Share

Bab 8 Hamil Tanpa Suami

Aku menatap Ibu-ibu tadi dengan penuh tanya. Apa Mbak Wati tahu sesuatu soal ini?

"Emm...maaf Bu. Saya tidak tahu. Saya permisi!"

Mbak Wati pun berjalan lebih dulu meninggalkanku.

Padahal tadi ia tak berani mendahului langkahku, aneh sekali gelagatnya. Setelah mendapat beberapa pertanyaan dari Ibu-ibu tadi, Ia tampak ketakutan seperti sedang berusaha menyembunyikan sesuatu.

Setelah jauh dari warung Ia pun menghentikan langkah, dan menungguku yang tertinggal.

"Mari, Non. Saya pegangin, saya takut Nona terpeleset,"

Mbak Wati kembali menuntun jalanku.

"Mbak, saat nyuci baju tadi pagi, kamu sempet bilang 'dia sudah meninggal'. Memangnya siapa Mbak yang meninggal?" tanyaku.

"Iya Non. Dia, wanita yang berteriak tadi malam. Dia sudah meninggal," jawabnya begitu pelan tetapi aku masih bisa mendengarnya.

"Bagaimana bisa, Mbak? Apa ada orang yang membunuhnya?" tanyaku.

Aku berbicara sembari menatap ke perkebunan, agar seseorang yang mengawasi kami tak menaruh curiga pada gerak-gerikku ataupun Mbak Wati.

"Iya, Nona. Beberapa orang suruhan Nyonya sudah membunuhnya."

"Apa? Kenapa mereka membunuh wanita itu, Mbak?" tanyaku terkejut sekaligus penasaran.

Mbak Wati malah menggelengkan kepalanya tanpa menoleh kearahku.

"Sudahlah Nona, itu tak penting untukmu. Sekarang yang terpenting jaga keselamatan diri Nona sendiri,"

Kami telah sampai di jalan yang beraspal, dan Mbak Wati kembali berjalan dibelakangku.

"Jadi, maksudmu aku sedang dalam bahaya, Mbak?" tanyaku tanpa menoleh.

Namun, Mbak Wati hanya diam tak menjawab pertanyaanku. Hingga kami sampai di depan gerbang rumah Ibu.

"Ti...Wati."

Seorang Ibu tua menghampiri kami, wajahnya terlihat sedikit panik dan khawatir.

"Emm...Bu Yati."

"Ti, Ibu mau ketemu Sari, apa dia ada didalam? Dia sudah lima bulan tak pulang dan tak ada kabar sama sekali. Bisa minta tolong panggilkan Sari keluar? Ada yang ingin Ibu bicarakan dengannya, ini penting!" ucap seorang Ibu bernama Yati itu.

Raut wajah Mbak Wati tampak kebingungan, ia seperti berusaha menghindar dari tatapan Ibu tua itu.

"Kamu jangan diam saja, Ti! Tolong panggilkan Sari keluar, Ibu cuma mau bicara sebentar saja kok,"

"Emmm...." Mbak Wati terlihat ragu ketika akan bicara.

"Kenapa, Ti? Sari lagi sibuk kerja ya didalam?" tanya Bu Yati lagi.

Padahal pekerja wanita di rumah ini hanya ada Mbak Wati sekarang, aku tak mengetahui atau mengenal sama sekali pekerja Ibu yang bernama Sari.

Ketika tinggal di kota, Aku dan Mas Rama jarang mengunjungi Ibu. Sekalinya kemari pun aku jarang berinteraksi dengan para pekerja.

"Emm...maaf Bu. Sari sudah tidak bekerja disini lagi. Dua minggu yang lalu ia pamit pulang sama Nyonya." jawab Mbak Wati.

"Pulang, Ti? Tapi Sari pulang kemana Ti? Dia gak ada pulang ke rumah?" Bu Yati tampak panik.

"Saya tidak tahu Bu. Saya masih ada kerjaan didalam, saya masuk dulu ya,"

"Ya Allah, Sari pulang kemana Ti? Ibu harus cari Sari dimana? Tolong bantu Ibu cari ya, kamu bisa kan?" Bu Yati menangis sembari menatap Mbak Wati sambil memegang tangannya.

"Baik, Bu. Wati akan bantu cari. Tapi sekarang saya ada banyak kerjaan didalam. Biarkan saya masuk dulu, ya Bu." jawab Mbak Wati melepas cekalan Bu Yati.

"Permisi, Bu."

Lalu kami masuk kedalam, saat menengok kebelakang kulihat Bu Yati masih berdiri diluar memandangi kami dengan berlinang air mata.

"Mbak, apakah Sari itu asisten rumah tangga di rumah ini yang kata Ibu-ibu tadi sedang hamil?"

"Iya, itu Non."

Apa lagi ini? Kenapa aku merasa jika pembantu bernama Sari itu tidak baik-baik saja? Apa jangan-jangan wanita yang dibawa semalam itu adalah Sari? Dan bayi yang tempo hari kudengar menangis itu adalah bayinya.

Jika memang benar wanita itu Sari dan bayinya, lantas kenapa Ibu dan Mas Rama membunuhnya?

Aku yakin jika yang membunuh wanita itu adalah Ibu, Mas Rama, dan Bang Reza. Apalagi setelah kutemukan baju Mas Rama yang berlumuran darah itu ditempat cucian.

Tetapi apa motif mereka membunuh pembantunya sendiri?

Hoek...!

Hoek...!

Huekkk...!!

"Mbak, kamu kenapa mual-mual gitu? Masuk angin?" tanyaku memegang lengan Mbak Wati.

Wajahnya terlihat pucat, beberapa kali ia menutup mulutnya, agar tak muntah didepanku.

"Tidak apa-apa Non. Saya masuk dulu,"

Mbak Wati berlari kencang menuju dapur dan memuntahkan isi perutnya di wastafel. Karena sudah menemani ku jalan-jalan pagi ini, aku menghampirinya.

Akupun segera mengambil air hangat dan memberikannya pada Mbak Wati.

"Aku kerokin ya Mbak,"

Ia hanya menggelengkan kepalanya.

"Terimakasih Non." ucapnya dengan wajah pucat.

"Ayo, Mbak saya antar ke kamar. Mbak istirahat dulu ya. Nanti biar saya saja yang bilang ke Ibu kalau Mbak sedang tidak enak badan,"

Kali ini Mbak Wati tak menolak bantuanku.

Dengan segera ku baringkan Mbak Wati di atas ranjang dan menutup tubuhnya dengan selimut. Saat hendak berbalik badan untuk keluar aku melihat alat tes kehamilan diatas nakas di kamar Mbak Wati dan alat tes kehamilan itu menunjukkan garis dua yang artinya positif.

Aku terhenyak, apakah mungkin Mbak Wati mual-mual karena hamil?

Aku tak ingin banyak bertanya, dengan segera aku keluar dan masuk kedalam kamar. Kebetulan sekali Mas Rama ada didalam sedang bermain ponsel.

"Kamu sudah pulang, sayang?" tanya Mas Rama.

"Sudah Mas. Mas, Mbak Wati itu udah punya suami atau masih gadis ya?"

"Setahu Mas sih. Dia masih lajang, belum punya suami. Nggak tahu juga dia masih gadis atau sudah janda." jawabnya terkekeh.

Jika Mbak Wati tak memiliki suami, lalu kenapa dia bisa hamil? Dan ternyata bukan cuma Sari yang hamil tanpa suami tetapi Mbak Wati pun juga mengalaminya.

Bagaimana bisa dua pembantu di rumah ini hamil tanpa suami? Apa mungkin Mbak Wati juga akan mengalami nasib yang sama dengan Sari? Ahh... aku tidak boleh berburuk sangka seperti ini.

--

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status