Diana tak bisa menyembunyikan tawanya lagi. Gadis itu terkekeh di koridor kantor. Ingatannya tentang Jovanka yang jatuh dan marah-marah sendiri membuat perutnya tergelitik. Namun, secepatnya Diana kembali mengerem mulutnya. Dia merasa jahat karena menertawakan kesialan orang lain.
“Lagian dia jalan kayak orang mau peragaan busana. Sudah tahu hak sepatunya kayak ujung jarum.” Diana bergumam sendiri seraya menutup mulutnya agar tidak kembali tertawa. Akan tetapi langkahnya terhenti karena jambakan di rambut yang membuat gadis itu terhuyung ke belakang. Diana menoleh dan mendapati Jovanka yang menatapnya kesal.
“Kamu ngetawain aku? Beraninya kamu berurusan sama kesayangannya Pak Joey!”
Diana mengaduh sakit. Jambakan Jovanka tidak main-main. Dia merasa beberapa helai rambutnya tercabut. Diana benar-benar tak menyangka ternyata Jovanka lebih buruk dari Luna.
“Tolong lepasin! Kamu apa-apaan sih?”
Jovanka mendecih sinis. Aura muka wanita itu semakin tidak bersahabat. Dengan satu dorongan kuat, Jovanka memojokkan Diana ke tembok. Lorong ini jarang dilewati orang, dia merasa dapat melakukan hal ini dengan bebas.
“Kamu kira aku enggak lihat kamu tadi lihat Pak Joey terus? Mau apa kamu? Tebar pesona, ya? Kamu enggak selevel sama dia.”
Alis tebal Diana menyatu, dia tidak mengerti arah pembicaraan Jovanka. Bukankah tadi dia marah karena Diana menertawainya?
“Apa maksud kamu? Aku enggak ngerti.”
“Pura-pura bloon enggak bakal buat kamu makin cantik. Aku juga punya mata. Aku lihat kamu natap Pak Joey. Asal kamu tahu, ya? Dia punya aku.”
Embusan berat keluar dari hidung bangir Diana. Diberi gratis pun dia tidak akan mau dengan lelaki kasar dan menakutkan seperti Joey. Meski memang wajahnya sangat rupawan, Diana tak menampik itu.
“Ambil saja, Mbak. Aku enggak minat kok sama Pak Joey.”
Diana hendak mendorong Jovanka, tetapi wanita semampai itu kembali menyudutkan Diana ke tembok. Kini jari lentik Jovanka mencengkeram dagu Diana hingga memerah. “Aku dari awal sudah enggak suka sama kamu. Hati-hati saja, ya? Kamu bertingkah lagi, aku bakal minta Pak Joey pecat kamu.”
Memang tidak ada bedanya Luna dan Jovanka. Dua orang ini bisanya hanya mengancam saja, padahal Diana tidak merasa melakukan apa-apa pada mereka. Jika saja tidak ada sistem penalti dan dia tidak butuh uang, Diana akan memberi surat pengunduran dirinya sekarang juga pada Daelano.
“Baik ... akan aku ingat, pacarnya Pak Joey. Sekarang aku boleh pergi? Kerjaanku banyak.” Kali ini Diana benar-benar mendorong Jovanka. Telinganya sudah tak sanggup mendengar ocehan wanita itu.
***
Hari berganti hari, kehidupan Diana di kantor terasa semakin seperti neraka. Selain Luna yang terus menyiksanya dengan setumpuk pekerjaan, kini ada Jovanka yang terus mencari gara-gara dengannya.
Yang terparah adalah saat Jovanka mulai menyebarkan gosip miring tentang Diana. Wanita semampai itu bergunjing tentang Diana yang mencoba merayu Pak Joey. Padahal, Diana tak sedikit pun berminat dengan lelaki bernama Joey itu. Amit-amit jabang bayi, batinnya.
“Di, kamu mau ke mana?” Mala melihat penuh ingin tahu kala melihat Diana membawa beberapa tumpuk dokumen di tangannya.
“Oh ... aku mau ke tempat Pak Joey. Bu Luna minta aku buat minta tanda tangan, Mbak.”
Mala melirik rekan kerja di sebelahnya penuh arti, pandangan dua orang itu membuat Diana sedikit tidak nyaman.
“Ya sudah. Aku mau ke sana dulu, Mbak Mala.” Diana buru-buru pergi meninggalkan dua wanita yang kini tengah berbisik itu. Lama-lama dia kesal juga dengan gosip yang terlanjur menjamur ke mana-mana.
Diana menatap bingung kursi Jovanka yang kosong. Bukannya ini sudah lewat jam makan siang? Harusnya wanita menyebalkan itu masih ada di tempatnya.
“Ck! Masak aku mesti ketok-ketok ruangan Pak Joey? Tapi kalau aku enggak minta, Bu Luna bakal ngomel.”
Bagai makan buah simalakama. Jika maju maka akan mati di tangan Joey, tapi kalau mundur akan mati di tangan Luna. Bolehkah Diana minta langit menurunkan petir? Tolong sambar saja dua orang ini. Kalau bisa bertiga dengan Jovanka sekalian.
Tungkai kecilnya maju untuk mengetuk pintu ruangan sang pimpinan tertinggi. Pintu yang sedikit terbuka membuat Diana memiliki celah untuk mengintip. Namun, dia merasa sangat menyesal karena melakukan hal itu.
“Lebih cepat, Pak.” Erangan Jovanka menjadi penyambut kala Diana sampai di depan pintu. Mata bulat si gadis terbelalak lebar saat melihat dua insan manusia itu melakukan penyatuan di atas meja kerja.
“Ck, dasar tidak tahu tempat! Biar pun ini kantor punya dia, tapi enggak harus begituan di kantor, kan?” bisik Diana lirih. Kakinya perlahan mundur. Dia enggan ikut campur dan menimbulkan masalah baru. Mungkin dia bisa kembali beberapa menit lagi sampai dua orang itu selesai dengan urusan mereka.
Baru beberapa langkah mundur, pintu ruangan Joey tertutup sendiri dengan debuman kencang. Diana sendiri hampir terjungkal karena saking kagetnya.
“Lama-lama kalau enggak gila, mungkin aku bakal serangan jantung.” Diana bergumam seraya melanjutkan langkahnya menjauh. Akan tetapi langkah kecil itu terhenti saat seseorang menarik lengan Diana kasar. Iris legamnya kembali bertemu dengan pemilik manik mata bulat meruncing itu.
“Kamu lagi ... suka banget gangguin saya, ya?” Joey mengeratkan cengkeramannya di lengan Diana hingga sang empu mengaduh sakit.
“S-saya enggak ganggu Bapak kok.”
Satu sudut bibir Joey terangkat dan menyeret tubuh mungil Diana ke dalam ruangan. Jovanka yang baru saja selesai merapikan baju kerjanya, menatap sinis ke arah Diana.
Untuk kali kedua Diana mendengar pintu jati itu berdebum hari ini. Bedanya tadi tertutup sendiri, tapi kali ini dibanting oleh sang empunya ruangan. Tubuh Diana dihempas ke tembok hingga dokumen yang dibawa tercecer ke lantai.
“Kamu mau apa sebenarnya? Ingin juga ngerasain apa yang Jovanka rasain?” Bibir tebal Joey menyeriangi remeh. Tangan kekarnya membelai rambut Diana yang terjuntai.
“Saya enggak mau apa-apa, Pak. Saya Cuma mau tanda tangan saja kok.” Diana buru-buru berjongkok untuk memungut dokumen yang jatuh. Dia rasanya ingin mengumpati sang atasan mesum ini.
“Kamu pura-pura polos, ya? Padahal kamu juga menginginkan saya, kan?”
Diana terperangah. Selain mesum, bosnya ini juga terlewat percaya diri. “Saya sedikit pun enggak pernah kepikiran begitu, Pak. Meski Bapak lebih ganteng dari Tao Ming Se, saya enggak akan pernah berniat menyukai Bapak.”
Wajah Joey mengeras. Selama ini tidak ada satu wanita pun yang menolaknya. Gadis menyebalkan ini benar-benar mencoreng harga diri seorang Joey. Tangan lelaki itu meremas dagu kecil Diana. Matanya menatap tajam seakan ingin membunuh gadis itu detik ini juga.
“Dasar perempuan sombong! Kamu pikir saya selera sama kamu? Badan kurus dengan muka standar begini saja kamu belagu.”
Diana memejamkan mata saat merasakan tulang rahangnya hampir remuk karena ulah Joey. Namun, suara mengaduh sakit dari lelaki itu diiringi suara benda pecah, membuat Diana kaget. Cengkeraman di dagunya pun terasa terlepas.
“Tangan Bapak—“
“Keluar kamu!”
Diana tak serta merta keluar. Dia masih terpaku dengan punggung tangan Joey yang mengeluarkan darah. “Tapi tangan Bapak keluar darah.”
“Yang bilang keluar oli siapa? Kamu keluar! Enggak usah ikut campur!”
Gadis itu berlari ke arah meja Joey. Dengan sigap dia mengambil beberapa lembar tisu dan kembali ke arah sang bos berdiri.
“Kalau dibiarin, nanti darahnya semakin banyak yang jatuh ke lantai. Kasihan petugas cleaning service kepayahan bersihin noda ini, Pak.”
Rahang Joey hampir jatuh mendengar ujaran Diana. Jadi ini semata karena petugas kebersihan? Namun, dia urung menyahuti kala menangkap sosok Mora yang tengah duduk di atas lemari dokumen seraya menyeriangi dengan senyum mengerikan. Giginya yang hancur dan gusi penuh nanah itu bukan hal baru untuk Joey. Kening lelaki itu sedikit berkerut. Dia yakin pajangan yang mengenai tangannya tadi ulah Mora. Ini pertama kali sosok mengerikan itu menyakiti dirinya.
“Kamu kenal Mora?”
Diana mendongak menatap Joey dengan mata bulatnya. Kepala gadis itu menggeleng kecil. “Sampai kapan saya harus bilang kalau saya itu enggak tahu yang namanya Mora, Pak.”
“Kamu memang tukang bohong!”
“Terserah Pak Joey mau percaya atau enggak. Percuma menjelaskan sesuatu kalau memang orang itu enggak berniat percaya.”
Diana kembali menyodorkan dokumen setelah melihat darah dari luka goresan di punggung tangan Joey berhenti. Biar bagaimana pun pantang baginya kembali tanpa tanda tangan. Luna akan menyiksa Diana dengan kata-kata pedas jika itu terjadi.
“Pak Joey, bisa tanda tangani ini? Setelah itu saya akan keluar seperti perintah Bapak.”
***
Beberapa pasang mata melihat aneh ke arah Diana selama beberapa hari ini di kantor. Gadis bermata bulat itu sampai tidak enak hati karena tak sedikit yang berbisik buruk di dekat Diana.
“Gosip apa lagi yang disebar sama Mbak Jovanka?” lirih Diana berbisik. Dia berusaha menutup mata dan telinga. Dalam hati terus menyugesti diri kalau dia di sini hanya perlu bekerja dan mendapat uang untuk hidup.
“Enggak usah dengerin apa kata orang-orang, Di.”
Diana menoleh saat suara lembut Yuda menyapa. Lelaki bermata sipit itu selalu memberikan aura secerah mentari pagi yang menenangkan.
“Makasih, Kak. Cuma Kak Yuda yang masih baik sama aku.”
Yuda mengangguk kecil dan mengusap bahu Diana. “Aku bakal selalu ada buat kamu, Di. Oh iya, mau dibuatin teh hangat? Aku mau sekalian ke pantri.”
“Boleh, kalau Kak Yuda enggak repot.”
Lelaki itu tersenyum penuh arti dan menggeleng. Kaki jenjangnya perlahan menjauh menuju pantri kecil yang ada di sudut ruangan. Dengan cekatan Yuda membuatkan teh aroma melati untuk Diana. Matanya melirik sekitar begitu teh hangat itu selesai dibuat. Perlahan cangkir teh itu didekatkan ke mulutnya yang tengah merapalkan sesuatu tanpa suara. Sekian detik kemudian Yuda memasukkan ludahnya ke dalam cangkir berisi teh itu dan mengaduk kembali seperti tidak terjadi apa-apa.
Senyum yang amat semringah terukir di bibir tipis Yuda. Lelaki itu kembali ke meja Diana dengan secangkir teh hangat di tangannya. “Diana, ini tehnya. Dihabiskan, ya?”
Diana menerima dengan senang hati dan menghirup aroma melati yang begitu menenangkan. Bibirnya bersiap menyeruput teh hangat yang begitu nikmat itu, dibarengi dengan seringai tipis menakutkan dari bibir Yuda.
‘Kamu bakalan tergila-gila sama aku, Diana Sanjaya.’
Bersambung
Diana berlari kencang di koridor sebuah rumah sakit negeri di Jakarta. Di belakangnya tampak sosok Joey ikut berlari mengikuti gadis itu. Jika ditanya mengapa Joey ikut? Lelaki itu memaksa mengantar Diana dengan dalih agar lebih cepat sampai. Entah kerasukan apa pria dingin ini hingga dia jadi begitu peduli pada orang lain.“Papa!”Diana menghambur begitu memasuki ruang rawat sang ayah. Air mata sudah tak terbendung sejak tadi. Gadis itu benar-benar takut jika terjadi apa-apa. Orang tuanya hanya tinggal seorang.“Kenapa Kakek bisa jatuh dari tempat tidur, Dek?” tanya Diana tak sabar pada Rosa dan Rubi yang duduk di kursi penunggu. Dua bocah kecil itu habis menangis, terbukti dari kedua mata mereka yang membengkak.“Kamu harusnya tenangin mereka dulu baru tanya. Enggak lihat keponakan kamu habis nangis dan masih syok?” Joey yang sedari tadi hanya melihat dalam diam, bergerak maju dan berjongkok di depan kursi dua bocah i
Joey terkesiap saat Diana mengatakan nama itu. Dirinya sampai mematung dengan wajah pias. Sudah lama sekali telinganya tak mendengar orang lain menyebut nama itu. “Kamu ngapain nyebut nama itu?” Diana menggaruk pelipisnya kikuk. Nama itu refleks keluar dari mulutnya karena itu yang dia dengar terakhir kali sebelum sadar. “A-Ah ... bukan apa-apa, Pak. Maaf sudah buat Pak Joey takut.” Manik bulat meruncing Joey masih menatap Diana dengan pandangan sulit diartikan. Dahi paripurna lelaki itu sedikit mengerut seakan tengah berpikir keras. “Kamu beneran bukan indigo? Apa keturunan dukun mungkin?” tanya Joey tiba-tiba. Lelaki itu sepertinya bersungguh-sungguh dari ekspresi wajahnya. “Enggak. Saya manusia biasa, Pak.” Jawaban Diana seakan belum memuaskan beribu pertanyaan di kepala Joey. Diana sangat berbeda dengan sekretaris sebelumnya. Dia yakin ini bukan hanya sekedar keisengan Mora. “Sekali lagi saya tanya, kamu beneran eng
Diana menatap khawatir Joey yang duduk bersebelahan dengannya di dalam taksi. Setelah mengantar lelaki ini ke klinik terdekat, sebagai sekretaris dia juga harus memastikan sang bos sampai di rumah dengan selamat. “Pak Joey kenapa enggak sarapan? Saya jadi ngerasa bersalah karena kasih makanan pedas.” Mata Joey yang awalnya terpejam kini terbuka sedikit. “Saya udah bilang telat bangun karena mimpi buruk, mana sempat mikirin sarapan.” Benar juga. Tadi pagi Joey berkejaran dengan rapat dengan klien penting. Jika begini berarti tidak ada yang bisa disalahkan. “Apa Pak Joey sekalian mau disiapin sarapan juga tiap pagi?” “Terserah.” Joey kembali memejamkan mata. Perutnya masih terasa tidak enak meski tak sesakit tadi. Dia hanya ingin sampai di rumah dan tidur. Di lain sisi, Diana melirik Joey yang tertidur dengan pandangan bersalah. Diam-diam gadis cantik itu mengagumi paras rupawan sang atasan. Tidak heran jika pria tinggi ini dielu-elukan oleh kau
Diana merasa sikap Joey sedikit berbeda. Terbukti saat selesai rapat dengan klien dari perusahaan BUMN, lelaki itu sama sekali tak mengajaknya bicara. Dia juga seperti menjaga jarak dengan Diana. Seolah dirinya adalah kuman yang harus dihindari. “Kenapa lagi sih dia?” Gadis bermata bulat itu mengambil kotak makan dari dalam paper bag. Biar bagaimana pun Joey sudah membayar untuk katering makan siang padanya. Dengan hati-hati Diana mengetuk pintu sang atasan dan masuk ke dalam. “Pak Joey, ini makan siang hari ini. Saya memasak ayam bumbu rujak, sambal goreng hati, dan sayur tumis.” Joey mengalihkan perhatiannya dari layar laptop. Bau makanan dari kotak yang dibawa Diana sungguh amat menggoda. “Taruh aja. Tolong kamu langsung pergi ke luar. Jangan ke sini kalau enggak urgent banget.” Sang sekretaris mengerutkan alis. Joey terlihat t
Wangi harum rambut si wanita begitu menggelitik jiwa kelelakian seorang Joey Pratama. Bibir tebalnya tak henti mengecup leher jenjang putih mulus gadis yang kini tengah menatap dengan raut polos di bawahnya. Jari-jari besar Joey mengelus lembut wajah cantik tanpa riasan milik si wanita. Puasa ranjang selama sebulan memang membuat Joey bak singa di musim kawin. “P-Pak Joey....” Lirihan si wanita begitu terdengar merdu. Perlahan kancing kemeja biru muda dia lepaskan hingga membuat kulit mulus bak dewi itu terlihat ke permukaan. Napas Joey memburu menatap bagaimana maha karya indah ini bisa tercipta. “Kamu cantik banget ... Diana.” Gairah meletup milik si pria tak terbendung lagi. Semua kain kedua insan itu tanggal dan jatuh ke lantai. Suhu ruangan pun kian panas seiring dengan desau yang terlontar dari dua anak manusia berbeda gender ini. “Pak ... S-Saya masih perawan.” Joey mengecupi pundak sempit milik Diana. “Saya pelan-pelan, kok.”
Joey menyatukan alisnya saat melihat Diana yang sedang tidur berkeringat seperti orang habis lari maraton. Perasaan AC mobilnya menyala dan dingin. Kini bibir Diana mengeluarkan rintihan kesakitan seolah sedang tercekik. Buru-buru pria itu menepikan mobil, lalu mengguncang pundak Diana. “Diana, bangun!” Diana terkesiap dengan mata terbelalak. Kedua jemarinya meraba leher. Mata bulatnya mengerjap pelan. “S-Saya di mana?” “Di bulan! Kamu kenapa?” Kini pandangan Diana beralih ke arah Joey. Alis tebalnya menyatu sempurna. “Saya kenapa, Pak?” Joey mendecih sinis. “Kamu mimpi buruk, ya? Buat saya repot aja. Saya sampai harus berhenti di pinggir jalan buat bangunin kamu.” “Jadi tadi cuma mimpi?” Diam-diam Diana menarik napas lega. Setidaknya kejadian barusan hanya sebuah mimpi. Akan tetapi kenapa mimpi itu terasa sangat nyata? Bahkan leher Diana terasa perih meski tidak terluka. “Kamu mimpi apa?” tanya Joey seraya kembali melajukan mo