Share

Bab 9 Apa Maksud Ucapan Mbak Wati?

Saat sedang bersantai di teras rumah, kulihat Ibu sedang berjalan hendak keluar.

"Bu, Mbak Wati sedang tidak enak badan setelah kuajak jalan-jalan tadi pagi. Jadi biarkan dia istirahat dulu hari ini di kamarnya ya, Bu."

Ibu tersenyum manis saat melihatku, tetapi entah mengapa aku jadi merinding melihat senyuman itu.

"Sakit apa dia, Rah?" tanya Ibu dengan santai.

"Tadi, Mbak Wati mual-mual gitu Bu. Kaya orang hamil tetapi Mbak Wati kan masih lajang, tidak punya suami ya. Mungkin cuma masuk angin saja Bu." jawabku tersenyum.

"Ya sudah, biar Ibu tengok dulu ke kamarnya ya. Kamu istirahat saja di kamar sana! Kamu pasti capek kan habis jalan diluar," Ibu menyentuh pundakku lalu beranjak menuju kamar Mbak Wati.

"Tunggu dulu, Bu!"

"Ada apa lagi Rah?" tanyanya sembari menghentikan langkah dan berbalik badan.

"Barusan diluar ada Ibu tua datang Bu, namanya Bu Yati. Tadi dia mencari anaknya, kata Ibu tadi anaknya kerja disini Bu, namanya Sari."

Senyum Ibu perlahan memudar, lalu ia memalingkan wajahnya ke arah luar.

"Apa dia masih diluar, Rah?" tanya Ibu lagi.

"Sarah, tidak tahu Bu. Memangnya pekerja Ibu yang bernama Sari itu kemana Bu?" tanyaku dengan sangat hati-hati.

Ibu langsung menatapku tajam, oh tuhan jangan sampai aku salah bertanya.

"Gadis itu sudah mengundurkan diri setelah ketahuan mencuri di rumah ini,"

Bukankah Mbak Wati bilang jika Sari pulang kampung karena melahirkan. Tetapi kenapa Ibu berkata demikian? Kenapa Ibu dan keluarganya selalu bertingkah aneh seperti ini.

Tanpa berkata-kata lagi Ibu melangkah ke luar gerbang. Aku masuk ke kamar dan mendapati Mas Rama sedang tertidur pulas. Mungkin ia kelelahan karena semalaman pasti ia tidak tidur sama sekali.

Aku mengintip keluar dari jendela kamar. Setelah satu jam Ibu baru masuk kembali kedalam rumah. Terdengar suara langkah kakinya yang lewat di depan kamarku.

Aku membuka pintu perlahan, mengikuti Ibu yang menuju kamar Mbak Wati dengan segera aku bersembunyi dibalik dinding. Ibu pun masuk kekamar pembantunya itu.

"Bagaimana keadaanmu sekarang?" terdengar suara Ibu ketus.

Tetapi aku tak bisa mendengar suara Mbak Wati mungkin karena perempuan itu selalu berbicara pelan.

"Ini bukan pertama kalinya buatmu, Wati. Jadi kamu tak usah manja apalagi sampai memanfaatkan menantu saya untuk bermalas-malasan."

Mulutku menganga mendengar ucapan Ibu. Itu artinya, Mbak Wati sudah pernah hamil sebelumnya. Lalu dimana anaknya sekarang?

Kenapa semakin kesini makin banyak sekali teka teki yang membuatku pusing?

"Bagus. Jagalah bayi yang ada dalam kandunganmu itu dengan baik hingga dia lahir kedunia. Saya tidak mau dia terlahir cacat,"

Aku semakin tak mengerti dengan ucapan Ibu. Dengan segera aku menuju meja dapur, sembari mencerna ucapan Ibu barusan.

Untuk apa Ibu mengharapkan anak yang dikandung Mbak Wati? Bukankah ia akan memiliki seorang cucu dariku?

Seketika aku teringat kembali teriakan wanita dan bayi yang menangis dari dalam gudang itu. Jika wanita itu sudah meninggal, lalu dimana bayi itu sekarang?

Pasti ada rahasia besar yang disembunyikan suamiku dan keluarganya, dibalik tingkah laku mereka yang begitu aneh. Bagaimanapun caranya aku harus mengetahui rahasia mereka?

Aku duduk dimeja makan menikmati jajanan yang dibeli di warung tadi, setelah itu kulihat Ibu keluar dari kamar Mbak Wati diikuti dengan Mbak Wati yang keluar dari kamarnya menuju dapur.

"Kamu sudah dari tadi, Rah?" tanya Ibu padaku sedikit terkejut mungkin karena Ibu takut aku mendengar pembicaraannya dengan Mbak Wati tadi.

"Baru saja kok Bu." jawabku berbohong.

"Oh, ya sudah kalau gitu. Ibu keatas dulu ya Rah, Ibu masih banyak kerjaan," ucap Ibu lalu beranjak naik ke atas menuju kamarnya.

"Kok gak istirahat, Mbak?" tanyaku pada Mbak Wati.

"Saya sudah baikan kok, Non." jawabnya lalu masuk menuju ke ruangan khusus menyetrika.

Kuteguk air putih dingin didepanku hingga tandas dan menyusul Mbak Wati ke ruangan menyetrika.

"Ehh, ada apa Non? Butuh sesuatu?" tanya Mbak Wati.

"Mbak Wati sebenarnya lagi hamil kan?"

Mbak Wati terkejut dengan pertanyaanku. Kemudian ia menghindari tatapan mataku.

"Aku sudah lihat loh, testpack yang diatas meja Mbak itu."

Mbak Wati menoleh ke kanan dan ke kiri, ia terlihat sangat gugup.

"Siapa ayah dari bayi itu Mbak? Kata Mas Rama mbak masih lajang? Berarti Mbak belum punya suami kan?"

Hening. Mbak Wati hanya diam tertunduk lesu. Dan aku hanya memperhatikan Mbak Wati yang tertunduk, entah apa yang sedang ia pikirkan.

"Mbak, ayolah tatap wajahku dan ceritakan apa yang terjadi? Jangan samakan aku dengan Ibu ketika kita sedang berbicara!"

Mbak Wati menghirup nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan. Lalu ia menatapku datar.

"Sebenarnya saya dengan Nona itu sama, hanya saja nasib yang membedakan kita," jawabnya dengan tatapan sendu.

Setelah itu ia berbalik badan dan melanjutkan pekerjaannya, tetapi Aku hanya diam memikirkan apa maksud dari ucapannya barusan.

"Maksud mu apa Mbak? Nasib apa yang membedakan kita? Kalau bicara yang jelas dong!" ucapku sedikit membentak.

Mbak Wati tak menjawab, Ia tetap berkutat dengan pekerjaannya tanpa menoleh sedikit pun kearahku.

Aku merasa kesal lalu pergi meninggalkannya tanpa bicara lagi. Aku keluar melalui pintu belakang, lalu duduk bersandar disebuah kursi kayu sambil menikmati angin yang berhembus menerpa wajah.

Entah apa maksud dari ucapan Mbak Wati, mengapa bisa dia mengatakan kalau kita ini sama, dan hanya nasib saja yang membedakan kita? Apa mungkin kita dihamili oleh laki-laki yang sama?

Entahlah terlalu banyak berfikir membuat pikiranku menjadi kacau.

Cukup lama aku aku merenung, lalu kembali masuk kedalam. Di ruang tamu kulihat Mas Rama yang sedang bersiap hendak pergi lagi.

"Aku mau ke perkebunan dulu ya sayang."

Aku hanya mengangguk, padahal biasanya aku tak ingin ditinggal sendiri olehnya. Tetapi sekarang rasanya mendadak biasa saja.

"Kamu tenang saja ya sayang, sebelum maghrib Mas sudah sampai rumah kok," ucapnya lagi sambil mengelus perutku.

"Iya, Mas."

Mas Rama mengecup keningku sebelum ia beranjak pergi. Seharusnya aku bahagia dengan perlakuan manisnya, tetapi mengapa sekarang rasanya ada sesuatu yang mengganjal?

Kulangkahkan kaki menuju kamar lalu menguncinya dari dalam. Kubuka lemari besar milik Mas Rama.

Semoga saja aku bisa menemukan bukti-bukti yang bisa kugunakan untuk memecahkan misteri keluarga ini.

--

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Eka Herawati
ceritanya bagus...sayng bayar
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status