"Kamu kerja dimana Jar? Mas baru tahu kalau kamu sudah kerja." Mas Bintang bertanya pada Fajar seraya mengusap punggung tanganku.
"Belum kerja sih, masih bantu-bantu saja, yah ... kayak magang gitu. Sekalian belajar langsung sama ahlinya," jawab Fajar tersenyum sambil melirik ke arah Mas Daffa.
"Oh ...." Mas Bintang masih menatap Mas Daffa dengan tajam. Kenapa tatapannya mengisyaratkan sesuatu. Apa Mas Bintang mengenal Mas Daffa? Atau ... Ya Tuhan, jangan sampai Mas Bintang tahu kalau Mas Daffa lah orang yang mengirimkan fotonya itu ke ponselku.
"Padahal kalau kamu mau kerja bisa coba di tempat Mas loh? Mungkin Mas bisa carikan yang cocok sama kamu."
"Ya nggak mungkin Mas, bidang pekerjaannya tidak sesuai dengan jurusan yang Fajar ambil. Lagian mana mau kantor Mas menerima seorang mahasiswa yang belum mempunyai gela
"Sudah hampir Maghrib. Lebih baik kami pulang dulu Kak," ucap Fajar pamit kepadaku."Memangnya kalian langsung pulang ke--""Pulang ke hotel Kak, kita disini dua hari. Jadi nginap disana," sela Fajar memberitahu."Loh, kenapa nggak nginap disini saja? 'kan masih ada satu kamar kosong yang biasa kamu tempati kalau nginap disini Jar? Sekalian kita makan malam bersama," imbuh Ibu menawari Fajar agar bermalam di rumah ini."Nggak usah Bu, nggak enak. Lagian saya bawa Mas Daffa. Kebetulan juga hotel tempat kami menginap dekat sama tempat janjian meeting sama klien nantinya." Fajar menolak tawaran Ibu dengan sopan."Oh ... Gitu. Terserah Nak Fajar saja. Ngomong-ngomong Nak Daffa, Ibu lihat kamu masih muda, sudah menikah?" tanya Ibu kepada Mas Daffa. Sepertinya Ibu penasaran dengan
"Kamu dulu punya hubungan dekat dengannya 'kan?" imbuhnya lagi. Mulutku menganga mendengarnya. aku mencoba menekan salivaku. "Maksud Ibu?" ulangku mempertanyakan kembali pertanyaannya."Aku tidak sembarangan menjadikan seseorang sebagai menantuku. Bintang anakku satu-satunya, tentu saja aku akan memberikan yang terbaik untuknya. Aku pasti menyelidiki terlebih dahulu tentang siapa dirimu Ya. Fakta yang kudapat dulu ternyata kamu hampir saja menikah dengannya," jelas Ibu dengan seringai senyum yang menakutkan.Aku terdiam, bingung harus menjawab apa. Bibirku tiba-tiba kelu seketika. Informasi yang Ibu dapat itu memang benar. Jika saja Ibu tidak datang dan menceritakan tentang janji perjodohan tersebut, mungkin sekarang aku bukan istri Mas Bintang, melainkan istrinya Daffa. Hubunganku terpaksa kandas karena janji itu. Ingin aku menolaknya, tapi ketakutanku lebih besar mengi
Lagi asyik melihat timeline postingan teman di Efbe, ada satu pesan inbox masuk terlihat olehku. Langsung kubuka saja, karena penasaran.[Bisa ketemu?] Mataku terbelalak membaca pesan tersebut. Dari Salma.Bertemu? Untuk apa? Kurang kerjaan nih orang. Aku mencibir sendiri.[Aku tahu kamu sudah membaca pesan ini, kita harus ketemu.] Menghela nafas panjang, lalu kuhembuskan pelan. Mungkin dia tahu kalau sekarang akunku sedang aktif. Malas, tidak kubalas.[Ada yang harus kita bicarakan.][Penting.] masih belum kubalas.[Ini tentang suami kita.] Wow ... Aku speechless. 'Suami kita', kata baru yang ajaib bagiku. Tidak, tidak usah kubalas, tidak penting. Ngapain bertemu, terus yang dibahas 'suami kita', oh Tuhan ... Aku tidak ing
"Bu, hari ini Aya mau ke supermarket beli perlengkapan dan stok bahan makanan. Ada yang mau dititip?" ujarku bertanya kepada Ibu."Ehm ... Nggak ada Ya. Perlengkapan bahan dapur kita memangnya sudah habis?""Iya Bu," jawabku sambil menyendok nasi ke mulut. Kami sedang sarapan pagi."Mas temani, Ya?" tawar Mas Bintang. Refleks aku menoleh ke arahnya. Tumben. Kupikir dia akan menemui keluarga bahagianya tersebut karena Salma mengirim banyak pesan malam tadi minta ditemui. Eh, tidak. Aku lupa. Pesan Salma telah kuhapus. Tentu saja Mas Bintang tidak tahu pesan itu."Mas 'kan kerja, tidak perlu. Biasa juga Aya pergi sendiri," jawabku sesantai mungkin. Ibu dan Mas Bintang mendadak berhenti menyendok makanan di piring mereka dan menatapku bersamaan."Aya kok ngomongnya begitu?
Aku duduk berhadapan dengan wanita yang merupakan istri 'suamiku' ini di food court di dalam mall. Kami saling tatap dan mungkin sama-sama saling mengamati penampilan satu sama lain.Cantik. Itu kesan pertama yang kulihat saat pertama bertemu dengannya.Wajah putih mulus, hidung mancung, mata indah yang dihiasi dengan bulu mata lentik, dan dengan rambut brondenya yang bergaya soft Bangs panjang sebahu menambah kecantikannya. Elegan, dres yang dipakainya pun cocok sekali dengan bentuk tubuhnya. Dandanannya sudah mirip seperti para wanita sosialita kelas atas.Sepertinya dia habis belanja. Sepagi ini? Luar biasa rutinitasnya. Berbanding jauh denganku. Aku dapat melihat tiga buah paper bag dengan nama brand berbeda yang kutahu adalah merk terkenal dan mahal. Wow ... Berapa duit yang dia habiskan? Dia juga sangat pandai merawat tubuh. Pantas Mas Bintang ti
Cahaya! Bangun sayang.""Ya, ini Mas Bintang Ya, bangun. Jangan tinggalkan Mas. Mas tidak bisa hidup tanpamu sayang." 'suara itu, aku tidak mau mendengarnya, aku membencinya. Kenapa terdengar sangat dekat di telingaku. Ini dimana? Kenapa gelap sekali'.***Mataku mengerjap saat sayup-sayup terdengar suara orang yang sedang berbicara berada sangat dekat denganku."Alhamdulillah, Kak Aya sudah sadar!" pekik Fajar langsung menghampiriku dan dengan lembut mengusap sudut mataku yang basah dengan ujung jarinya. Basah? Apa aku menangis?"Jar! Kamu tunggulah disini, aku akan panggilkan dokter." Kulihat ada sosok Mas Daffa berdiri di samping Fajar. Dia berlalu pergi meninggalkan kami.Memanggilkan dokter, untuk apa?
"Ya, maafkan Mas. Mas salah, Mas menyesal, kejadiannya tidak seperti yang Aya pikir, tolong dengarkan penjelasan Mas dulu." Mas Bintang tetap kukuh meminta maaf padaku, dan berusaha menjelaskan sesuatu yang menurutku tak perlu lagi dijelaskan. Orang awam pun yang melihat bisa menilai sendiri apa yang terjadi waktu itu.Sayang Mas, aku sudah muak dengan permintaan maafmu yang sudah sering dilontarkan saat kepergok melakukan kesalahan. Maaf dan maaf.Aku diam. Masih membuang muka. Kuremas tangan Fajar dengan kuat agar dia paham berapa marahnya aku. Fajar mendongak menatap wajahku dengan heran. Lalu menghela napas panjang. "Mas, bangunlah. Biarkan Kak Aya tenang dulu, Kakak baru sadar, keadaannya belum stabil, jadi Fajar mohon Mas Bintang pergilah."Mas Bintang menggeleng. Dia tidak beranjak sama sekali dari posisinya saat ini. Aku sudah khatam trik yang dilakukan Ma
"Hei! Kok malah bengong? ya sudah, istirahat gih, biar cepat sehat. Nggak mau 'kan nginap disini lama-lama?" tegur Mas Daffa sambil membenarkan selimut yang menutupi tubuhku. Kuturuti nasihatnya sembari netra ini menatapnya lekat."Sudah, cukup lihatinnya. Nanti aku ge-er loh, aku memang ganteng kok, sudah dari sananya," kelakarnya kemudian. Refleks kedua sudut bibirku tertarik sedikit keatas. Ucapannya cukup membuatku bisa tersenyum setelah sebelumnya merasakan perih yang mendalam. Astagfirullah …, kenapa bisa melihat Mas Daffa segitunya? Aku menggelengkan kepala dan dengan cepat berpaling memunggunginya.Berpura memejamkan mata ini walau sebenarnya banyak pertanyaan dalam benakku. Apa yang terjadi saat aku belum sadarkan diri? Bagaimana kondisi ibu mertua saat ini. Haruskah aku menjenguknya? Bukankah dia berada di rumah sakit yang sama denganku?"