Aku duduk tercenung di kursi meja makan sembari memikirkan ucapan Mas Rama dan Mang Ujang tadi yang hampir bertolak belakang. Tak berselang lama Ibu turun dari lantai atas lalu duduk di seberangku.
"Wati..." teriak Ibu memanggil Mbak Wati yang ada di halaman belakang."Iya Nyonya, ada apa?" tanya Mbak Wati yang baru saja datang."Buatin saya teh manis hangat ya,""Baik Nyonya.""Sarah, kamu harus banyak gerak ya, untuk melancarkan persalinan. Kalau Ibu dulu sering ngepel sambil jongkok, kamu juga harus gitu, jangan diam saja ya!" ucap Ibu Mertua.Semenjak aku dan Mas Rama pindah kesini, Ibu Mertua memang begitu perhatian. Terutama pada calon bayi kami."Tehnya Nyonya," ucap Mbak Wati sembari meletakkan secangkir teh di hadapan Ibu.Ibu mengangguk, lalu Mbak Wati kembali ke halaman belakang melanjutkan pekerjaannya."Iya Bu, Sarah juga sering ikut senam hamil kok,""Nah, bagus itu. Hari ini Ibu ada urusan, kalau mau makan siang nanti bilang saja sama Mbak Wati mau makan apa ya, biar dibuatkan. Ibu sepertinya nanti pulang malam sama Reza,""Iya Bu. Hati-hati ya,"Akhirnya Ibu dan anak pertamanya pergi, sementara Mas Rama sedang di perkebunan. Di rumah memang ada Mbak Wati asisten rumah tangga di rumah ini, tetapi wanita itu sangat hormat pada majikannya sehingga sangat kaku saat kuajak mengobrol.Sore hari, langit tampak mendung gelap. Tetiba hujan pun turun dengan lebat disertai petir yang menyambar-nyambar. Suara gemuruh yang menggelegar membuat suasana sore menjelang malam menjadi mencekam. Ditambah angin yang berhembus sangat kencang menambah kesan ngeri.Aku sedang mencari kunci pintu dapur diantara deretan laci kayu, karena angin bertiup sangat kencang membuat pintu dapur terbuka dan tertutup dengan sendirinya. Sehingga menimbulkan suara yang sangat mengganggu.Mataku tertuju pada sebuah kunci yang menurutku itu kunci gembok, sedangkan di rumah ini pintu yang menggunakan gembok hanya pintu gudang."Apa kuncinya sudah ketemu Non?" tanya Mbak Wati."Sudah Mbak, aku kunci dulu ya pintunya. Mbak Wati, bisa minta tolong beresin kamarku?" ucapku mengalihkan perhatian."Bisa Non, tapi hati-hati ya lantainya licin, jangan sampai terpeleset."Aku menganggukkan kepala lalu berjalan ke arah belakang.Dengan segera aku mengunci pintu dapur, lalu berdiri didepan pintu gudang. Aku sangat penasaran sebenarnya ada apa didalam ruangan ini? Kenapa bisa, didalam sana ada suara tangisan bayi?Setelah kurasa aman, aku mulai memasukkan kunci kedalam gembok. Dua kali memutar gembok itu akhirnya terbuka. Aku celingukan ke kanan dan kiri, takut saja jika ada pegawai Ibu yang melihatnya, aku masuk kedalam gudang dan menutup pintu kembali.Banyak lemari besar dan tinggi berjejer, serta ranjang dan kasur bekas memenuhi ruangan ini. Hawa dingin dan debu-debu beterbangan pun dapat kurasakan.Bugh!... Bugh!... Bugh!..."Tolong...!""Tolong...!""Tolong keluarkan aku dari sini!"Jantungku berdebar sangat kencang, mencari sumber suara itu. Aku sudah memeriksa semua isi lemari tetapi tak kutemukan perempuan yang menjerit tadi.Aku bisa saja berteriak mencari keberadaan wanita itu tapi yang aku ditakutkan Mbak Wati masuk kemari dan menemukan keberadaanku.Bugh!... Bugh!... Bugh!...Suara itu terdengar lagi tapi aku tidak tahu dari mana sumber suara itu. Aku terus melangkah hingga merasakan sedikit getaran dari lantai yang kupijak.Bugh!... Bugh!...Suara pukulan itu terdengar lagi, dan kurasa berasal dari lantai yang kupijak ini. Saat tanganku meraba lantai semen itu tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat."Hei, siapa yang berani membuka pintu gudang ini hah?!"'Itu suara Ibu Mertua, gawat Ibu bisa marah besar kalau tahu aku ada didalam. Bagaimana pun juga aku tak ingin ada masalah dengannya,' gumamku.Aku segera berjinjit dan masuk kedalam lemari besar untuk bersembunyi."Ayo, kalian cari siapa yang berani masuk kedalam gudang ini!" seru Ibu dengan tegas.Suara bising dan bunyi langkah kaki pun terdengar. Orang-orang suruhan Ibu sedang menggeledah isi lemari. Jantungku berdegup sangat kencang. Sebentar lagi, cepat atau lambat aku pasti ketahuan."Bu, sepertinya kita harus memindahkan dia dari sini. Lihatlah dia terus memukul-mukul pintu, bikin orang-orang curiga saja!" ujar Bang Reza membuatku berpikir keras apa maksud dari perkataannya."Ya, kamu benar! Malam ini kita bawa dia dari sini," ucap Ibu.Sebenarnya apa yang mereka sembunyikan? Aku semakin penasaran.Tiba-tiba pintu lemari terbuka. Nampaklah wajah Mang Ujang didepan mataku. Nafasku tertahan dengan mata melotot menatap wajahnya. Oh tuhan, aku sudah ketahuan.Apa yang harus kulakukan sekarang? Badanku rasanya gemetar, sebentar lagi pasti Mang Ujang melapor pada Ibu jika ada aku yang berada di dalam lemari ini.--(POV Sarah)Sejak satu bulan yang lalu Kak Dimas sudah bisa berjalan dengan normal, dan hari ini pula ia akan melaksanakan pernikahannya dengan Mbak Wati.Dengan uang tabungan Kak Dimas, pernikahan Kak Dimas dan Mbak Wati yang lumayan megah ini dilaksanakan disebuah gedung luas."Sah?""Sah!"Para saksi dan tamu undangan tersenyum bahagia, seketika rasa haru menyeruak apalagi pernikahan ini tidak dihadiri oleh kedua orang tua. Pada saat prosesi sungkeman pun Kak Dimas dan Mbak Wati hanya memelukku dan Kevin untuk meminta doa restu karena memang hanya kami yang merupakan saudaranya."Doakan Mbak dan Kakakmu ya, Sarah.""Iya Mbak, tolong terima Kakakku apa adanya ya, semoga kalian bahagia."Resepsi pernikahan akan dilaksanakan hari ini juga setelah dua atau tiga jam akad nikah. Dua gaun indah berbentuk mermaid dengan ekor yang panjang telah dipersiapkan. Silvia juga hadir, ia terlihat bahagia saat melihat mantan kekasihnya mengucapkan ijab kabul meskipun dengan orang lain.Mbak Wati ta
(Pov Wati)Hari bahagiaku telah tiba. Ya, hari ini adalah hari bahagiaku bersama Dimas. Aku telah melewati masa-masa sulit tidur menjelang pernikahanku ini.Di sebuah gedung mewah pernikahan aku dan Dimas pun di langsungkan. Banyak tamu undangan yang hadir menjadi saksi kisah cinta kami berdua.Aku lihat Dimas, calon suamiku itu menitikkan air matanya ketika Sarah dan para bridesmaids menggandeng diriku menghampiri meja akad nikah. Dimana sudah ada seorang penghulu yang tengah duduk dengan manis disana dan ada dua orang saksi pernikahanku yang tidak ada satu pun dari mereka yang aku kenali."Sarah, apa Mbak sedang bermimpi? Jika iya, tolong bangunkan Mbak, Rah!" tanyaku pada Sarah yang tetap berjalan menggandeng tanganku.Aku begitu bahagia melihat dekorasi ballroom hotel yang begitu indah dengan hiasan berbagai jenis bunga-bunga yang indah. Bahagia dan terharu itulah yang bisa aku gambarkan tentang perasaanku hari ini."Tidak Mbak, kamu tidak sedang bermimpi. Lihatlah di sana ada Kak
Aku pun ikut memasukkan uang dan beberapa barang berhargaku dan Kevin ke dalam tas perampok itu."Ambil ini, tapi lepaskan kakakku!" tegasku sambil melemparkan tas itu ke atas kasur."Bagus, awas kalau kalian berani menyerang, akan aku tembak!" tegas orang itu.Ia berjalan mengendap menuju kasur sambil menodongkan senjata ke arah kami semua, saat tubuhnya membungkuk karena ingin meraih tas dan saat itulah Kevin menendang punggungnya."Aaarghh!" Ia mengerang lalu berbalik badan.Kukira ia akan menyerang Kevin tapi ternyata ia malah menyerang Mbak Wati karena saat perampok itu lengah ia mengambil tas itu."Sarah, ambil ini!" teriak Mbak Wati sambil melemparkan tas itu ke arahku.Namun, Mbak Wati kembali disandera dengan pistol yang mengarah ke kepalanya."Jangan sakiti dia!" teriak Kak Dimas dengan suara lantang."Kalau tidak mau dia kusakiti, cepat serahkan tas itu padaku kalau tidak dia akan mati sekarang!" tegas perampok itu.Berani sekali orang ini, mencoba merampok di rumah polisi
(Pov Sarah)"Eh, Silvia, ayo masuk." Aku tersenyum lalu menggandeng Siska masuk ke dalam rumah.Silvia ini merupakan mantan kekasih Kak Dimas, beberapa tahun silam Kak Dimas sempat berencana ingin melamarnya. Namun, ia ditolak oleh keluarga Silvia lantaran keadaan ekonomi Kak Dimas yang baru saja memulai karirnya.Orang tua Silvia takut jika anaknya menikah dengan Kak Dimas akan hidup susah, hingga akhirnya mereka menjodohkan Silvia dengan lelaki lain."Sejak kamu berpisah dengan Kak Dimas, kita belum bertemu lagi ya, Sil. Kamu apa kabar?" tanyaku."Aku baik, Sarah. Maaf kemarin aku nggak bisa datang di acara pernikahanmu, karena Papaku meninggal tepat di hari bahagiamu makanya aku nggak bisa datang.""Innalilahi wa innailaihi raji'un, aku turut berduka cita ya Sil. Memangnya Papa kamu sakit atau kenapa?" tanyaku."Iya Sar, Papaku meninggal karena serangan jantung setelah mendengar kabar jika aku sudah berpisah dengan mantan suamiku.""Oh, jadi kamu sudah bercerai? Pantas saja kamu ke
"Hah!"Dengan cepat aku menoleh, hingga kami saling bertatapan."Aku serius, Ti. Aku nggak bohong!" Ia menyakinkan lagi."Emm... Kamu pikir-pikir dulu aja deh, aku tuh nggak sebaik yang kamu lihat," jawabku."Percayalah Ti, aku sungguh-sungguh mencintai dan menyayangimu. Aku tidak peduli dengan masa lalumu seburuk apapun itu, karena bagiku masa lalu tetaplah masa lalu, tidak akan bisa menjadi masa depan," ucapnya lagi."Jangan pernah berpikir kamu tidak lagi pantas untuk dicintai. Kamu tidak sendiri, aku, mereka, dia, dan kita semua pernah melakukan kesalahan di masa lalu dan mereka berusaha bangkit kembali, karena masih banyak orang yang peduli dan men-support agar kita tidak terus-menerus terjabak dimasa lalu. Dan kamu pun bisa begitu!"Aku hanya tersenyum sungkan lalu membawa Adinda masuk ke dalam. Dadaku berdebar-debar dan pipi ini mulai menghangat, aku merasa tidak kuat jika harus terus menerus dipandang oleh Dimas.Didalam kamar aku merenung, pantaskah aku yang kotor ini menjadi
(Pov Wati)Suatu kebahagiaan saat aku bisa terlepas dari belenggu kejahatan Sulis, apalagi saat ini aku dipertemukan dengan keluarga yang begitu baik.Aku bahagia ketika melihat Sarah menikah dengan lelaki yang ia cintai, dan orang yang ia cintai itu memperlakukannya seperti Ratu.Namun, ditengah-tengah kebahagiaan mereka hati kecilku terasa kosong. Umurku sudah dewasa tetapi tidak seperti perempuan lainnya yang sudah berumah tangga.Adakalanya terbesit rasa iri ketika melihat wanita-wanita seusiaku atau dibawah umurku yang sudah memiliki suami dan mempunyai anak. Sementara aku masih sendiri disini menanti sang pangeran membawa kuda kelana untuk menjemput dan membawaku ke istana pelaminan. Namun sayang seribu sayang, pangeran yang aku nantikan tidak kunjung datang menjemput, semuanya masih sebatas angan dan harapan.Seburuk apapun aku dimasa lalu tentu saja aku sangat menginginkan sosok suami yang baik dan bisa membimbingku ke jalan yang benar."Ti, kamu nggak merasa bosan di rumah t