Share

Ada Apa Dengan Mora?

Erangan nikmat bersahutan di sebuah kamar apartemen mewah. Dua manusia berbeda gender itu terlihat sangat menikmati waktu mereka untuk memberi kehangatan satu sama lain. Berkali-kali bibir si wanita mengulum senyum puas saat berhasil memberi puncak kenikmatan pada lelaki yang berstatus atasannya itu.

“Jovanka ... ternyata kamu ahli sekali di atas ranjang. Punya kamu juga enak.” Joey berujar seraya memejamkan mata. Lelaki itu telah menghabiskan dua kotak karet kontrasepsi dalam pergumulannya dengan sang sekretaris.

“Jika lawan mainnya seperti Pak Joey, tentu saya harus memberikan pelayanan terbaik.” Jovanka merebahkan diri di atas dada Joey, tapi lelaki itu dengan cepat mendorong si wanita untuk berbaring ke sebelahnya.

“Kamu berat. Enggak usah tiduran di badan saya.”

Jovanka mendecih kecil. Baru saja Joey memujinya, tapi sekarang kembali berujar dengan dingin. Untung saja wajah tampan dan dompet tebal menyelamatkan sikap buruk lelaki ini. “Saya capek, Pak. Saya melayani Bapak dua jam lebih.”

“Kamu diberi gaji dua kali lipat dari karyawan normal, menurutmu itu untuk apa? Bekerja bukannya memang capek? Kalau kamu enggak sanggup, saya bisa cari sekretaris baru.”

Manik mata Jovanka berputar malas seiring Joey yang bangkit meninggalkannya ke kamar mandi. Wanita itu mengambil ponsel yang sejak tadi dia sembunyikan di balik lampu tidur. Bibirnya menyungging senyum penuh arti saat memutar rekaman pergumulannya dengan Joey.

“Kamu enggak akan bisa lepas dari aku, Joey Pratama.”

Dari sudut kamar sosok kecil dengan pandangan tajam tengah menatap Jovanka tak suka. Tangan pucat bersisik dan kotor itu terulur ke depan dan bergerak seperti ingin melakukan sesuatu.

“Hentikan!”

Suara Joey yang tiba-tiba keluar dari kamar mandi membuat Jovanka terkejut hingga hampir menjatuhkan ponselnya. Sementara itu, sosok kecil tadi langsung menghilang entah ke mana.

“P-Pak Joey kenapa?” tanya Jovanka dengan suara terbata. Dalam pikirannya, apa mungkin Joey melihat apa yang dia lakukan tadi?

“Enggak kenapa-kenapa. Kamu kapan mau pulang? Tugas kamu sudah selesai, kan?”

Jovanka mengangguk kecil dan berlari menuju kamar mandi. Dia harus benar-benar menghilangkan bekas percintaan ini jika tidak ingin ketahuan oleh kekasihnya. Dia dan kekasihnya tinggal satu rumah meski belum menikah. Jika ketahuan menjajakan diri, Jovanka takut diusir dari rumah nyaman yang kini dia tinggali.

***

Diana tersenyum kecil saat mendapati sebungkus besar roti dengan kertas memo warna kuning di atas meja kerjanya. Pada kertas itu tertulis permintaan maaf dari Yuda karena kemarin membuat Diana tidak nyaman dengan kata-katanya.

“Kak Yuda kok manis banget? Enggak perlu sampai kayak gini juga, aku sudah maafin.” Diana tersenyum kecil lalu menaruh kembali roti keju cokelat itu ke atas meja.

“Dimakan, ya? Aku tadi beli di toko roti langganan mendiang mamaku.”

Diana terperanjat kaget saat mendapati Yuda berdiri di belakangnya. Lelaki bermata sipit itu tersenyum secerah mentari. Diana jadi ikut merasa tidak enak hati karena kemarin berteriak padanya.

“Kak Yuda buat aku kaget! Makasih, Kak. Enggak harus begini juga kok.”

Yuda menjentik lembut kening Diana. “Kamu kalau terima apa pun dari aku, cukup bilang makasih aja. Enggak usah pakai embel-embel lain.”

“Aku cuma—“

“Sst! Jangan bilang apa-apa lagi. Makan aja rotinya buat sarapan. Ini roti paling spesial dari aku.”

Diana mengangguk. Gadis itu merasa sangat beruntung bertemu orang sebaik Yuda. Lelaki ini selalu ada untuknya di saat apa pun. Tidak salah jika Diana sudah menganggapnya seperti kakak sendiri.

“Aku mau ke proyek dulu, ya? Nanti kalau aku sempat kembali ke kantor, makan siang bareng, yuk?”

“Siap. Hati-hati di jalan ya, Kak. Nanti kabarin aja aku.”

Diana melambai ke arah Yuda yang sudah semakin menjauh. Tepat saat lelaki itu hilang di balik pintu, Luna berjalan ke arah meja Diana dan mengambil roti pemberian Yuda.

“Semua pemberian Yuda harus kamu serahin ke aku! Berapa kali aku harus bilang ke kamu untuk jangan sok kecentilan? Pakai acara mau makan siang bareng. Tolong ngaca!”

Luna menghempas tubuh Diana hingga wanita itu terjerembap ke kursi kerja. Berkali-kali Diana merapal afirmasi ke dalam diri agar tidak terpancing amarah. Dia hanya ingin bekerja dengan tenang hari ini, tidak lebih.

“Ambil saja, Bu. Saya sudah sarapan kok.”

Luna mendecih sinis saat merasa menang dari Diana. Wanita itu menatap rendah ke arah Diana kemudian berlalu ke mejanya seraya memeluk roti dari Yuda.

“Tahan, Di. Kalau kontraknya habis, cari pekerjaan lain saja,” gumam Diana seorang diri tanpa suara. Mata bulatnya sudah memerah, tetapi sekuat hati dia menjaga agar air mata tidak luruh. Dia tidak ingin dipandang dengan tatapan iba oleh beberapa rekan kerjanya.

Beberapa menit berlalu, Diana sudah dapat fokus pada pekerjaannya dan melupakan kejadian tadi. Namun, suara Luna kembali mengganggunya. Bukan, kali ini bukan kalimat kebencian yang terlontar dari mulut Luna, melainkan batuk yang tak kunjung berhenti. Wanita itu tersedak saat menikmati roti dari Yuda.

“Brengsek! Ini pasti karena kamu enggak ikhlas ya kasihnya?” Luna berdiri menghampiri Diana setelah menenggak sebotol air mineral. Kilatan marah terpancar dari manik mata wanita itu.

“Maksud Bu Luna bagaimana? Saya ikhlas kok. Ibu aja yang kurang hati-hati saat makan.” Diana sebenarnya malas berargumen, tetapi dia tidak bisa membiarkan Luna menuduhnya yang bukan-bukan.

“Berani kamu sama saya?” Luna melempar sisa roti yang dia makan hingga mengenai wajah Diana. Gadis bermata bulat itu terpaku saat mendapat lemparan roti dari Luna. Matanya memandang lekat roti yang kini berceceran di atas meja kerjanya. Bahkan ocehan Luna tidak dia dengarkan.

“Apa itu yang bergerak di dalam roti? Bukannya itu ulat?” lirih Diana tak percaya.

***

Diana duduk sendirian di kantin perusahaan. Yuda tidak jadi kembali ke kantor karena ada pekerjaan yang belum selesai. Jadilah di sini Diana larut sendirian sembari mengaduk nasi campurnya tak berselera. Padahal lauk di kantin hari ini cukup enak, hanya saja bayangan roti yang dimakan Luna tadi pagi masih mengganjal pikiran Diana.

Manik mata bulatnya mengarah ke arah pintu kantin ketika dua orang berbeda gender masuk ke dalam. Ternyata benar kata orang-orang, Pak Joey yang notabene seorang pimpinan perusahaan mau makan makanan di kantin perusahaan. Meski memang ada ruangan khusus yang diperuntukkan untuk beliau.

Iris legam milik Joey kembali menubruk iris kecokelatan milik Diana. Dua insan itu tak ada yang berniat memutus pandangan. Satu sudut bibir Joey terangkat tipis saat Diana tidak gentar menatapnya. Biasanya tak ada satu wanita pun yang tahan bertatapan dengan Joey dalam waktu lama.

“Bapak langsung ke ruang makan aja, saya ambilkan makanan untuk Bapak,” ujar Jovanka sembari membuka pintu ruangan untuk Joey.

“Kita makan di sini aja. Saya lagi enggak ingin makan di ruangan itu.”

Jovanka memandang bingung sang atasan yang sudah menarik bangku untuk duduk. Seingatnya, Daelano berkata Pak Joey tidak suka makan di keramaian. Maka dari itu dia memiliki ruang makan khusus. Akan tetapi hari ini bosnya memilih duduk di ruangan makan karyawan.

“Ya sudah. Saya ambil makanan untuk Bapak dulu.”

Joey hanya menjawab dengan anggukan. Matanya kembali menelisik Diana yang sudah kembali sibuk mengaduk nasinya.

“Karyawan pemalas itu benar-benar. Makan aja ogah-ogahan, apalagi bekerja. Daelano bisa-bisanya merekrut orang tidak kompeten begini.” Joey menggerutu dengan tatapan yang begitu merendahkan. Karyawan bernama Diana ini memang tidak ada bagus-bagusnya, meski dia akui kalau wanita itu sedikit cantik. Ingat! Hanya sedikit.

“Pak ... ini makanannya.”

Perkataan Jovanka tidak mendapat sahutan. Joey masih saja memandang Diana tak berkedip. Hal ini membuat wanita tinggi semampai yang sedang memegang nampan berisi makanan itu jengkel.

“Pak Joey!”

“Enggak usah pakai teriak-teriak. Saya enggak tuli.”

Jovanka melipat bibirnya ke dalam. Dalam hati menahan dongkol dengan tingkah polah sang bos. Begitu selesai memindahkan makanan dari nampan, Jovanka menuju ke sudut ruangan tempat mesin kopi dan minuman terpajang. Bibir tipisnya menyeriangi, dengan sengaja Jovanka menabrak meja Diana hingga gadis yang sedang minum itu tersedak.

“Maaf, enggak kelihatan.” Jovanka menatap remeh dan berlalu pergi menuju tempat minuman. Diana hanya dapat menahan gemuruh di dadanya dan mengambil tisu untuk membersihkan kemeja yang terkena air. Ingin marah pun pasti percuma. Orang seperti Jovanka akan dengan memudah memutar kata-kata dan situasi.

Jovanka sendiri berjalan dengan angkuh dengan dua gelas minuman dingin ditangannya. Dia tak menyadari ada sebuah tangan kecil bersisik dan kotor terjulur dan mencengkeram kakinya dari bawah meja. Wanita semampai itu jatuh terjerembap hingga seluruh pakaiannya basah dan kotor. Joey yang melihat semua kejadian itu menautkan alis tebalnya dan bergumam lirih.

“Ada apa dengan Mora akhir-akhir ini sebenarnya? Dia enggak kayak biasanya.”

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Lovaerina
mbak Jo jangan kebanyakan mimpi yaa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status