Yuda Bastino, lelaki tiga puluh dua tahun yang betah melajang karena merasa tidak tertarik memiliki hubungan dengan lawan jenis. Perceraian kedua orang tuanya menjadikan Yuda tidak ingin menjalin cinta dengan siapa pun. Meski banyak gadis yang terang-terangan mengejarnya, tak sedikit pun mampu membuat hatinya tergerak. Namun, kehadiran Diana dalam hidup Yuda mengubah pandangan lelaki itu seratus delapan puluh derajat. Gadis yang memiliki rambut bergelombang dengan iris legam, begitu hangat dan cantik di mata Yuda. Tak pernah dia rasakan hasrat yang begitu menggebu saat melihat seorang wanita. Bahkan hanya dengan mendengar suara Diana, mampu membuat darah lelaki rupawan ini berdesir.
Malangnya, Diana tak lebih menganggapnya hanya sebagai seorang kakak. Meski Yuda memberi perhatian tak biasa, gadis itu seakan menutup mata dan menganggap itu semata hanya kebaikan seorang teman. Yuda yang notabene tak pernah berurusan dengan hal seperti ini, merasa putus asa karena tak kunjung bisa memiliki Diana. Ingin sekali rasanya dia membawa kabur Diana lalu menikahinya.
Seperti saat ini, manik mata sipit itu terus menatap penuh minat pada gadis yang sedang menyeruput teh hangat beraroma melati. Bibirnya menyeriangi laknat saat melihat sang gadis pujaan meminum teh yang sudah dia beri jampi-jampi pemikat. Dia terlalu tergila-gila dengan Diana, hingga segala cara pun lelaki ini tempuh.
“Diana Sanjaya!”
Teh yang sudah dimulut, tersembur begitu saja saat suara Joey menggema dengan lantang di ruangan divisi tempat Diana bernaung. Lelaki tinggi itu masuk dengan aura yang bisa dibilang tidak mengenakkan. Sementara Yuda, menatap tak suka ke arah Joey. Tangannya meremas kuat pinggiran celana bahan yang dia kenakan.
Diana menutup matanya kesal dan meletakkan cangkir teh di atas meja. Dengan senyum penuh kepura-puraan, Diana menghampiri sang pimpinan tertinggi perusahaan ini.
“Ya, Pak? Ada apa?”
“Kamu drafter untuk proyek hotel saya yang baru, kan? Desain manufaktur kamu malu-maluin perusahaan saya,” ujar Joey dingin penuh amarah.
Alis Diana berkerut. Dia merasa sudah mengerjakan seperti apa yang diminta saat rapat terakhir kali. Kenapa sekarang malah menyalahkannya?
“Saya sudah mengerjakannya seperti hasil rapat yang terakhir, Pak. Saya rasa enggak ada yang melenceng atau saya ubah.”
Joey tersenyum miring dan menjentikkan jarinya agar Jovanka memberi salinan yang diminta. Dengan tanpa perasaan, lelaki itu melempar tumpukan kertas itu ke wajah Diana. “Mata kamu buta, ya? Coba lihat itu semua.”
Sudut mata Diana mulai mengembun. Sikap Joey dan beberapa orang yang berbisik seraya menertawakannya, benar-benar melukai perasaan gadis itu. Setelah menyeka ujung mata, Diana memungut kertas-kertas yang dilempar Joey.
“Kok begini?”
Diana menatap tak percaya melihat rancangan yang sangat jauh dari apa yang dia kerjakan. Gadis itu merasa tak pernah membuat desain manufaktur seperti ini.
“Masih mengelak kamu? Kalau kamu enggak kompeten, kenapa enggak resign saja dan bayar uang penalti?”
Kepala Diana menggeleng. Ini bukanlah hasil pekerjaannya. “Ini bukan rancangan saya, Pak. Saya enggak mungkin buat yang begini.”
“Enggak usah banyak bicara. Kamu intinya sudah malu-maluin saya di depan klien. Saya akan minta Daelano buat kasi kamu SP.”
Air mata Diana yang tadinya mampu dia tahan, akhirnya tumpah juga. Jika memang itu pekerjaannya, dia akan lapang dada menerima. Namun, jelas-jelas bukan itu yang dia berikan pada Luna beberapa hari lalu.
“Dasar pemalas enggak berguna!” Joey menatap sarat kebencian terhadap Diana. Gadis itu masih menunduk dengan aliran bulir bening di pipinya. Lelaki itu mendekat dan menoyor kepala Diana, sebelum akhirnya pergi keluar diikuti oleh Jovanka yang mengulum senyum penuh kemenangan.
“Diana kamu enggak apa-apa?” Yuda mendekat dan mencoba merangkul pundak sempit Diana. Namun, gadis itu secepat kilat menghalau tangan Yuda. Bukan dia bermaksud tak sopan, hanya saja ada Luna di sana. Diana tak bisa membayangkan bagaimana wanita jahat itu akan menyiksanya jika melakukan skinship lebih dengan lelaki ini.
“Aku enggak apa-apa, Kak. Aku mau ke toilet dulu.”
Diana berlari menuju toilet kantor, meninggalkan Yuda yang tampak kesal. Biarlah kali ini dia dikatakan tidak tahu diri. Diana hanya butuh ruang sendirian untuk menangis. Tubuh kecilnya merosot di pintu begitu masuk ke bilik toilet. Gadis itu kembali menangis seraya memeluk lutut. Dia ingin mengeluarkan seluruh air matanya sebelum kembali berpura-pura kuat menghadapi tekanan hidup yang tak kunjung usai.
“Kenapa semua orang kayak begini sih? Padahal aku enggak pernah jahat sama siapa-siapa.”
Dia tidak bodoh untuk menyadari ada yang menyabotase pekerjaannya. Sungguh Diana tak ingin menuduh, tapi yang punya kewenangan itu hanya Luna. Di mana notabene wanita itu memang tidak suka dengan dirinya. Belum lagi Pak Joey dan Jovanka yang entah kenapa bersikap seperti memiliki dendam kesumat. Diana rasanya ingin berteriak.
“Aku cuma ingin kerja tenang dan dapat uang,” lirih Diana seorang diri. Berulang kali dia menarik napas dalam. Jika ini diteruskan, dia bisa menangis di toilet seharian.
Bunyi langkah kaki dan debuman pintu bilik sebelah mengagetkan Diana. Buru-buru dia bangkit dan keluar untuk mencuci muka di wastafel. Matanya sempat melirik sedikit ke arah bilik itu. Tidak ada orang? Rasanya dia tadi mendengar langkah kaki masuk ke dalam sana.
“Sudah keluar mungkin, ya?”
Meski aneh, tapi Diana tidak ingin ambil pusing. Buru-buru dia menyeka wajah ayunya dengan kucuran air. Paling tidak dia terlihat segar kembali. Saat selesai mengelap wajah dengan tisu, Diana terpaku ketika melihat bayangannya di cermin toilet. Bukankah rambutnya tergerai panjang? Kenapa pantulan bayangan di depan sana dirinya terlihat berambut pendek sebahu?
“Eh? Apa ini?” Diana mengucek matanya, tapi bayangannya tak berubah. Satu hal lagi yang dia sadari, bayangan yang ada di depannya hanya diam tak mengikuti gerakannya sama sekali.
Tubuh Diana mendadak kaku. Ludah susah payah tertelan hingga lidahnya kelu untuk berteriak. Dapat dia lihat bayangan di dalam sana menyeriangi sinis dan kemudian tertawa melengking hingga cermin itu pecah.
“T-Tolong!” Diana berjongkok dengan telapak tangan menutupi wajah. Belum usai masalah dengan manusia, kini dia malah diganggu setan.
“Diana!”
Gedoran pintu toilet membuat Diana mendongak. Dengan tenaga yang tersisa, Diana berusaha membuka pintu berwarna putih itu. Nihil! Pintu itu macet. Ingin rasanya si gadis bermata bulat ini mengumpat.
“Diana! Kamu dengar aku?” Yuda berteriak panik dari luar. Berkali-kali lelaki itu menggerakkan hendel pintu, tetapi tak berhasil juga untuk membukanya.
“Kak Yuda Tolong! Aku takut!”
Brak!
Pintu itu terbuka dengan sekali dobrak. Diana menghambur untuk memeluk Yuda. Dia merasa berhutang banyak pada lelaki ini. Apa jadinya jika sang rekan kerja tidak datang?
“Makasih, Kak. Aku enggak tahu apa yang bakal kejadian kalau Kak Yuda enggak ke sini.”
Yuda tersenyum tipis seraya memejamkan mata menikmati pelukan Diana yang begitu memantik hasratnya. Perlahan telapak tangan kekar milik Yuda mengurut lembut punggung Diana.
“Aku nyariin kamu karena khawatir, Di. Tenang ... ada aku di sini buat kamu.”
***
Karyawan Lingga Konstruksi bersorak girang saat membaca papan pengumuman yang ada di kantin. Bagaimana tidak, akhir pekan depan akan diadakan kegiatan outing kantor dalam rangka ulang tahun perusahaan. Tentu semua gembira karena lokasi outing tersebut akan dilaksanakan di Anyer. Salah satu destinasi populer yang paling dekat dengan Jakarta. Beberapa karyawan terlihat mengobrol, membicarakan apa yang akan mereka pakai dan bawa. Namun, hal ini tidak berlaku untuk Diana. Wanita cantik itu hanya diam seraya mengaduk makan siangnya. Dalam hati berkecamuk gundah, siapa yang akan mengurusi keponakan dan ayahnya jika dia pergi menginap di Anyer?
“Ini wajib ikut, Mbak?” tanya Diana pada rekan kerja yang duduk dekat dengan mejanya.
Yang ditanya hanya mengedikkan bahu. Memang semenjak Jovanka menyebar gosip buruk tentangnya, tak satu pun karyawan mau diajak bicara oleh Diana jika bukan urusan pekerjaan. Wanita itu hanya dapat menghela napas pasrah. Cuma Yuda satu-satunya teman yang dia miliki untuk saat ini.
“Kamu ikut outing, kan?”
Diana kaget saat Yuda menepuk bahunya. Lelaki itu duduk di seberang Diana dengan sekaleng minuman dingin.
“Enggak tahu, Kak. Kira-kira harus ikut, ya?”
Yuda menaikkan sebelah alisnya seraya mengusap dagu. “Setahu aku mesti ikut, Di. Kecuali kamu sakit, itu pun mesti ada surat dokter.”
Bibir Diana mencebik, tentu dia tidak akan mau membuat surat dokter palsu. Itu hanya akan mencoreng integritasnya. “Aku cuma bingung, Kak. Papa sama keponakanku enggak ada yang jaga kalau aku menginap.”
“Kalau kamu mau, Bi Saroh aku suruh jagain mereka.”
“Bi Saroh?”
Yuda mengangguk dan mengusap punggung tangan Diana. Sang empu menarik tangannya, membuat Yuda mengulum senyum getir. “ Dia bibi yang jaga rumahku. Aku bisa minta dia untuk ke rumahmu kalau enggak keberatan.”
Diana menatap haru ke arah Yuda. Lelaki ini memang wujud malaikat tak bersayap untuk dirinya. “Beneran boleh, Kak?”
“Hum. Apa sih yang enggak buat kamu, Di?”
Senyum canggung tersemat di bibir Diana. Dia kembali merasa tak enak hati pada lelaki ini. “Makasih, Kak. Kak Yuda baik banget.”
“Enggak masalah. Nanti jangan pakai bus kantor, ya? Berangkat naik mobil sama aku, bagaimana?”
Yuda menatap penuh harap pada Diana. Namun, suara baritone menginterupsi jawaban yang akan dilontarkan oleh gadis itu, membuat Yuda rasanya ingin memecahkan kepala lelaki jangkung itu detik ini juga.
“Karyawan pemalas ini bakal berangkat bareng saya dan Jovanka. Tidak ada penolakan, ini perintah.”
Bersambung
Diana berlari kencang di koridor sebuah rumah sakit negeri di Jakarta. Di belakangnya tampak sosok Joey ikut berlari mengikuti gadis itu. Jika ditanya mengapa Joey ikut? Lelaki itu memaksa mengantar Diana dengan dalih agar lebih cepat sampai. Entah kerasukan apa pria dingin ini hingga dia jadi begitu peduli pada orang lain.“Papa!”Diana menghambur begitu memasuki ruang rawat sang ayah. Air mata sudah tak terbendung sejak tadi. Gadis itu benar-benar takut jika terjadi apa-apa. Orang tuanya hanya tinggal seorang.“Kenapa Kakek bisa jatuh dari tempat tidur, Dek?” tanya Diana tak sabar pada Rosa dan Rubi yang duduk di kursi penunggu. Dua bocah kecil itu habis menangis, terbukti dari kedua mata mereka yang membengkak.“Kamu harusnya tenangin mereka dulu baru tanya. Enggak lihat keponakan kamu habis nangis dan masih syok?” Joey yang sedari tadi hanya melihat dalam diam, bergerak maju dan berjongkok di depan kursi dua bocah i
Joey terkesiap saat Diana mengatakan nama itu. Dirinya sampai mematung dengan wajah pias. Sudah lama sekali telinganya tak mendengar orang lain menyebut nama itu. “Kamu ngapain nyebut nama itu?” Diana menggaruk pelipisnya kikuk. Nama itu refleks keluar dari mulutnya karena itu yang dia dengar terakhir kali sebelum sadar. “A-Ah ... bukan apa-apa, Pak. Maaf sudah buat Pak Joey takut.” Manik bulat meruncing Joey masih menatap Diana dengan pandangan sulit diartikan. Dahi paripurna lelaki itu sedikit mengerut seakan tengah berpikir keras. “Kamu beneran bukan indigo? Apa keturunan dukun mungkin?” tanya Joey tiba-tiba. Lelaki itu sepertinya bersungguh-sungguh dari ekspresi wajahnya. “Enggak. Saya manusia biasa, Pak.” Jawaban Diana seakan belum memuaskan beribu pertanyaan di kepala Joey. Diana sangat berbeda dengan sekretaris sebelumnya. Dia yakin ini bukan hanya sekedar keisengan Mora. “Sekali lagi saya tanya, kamu beneran eng
Diana menatap khawatir Joey yang duduk bersebelahan dengannya di dalam taksi. Setelah mengantar lelaki ini ke klinik terdekat, sebagai sekretaris dia juga harus memastikan sang bos sampai di rumah dengan selamat. “Pak Joey kenapa enggak sarapan? Saya jadi ngerasa bersalah karena kasih makanan pedas.” Mata Joey yang awalnya terpejam kini terbuka sedikit. “Saya udah bilang telat bangun karena mimpi buruk, mana sempat mikirin sarapan.” Benar juga. Tadi pagi Joey berkejaran dengan rapat dengan klien penting. Jika begini berarti tidak ada yang bisa disalahkan. “Apa Pak Joey sekalian mau disiapin sarapan juga tiap pagi?” “Terserah.” Joey kembali memejamkan mata. Perutnya masih terasa tidak enak meski tak sesakit tadi. Dia hanya ingin sampai di rumah dan tidur. Di lain sisi, Diana melirik Joey yang tertidur dengan pandangan bersalah. Diam-diam gadis cantik itu mengagumi paras rupawan sang atasan. Tidak heran jika pria tinggi ini dielu-elukan oleh kau
Diana merasa sikap Joey sedikit berbeda. Terbukti saat selesai rapat dengan klien dari perusahaan BUMN, lelaki itu sama sekali tak mengajaknya bicara. Dia juga seperti menjaga jarak dengan Diana. Seolah dirinya adalah kuman yang harus dihindari. “Kenapa lagi sih dia?” Gadis bermata bulat itu mengambil kotak makan dari dalam paper bag. Biar bagaimana pun Joey sudah membayar untuk katering makan siang padanya. Dengan hati-hati Diana mengetuk pintu sang atasan dan masuk ke dalam. “Pak Joey, ini makan siang hari ini. Saya memasak ayam bumbu rujak, sambal goreng hati, dan sayur tumis.” Joey mengalihkan perhatiannya dari layar laptop. Bau makanan dari kotak yang dibawa Diana sungguh amat menggoda. “Taruh aja. Tolong kamu langsung pergi ke luar. Jangan ke sini kalau enggak urgent banget.” Sang sekretaris mengerutkan alis. Joey terlihat t
Wangi harum rambut si wanita begitu menggelitik jiwa kelelakian seorang Joey Pratama. Bibir tebalnya tak henti mengecup leher jenjang putih mulus gadis yang kini tengah menatap dengan raut polos di bawahnya. Jari-jari besar Joey mengelus lembut wajah cantik tanpa riasan milik si wanita. Puasa ranjang selama sebulan memang membuat Joey bak singa di musim kawin. “P-Pak Joey....” Lirihan si wanita begitu terdengar merdu. Perlahan kancing kemeja biru muda dia lepaskan hingga membuat kulit mulus bak dewi itu terlihat ke permukaan. Napas Joey memburu menatap bagaimana maha karya indah ini bisa tercipta. “Kamu cantik banget ... Diana.” Gairah meletup milik si pria tak terbendung lagi. Semua kain kedua insan itu tanggal dan jatuh ke lantai. Suhu ruangan pun kian panas seiring dengan desau yang terlontar dari dua anak manusia berbeda gender ini. “Pak ... S-Saya masih perawan.” Joey mengecupi pundak sempit milik Diana. “Saya pelan-pelan, kok.”
Joey menyatukan alisnya saat melihat Diana yang sedang tidur berkeringat seperti orang habis lari maraton. Perasaan AC mobilnya menyala dan dingin. Kini bibir Diana mengeluarkan rintihan kesakitan seolah sedang tercekik. Buru-buru pria itu menepikan mobil, lalu mengguncang pundak Diana. “Diana, bangun!” Diana terkesiap dengan mata terbelalak. Kedua jemarinya meraba leher. Mata bulatnya mengerjap pelan. “S-Saya di mana?” “Di bulan! Kamu kenapa?” Kini pandangan Diana beralih ke arah Joey. Alis tebalnya menyatu sempurna. “Saya kenapa, Pak?” Joey mendecih sinis. “Kamu mimpi buruk, ya? Buat saya repot aja. Saya sampai harus berhenti di pinggir jalan buat bangunin kamu.” “Jadi tadi cuma mimpi?” Diam-diam Diana menarik napas lega. Setidaknya kejadian barusan hanya sebuah mimpi. Akan tetapi kenapa mimpi itu terasa sangat nyata? Bahkan leher Diana terasa perih meski tidak terluka. “Kamu mimpi apa?” tanya Joey seraya kembali melajukan mo