"Dia bukan anak ibu lagi, Kila, hiks ... ibu bahkan setiap hari mengajarkan orang-orang untuk selalu bertakwa kepada Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Tapi anak ibu sendiri malah ...." Ibu tak mampu melanjutkan lagi ucapannya. "Buu, sudah ya. Untuk saat ini Ibu fokuslah pada kesehatan Ibu dulu." Aku terus membujuk Ibu mertuanya agar tetap tenang. "Bu, Ana mohon. Tenanglah! Ana pun sakit Bu, tapi Ana yakin jika ada bisa melewati ini semua dengan tetap tenang." Ibu menggelengkan kepalanya tak percaya pada ketabahan dan kesabaranku. "Gadis bodoh," ucapnya langsung memeluk tubuhku dengan berat. "Terbuat dari apa hatimu, Ana? Kamu bahkan menyimpannya sendirian?" "Kak, kenapa Kakak simpan ini semua sendiri? Apa Kakak tidak percaya pada Kila?" Akilah pun merasa iba pada ku yang memang aku sangat dekat dengan mereka. "Bukan! Bukan kakak tidak percaya padamu, kakak hanya tidak ingin hati kakak lebih sakit dengan mengatakan hal yang menyakiti hati kakak pada kalian. Biarlah dia yang m
POV Salman ... Hari itu setelah rahasia yang aku tutup-tutupi selama kurang lebih setengah tahun itu terbongkar. Aku memutuskan pergi dari rumah untuk beberapa hari agar bisa merenungkan kesalahanku. Ya, aku tahu dan aku sadar apa yang aku lakukan itu memang salah karena aku telah mengelabui orang tuaku dan mempermainkan pernikahan. Bayangan 2 tahun silam saat aku tengah merintis karir dan bisnis ku kembali melintas.Hari itu di sebuah restoran besar di ibukota aku melihat seorang wanita tengah memarahi suaminya di depan umum karena katanya suaminya itu ketahuan selingkuh. Setelah aku pun mengabaikan dan keluar dari restoran itu, aku pun mendapati seorang wanita yang tengah menangis dengan trus mengumpati seseorang dan orang di sekitarnya itu mengatakan jika wanita itu stres karena di tinggalkan oleh suaminya. Sejak saat itu aku berkesimpulan bahwa wanita dan pria jika sudah menikah akan memunculkan masalah demi masalah besar dan sejak saat itu pula, aku tidak berminat untuk menikah
POV Author ...Ana mendorong tubuh kekar Salman dari bibirnya. Ana bahkan merutuki dirinya sendiri karena bahkan menikmati lumatan lembut suaminya. Ana tahu itu tidak dosa, tapi Ana merasa masih sedikit ragu mengingat Salman belum pernah menyentuhnya seperti itu."Aku tahu aku salah, aku minta maaf, Ana. Aku mohon beri aku kesempatan satu kali lagi untuk memperbaiki semua kesalahanku padamu, Ana." Salman menatap manik-manik mata indah Ana yang baru Salman sadari jika istrinya memang sangat cantik. "Mas, sudahlah! Mungkin kita bukan jodoh terbaik yang digariskan oleh Allah. Aku sudah memaafkanmu, Mas. Tapi mungkin lebih baik kita tidak bersama. Mungkin kita bukan jodoh yang di gariskan oleh Allah." Salman menatap Ana sejenak. Lalu Salman bersimpuh di kaki Ana memohon agar Ana tidak pergi dan meminta cerai dengannya karena ternyata itu benar-benar menyakitkan bagi Salman. "Ana, aku mohon! Tetaplah bersamaku, Ana!" "Mas, bangun! Apa yang kamu lakukan? Bangun, Mas!" Ana terus menarik ba
"Tolong jangan katakan itu, Mas. Kumohon jangan katakan itu, Mas." Aku terus mengapit dan mengusap lembut wajah tampan yang ku kagumi sejak lama itu. "Ana, jangan bodoh! Aku bukan pria yang pantas untuk kamu cintai." Mas Salman membalas membelai wajah ku dan menyeka air mata ku yang sedari tadi terus mengalir. "Jangan menangisi ku, lihat wajahmu jadi jelek karena menangis, he he." Mas Salman menyeka air mata ku lagi dengan senyuman kecut. Mas Azzam begitu geram melihat ku dengan Mas Salman yang terus saja saling merangkul bahkan saling mengecup. "Ana!" sentak Mas Azzam. "Kita pergi dan tinggalkan dia, Ana." Mas Azzam menarik tanggaku sedikit kuat. "Kamu akan bercerai dengannya, Ana kita pergi!" Mas Azzam menarik tanganku."Mas, lepasin, sakit!" Aku berusaha melepaskan tanganku dari cekalan Mas Azzam yang begitu kuat karena mungkin Mas Azzam begitu emosi.Namun, nyatanya Mas Azzam tak mempedulikan ucapanku yang mengatakan jika apa yang dilakukannya menyakiti ku. Mas Azzam terus memb
POV Author ... "Aaaakkh ...." Bugh! Bugh! Bugh! Praaaaang!! Azzam memukul dan melemparkan semua benda yang ada di depannya untuk melepaskan amarah dan gejolak yang ada pada dadanya. Sesak, sakit, juga perih. Itulah yang di rasakan oleh Azzam saat ini. Apa yang terjadi padanya hari ini membuat hati Azzam begitu shok menerima kenyataannya. Azzam yang dengan niat hati adalah untuk menjemput Ana seperti yang sudah mereka rencanakan sebelumnya, malah harus merasakan sesak di dada yang kedua kalinya. Pertama adalah saat Azzam mendengar jika Ana sudah senikah, lalu sekarang sesak itu kembali mendera hatinya karena cinta yang bertepuk sebelah tangan. "Anaaa, kenapa kamu lebih memilih dia daripada aku? Kenapa Anaaaa?" Azzam berteriak seperti kesesatan. "Ana, aku bahkan telah menyimpan cinta ini untukmu selama 8 tahun." Azzam meneguk minuman beralkohol yang entah sejak kapan sudah di belinya, padahal Azzam tak biasa meminumnya. Azzam saat ini benar-benar kacau. Hati dan jiwanya terus be
Entah mengapa aku selalu tak bisa menolak sentuhan dari Mas Salman. Padahal tadi aku sempat ingin pergi dari Mas Salman karena merasa cemburu mendengar ucapan Santi. Di mana katanya Mas Salman begitu nyaman bersama Santi dibanding denganku yang menyebabkan Mas Salman tidak ingin menyentuhku. Namun, nyatanya aku tidak bisa menolak ketika Mas Salman mengecup bahkan melumat bibirku di hadapan Santi. "Mas, hentikan!" teriak Santi menarik tubuh Mas Salman. "Hentikan, Mas! Kamu milikku," ucapnya lagi. Mas Salman mendorong Santi dari tangannya. "Kamu yang seharusnya menghentikan ucapan-ucapan gila mu, Santi. Aku baru sadar jika seharusnya aku memang lebih dekat dengan istriku dibanding dengan perempuan lain." Mas Salman melirikku sekilas, lalu kembali menatap Santi. "Sadarlah, Sandi. Aku ingin kamu pun hidup bahagia dengan pria yang mencintaimu nanti. Semoga kamu bisa segera meraih kebahagiaan yang hakiki seperti aku bersama Ana."Santi menggelengkan kepalanya tak terima. "Tidak, Mas. Aku
Mas Salman tertawa renyah penuh ejekkan padaku. "Iya'kan, sayang," ucapnya mengedipkan matanya genit. Semua orang tertawa bahagia. Sedang jantungku ku begitu berdebar sekaligus malu. Aku hanya berharap jika mereka semua menganggap Mas Salman hanya bergurau. "Anaaa," kata Ibu memanggiku. "Apa itu benar?" tanya Ibu dengan mulut yang terbuka karena tertawa bahagia. "Ha'aaah?" Aku menelan saliva, karena bingung dan malu. "Ng-Enggak, Bu." "Ya sudah, Al. Apa mungkin sebaiknya kalian istirahat di kamar?" sahut Ayah seperti sudah mengerti dengan keadaan kami. Mas Salman tersenyum lebar. "Iya, Ayah. Masih banyak yang harus Al bicarakan dengan Ana. Tadi terpotong dengan adanya Santi. Huuuh ...." Mas Salman menghembuskan napasnya seperti tengah kecapean dan ingin istirahat. "Ana, ayok!" Aku melirik pada Ayah dan ibu mertuaku. Aku pun pasrah saat mereka mengangguk. Mas Salman menarik tanganku menuju ke kamarnya di rumah Ibu. Aku sedikit terkejut karena Mas Salman mengunci pintu. "Mas, kena
"Mas, apa sebaiknya kita obatin dulu lukamu?" Mas Salman kembali mengehentikan aktivitasnya, lalu membalikkan badanku dan menatapku dalam. "Tidak, tidak perlu karena ini tidak sakit. Akan lebih sakit jika yang di sini yang terluka," ucapnya menekan dadaku dengan lembut. Sejenak aku terdiam dan teringat pada Mas Azzam. "Mas Azzam," ucapku pelan tapi masih terdengar oleh Mas Salman. "Maafkan aku, Mas." Aku menunduk pilu karena walau bagaimanapun selama ini Mas Azzam lah yang selalu menemaniku. Mas Salman mengangkat daguku. "Apa kamu menyesal tidak ikut dengannya, Ana?" "Bukan, bukan aku menyesal karena tidak ikut bersamanya, Mas. Aku menyesalkan harus menyakiti hatinya." Aku menekan dadaku yang sesak, sesak karena buatku ini terlalu sulit. "Maaf kan, Mas. Semua karena kesalahan Mas. Karena Mas, kita jadi terjebak Cinta segitiga." Aku menatap Mas Salman sedikit mengerutkan kening. "Cinta segitiga?" Mas Salman mengangguk. "Ya, Cinta segitiga. Azzam mencintai kamu, tapi kamu mencint