Share

Halusinasi Nyata

Sedikit masih menyisakan kengerian tersendiri, Diana terus mengusap tengkuk saat mengingat cerita rekan-rekan kerjanya tadi pagi. Dia sendiri pernah melihat Sonia beberapa kali, meski tidak sempat mengobrol. Wanita muda blasteran Jepang itu sangat cantik dan murah senyum. Begitu juga dalam pekerjaan, Sonia tidak pernah terdengar mengeluh walau memiliki bos sedingin Pak Joey.

“Manusia zaman sekarang ada-ada saja, salah sedikit langsung main bunuh,” gumam Diana seorang diri di dalam angkutan kota. Kebetulan sudah tak ada penumpang lagi, hanya dia seorang.

“Turun di mana, Neng?”

Diana tersentak kaget. Bukan salah sang sopir angkot, hanya saja memang Diana sedang melanglang buana di alam pikirannya. Ternyata mendengar berita seperti itu memang memengaruhi psikologis seseorang. Secara tak sadar kita akan berpikir tentang bagaimana jika kematian menghampiri nanti. Apalagi mengingat penuturan rekan kerjanya tadi. Diana tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya jika bagian tubuh terpotong-potong.

“Depan warung bakso di ujung jalan ini saja, Pak.”

Setelah turun dari angkutan umum, Diana perlu berjalan sekitar lima ratus meter lagi ke dalam gang yang hanya cukup dilewati sepeda motor. Senyum manis dari bibir tebalnya tersungging ramah ketika melewati sekumpulan ibu-ibu yang tengah berbincang sore menunggu waktu magrib. Namun, setelahnya Diana dapat mendengar bisikan tak enak dari sekumpulan orang itu.

“Ssst ... jangan dekat-dekat sama keluarga itu. Bulan lalu saudaranya meninggal enggak wajar. Kayaknya benar kata adikku yang dulu tetanggaan sama mereka waktu masih di Tanah Abang.”

Diana berusaha menetralkan napasnya. Jika boleh marah, dia sudah ingin mengamuk sedari tadi. Akan tetapi dia hanya penghuni baru di lingkungan ini. Kurang lebih baru enam bulan, sungguh tak bisa dibandingkan dengan warga lain yang sudah berpuluh tahun tinggal di sini.

“Aku pulang!” seru Diana saat membuka pintu rumahnya. Dua bocah perempuan berbeda umur tampak berlari riang menyambut sang tante pulang.

“Kak Di! Bawa slime gak? Kita pengen main slime.

Wanita cantik itu berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan si gadis kecil berumur 7 tahun. “Kan, Kak Di belum gajian. Nanti kalau sudah gajian, kita beli slime untuk Rosa dan Rubi.”

Rosa mendesah kecewa. Dalam pikiran kekanakannya, kenapa gajian orang dewasa itu lama? Apa tidak bisa gajian setiap hari?

“Ya sudah, kalau begitu kita main masak-masakan di halaman belakang saja. Ayo, Dek Rubi!” Dengan semangat, Rosa menggandeng Rubi untuk ikut dengannya, tetapi bocah 4 tahun itu bergeming seolah tidak mau diajak ke tempat tersebut.

“Dek, ayo kita main!” Sekali lagi Rosa mencoba menarik tangan sang adik, tetapi tetap tidak berhasil.

Geleng lemah menjadi jawaban Rubi. Sirat mata polosnya penuh ketakutan. “Aku enggak mau, Kak.”

Diana berjalan mendekati Rubi dan mengelus surai lurus bocah kecil itu. Mungkin Rubi masih takut dengan halusinasinya sendiri, batinnya.

“Rubi kenapa? Enggak ada apa-apa kok di sana.”

“Enggak mau, Kak. Si Rambut Pendek itu seram kayak halloween.”

Gelak tawa meluncur dari bibir tebal Diana. Sungguh bukan itu tanggapan yang diharapkan Rubi. Dia tidak merasa sedang bercanda.

“Kak Di, dia jahat. Dia sering lihat Kak Diana dari luar.”

Jawilan mendarat di hidung pesek Rubi, siapa lagi pelakunya jika bukan Diana. “Jangan sering menonton yang aneh-aneh di televisi. Ya sudah, kalau enggak mau main, mending bantu Kak Di goreng telur.”

“Jadi, aku main sendirian? Enggak asyik!” sela Rosa seraya melipat tangan di dadanya.

“Kalau begitu Rosa bantu Kak Di juga masak di dapur ya. Oh iya, Kakek sudah minum obat?”

Rosa mengangguk mantap. Meski masih anak-anak, tetapi dia sangat cekatan dan dapat diandalkan. Siapa lagi memangnya yang bisa Diana mintai tolong? Dia hanya punya sang ayah dan dua bocah ini. Dengan kata lain, hanya mereka keluarganya yang tersisa.

“Ya sudah. Kak Di ganti baju dulu, ya? Kalian boleh ke dapur lebih dulu.”

Diana melangkahkan kaki menuju kamar. Rasanya dia ingin merebahkan diri di atas kasur sembari menjelajahi sosial media seperti orang kebanyakan. Namun, tanggung jawab di rumah sudah menunggu. Terlebih lagi kuota yang harus diirit sampai waktu gajian tiba, memaksa Diana melupakan angan itu. Tak jarang terbesit pengandaian jika saja orang tuanya masih kaya raya seperti dulu, tetapi tentu itu tak ada gunanya. Diana sadar hal yang sudah terjadi tidak akan bisa diubah.

“Gajian masih seminggu lagi. Semoga uang dua ratus ribu cukup.”

Mata bulat itu menatap nelangsa dompet biru muda miliknya. Uang di ATM sudah dia tarik semua, hanya tersisa empat puluh ribu. Jika nanti benar-benar kepepet, mungkin meminta bantuan Yuda untuk mentransfer dua puluh ribu menjadi pilihan terakhir. Ngomong-ngomong tentang Yuda, sejak pagi sosok lelaki sipit itu tidak terlihat. Apa mungkin dia tidak masuk kerja?

“Kak Di! Kok lama?”

Gedoran pintu dari Rosa membuyarkan lamunan Diana. Setelah mencepol rambut panjangnya asal, wanita muda itu keluar bersiap untuk memasak makan malam.

***

Diana memandang hangat dua bocah kecil yang sedang melahap telur dadar dan nasi bercampur kecap. Sungguh dia bersyukur, Rosa dan Rubi bukan anak yang cerewet perihal makanan. Sejak mengasuh dua anak ini kurang lebih selama sebulan, Diana merasa hidupnya lebih berwarna.

“Pelan-pelan, Sayang. Nasinya enggak dipatok ayam kok.”

Cengiran khas anak-anak terbit dari bibir Rubi. “Habisnya ini enak banget, Kak. Iya, kan?”

Rosa mengangguk dan menjulurkan tangannya guna mengelap bibir sang adik yang berlepotan. “Kak Diana masak air putih saja enak, apalagi ini.”

Diana tertawa renyah. Kecil-kecil Rosa sudah pintar memuji. Namun, manik mata Diana menyipit saat bayangan dua bocah di depannya berubah rupa. Berkali-kali Diana mengucek mata bulatnya, tetapi rupa itu tetap tak berubah.

“Dek, nanti jangan bilang sama Mama ya kalau Kakak minta makanan kamu.”

“Iya, Kak. Kak Rara lapar banget, ya?”

Diana mengernyit dengan tubuh kaku. Suara dan rupa bocah ini tidak seperti Rubi dan Rosa. Dan lagi siapa Rara? Dia merasa familier dengan nama itu, tetapi sama sekali tak ada memori yang dapat dia ingat.

Napas Diana semakin tercekat saat bocah yang dipanggil Rara tadi menoleh ke arahnya. Wajah datar dan tatapan teramat dingin itu seakan menusuk sukma Diana.

“Kamu siapa?” tanya Diana dengan tenggorokan tercekat.

Tak ada jawaban. Mata bulat yang menatap lurus ke arah Diana perlahan lepas dan jatuh ke lantai. Bibir yang sejak tadi terkatup akhirnya terbuka menampilkan seringai yang sangat mengerikan. Gigi yang hampir hilang semua dengan bau nanah menyengat menyapa lubang pembauan Diana.

“S-siapa kamu? Jangan mendekat!”

Diana beringsut mundur hingga kursi yang dia duduki oleng ke belakang. Beruntung dia tidak jatuh menghantam lantai. Teriakan kencang milik Diana menggema di rumah yang tak terlalu besar itu.

“Jangan ganggu aku! Pergi!”

Diana meremas rambut panjangnya yang tergelung dengan kuat. Wanita itu memerlukan pelampiasan atas rasa takut yang tiba-tiba menggerogotinya.

“Kak Di!”

Teriakan melengking Rosa menyadarkan Diana. Mata bulat gadis itu mengerjap beberapa kali. Di depannya terdapat Rosa dan Rubi yang melihatnya bingung.

“I-ini Rosa dan Rubi, kan?”

“Memang Kak Di pikir kita siapa?” tanya Rosa tak kalah bingung. Apa tanteku sedang kesurupan? batinnya.

Diana mengembuskan napas lega. Mungkin dia terlalu lelah sehingga berhalusinasi yang tidak-tidak. “Maaf ya, Sayang. Kak Di kayaknya capek. Kalian sudah selesai makan?”

“Sudah, Kak. Dari tadi kita panggil Kak Di, tapi malah bengong.”

Diana tersenyum kikuk dan membelai surai dua keponakannya penuh sayang. “Ya sudah. Sekarang kalian masuk kamar, ya? Jam delapan harus sudah tidur.”

Rosa dan Rubi mengangguk tanpa bantahan. Meski sebenarnya mereka ingin bermain dengan Diana. Akan tetapi melihat kondisi sang tante yang lelah sampai mengigau mereka jadi tidak tega.

Sepeninggal dua keponakannya, Diana bergegas membersihkan piring dan beranjak ke kamar. Dia merasa ada yang tidak beres dengan dirinya.

“Apa ini ada hubungannya sama kalung liontin dari Oma yang aku lepas?”

Diana menuju nakas di kamarnya. Dua laci dari atas dia buka perlahan, di dalamnya terdapat kotak merah berisi kalung dari sang nenek yang kebetulan putus seminggu lalu.

“Mungkin aku mesti perbaiki ini. Kata Oma ini enggak boleh dilepas, kan?”

***

Linting demi linting dihabiskan Joey hingga mungkin asap dalam kamarnya mampu membangkitkan alarm kebakaran. Entah apa yang dipikirkan lelaki tinggi itu, dia merasa nikotin adalah pelarian satu-satunya.

“Kamu masih konsumsi ini?”

Joey melirik malas oknum yang masuk ke apartemennya tanpa permisi. Siapa lagi yang berani melakukan itu selain Ken?

“Ditanya enggak pernah dijawab. Bisu apa sakit gigi?” celetuk Ken penuh sarkasme. Dosa apa dia memiliki kakak seperti Joey.

Gurauan garing lelaki berkulit sawo matang itu malah dihadiahi lemparan puntung rokok oleh Joey. “Kalau mau rusuh, enggak usah kemari.”

“Aku khawatir. Lihat, tuh! kamu masih konsumsi rokok terlarang itu, kan? Mau ditangkap polisi?”

“Enggak usah sok peduli, Nyet! Mending ambil bir di kulkas buat sumpal mulut kamu.”

Ken mendesah kesal. Joey tidak pernah berubah, selalu seperti ini sejak zaman batu. Lelaki itu memilih berjalan ke arah akuarium ikan di sudut ruangan. Mungkin bermain dengan ikan arwana ini lebih asyik ketimbang bicara dengan Joey.

“Mana cacing bekunya? Aku mau kasih makan Beni.”

Joey melirik sebentar kemudian kembali fokus dengan lintingan di jepitan tangannya. “Dia sudah kenyang. Tadi makan daging banyak.”

“Ck, enggak seru! Tumben Beni makan daging?”

“Iya. Dia habis kena syok terapi jadi mogok makan.”

Ken hanya mengangguk kecil kemudian kembali fokus dengan kegiatan sang kakak mengepulkan asap laknat itu. “Kak, kamu enggak mau pulang ke rumah?”

“Kamu sudah tahu jawabannya.”

“Mama mau ketemu sama kamu, Kak.”

“Kalau masih bahas ini, aku jadikan kamu makanan Beni.”

Bibir sang adik mengerucut kesal. Rasanya dia ingin tukar tambah saja kakak sialannya ini. “Ya sudah. Aku mending ke rumah pacarku daripada ngomong sama jelmaannya Sun Go Kong.”

Joey tak berkomentar apa-apa. Bahkan hingga sang adik hilang dari balik pintu, wajah kakunya tetap tak berubah.

“Perempuan laknat itu seenak jidat ingin bertemu denganku setelah membuatku menanggung ini seumur hidupku?” gumam Joey lirih penuh amarah.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status