Beranda / Horor / Rahasia Terkutuk / Bocah Rambut Pendek

Share

Rahasia Terkutuk
Rahasia Terkutuk
Penulis: Sakura Aeri

Bocah Rambut Pendek

Penulis: Sakura Aeri
last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-05 13:14:04

“Eyi!” Teriakan anak perempuan 5 tahun itu begitu bergema nyaring. Rambut pendek sebahu tampak bergoyang tertiup angin hingga menutupi muka bulatnya. Gadis kecil itu berlari menyambangi seorang anak laki-laki berumur sepuluh tahun yang terlihat sibuk memainkan yoyo. “Eyi! Kamu ke mana? Aku cari kamu.”

Telunjuk bocah bernama Eyi menunjuk ke arah seorang gadis kecil dengan rambut lebih panjang. Muka bulat gadis berambut panjang itu mengingatkan Eyi akan sosok yang kini tengah berbicara dengannya. “Aku tadi main sama dia.”

Senyum dari bibir pucat itu perlahan luntur, wajah si gadis kecil berambut pendek berubah datar. “Dia? Kamu bermain dengan dia?”

Anggukan pelan menjadi jawaban. Si bocah lelaki masih sibuk dengan tali yoyo yang menyangkut, hingga tak sadar gadis kecil berambut pendek mengulum senyum tak biasa.

“Ayo kita main masak-masakan, Eyi.”

“Aku masih ingin main yoyo. Kamu main sendiri saja.” Jawaban singkat sarat pengabaian membuat kepalan tangan lawan bicaranya semakin mengerat. Gadis kecil dengan rambut sebahu itu menatap tajam ke arah gadis kecil lain yang memiliki rambut lebih panjang. “Kalo kamu tidak mau, aku akan bermain dengan teman barumu. Aku akan bermain masak-masakan dengannya. Ah ... maksudku, aku yang masak dan dia yang jadi bahan masakannya.”

Begitu kalimat itu selesai, sang bocah lelaki mendapati teman mainnya tengah berlari kencang ke arah gadis kecil yang sibuk mendorong ayunan kayu dengan kaki. Beberapa detik, ayunan kayu itu melambung tinggi mengantarkan si gadis kecil berambut lebih panjang terbang hingga jatuh membentur ujung besi perosotan tua.

“Mora! Berhenti!”

***

Dering ponsel membuat seorang lelaki dewasa bangun dari buaian mimpi masa lalunya. Deru napas yang tak teratur menunjukkan bagaimana buruk bunga tidur itu. Mata bulatnya melirik malas siapa gerangan si penelepon. Benar saja itu adalah Ken, saudara lelaki satu-satunya dari Joey. Ken lebih muda tiga tahun dari sang kakak. Jika Joey memiliki kulit putih pucat, berbeda dengan Ken yang memiliki kulit eksotis bak pemain surfing. Mungkinkah Ken dulu dibuat dalam keadaan mati lampu? Batin Joey bertanya-tanya.

“Apa, Nyet?”

Tawa nyaring di seberang terdengar mengejek. “Enggak ada apa-apa. Aku cuma iseng telepon kamu pagi buta.”

Nada sahutan lelaki berkulit putih itu terdengar semakin dingin. Andai Ken dapat melihat bagaimana mata setajam elang itu kini semakin menakutkan. “Aku sibuk. Jangan sembarangan telepon aku.”

“Mama mau pulang, Kak. Kamu enggak mau pulang ke rumah?”

“Aku sibuk!” Sambungan itu diputus begitu saja, meninggalkan umpatan yang Joey tidak sempat dengar.

Tubuh tegap si lelaki rupawan merosot kembali ke ranjang empuk miliknya. Geliat tak nyaman serta lenguh manja menyapa telinga si lelaki dengan nama lengkap Joey Pratama. Lelaki itu mengangkat satu sudut bibirnya saat melihat sang sekretaris yang dia gagahi semalaman akhirnya bangun.

“Capek, ya?”

Wanita yang sedari tadi tenggelam dalam selimut tebal tiba-tiba menyembulkan kepala dengan mata setengah mengantuk. “Iya. Bapak buat saya enggak tidur sampai subuh. Padahal saya harus kerja jam delapan.”

Joey tak menanggapi. Lelaki tinggi itu bangkit seraya mengambil ceceran kain miliknya yang bertebaran di lantai.

“Pak Jo ... enggak mau gendong saya ke kamar mandi, gitu?” tanya si wanita dengan nada merajuk manja. Manik matanya menatap penuh harap pada lelaki rupawan nan gagah yang sedang melilitkan handuk di pinggang.

“Kamu masih punya kaki. Kecuali kaki kamu mau saya potong, mungkin saya akan gendong kamu ke kamar mandi.”

Decak sebal meluncur begitu saja dari gadis blasteran Jepang Indonesia itu. Pikirnya, setelah berhasil naik ke ranjang sang bos, dia akan memiliki tempat istimewa di mata Joey. Akan tetapi bayang angan memang selalu jauh dari kenyataan.

“Saya enggak kasih kompensasi. Kamu tetap harus sudah di kantor jam delapan. Ini hari Senin.”

Sang sekretaris bernama Sonia Mizaki itu semakin merengut. Apa Joey gila? Ini sudah pukul tujuh, dan Sonia masih di apartemen lelaki ini dengan badan yang berlumur cairan lengket.

“Tapi, saya—“

“Kalau tidak sanggup, saya bisa cari sekretaris baru,” sela Joey dengan nada yang semakin dingin.

Andai saja dia tidak sayang uang, Sonia rasanya ingin menendang dan memukul lelaki tinggi ini. Wanita cantik itu berjalan ke arah Joey sembari mengusap dada si lelaki dengan jari lentiknya. “Ya sudah, saya yang mandi lebih dulu.”

Joey tak berkomentar, dia terlalu sibuk memandangi ikan arwana merah yang berenang gelisah di akuarium. Kaki jenjangnya perlahan mendekat ke arah akuarium saat Sonia telah hilang di balik pintu kamar mandi.

“Beni ... kamu lapar, ya?”

Sebungkus cacing beku Joey tuangkan ke dalam kolam kaca yang ada di sudut kamarnya. Namun, ikan arwana bernama Beni itu tetap tak mau menyantap pakan favoritnya.

“Kenapa lagi sekarang? Kamu mau kawin juga? Besok aku belikan arwana betina.”

Atensi Joey teralih saat hendel pintu kamarnya bergerak kasar. Begitu kasar seolah benda besi itu akan hancur sebentar lagi. Sudut bibir tebal milik Joey terangkat sedikit. “Oh, kamu gelisah karena dia?”

***

Peluh mengembun di dahi lebar milik gadis bersurai gelombang dengan warna cokelat gelap. Mata besarnya yang masih tertutup sesekali mengernyit, mulut kecilnya pun merapal sesuatu.

“Argh!”

Napas tak teratur dengan mata yang melotot menjadi pemandangan setelah teriakan menggelar itu terjadi. Perlahan jari mungil gadis berusia 27 tahun itu meraba keningnya seolah ingin memastikan sesuatu.

“Cuma mimpi.”

Helaan panjang terdengar dari hidung mancungnya. Ini sudah ke ratusan kalinya mimpi itu datang lagi. “Apa otakku rusak gara-gara kejadian itu?”

Gadis dengan nama Diana Sanjaya berjalan menuju dapur. Waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi, itu berarti dia harus memasak sarapan untuk ayah dan dua orang keponakan yang kini dia asuh pasca kematian sepupunya.

“Kak Di, hari ini kita sarapan pakai apa?”

Diana terperanjat kaget sampai hampir menjatuhkan penggorengan yang dia bawa. Pertanyaan keponakannya dijawab dengan senyuman lembut oleh Diana. Umur yang tergolong masih muda membuat dua gadis kecil itu lebih nyaman memanggilnya dengan sebutan kakak. “Kak Di belum gajian. Kita sarapan pakai martabak mie saja, ya? Bagaimana? Nanti makan pakai nasi yang banyak biar kenyang.”

Bocah perempuan berumur tujuh tahun itu mengangguk antusias. Paling tidak, hari ini dia tidak akan makan tempe goreng lagi. “Perlu aku bantu masak, Kak Di?”

Tangan Diana terjulur mengusak surai berponi itu. “Enggak usah, Dek. Kamu coba lihat Kakek sudah bangun belum, sekalian bantu Dek Rubi mandi, ya?”

Dua acungan jempol diberikan oleh gadis kecil bernama Rosa, gadis periang itu berlalu meninggalkan Diana sendirian di dapur.

“Harus cepat masak kalau enggak mau ketinggalan angkot lagi,” gumam Diana seorang diri. Dengan lihai jari-jari wanita itu mengiris bawang dan sedikit sayuran. Tak lupa juga untuk meniriskan mie yang tengah direbus. Memang semenjak orang tuanya bangkrut, Diana menjelma menjadi sosok yang mandiri. Sepeninggal sang ibunda yang telah tiada dan ayah yang jatuh sakit, hanya dialah tumpuan keluarga.

Sementara itu, di halaman belakang rumah Diana, seorang gadis kecil berumur 4 tahun menatap tak suka sosok yang tengah menyeringai di depannya. Lagi-lagi si rambut pendek ini datang lagi kemari, batin si gadis kecil bernama Rubi.

“Kamu mau apa kemari? Kamu nakal! Aku enggak suka sama kamu!” pekik Rubi kesal. Yang diteriaki hanya tetap memberi seringai dengan tatapan menusuk. Perlahan bola matanya memerah memancarkan kemarahan dan kesakitan.

“Kamu seram, aku takut!”

Tubuh Rubi terhempas ke tanah begitu kalimat tadi selesai dia ucapkan. Gadis kecil itu menatap nanar pada sosok yang baru saja mendorongnya. Saat tangan pucat itu terulur ke arah leher Rubi, langkah kaki Rosa terdengar mendekat.

“Kak Di! Dek Rubi jatuh lagi!”

Lengkingan Rosa membuat Diana terpaksa meninggalkan acara masaknya dan menyambangi dua bocah itu di halaman belakang.

“Kenapa, Dek? Bukannya Kak Di tadi suruh mandi.” Gurat wajah lelah tersirat, tetapi lagi-lagi Diana mencoba sabar.

“Tadi Rubi didorong sama si rambut pendek itu lagi,” cicit Rubi takut-takut. Gadis kecil itu takut jika sang tante mengatainya mengada-ada.

“Rambut pendek siapa, Dek? Jangan bercanda terus.”

Diana beralih menggendong Rubi yang kini sudah mulai menangis. Gadis kecil itu memberengut kesal karena Diana tak pernah mempercayainya. “Dia nakal banget, Kak.”

“Jangan ngomong gitu terus, ah! Sini, biar Kak Di yang mandiin kamu.”

Rubi semakin meronta kesal seraya sesekali melirik ke bawah pohon flamboyan yang menjulang tinggi di halaman belakang rumah. Gadis kecil itu berbisik lirih di telinga Diana. “Kak Di, si rambut pendek melotot ke arah Kakak.”

***

Selasa pagi di kantor Lingga Konstruksi tampaknya tak seperti biasa. Semua karyawan sibuk bergosip di meja kerja masing-masing, sesekali mereka bergidik ngeri saat menjelajahi situs berita online pagi ini.

“Kasihan, padahal anaknya ramah,” celetuk salah satu karyawan yang disahuti anggukan mantap oleh rekan kerja di sebelahnya.

“Kok bisa nasibnya tragis? mana dia baru sebulan kerja di sini.”

Wanita yang lebih tua ikut menimpali. “-Tega banget yang mutilasi, jari-jari tangan sama kakinya terpisah semua.”

Diana yang tengah menyusun berkas laporan, sedikit tertarik mendengar rekan-rekannya begitu heboh. Dia bukan orang yang up to date, kuota internet saja harus diirit-irit. Jadi, terkadang memang dia selalu ketinggalan berita.

“Kenapa Mbak Mala? Kok heboh banget ceritanya?” Diana yang tak tahan akhirnya ikut menggeser kursinya mendekat ke arah rekan kerja yang sedang bergosip.

“Itu loh ... Sonia sekretarisnya bos besar. Pagi ini ditemukan dalam drum dengan kondisi kaki sama jarinya terpotong.”

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
menarik nih ceritanya.. pengen follow akun sosmed nya tp ga ketemu :( boleh kasih tau gaa?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Rahasia Terkutuk   Foto Pembuka Tabir

    Diana berlari kencang di koridor sebuah rumah sakit negeri di Jakarta. Di belakangnya tampak sosok Joey ikut berlari mengikuti gadis itu. Jika ditanya mengapa Joey ikut? Lelaki itu memaksa mengantar Diana dengan dalih agar lebih cepat sampai. Entah kerasukan apa pria dingin ini hingga dia jadi begitu peduli pada orang lain.“Papa!”Diana menghambur begitu memasuki ruang rawat sang ayah. Air mata sudah tak terbendung sejak tadi. Gadis itu benar-benar takut jika terjadi apa-apa. Orang tuanya hanya tinggal seorang.“Kenapa Kakek bisa jatuh dari tempat tidur, Dek?” tanya Diana tak sabar pada Rosa dan Rubi yang duduk di kursi penunggu. Dua bocah kecil itu habis menangis, terbukti dari kedua mata mereka yang membengkak.“Kamu harusnya tenangin mereka dulu baru tanya. Enggak lihat keponakan kamu habis nangis dan masih syok?” Joey yang sedari tadi hanya melihat dalam diam, bergerak maju dan berjongkok di depan kursi dua bocah i

  • Rahasia Terkutuk   Penyangkalan Pak Bos

    Joey terkesiap saat Diana mengatakan nama itu. Dirinya sampai mematung dengan wajah pias. Sudah lama sekali telinganya tak mendengar orang lain menyebut nama itu. “Kamu ngapain nyebut nama itu?” Diana menggaruk pelipisnya kikuk. Nama itu refleks keluar dari mulutnya karena itu yang dia dengar terakhir kali sebelum sadar. “A-Ah ... bukan apa-apa, Pak. Maaf sudah buat Pak Joey takut.” Manik bulat meruncing Joey masih menatap Diana dengan pandangan sulit diartikan. Dahi paripurna lelaki itu sedikit mengerut seakan tengah berpikir keras. “Kamu beneran bukan indigo? Apa keturunan dukun mungkin?” tanya Joey tiba-tiba. Lelaki itu sepertinya bersungguh-sungguh dari ekspresi wajahnya. “Enggak. Saya manusia biasa, Pak.” Jawaban Diana seakan belum memuaskan beribu pertanyaan di kepala Joey. Diana sangat berbeda dengan sekretaris sebelumnya. Dia yakin ini bukan hanya sekedar keisengan Mora. “Sekali lagi saya tanya, kamu beneran eng

  • Rahasia Terkutuk   Bubur Masa Lalu

    Diana menatap khawatir Joey yang duduk bersebelahan dengannya di dalam taksi. Setelah mengantar lelaki ini ke klinik terdekat, sebagai sekretaris dia juga harus memastikan sang bos sampai di rumah dengan selamat. “Pak Joey kenapa enggak sarapan? Saya jadi ngerasa bersalah karena kasih makanan pedas.” Mata Joey yang awalnya terpejam kini terbuka sedikit. “Saya udah bilang telat bangun karena mimpi buruk, mana sempat mikirin sarapan.” Benar juga. Tadi pagi Joey berkejaran dengan rapat dengan klien penting. Jika begini berarti tidak ada yang bisa disalahkan. “Apa Pak Joey sekalian mau disiapin sarapan juga tiap pagi?” “Terserah.” Joey kembali memejamkan mata. Perutnya masih terasa tidak enak meski tak sesakit tadi. Dia hanya ingin sampai di rumah dan tidur. Di lain sisi, Diana melirik Joey yang tertidur dengan pandangan bersalah. Diam-diam gadis cantik itu mengagumi paras rupawan sang atasan. Tidak heran jika pria tinggi ini dielu-elukan oleh kau

  • Rahasia Terkutuk   Pak Bos Sakit

    Diana merasa sikap Joey sedikit berbeda. Terbukti saat selesai rapat dengan klien dari perusahaan BUMN, lelaki itu sama sekali tak mengajaknya bicara. Dia juga seperti menjaga jarak dengan Diana. Seolah dirinya adalah kuman yang harus dihindari. “Kenapa lagi sih dia?” Gadis bermata bulat itu mengambil kotak makan dari dalam paper bag. Biar bagaimana pun Joey sudah membayar untuk katering makan siang padanya. Dengan hati-hati Diana mengetuk pintu sang atasan dan masuk ke dalam. “Pak Joey, ini makan siang hari ini. Saya memasak ayam bumbu rujak, sambal goreng hati, dan sayur tumis.” Joey mengalihkan perhatiannya dari layar laptop. Bau makanan dari kotak yang dibawa Diana sungguh amat menggoda. “Taruh aja. Tolong kamu langsung pergi ke luar. Jangan ke sini kalau enggak urgent banget.” Sang sekretaris mengerutkan alis. Joey terlihat t

  • Rahasia Terkutuk   Delusi Erotis

    Wangi harum rambut si wanita begitu menggelitik jiwa kelelakian seorang Joey Pratama. Bibir tebalnya tak henti mengecup leher jenjang putih mulus gadis yang kini tengah menatap dengan raut polos di bawahnya. Jari-jari besar Joey mengelus lembut wajah cantik tanpa riasan milik si wanita. Puasa ranjang selama sebulan memang membuat Joey bak singa di musim kawin. “P-Pak Joey....” Lirihan si wanita begitu terdengar merdu. Perlahan kancing kemeja biru muda dia lepaskan hingga membuat kulit mulus bak dewi itu terlihat ke permukaan. Napas Joey memburu menatap bagaimana maha karya indah ini bisa tercipta. “Kamu cantik banget ... Diana.” Gairah meletup milik si pria tak terbendung lagi. Semua kain kedua insan itu tanggal dan jatuh ke lantai. Suhu ruangan pun kian panas seiring dengan desau yang terlontar dari dua anak manusia berbeda gender ini. “Pak ... S-Saya masih perawan.” Joey mengecupi pundak sempit milik Diana. “Saya pelan-pelan, kok.”

  • Rahasia Terkutuk   Sisi Lain Pak Bos

    Joey menyatukan alisnya saat melihat Diana yang sedang tidur berkeringat seperti orang habis lari maraton. Perasaan AC mobilnya menyala dan dingin. Kini bibir Diana mengeluarkan rintihan kesakitan seolah sedang tercekik. Buru-buru pria itu menepikan mobil, lalu mengguncang pundak Diana. “Diana, bangun!” Diana terkesiap dengan mata terbelalak. Kedua jemarinya meraba leher. Mata bulatnya mengerjap pelan. “S-Saya di mana?” “Di bulan! Kamu kenapa?” Kini pandangan Diana beralih ke arah Joey. Alis tebalnya menyatu sempurna. “Saya kenapa, Pak?” Joey mendecih sinis. “Kamu mimpi buruk, ya? Buat saya repot aja. Saya sampai harus berhenti di pinggir jalan buat bangunin kamu.” “Jadi tadi cuma mimpi?” Diam-diam Diana menarik napas lega. Setidaknya kejadian barusan hanya sebuah mimpi. Akan tetapi kenapa mimpi itu terasa sangat nyata? Bahkan leher Diana terasa perih meski tidak terluka. “Kamu mimpi apa?” tanya Joey seraya kembali melajukan mo

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status