"An, kenapa kamu menatapku seperti itu? Apa hari ini aku terlihat tampan?" kata Mas Azzam bergurau.Aku pun memalingkan wajah karena malu telah kepergok Mas Azzam tengah menatap wajahnya. "Kamu memang selalu tampan, Mas." Aku dengan cepat membekap mulutku karena lagi-lagi mulutku mengucapkan makna yang tersirat dalam. "Seorang Azzam selalu tampan dari semenjak SMP sampai sekarang, he he," ucapku mengalihkan sangkaan penuh arti dari Mas Azzam yang kini juga tengah menatapku."Apa itu sebuah pujian?"Aku kembali menatap Mas Azzam sudah sedikit lega karena suasana kembali seperti biasa. "Mungkin, kamu memang tampan Mas. aku bingung aja kenapa kamu masih betah menjomblo, jangan bilang kamu tidak menyukai wanita Mas?" ejekku pada Mas Azzam.Mas Azzam bercedih tak suka dengan ucapanku. "Cih, amit-amit, An. Aku pria normal ya! Jantungku bahkan selalu berdebar-debar ketika berdekatan bersama wanita.""Oh, ya?" ejekku tak percaya. "Berarti sekarang kamu pun berdebar-debar, Mas? Kan dekat aku,
"Ana, aku ingin bicara." Mas Azzam menarik tangan ku dan membawa ku keluar dari ruangan Ibu.Aku dan Mas Azzam duduk di taman rumah sakit tak jauh dari ruangan Ibu. Dengan perasaan yang campur aduk aku menarik napas dalam-dalam. Aku yakin jika Mas Azzam akan bertanya banyak hal pada ku terutama tentang ucapan ku tadi."Sudah berapa lama kita bersahabat, An?" tanya Mas Azzam dengan suara khasnya."Kalau terhitung sejak kita bersahabat dari kita SMP, mungkin sudah hampir 10 tahun," ucapku dengan menatap lurus ke depan."Selama itu juga lah aku mencintaimu, Ana."Deg!!Entah aku harus merasa bahagia atau justru sedih karena aku lagi-lagi merasa menyesal karena sudah menikah dengan Mas Salman. Jujur, aku bahagia mendengar ucapan Mas Azzam. Namun, aku justru merasa bersalah karena tak bisa membalas cintanya."An, aku mencintaimu sejak kita masih SMA. Sampai sekarang belum ada yang mampu memasuki hati ini," ucapnya menoleh pada ku.Aku masih terdiam tak bergeming entah apa yang harus aku ka
"Lepasin, Mas!" Aku mendorong Mas Salman dari bibirku. "Jangan kurang ajar kamu, Mas!" sentak ku dengan dada yang masih kembang kempis lalu berlari keluar ruangan Ibu karena takut mengganggu ketenangan Ibu.Mas Salman ikut keluar dan berdesis mengejek ku. "Heuh, bukannya kamu sangat menginginkan itu, Ana?" ejeknya menyunggingkan senyum. "Itu alasan kamu dekat dengan pria tadi bukan?"Aku menatap Mas Salman begitu geram entah apa yang ada di pikirannya. "Apa maksudmu, Mas? Sejak kapan kamu mempermasalahkan kedekatan ku dengan Mas Azzam, Mas? Bukankah kamu selalu sibuk dengan pekerjaanmu?" cercaku dengan emosi yang sudah menggunung. "Ah ... aku lupa, lebih tepatnya sibuk dengan urusan mu dengan Sandy."Plak!!Mas Salman menampar ku dengan sangat kuat. Sakit, sangat sakit. Ini kedua kalinya Mas Salman menampar pipiku setelah aku mengejek hubungannya dengan Mas Sandy."Kenapa, Mas? Apa kamu marah aku mengatakan jika itu adalah perbuatan terlarang? Tidakkah kamu berpikir bagaimana nanti pe
"Mas, yang sabar ya! Aku yakin ibu tidak akan kenapa-napa."Mas Salman menoleh pada Sandy dengan tatapan tajam. "Ini semua karena kamu, Sandy! Kenapa kamu harus datang ke rumah, hah?" sentaknya dengan sangat marah."Mas, aku khawatir padamu karena kamu tidak ada kabar sama sekali. Aku tahu keadaanmu seperti apa, jadi--" Cckiit!!Mobil yang dikendarai oleh ayah mertuaku berhenti tiba-tiba dengan sengaja. "Al, kamu suruh manusia itu keluar atau kamu tidak ayah izinkan bertemu lagi dengan ibumu!" sentaknya dengan kencang.Ayah mertua ku tahu bagaimana Mas Salman menyayangi ibunya jadi sangat mudah untuknya menekan Mas Salman. "Apa kamu mendengar ayah, Al?"Mas Salman akhirnya menyuruh Mas Sandy untuk keluar dari mobil. Walau Mas Sandy sangat ngotot ingin ikut namun Mas Salman pun menyuruh Sandy untuk keluar dengan tegas. Sampai akhirnya Mas Sandy pun keluar dari mobil, itulah yang ku lihat dari mobil Mas Azzam.Mobil kami sudah memasuki rumah sakit. Dengan segera Mas Salman membawa ibu
"Dia bukan anak ibu lagi, Kila, hiks ... ibu bahkan setiap hari mengajarkan orang-orang untuk selalu bertakwa kepada Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Tapi anak ibu sendiri malah ...." Ibu tak mampu melanjutkan lagi ucapannya. "Buu, sudah ya. Untuk saat ini Ibu fokuslah pada kesehatan Ibu dulu." Aku terus membujuk Ibu mertuanya agar tetap tenang. "Bu, Ana mohon. Tenanglah! Ana pun sakit Bu, tapi Ana yakin jika ada bisa melewati ini semua dengan tetap tenang." Ibu menggelengkan kepalanya tak percaya pada ketabahan dan kesabaranku. "Gadis bodoh," ucapnya langsung memeluk tubuhku dengan berat. "Terbuat dari apa hatimu, Ana? Kamu bahkan menyimpannya sendirian?" "Kak, kenapa Kakak simpan ini semua sendiri? Apa Kakak tidak percaya pada Kila?" Akilah pun merasa iba pada ku yang memang aku sangat dekat dengan mereka. "Bukan! Bukan kakak tidak percaya padamu, kakak hanya tidak ingin hati kakak lebih sakit dengan mengatakan hal yang menyakiti hati kakak pada kalian. Biarlah dia yang m
POV Salman ... Hari itu setelah rahasia yang aku tutup-tutupi selama kurang lebih setengah tahun itu terbongkar. Aku memutuskan pergi dari rumah untuk beberapa hari agar bisa merenungkan kesalahanku. Ya, aku tahu dan aku sadar apa yang aku lakukan itu memang salah karena aku telah mengelabui orang tuaku dan mempermainkan pernikahan. Bayangan 2 tahun silam saat aku tengah merintis karir dan bisnis ku kembali melintas.Hari itu di sebuah restoran besar di ibukota aku melihat seorang wanita tengah memarahi suaminya di depan umum karena katanya suaminya itu ketahuan selingkuh. Setelah aku pun mengabaikan dan keluar dari restoran itu, aku pun mendapati seorang wanita yang tengah menangis dengan trus mengumpati seseorang dan orang di sekitarnya itu mengatakan jika wanita itu stres karena di tinggalkan oleh suaminya. Sejak saat itu aku berkesimpulan bahwa wanita dan pria jika sudah menikah akan memunculkan masalah demi masalah besar dan sejak saat itu pula, aku tidak berminat untuk menikah
POV Author ...Ana mendorong tubuh kekar Salman dari bibirnya. Ana bahkan merutuki dirinya sendiri karena bahkan menikmati lumatan lembut suaminya. Ana tahu itu tidak dosa, tapi Ana merasa masih sedikit ragu mengingat Salman belum pernah menyentuhnya seperti itu."Aku tahu aku salah, aku minta maaf, Ana. Aku mohon beri aku kesempatan satu kali lagi untuk memperbaiki semua kesalahanku padamu, Ana." Salman menatap manik-manik mata indah Ana yang baru Salman sadari jika istrinya memang sangat cantik. "Mas, sudahlah! Mungkin kita bukan jodoh terbaik yang digariskan oleh Allah. Aku sudah memaafkanmu, Mas. Tapi mungkin lebih baik kita tidak bersama. Mungkin kita bukan jodoh yang di gariskan oleh Allah." Salman menatap Ana sejenak. Lalu Salman bersimpuh di kaki Ana memohon agar Ana tidak pergi dan meminta cerai dengannya karena ternyata itu benar-benar menyakitkan bagi Salman. "Ana, aku mohon! Tetaplah bersamaku, Ana!" "Mas, bangun! Apa yang kamu lakukan? Bangun, Mas!" Ana terus menarik ba
"Tolong jangan katakan itu, Mas. Kumohon jangan katakan itu, Mas." Aku terus mengapit dan mengusap lembut wajah tampan yang ku kagumi sejak lama itu. "Ana, jangan bodoh! Aku bukan pria yang pantas untuk kamu cintai." Mas Salman membalas membelai wajah ku dan menyeka air mata ku yang sedari tadi terus mengalir. "Jangan menangisi ku, lihat wajahmu jadi jelek karena menangis, he he." Mas Salman menyeka air mata ku lagi dengan senyuman kecut. Mas Azzam begitu geram melihat ku dengan Mas Salman yang terus saja saling merangkul bahkan saling mengecup. "Ana!" sentak Mas Azzam. "Kita pergi dan tinggalkan dia, Ana." Mas Azzam menarik tanggaku sedikit kuat. "Kamu akan bercerai dengannya, Ana kita pergi!" Mas Azzam menarik tanganku."Mas, lepasin, sakit!" Aku berusaha melepaskan tanganku dari cekalan Mas Azzam yang begitu kuat karena mungkin Mas Azzam begitu emosi.Namun, nyatanya Mas Azzam tak mempedulikan ucapanku yang mengatakan jika apa yang dilakukannya menyakiti ku. Mas Azzam terus memb