuanya lancar. Papa mules, keringat dingin.""Pa, Andre!" Helmi sudah ada di dekat ayah dan anak itu. Lelaki itu menyalami keduanya. Di belakang Helmi ada sopir sekaligua bodyguard yang memang disediakan pihak kantor untuk mengawal ke mana saja Helmi pergi. "Gimana, Pa?""Masih di dalam. Masih tindakan.""Papa jangan khawatir. Bunga wanita yang kuat. Bayinya juga," ucap Helmi memberikan semangat
"Angga kenapa belum tidur, Dek? Kasihan Papa nih!" Aji merengek pada putranya. Bayi berusia empat bulan itu belum ingin tidur, padahal sudah jam sebelas malam. Bayangan malam pengantin berisik dengan suara istrinya, pupus sudah, yang ada berisik suara celotehan Angga. Aji menimang Angga dengan kain gendongan jarik, berharap bayinya nyaman dan cepet tidur, tetapi yang ada, Angga malah mengajak ayahnya bercakap-cakap. "Anak bayi boleh dikasih obat tidur gak, Ti?" sontak pertanyaan Aji membuat Uti mendelik kaget. "Ya, gak boleh, Pa. Sabar aja. Sini, biarin saya yang kelonin. Mungkin mau ASI." Uti mengambil Angga dari gendongan Aji, lalu kembali membawanya ke ranjang. Ranjang dengan taburan kelopak mawar itu sudah bersih sekarang. Aji yang membersihkannya atas permintaan Uti karena istrinya gak mau kalau sampai kelopak bunga itu malah masuk ke dalam mulut Angga tanpa sengaja. "Jangan menghadap ke tembok, sini aja lihat ke saya saat m3nyusu!" Uti bersemu merah. Wanita itu tahu hal ini