Hujan deras mengguyur New York malam itu. Lampu-lampu kota memantul di kaca besar mansion keluarga Sir Nathan Wilson.
Nina sedang menerima panggilan telepon dari Nathan yang masih berada di kantor. Dia sendiri jarang masuk kantor, terlebih setelah mempunyai bayi, Nina ingin fokus pada sepasang bayi kembarnya. Sehingga urusan kantor Nithanny, ia serahkan pada Emily asisten terpercayanya dan team C-level. “Nathany apa rapatnya sudah selesai?” “Iya my love, baru saja selesai, ini aku sedang bersiap-siap untuk pulang. Anak-anak gimana, sayang? Gak rewel, kan?” “Semuanya baik-baik saja, Nathany. Ollie juga sudah nggak rewel lagi. Sepertinya pengasuh baru pengganti Hanna cukup bisa diandalkan.” “Syukurlah. Jadi kamu dan Lara nggak kerepotan. Oke, honey, aku beres-beres dulu, love you.” Sementara itu, di kamar bayi, suara napas halus terdengar dari dua boks kecil. Oliver dan Olivia, bayi kembar Nina dan Nathan yang berusia dua tahun, tidur nyenyak dengan kalung safir biru mungil di leher mereka. Mayra, pengasuh baru Oliver yang baru seminggu bekerja, menepuk lembut boks bayi itu. Senyumnya ramah, tapi matanya sulit dibaca. “Bagaimana Ollie, Mayra?” tanya Nina yang baru masuk ke kamar bayi, lalu mendekati boks putranya, Oliver. “Sudah tidur, nyonya,” jawab pengasuh baru itu sopan. Nina tersenyum sambil mengelus pipi putranya. “Aku sangat bersyukur bisa segera mendapatkanmu, Mayra. Hanna cuti sangat mendadak, Lara sedikit kerepotan harus mengurus dua bayi sekaligus.” Mayra tersenyum tipis. "Saya senang bisa membantu, Nyonya Wilson." Di sisi lain kamar, Lara, pengasuh Olivia, merapihkan botol susu. "Dia cepat sekali adaptasinya. Sepertinya, memang cocok kerja di sini." Nina mengangguk lega. Ia mendekati boks Olivia, dan mengelus wajah putrinya sambil tersenyum. "Syukurlah… Semuanya bisa cepat teratasi. Aku mau menyiapkan makan malam, sebentar lagi suamiku pulang.” Nina mencium kedua bayinya lalu bergegas ke ruang makan, dia memang terbiasa menyiapkan sendiri makan malam untuk Nathan, meskipun di sana ada pelayan. “Aku juga mau mencuci botol-botol susu dulu. Mayra, tolong jaga Olivia juga, ya,” ujar Lara, pengasuh Olivia. “Baik,“ respon Mayra siap. Begitu Lara ke luar dan pintu menutup, Mayra menarik napas dalam-dalam. Jemarinya menyentuh benda kecil di sakunya—perangkat seukuran USB, lampu indikatornya berdenyut pelan. Ia menempelkan earpiece tipis ke telinganya. "Perangkat sudah terpasang di ruang servis," bisiknya pelan. "Bagus," jawab suara berat di ujung sana. "Hitung mundur lima detik. Siap-siap.” “Siap, Ayo kita mulai,” jawab Mayra sigap. Lima… empat…tiga… dua… satu... Lampu indikator kamera mati serentak. Monitor di ruang kontrol mansion memerah singkat, lalu beku. Pintu samping berbunyi klik, membuka otomatis. Dua pria bertopeng masuk, cepat dan hening. Tangis Oliver pecah saat Mayra mengangkatnya. Olivia ikut menangis. Lara yang mendengar segera menuju ruang bayi. "Mayra? Ada apa?" "Dia rewel sedikit," jawab Mayra datar, sambil menepuk pelan punggung Oliver. Lara mendekati Olivia yang gelisah dan ikut menangis. Ia sibuk menenangkannya. Saat itulah Mayra menyerahkan Oliver ke pria bertopeng. Tangis bayi makin keras. Langkah tergesa-gesa terdengar di lorong. Nina datang dengan tergopoh-gopoh. "Ada apa ini?!" Lara panik. "Aku nggak tahu! Oliver—" Tapi boks Oliver sudah kosong. Mayra lenyap. Alarm meraung saat sistem pulih, pintu samping terkunci otomatis. Rekaman terakhir hanya menampilkan lorong kosong. "OLLIE… OLIVER…!!" Jerit Nina menggema di seluruh rumah. Lara memeluk Olivia yang menangis keras, wajahnya pucat. *Cut Scene – Markas Victor* Di sebuah ruangan gelap, seorang pria berdiri membelakangi jendela besar. Victor. Ia menggendong bayi yang menangis pelan—Oliver. Victor menyentuh kalung safir biru di leher bayi itu, bibirnya melengkung dingin. "Nina, kalau aku tidak bisa menghancurkanmu langsung… maka darah dagingmu sendiri yang akan melakukannya, haha…” Lelaki itu tertawa pelan, wajahnya dingin, sirat matanya tajam penuh dengan dendam dan kebencian. *Time Skip – 20 Tahun Kemudian (London)* Hujan tipis membasahi jalanan sempit London. Seorang pria muda berjalan pelan di gang gelap, langkahnya mantap. Pedro. Mata hijau kecoklatan, dingin, rambut cokelat terang berantakan. Wajah rupawan, masih tersirat aura bangsawan—meski kini di balut dengan kebengisan. Dua pria bertubuh besar menunggunya. "Kau telat," kata salah satunya sinis. Pedro mengangkat alis, lalu tersenyum tipis. Dalam sekejap, pisau lipatnya menempel di leher pria itu, lelaki itu pun roboh dengan leher bersimbah darah. "Jangan bicara soal waktu denganku," ujarnya dingin. Pria lainnya gemetar, menyerahkan koper. Pedro memeriksa cepat. "Bagus." Ia berbalik pergi. Di ujung gang, sebuah mobil hitam menunggu. Di dalamnya, Victor tersenyum puas sambil menyalakan cerutunya. "Anak itu sempurna," gumamnya pelan. "Tinggal satu langkah lagi sebelum ia menuntaskan dendamku.”“Hallo, siapa ini—”“Malam, Liv. Apa aku mengganggu?” terdengar jawaban seorang wanita di ujung sana.“Ini dengan….”“Vla. Apa kamu tidak mengenali suaraku?”“Oh, iya. Aku memang baru menebak kamu. Kamu dan Pedro sudah sampai di tempat?”“Ya, ini lagi santai juga. Kamu belum tidur? Apa aku mengganggu?”“Oh nggak. Sama sekali nggak mengganggu kok, Vla. Santai aja.”“Uhm, gini Liv. Aku ingin ketemu sama kamu, berdua aja. Tapi ini rahasia, hanya kita berdua.”“Rahasia? Apa sangat penting?”“Ya sangat penting. Tapi kamu harus janji dulu untuk merahasiakan ini, termasuk pada kedua orang tuamu. Apa kamu bisa?”“Hmm, oke. Tapi soal apa?”“Nanti akan aku jelaskan. Yang penting kamu atur supaya pengawalmu juga tidak tahu.”Livy terdiam sejenak. “Kalau di kampusku bagaimana? Biasanya mereka nggak masuk kedalam. Kita bisa ketemu di taman belakang kampus.”“Oke, aku setuju.”Setelah berbincang-bincang ringan keduanya pun menutup panggilan. Livy tertegun, rahasia apa yang dimaksud Vla? Mengapa ked
Pedro menatap Vla dengan penuh rasa penasaran. Sesuatu yang sudah lama ingin dia tanyakan, namun selalu terbentur hal-hal lain yang lebih mendesak.“Jangan sembunyikan apapun dariku, Vale.”Vla tersenyum, dia kembali menyesap kopinya. “Aku tidak akan menyembunyikan apapun darimu, Pedro. Bukankah kita sudah berjanji untuk saling terbuka satu sama lain dan tidak ada hal apapun yang kita sembunyikan?”Vla menatap sekeliling, lalu berdiri dan menarik tangan Pedro. Keduanya pun pindah ke kamar. “Maaf Pedro, ini sangat penting dan rahasia. Aku hanya mengantisipasi dari dinding bertelinga.” Vla berbisik. Pedro mengangguk, ia duduk di sofa. “Di kamar ini aman, tidak ada yang bisa masuk, tidak juga Victor. Karena aku selalu menguncinya.”Vla melangkah ke jendela, menatap kelap-kelip pemandangan kota di kejauhan. Cukup lama terdiam sebelum akhirnya dia berkata pelan. “Sebenarnya nama Lucas adalah Antonio Luca Russo.”Pedro mengernyitkan kening, mencoba mengingat. “Russo? Apa hubungannya dia d
Pedro segera melempar wig dan mencuci wajahnya dari make-up tebal yang terasa seperti topeng. Ia juga segera mengganti pakaian yang menggelikan itu.“Huh, akhirnya wajahku bisa terbebas dari makeup menjijikkan itu,” ujar Pedro lega, dia segera ke pantry untuk membuat kopi.Vla hanya tersenyum melihat sikap Pedro. “Makeup kok menjijikkan, itu kan bisa membuat wajah cantik dan menutupi kekurangan.”Pedro menoleh pada Vla. “Iya kalau makeup yang normal dan yang memakai wanita. Kalau tadi, aku sudah seperti mayat hidup.” Ia terdiam sebentar dan menatap Vla. “Sana bersihkan makeup horormu itu. Bibirmu malah jadi hitam gitu, seperti hantu.”Vla terkekeh mendengar ucapan Pedro, namun dia segera ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya.Tidak lama berselang Vla keluar dengan wajah yang sudah bersih, dia juga sudah mengganti bajunya dengan pakaian santai. Pedro sedang duduk di sofa sambil menikmati kopi.“Nah begini lebih baik, lebih fresh lebih menggairahkan, dibanding tadi seperti zombie.”
“Apa? Rencana apa, Vale?”Pedro menatap Vla penuh tanda tanya. Nadanya terdengar mendesak, seolah ia takut Vla akan menahan sesuatu darinya.Vla menghela napas, kemudian duduk lebih dekat, menatap Pedro dengan serius. “Rencanaku sederhana, Pedro. Kita harus bicara langsung dengan Livy. Tentu bukan dalam pertemuan biasa, melainkan untuk menyocokkan kalung kalian berdua. Dari sana, kita bisa lanjut ke tahap berikutnya—tes DNA. Diam-diam. Tidak ada yang tahu, bahkan Nathan dan Nina sekalipun.”Pedro menegang. Kata-kata itu seolah menohok tepat di dadanya. “Tes DNA? Vale… apa kau tahu apa risikonya? Kalau ternyata aku bukan Oliver, apa yang akan terjadi? Bagaimana dengan Livy? Dia mungkin akan kecewa, atau bahkan membenciku karena sudah menaruh harapan.”Vla menggeleng, ekspresinya penuh keyakinan. “Justru sebaliknya. Kalau memang bukan, maka rasa penasaranmu akan berhenti. Kamu tidak akan terus dihantui kemungkinan yang tak berujung. Dan bagi Livy, dia akan mengerti bahwa semua ini hanyal
“Putar arah, kita ke Hudson Yards Hotel.” Vla memberikan intruksi kepada sopir. Ucapan Vla mengejutkan dan membuyarkan lamunan Pedro.“Ada apa? Bukannya harusnya kita ke Broklyn?” tanya Pedro heran.Alih-alih menjawab Vla menatap rear vision mirror, Pedro mengikuti arah tatapan Vla. Seketika wajahnya menjadi serius sambil terus melihat. Dari spion dalam itu, jelas terlihat gerak-gerik mobil di belakang yang mencurigakan.“Ada yang membuntuti kita,” gumam Pedro pelan. Vla mengangguk. “Mereka sudah mengikuti begitu kita keluar dari N&N Hotel.”“Hmm, berarti banyak yang pasang mata saat kita di gala tadi,” sahut Pedro, matanya menyipit namun tak berpindah dari spion itu. “Kita jebak, dan cari tahu siapa mereka.”“Tidak perlu,” sahut Vla sambil tersenyum.“Maksudmu,” tanya Pedro menatap Vla.“Mereka hanya orang-orang yang penasaran tentang siapa sebenarnya kita, terutama kamu. Kemunculanmu dan OIL malam ini cukup membuat banyak pihak yang penasaran.”“Hmm, jadi kita akan menginap di hote
"Pedro, maukah kamu menjadi kakakku?" tanya Livy sambil menatap Pedro. Tatapannya sendu, penuh luka dan kerinduan, matanya berkaca-kaca. Ada gumpalan awan yang siap tumpah di kedua mata cantik kehijauan itu.Pedro dan Vla terkejut mendengar perubahan sikap Livy. Pedro merasakan hantaman besar di dadanya, bukan hanya karena ucapan Livy tapi melihat gadis itu yang terlihat merasakan kesedihan dan luka yang dalam. Entah mengapa hatinya merasakan sakit dan teriris.“A-apa? Kamu bercanda, Liv. Aku Pedro bukan Oliver kakakmu.” Pedro menjawab dengan gugup, namun dia segera mengalihkan tatapannya ke arah lain, merasa tidak sanggup jika menatap wajah cantik yang sedang menatapnya dengan penuh kesedihan dan harapan.“Aku tahu. Aku tidak peduli siapa kamu. Tapi, hatiku mengatakan kalau kamu mirip Ollie.” Livy terdiam sejenak, matanya tak lepas dari menatap Pedro, meskipun Pedro telah membuang pandangannya. “Dan, secara fisik, kamu mirip daddy sewaktu muda.”Pedro menegang, ia mengepalkan tangann