Saat sedang bersantai di teras rumah, kulihat Ibu sedang berjalan hendak keluar.
"Bu, Mbak Wati sedang tidak enak badan setelah kuajak jalan-jalan tadi pagi. Jadi biarkan dia istirahat dulu hari ini di kamarnya ya, Bu."Ibu tersenyum manis saat melihatku, tetapi entah mengapa aku jadi merinding melihat senyuman itu."Sakit apa dia, Rah?" tanya Ibu dengan santai."Tadi, Mbak Wati mual-mual gitu Bu. Kaya orang hamil tetapi Mbak Wati kan masih lajang, tidak punya suami ya. Mungkin cuma masuk angin saja Bu." jawabku tersenyum."Ya sudah, biar Ibu tengok dulu ke kamarnya ya. Kamu istirahat saja di kamar sana! Kamu pasti capek kan habis jalan diluar," Ibu menyentuh pundakku lalu beranjak menuju kamar Mbak Wati."Tunggu dulu, Bu!""Ada apa lagi Rah?" tanyanya sembari menghentikan langkah dan berbalik badan."Barusan diluar ada Ibu tua datang Bu, namanya Bu Yati. Tadi dia mencari anaknya, kata Ibu tadi anaknya kerja disini Bu, namanya Sari."Senyum Ibu perlahan memudar, lalu ia memalingkan wajahnya ke arah luar."Apa dia masih diluar, Rah?" tanya Ibu lagi."Sarah, tidak tahu Bu. Memangnya pekerja Ibu yang bernama Sari itu kemana Bu?" tanyaku dengan sangat hati-hati.Ibu langsung menatapku tajam, oh tuhan jangan sampai aku salah bertanya."Gadis itu sudah mengundurkan diri setelah ketahuan mencuri di rumah ini,"Bukankah Mbak Wati bilang jika Sari pulang kampung karena melahirkan. Tetapi kenapa Ibu berkata demikian? Kenapa Ibu dan keluarganya selalu bertingkah aneh seperti ini.Tanpa berkata-kata lagi Ibu melangkah ke luar gerbang. Aku masuk ke kamar dan mendapati Mas Rama sedang tertidur pulas. Mungkin ia kelelahan karena semalaman pasti ia tidak tidur sama sekali.Aku mengintip keluar dari jendela kamar. Setelah satu jam Ibu baru masuk kembali kedalam rumah. Terdengar suara langkah kakinya yang lewat di depan kamarku.Aku membuka pintu perlahan, mengikuti Ibu yang menuju kamar Mbak Wati dengan segera aku bersembunyi dibalik dinding. Ibu pun masuk kekamar pembantunya itu."Bagaimana keadaanmu sekarang?" terdengar suara Ibu ketus.Tetapi aku tak bisa mendengar suara Mbak Wati mungkin karena perempuan itu selalu berbicara pelan."Ini bukan pertama kalinya buatmu, Wati. Jadi kamu tak usah manja apalagi sampai memanfaatkan menantu saya untuk bermalas-malasan."Mulutku menganga mendengar ucapan Ibu. Itu artinya, Mbak Wati sudah pernah hamil sebelumnya. Lalu dimana anaknya sekarang?Kenapa semakin kesini makin banyak sekali teka teki yang membuatku pusing?"Bagus. Jagalah bayi yang ada dalam kandunganmu itu dengan baik hingga dia lahir kedunia. Saya tidak mau dia terlahir cacat,"Aku semakin tak mengerti dengan ucapan Ibu. Dengan segera aku menuju meja dapur, sembari mencerna ucapan Ibu barusan.Untuk apa Ibu mengharapkan anak yang dikandung Mbak Wati? Bukankah ia akan memiliki seorang cucu dariku?Seketika aku teringat kembali teriakan wanita dan bayi yang menangis dari dalam gudang itu. Jika wanita itu sudah meninggal, lalu dimana bayi itu sekarang?Pasti ada rahasia besar yang disembunyikan suamiku dan keluarganya, dibalik tingkah laku mereka yang begitu aneh. Bagaimanapun caranya aku harus mengetahui rahasia mereka?Aku duduk dimeja makan menikmati jajanan yang dibeli di warung tadi, setelah itu kulihat Ibu keluar dari kamar Mbak Wati diikuti dengan Mbak Wati yang keluar dari kamarnya menuju dapur."Kamu sudah dari tadi, Rah?" tanya Ibu padaku sedikit terkejut mungkin karena Ibu takut aku mendengar pembicaraannya dengan Mbak Wati tadi."Baru saja kok Bu." jawabku berbohong."Oh, ya sudah kalau gitu. Ibu keatas dulu ya Rah, Ibu masih banyak kerjaan," ucap Ibu lalu beranjak naik ke atas menuju kamarnya."Kok gak istirahat, Mbak?" tanyaku pada Mbak Wati."Saya sudah baikan kok, Non." jawabnya lalu masuk menuju ke ruangan khusus menyetrika.Kuteguk air putih dingin didepanku hingga tandas dan menyusul Mbak Wati ke ruangan menyetrika."Ehh, ada apa Non? Butuh sesuatu?" tanya Mbak Wati."Mbak Wati sebenarnya lagi hamil kan?"Mbak Wati terkejut dengan pertanyaanku. Kemudian ia menghindari tatapan mataku."Aku sudah lihat loh, testpack yang diatas meja Mbak itu."Mbak Wati menoleh ke kanan dan ke kiri, ia terlihat sangat gugup."Siapa ayah dari bayi itu Mbak? Kata Mas Rama mbak masih lajang? Berarti Mbak belum punya suami kan?"Hening. Mbak Wati hanya diam tertunduk lesu. Dan aku hanya memperhatikan Mbak Wati yang tertunduk, entah apa yang sedang ia pikirkan."Mbak, ayolah tatap wajahku dan ceritakan apa yang terjadi? Jangan samakan aku dengan Ibu ketika kita sedang berbicara!"Mbak Wati menghirup nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan. Lalu ia menatapku datar."Sebenarnya saya dengan Nona itu sama, hanya saja nasib yang membedakan kita," jawabnya dengan tatapan sendu.Setelah itu ia berbalik badan dan melanjutkan pekerjaannya, tetapi Aku hanya diam memikirkan apa maksud dari ucapannya barusan."Maksud mu apa Mbak? Nasib apa yang membedakan kita? Kalau bicara yang jelas dong!" ucapku sedikit membentak.Mbak Wati tak menjawab, Ia tetap berkutat dengan pekerjaannya tanpa menoleh sedikit pun kearahku.Aku merasa kesal lalu pergi meninggalkannya tanpa bicara lagi. Aku keluar melalui pintu belakang, lalu duduk bersandar disebuah kursi kayu sambil menikmati angin yang berhembus menerpa wajah.Entah apa maksud dari ucapan Mbak Wati, mengapa bisa dia mengatakan kalau kita ini sama, dan hanya nasib saja yang membedakan kita? Apa mungkin kita dihamili oleh laki-laki yang sama?Entahlah terlalu banyak berfikir membuat pikiranku menjadi kacau.Cukup lama aku aku merenung, lalu kembali masuk kedalam. Di ruang tamu kulihat Mas Rama yang sedang bersiap hendak pergi lagi."Aku mau ke perkebunan dulu ya sayang."Aku hanya mengangguk, padahal biasanya aku tak ingin ditinggal sendiri olehnya. Tetapi sekarang rasanya mendadak biasa saja."Kamu tenang saja ya sayang, sebelum maghrib Mas sudah sampai rumah kok," ucapnya lagi sambil mengelus perutku."Iya, Mas."Mas Rama mengecup keningku sebelum ia beranjak pergi. Seharusnya aku bahagia dengan perlakuan manisnya, tetapi mengapa sekarang rasanya ada sesuatu yang mengganjal?Kulangkahkan kaki menuju kamar lalu menguncinya dari dalam. Kubuka lemari besar milik Mas Rama.Semoga saja aku bisa menemukan bukti-bukti yang bisa kugunakan untuk memecahkan misteri keluarga ini.--Kupandangi isi lemari itu, isinya hanya pakaian milik Mas Rama dan pada laci bagian bawah terdapat beberapa tumpukan kertas serta dokumen-dokumen penting miliknya.Dengan perlahan aku berjongkok mencari sesuatu di antara tumpukan kertas itu, semoga saja aku bisa menemukan bukti yang bisa kugunakan untuk memecahkan teka-teki misteri keluarga ini.Tak ada yang mencurigakan, hanya saja aku menemukan desain bangunan rumah ini. Aku mengamati gambar itu, terdapat ruangan bawah tanah tepatnya berada dibelakang rumah ini dan pintunya ada di dalam gudang. Pantas saja, waktu itu aku mendengar suara teriakan wanita dan sebuah pukulan. Dan setelah kucari tak kunjung menemukannya, bisa jadi asal suara itu dari dalam ruangan bawah ini.Sebenarnya untuk apa ruangan bawah tanah ini, ya?Aku menata dan memasukkan kembali berkas-berkas itu dengan rapi, kedalam laci lemari. Pandanganku beredar disekeliling kamar ini, banyak sekali lemari besar serta laci-laci milikku dan Mas Rama. "Non Sarah."Panggil
Sejak pukul tiga pagi aku sudah bangun. Beberapa saat kemudian, terdengar suara langkah kaki yang berjalan kearah kamarku. Handle pintu pun terlihat diputar, saat itu juga aku langsung pura-pura tertidur. Entah siapa itu yang hendak masuk kedalam kamarku. Aku tidak tahu siapa yang membuka pintu kamarku itu, tak lama kemudian terdengar suara pintu ditutup kembali.Aku mengerjapkan mata, jangan-jangan itu Ibu yang memastikan aku masih tidur atau tidak, suara langkah kaki itu terdengar menuju ke arah dapur dan sepertinya suara itu masuk ke dalam gudang.Dapur dan gudang memang berdekatan, jadi untuk ketempat itu maka harus melewati kamarku terlebih dahulu. Dilantai bawah ini hanya ada dua kamar, yaitu kamarku dan kamar tamu. Sebenarnya aku ingin menempati kamar diatas yang luas, akan tetapi Ibu melarangku karena kandunganku yang sudah membesar. Katanya Ibu takut aku terjatuh saat menuruni tangga.Perlahan aku membuka pintu kamar dan diam-diam berjalan melangkahkan kaki kearah belakang. A
Pukul lima sore, perutku mendadak mulas. Tetapi aku bingung harus menelepon Mas Rama sekarang atau nanti."Mbak...Mbak Wati..!!" teriakku memanggil Mbak Wati.Dengan tergesa-gesa Mbak Wati masuk kedalam kamarku yang tak kututup."Mbak, ini perutku rasanya mulas kaya mau datang bulan gitu. Apa ini tanda-tanda mau melahirkan ya, Mbak?" tanyaku pada Mbak Wati."Iya Non. Tapi masih lama kalau baru mulas sepeti itu," jawabnya."Mbak, tolong temani saya disini ya. Sebaiknya saya telepon Mas Rama sekarang atau nanti ya, Mbak?""Baik Non. Mungkin nanti saja Non, kalau sudah benar-benar mulas," jawab Mbak Wati sembari duduk disebuah karpet lantai.Semakin malam rasa mulasku semakin kuat, rasanya perut bagian bawahku seperti ditekan dengan kuat dan rasanya pun juga hilang, timbul."Mbak, tolong ambilkan ponsel saya," titahku sambil menahan sakit.Dengan sigap Mbak Wati mengambil ponsel dimeja rias dan menyerahkannya padaku. Segera kuhubungi Mas Rama dan terhubung."Halo..Mas.""Ada apa, sayang?
"Mas anak kita kenapa? Tadi dia sehat, sangat jelas kudengar dia menangis kencang?" teriakku pada Mas Rama sembari menangis.Aku sangat yakin jika bayiku terlahir sehat, saat aku mengalami kontraksi pun ia masih sempat menendang perutku dengan kuat. "Sepertinya bayi Nona, mengalami kebocoran jantung bawaan. Yang sabar ya, Non." ucap Mak Ijah.Beraninya ia berkata seperti itu, memangnya dia siapa dan bisa apa?"Tutup mulutmu! Jangan mengada-ada kamu ya! Kamu itu bukan dokter jadi gak usah sok tahu!" bentakku sembari menatapnya nyalang."Aku sudah bilang untuk melahirkan di rumah sakit, tapi kenapa kalian melarangku, hah? Jika aku melahirkan di rumah sakit, anakku akan langsung ditangani oleh ahlinya dan pasti sekarang ia bisa selamat," ucapku menatap Mas Rama dan Ibu."Kembalikan nyawa anakku! Kembalikan!!" teriakku dengan lantang.Mas Rama memelukku dengan erat, berusaha untuk menenangkan ku. Kini kulihat wajah Ibu yang menatapku penuh benci, mengapa ia sudah tak bersikap manis sepert
Apalagi aku melahirkan dibantu Mak Ijah seorang paraji di desa ini, kenapa ia tidak bicara pada para warga jika Bu Sulis orang paling kaya di desa ini sedang mendapat musibah?"Iya juga ya, ini sangat aneh. Apa jangan-jangan bayimu dijadikan tumbal lagi sama keluarga ini," ucap Mama.Aku langsung menoleh cepat. "Masa iya sih, Ma?"Aku merasa tak percaya, selama tinggal disini Aku tak merasakan kecurigaan yang mengarah ke hal mistis, justru malah banyak misteri yang belum terpecahkan olehku."Bisa saja kan Rah. Apalagi mertuamu kaya raya seperti ini,""Jangan nuduh yang tak ada bukti seperti itu, Ma. Begini, selama kamu tinggal disini apa ada hal yang mencurigakan Rah? Misal ada yang mengarah ke hal-hal mistis?" tanya Kak Dimas.Aku pun menceritakan semua kejadian yang kualami dirumah ini. Dari suara tangisan bayi hingga pembantu termasuk Mbak Wati yang hamil tanpa suami.Kak Dimas tampak berpikir keras."Pasti ini ada sesuatu, bukan hal mistis tetapi ini sebuah kejahatan kriminal besa
Aku meyibak kain kafan itu dengan sempurna, tak salah lagi yang kugendong ini bukanlah jenazah bayiku melainkan hanya sebuah boneka.Ingin sekali rasanya ku berteriak didepan semua orang dan memaki mereka yang telah mengelabuhi ku saat itu.Ku hapus air mata yang membasahi pipi dengan tatapan garang, lalu ku lempar boneka itu ke sembarang arah. Ini pasti ulah Ibu, tetapi apakah Mas Rama ikut ambil andil dalam dalam masalah ini? Atau ia hanya menjadi korban sehingga ia tak berani melawan dan berbuat apa-apa?Jika yang terkubur ditempat ini bukan anakku, lantas bayi yang kulahirkan saat itu sekarang ada dimana?Ya Allah, aku tidak tahan dengan misteri ini. Emosiku semakin memuncak membuat darahku rasanya memanas. Dengan nafas yang tak beraturan aku mencoba mengurai kembali kewarasan yang semula berantakan. Aku harus berusaha menata pikiran dan hati agar aku bisa berpikir dengan jernih.Aku rasa kejadian ini ada sangkut pautnya dengan rahasia besar Mas Rama dan keluarganya. Aku harus bi
"Ini pasti ulah Ibu kan, Mbak?" tanyaku dengan tatapan tajam."Iya Non. Saya harap Nona bisa main cantik dan jangan berontak. Karena kalau Nona berontak nasib Nona akan dalam bahaya bisa jadi akan bernasib sama seperti Sari," ucap Mbak Wati.Sekarang aku paham, jika ingin melawan mereka jangan menggunakan tenaga dan amarah. Tetapi aku harus bermain cantik dengan pikiran jernih. Aku harus menjadi serigala berbulu domba, walaupun diluarnya terlihat bodoh tetapi didalamnya sangat berbahaya."Iya Mbak. Saya paham sekarang," ucapku tersenyum sinis."Bagus, Nona harus bermain cantik, berusahalah untuk tetap tenang dan jangan gegabah," bisiknya lagi.Selama ini Mbak Wati selalu bungkam dan hanya memberikan kode-kode saja padaku, ternyata ia ingin aku faham tanpa harus dijelaskan tentang keluarga ini dan cara melawannya. "Sekarang kembalilah ke kamar, Nona. Jika ada kesempatan, saya akan memperlihatkan sesuatu pada Nona," ucap Mbak Wati.Meskipun penasaran aku hanya bisa menganggukkan kepal
Tak hanya ada beberapa wanita yang seperti dipenjara, tetapi didalam sana juga ada banyak perabotan-perabotan yang sudah usang. Mungkinkah mereka sudah lama berada di bawah sana?Kini aku bangkit lalu menatap Mbak Wati dengan penuh tanda tanya? Siapakah mereka? Dan Mengapa mereka bisa ada didalam sana?"Bagaimana Nona, apa sudah terlihat dengan jelas?" tanya Mbak Wati.Aku menganggukkan kepala, tidak mungkin aku bisa berbicara panjang lebar dengan Mbak Wati disini. Bisa saja ada pengawal Ibu yang datang dan mencurigai kami. "Baguslah, kalau begitu. Sekarang kita masuk lagi kedalam rumah sebelum ada orang lain yang memergoki kita, Nona."Mbak Wati kembali menutup lubang itu lalu kami kembali masuk kedalam. Aku duduk dimeja makan sembari berpikir."Mau minum apa Nona, biar saya buatkan?" tanya Mbak Wati."Buatkan aku teh saja, Mbak?" Dengan segera wanita itu menyeduh segelas teh lalu meletakkannya dihadapanku."Siapa mereka, Mbak?" tanyaku menatap lurus, sementara Mbak Wati berdiri di