Share

Rahasia Terkutuk
Rahasia Terkutuk
Penulis: Sakura Aeri

Bocah Rambut Pendek

“Eyi!” Teriakan anak perempuan 5 tahun itu begitu bergema nyaring. Rambut pendek sebahu tampak bergoyang tertiup angin hingga menutupi muka bulatnya. Gadis kecil itu berlari menyambangi seorang anak laki-laki berumur sepuluh tahun yang terlihat sibuk memainkan yoyo. “Eyi! Kamu ke mana? Aku cari kamu.”

Telunjuk bocah bernama Eyi menunjuk ke arah seorang gadis kecil dengan rambut lebih panjang. Muka bulat gadis berambut panjang itu mengingatkan Eyi akan sosok yang kini tengah berbicara dengannya. “Aku tadi main sama dia.”

Senyum dari bibir pucat itu perlahan luntur, wajah si gadis kecil berambut pendek berubah datar. “Dia? Kamu bermain dengan dia?”

Anggukan pelan menjadi jawaban. Si bocah lelaki masih sibuk dengan tali yoyo yang menyangkut, hingga tak sadar gadis kecil berambut pendek mengulum senyum tak biasa.

“Ayo kita main masak-masakan, Eyi.”

“Aku masih ingin main yoyo. Kamu main sendiri saja.” Jawaban singkat sarat pengabaian membuat kepalan tangan lawan bicaranya semakin mengerat. Gadis kecil dengan rambut sebahu itu menatap tajam ke arah gadis kecil lain yang memiliki rambut lebih panjang. “Kalo kamu tidak mau, aku akan bermain dengan teman barumu. Aku akan bermain masak-masakan dengannya. Ah ... maksudku, aku yang masak dan dia yang jadi bahan masakannya.”

Begitu kalimat itu selesai, sang bocah lelaki mendapati teman mainnya tengah berlari kencang ke arah gadis kecil yang sibuk mendorong ayunan kayu dengan kaki. Beberapa detik, ayunan kayu itu melambung tinggi mengantarkan si gadis kecil berambut lebih panjang terbang hingga jatuh membentur ujung besi perosotan tua.

“Mora! Berhenti!”

***

Dering ponsel membuat seorang lelaki dewasa bangun dari buaian mimpi masa lalunya. Deru napas yang tak teratur menunjukkan bagaimana buruk bunga tidur itu. Mata bulatnya melirik malas siapa gerangan si penelepon. Benar saja itu adalah Ken, saudara lelaki satu-satunya dari Joey. Ken lebih muda tiga tahun dari sang kakak. Jika Joey memiliki kulit putih pucat, berbeda dengan Ken yang memiliki kulit eksotis bak pemain surfing. Mungkinkah Ken dulu dibuat dalam keadaan mati lampu? Batin Joey bertanya-tanya.

“Apa, Nyet?”

Tawa nyaring di seberang terdengar mengejek. “Enggak ada apa-apa. Aku cuma iseng telepon kamu pagi buta.”

Nada sahutan lelaki berkulit putih itu terdengar semakin dingin. Andai Ken dapat melihat bagaimana mata setajam elang itu kini semakin menakutkan. “Aku sibuk. Jangan sembarangan telepon aku.”

“Mama mau pulang, Kak. Kamu enggak mau pulang ke rumah?”

“Aku sibuk!” Sambungan itu diputus begitu saja, meninggalkan umpatan yang Joey tidak sempat dengar.

Tubuh tegap si lelaki rupawan merosot kembali ke ranjang empuk miliknya. Geliat tak nyaman serta lenguh manja menyapa telinga si lelaki dengan nama lengkap Joey Pratama. Lelaki itu mengangkat satu sudut bibirnya saat melihat sang sekretaris yang dia gagahi semalaman akhirnya bangun.

“Capek, ya?”

Wanita yang sedari tadi tenggelam dalam selimut tebal tiba-tiba menyembulkan kepala dengan mata setengah mengantuk. “Iya. Bapak buat saya enggak tidur sampai subuh. Padahal saya harus kerja jam delapan.”

Joey tak menanggapi. Lelaki tinggi itu bangkit seraya mengambil ceceran kain miliknya yang bertebaran di lantai.

“Pak Jo ... enggak mau gendong saya ke kamar mandi, gitu?” tanya si wanita dengan nada merajuk manja. Manik matanya menatap penuh harap pada lelaki rupawan nan gagah yang sedang melilitkan handuk di pinggang.

“Kamu masih punya kaki. Kecuali kaki kamu mau saya potong, mungkin saya akan gendong kamu ke kamar mandi.”

Decak sebal meluncur begitu saja dari gadis blasteran Jepang Indonesia itu. Pikirnya, setelah berhasil naik ke ranjang sang bos, dia akan memiliki tempat istimewa di mata Joey. Akan tetapi bayang angan memang selalu jauh dari kenyataan.

“Saya enggak kasih kompensasi. Kamu tetap harus sudah di kantor jam delapan. Ini hari Senin.”

Sang sekretaris bernama Sonia Mizaki itu semakin merengut. Apa Joey gila? Ini sudah pukul tujuh, dan Sonia masih di apartemen lelaki ini dengan badan yang berlumur cairan lengket.

“Tapi, saya—“

“Kalau tidak sanggup, saya bisa cari sekretaris baru,” sela Joey dengan nada yang semakin dingin.

Andai saja dia tidak sayang uang, Sonia rasanya ingin menendang dan memukul lelaki tinggi ini. Wanita cantik itu berjalan ke arah Joey sembari mengusap dada si lelaki dengan jari lentiknya. “Ya sudah, saya yang mandi lebih dulu.”

Joey tak berkomentar, dia terlalu sibuk memandangi ikan arwana merah yang berenang gelisah di akuarium. Kaki jenjangnya perlahan mendekat ke arah akuarium saat Sonia telah hilang di balik pintu kamar mandi.

“Beni ... kamu lapar, ya?”

Sebungkus cacing beku Joey tuangkan ke dalam kolam kaca yang ada di sudut kamarnya. Namun, ikan arwana bernama Beni itu tetap tak mau menyantap pakan favoritnya.

“Kenapa lagi sekarang? Kamu mau kawin juga? Besok aku belikan arwana betina.”

Atensi Joey teralih saat hendel pintu kamarnya bergerak kasar. Begitu kasar seolah benda besi itu akan hancur sebentar lagi. Sudut bibir tebal milik Joey terangkat sedikit. “Oh, kamu gelisah karena dia?”

***

Peluh mengembun di dahi lebar milik gadis bersurai gelombang dengan warna cokelat gelap. Mata besarnya yang masih tertutup sesekali mengernyit, mulut kecilnya pun merapal sesuatu.

“Argh!”

Napas tak teratur dengan mata yang melotot menjadi pemandangan setelah teriakan menggelar itu terjadi. Perlahan jari mungil gadis berusia 27 tahun itu meraba keningnya seolah ingin memastikan sesuatu.

“Cuma mimpi.”

Helaan panjang terdengar dari hidung mancungnya. Ini sudah ke ratusan kalinya mimpi itu datang lagi. “Apa otakku rusak gara-gara kejadian itu?”

Gadis dengan nama Diana Sanjaya berjalan menuju dapur. Waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi, itu berarti dia harus memasak sarapan untuk ayah dan dua orang keponakan yang kini dia asuh pasca kematian sepupunya.

“Kak Di, hari ini kita sarapan pakai apa?”

Diana terperanjat kaget sampai hampir menjatuhkan penggorengan yang dia bawa. Pertanyaan keponakannya dijawab dengan senyuman lembut oleh Diana. Umur yang tergolong masih muda membuat dua gadis kecil itu lebih nyaman memanggilnya dengan sebutan kakak. “Kak Di belum gajian. Kita sarapan pakai martabak mie saja, ya? Bagaimana? Nanti makan pakai nasi yang banyak biar kenyang.”

Bocah perempuan berumur tujuh tahun itu mengangguk antusias. Paling tidak, hari ini dia tidak akan makan tempe goreng lagi. “Perlu aku bantu masak, Kak Di?”

Tangan Diana terjulur mengusak surai berponi itu. “Enggak usah, Dek. Kamu coba lihat Kakek sudah bangun belum, sekalian bantu Dek Rubi mandi, ya?”

Dua acungan jempol diberikan oleh gadis kecil bernama Rosa, gadis periang itu berlalu meninggalkan Diana sendirian di dapur.

“Harus cepat masak kalau enggak mau ketinggalan angkot lagi,” gumam Diana seorang diri. Dengan lihai jari-jari wanita itu mengiris bawang dan sedikit sayuran. Tak lupa juga untuk meniriskan mie yang tengah direbus. Memang semenjak orang tuanya bangkrut, Diana menjelma menjadi sosok yang mandiri. Sepeninggal sang ibunda yang telah tiada dan ayah yang jatuh sakit, hanya dialah tumpuan keluarga.

Sementara itu, di halaman belakang rumah Diana, seorang gadis kecil berumur 4 tahun menatap tak suka sosok yang tengah menyeringai di depannya. Lagi-lagi si rambut pendek ini datang lagi kemari, batin si gadis kecil bernama Rubi.

“Kamu mau apa kemari? Kamu nakal! Aku enggak suka sama kamu!” pekik Rubi kesal. Yang diteriaki hanya tetap memberi seringai dengan tatapan menusuk. Perlahan bola matanya memerah memancarkan kemarahan dan kesakitan.

“Kamu seram, aku takut!”

Tubuh Rubi terhempas ke tanah begitu kalimat tadi selesai dia ucapkan. Gadis kecil itu menatap nanar pada sosok yang baru saja mendorongnya. Saat tangan pucat itu terulur ke arah leher Rubi, langkah kaki Rosa terdengar mendekat.

“Kak Di! Dek Rubi jatuh lagi!”

Lengkingan Rosa membuat Diana terpaksa meninggalkan acara masaknya dan menyambangi dua bocah itu di halaman belakang.

“Kenapa, Dek? Bukannya Kak Di tadi suruh mandi.” Gurat wajah lelah tersirat, tetapi lagi-lagi Diana mencoba sabar.

“Tadi Rubi didorong sama si rambut pendek itu lagi,” cicit Rubi takut-takut. Gadis kecil itu takut jika sang tante mengatainya mengada-ada.

“Rambut pendek siapa, Dek? Jangan bercanda terus.”

Diana beralih menggendong Rubi yang kini sudah mulai menangis. Gadis kecil itu memberengut kesal karena Diana tak pernah mempercayainya. “Dia nakal banget, Kak.”

“Jangan ngomong gitu terus, ah! Sini, biar Kak Di yang mandiin kamu.”

Rubi semakin meronta kesal seraya sesekali melirik ke bawah pohon flamboyan yang menjulang tinggi di halaman belakang rumah. Gadis kecil itu berbisik lirih di telinga Diana. “Kak Di, si rambut pendek melotot ke arah Kakak.”

***

Selasa pagi di kantor Lingga Konstruksi tampaknya tak seperti biasa. Semua karyawan sibuk bergosip di meja kerja masing-masing, sesekali mereka bergidik ngeri saat menjelajahi situs berita online pagi ini.

“Kasihan, padahal anaknya ramah,” celetuk salah satu karyawan yang disahuti anggukan mantap oleh rekan kerja di sebelahnya.

“Kok bisa nasibnya tragis? mana dia baru sebulan kerja di sini.”

Wanita yang lebih tua ikut menimpali. “-Tega banget yang mutilasi, jari-jari tangan sama kakinya terpisah semua.”

Diana yang tengah menyusun berkas laporan, sedikit tertarik mendengar rekan-rekannya begitu heboh. Dia bukan orang yang up to date, kuota internet saja harus diirit-irit. Jadi, terkadang memang dia selalu ketinggalan berita.

“Kenapa Mbak Mala? Kok heboh banget ceritanya?” Diana yang tak tahan akhirnya ikut menggeser kursinya mendekat ke arah rekan kerja yang sedang bergosip.

“Itu loh ... Sonia sekretarisnya bos besar. Pagi ini ditemukan dalam drum dengan kondisi kaki sama jarinya terpotong.”

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
menarik nih ceritanya.. pengen follow akun sosmed nya tp ga ketemu :( boleh kasih tau gaa?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status