"Bunda!?"
"Bunda kecewa dengan sikapmu kali ini Bian. Sekalipun Bunda tak pernah mengajarkanmu bersikap kurang ajar seperti ini," cetus Bunda menatapku penuh permusuhan. "Bunda, dengarkan dulu penjelasan Bian," pintaku memelas. Walau bagaimana pun juga aku tak mungkin meninggikan suara di depan beliau. Sosok bidadari tanpa sayap sekaligus pahlawan tanpa jasa, Bunda jugalah yang menggantikannya setelah Ayah pergi 10 tahun yang lalu. "Apa yang perlu dijelaskan jika Bunda telah mendengarnya dengan jelas." "Jadi tak ada gunanya kita menampung wanita ini Bunda. Dia tak ubahnya barang bekas yang berselimut ditumpukan kain bersih," ucapku berapi api ketika teringat Alinda wanita penipu. Plakk! "Jaga ucapanmu Bian, Alinda ini istrimu tidak pantas kau samakan dengan barang tak bernyawa," hardik Bunda dengan keras sambil melayangkan tamparan di pipi kiriku. Saking kuatnya bisa kurasakan rasa asin telah menyapu indra pengecap. "Sudah Bun, Mas Bian benar. Aku memang tak pantas dengan Mas Bian. Maka biarlah Alin pergi dari sini." Mendengus muak melihat Alinda seolah-olah dia yang tersakiti disini. Bahkan wanita penipu itu telah berhasil mengambil simpati Bunda. "Ngak nak, kamu sekarang mantu Bunda. Bunda tak mengizinkanmu pergi." "Bunda.." protesku tak setuju dengan semua itu. Bunda mendongak menatapku tajam, aku hanya bisa menelan ludah terasa berat ditenggorokan. "Jangan berlagak dirimu paling suci Bian, semua orang punya masalalu. Tak ada alasanmu untuk menghakimi masalalu Alinda, tugas kalian fokus pada masa depan. Hidup itu melangkah maju bukan mundur, Bian," sentak Bunda. "Kalau gitu siapa lelaki yang pertama Alinda, atau kamu lupa karena banyaknya lelaki yang telah berbagi keringat denganmu. Wanita jal ang." Plakk! "Bunda.." panggilku merasa tak terima Bunda kembali menampar anaknya sendiri demi wanita kotor itu. "Apa? Sekarang kamu mau apa, Bian!" bentak Bunda tak kalah keras. "Puas kamu.." hardikku tepat di depan wajah Alinda, ia terperanjat kaget tak bisa menyembunyikan tangisannya. Aku segera pergi masuk kekamar lalu mengunci pintu setelah menatap Bunda dengan getir. Tak kuperdulikan Bunda yang membujuk dan menenangkan Alinda . Alinda, lihat nanti seberapa bisa kau bertahan dalam neraka yang aku ciptakan. *** "Mas mau sarapan? Alinda ambilkan ya!" Aku tak menjawab hanya menatap wanita itu sekilas, entah apa yang dibicarakan Bunda padanya semalam. Yang jelas kini wajah Alinda terlihat cerah dan bersemangkat. Dengan cekatan ia menggambil nasi dan lauk lalu meletakan tepat di depanku. Menatap piring itu ji jik. Setelah meneguk air putih aku segera bangkit. "Makanlah dulu Bian," panggil Bunda pelan. "Tidak selera, ada sesuatu yang begitu menji jikan." "Bian." "Sudahlah Bun, ngak papa. Yasudah Mas mau berangkat sekarang? Salim dulu ya!" Sejenak tubuhku mematung seperti ada aliran listrik ketika Alinda mencium punggung tanganku, andai Alinda berasal dari wanita baik tentu hidup kami paling bahagia. Menepis tangan Alinda kasar, bergegas pergi setelah menyambar kunci mobil. Menekan dad4 kiri terasa berpacu lebih cepat dari biasanya. "Assalamualaikum. Hati-hati dijalan ya Mas!" Diperjalanan aku terus menetralkan degup jantung, memikirkan Alinda membuatku bisa gila. Namun saat teringat ada rapat bersama Direktur perusahaan, bisa dipecat jika aku terlambat. Memang posisiku saat ini diperusahaan teman Ayah sebagai Manajer keuangan. Cittttt... Bunyi rem berdecit kuat saat kuinjak, untunglah dengan gerakan cepat, jika tidak entah apa yang akan terjadi. "Maaf Mbak, apa ada yang luka?" tanyaku sambil membuka kaca mobil untuk melihat wanita yang hampir kutabrak tadi. "Ngak papa, cuma lecet dikit dan kaget aja," jawabnya menatap kearahku. Sejenak pandangan kami beradu. "Biantara kan?" tanyanya terlihat kaget. "Melati?" "Benar, ya ampun ternyata uda kaya ya soalnya uda punya mobil mewah nih!" Bunyi kelakson di belakang terasa memekakan telinga tak mungkin aku meninggalkan Melati disini sendirian. Gegas kuajak naik, gadis itu tanpak antusias. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala tingkah gadis itu belum juga berubah. Kekanakan. Melati Adista, teman masa sekolah menegahku dulu. Tak menapik bahwa ialah cinta pertamaku walaupun hanya cinta masa remaja. Kini Melati semakin cantik, bisa kuraskan getaran yang semula sirna kembali menyapa. Bersambung.Ada bau-bau CLBKA nih, alias cinta lama bersemi kembali. Hehe.. Gimana nih, teman-teman?
"Apa?.. Alin mengidap kanker otak?"Sontak saja tubuhku menegang mendengar pertanyaa Alinda."Sayang..." kataku berusaha berkilah."Mau sampai kapan kalian merahasiakanya pada Alin?""Dr. Indra!" sahut kami secara bersamaan.Alinda menatap kearahku dan juga Bunda dengan pandangan getir, tak lama kemudian air mata telah lolos membasahi pipi putih pucatnya."Sayang..!" Aku langsung memeluk Alinda untuk menenangkan kondisinya.Bisa dibayangkan seperti apa mental Alinda saat ini, siapa pun ia tak akan sanggup dengan penyakit ganas yang telah Alinda alami. Apalagi dari penuturan Bunda sudah stadium tiga. Memikirkan itu semua menghancurkan pertahananku agar tidak menangis.Memang pada kenyataanya maut telah ditentukan, tapi ada kala masa kematian itu jangan dulu menghampiri setidaknya sampai siap. Tapi menunggu kata 'siap' tentu tak mudah. Tapi terlepas dari semuanya, satu harapan agar ihklas melepaskan yaitu puncak tertinggi dari bahagia telah dirasakan. "Kita hadapi sama-sama, oke!" ucap
Sekujur tubuhku rasanya bergetar hebat ketika menyaksikan rekaman CCTV di mana Alinda mengalami kekerasan dari lelaki gila itu, siapa lagi kalau bukan Bram.Awal mula sepertinya Alinda mendengar bunyi ketukan pintu tanpa suara salam seseorang. Detik selanjutnya Alinda terdorong masuk hingga terhempas jatuh kelantai. Aku melihat dengan pandangan nyilu betapa sakit yang dirasakan Alinda. Bisa di lihat berkali - kali Alinda mencoba melindungi area perutnya.Dalam rekaman tanpak Alinda dan Bram terlibat perbincangan berhasil memancing emosi terbukti dari gurat wajah saling menegang, meskipun aku tak tahu apa yang mereka katakan. Sebab suara tidak terlalu jelas terdengar.Rekaman selanjutnya Bram telah mengijak perut Alinda hingga Alinda mengerang kesakitan, namun Alinda masih mencoba melindungi diri juga kedua nyawa anak kami dengan cara mengigit tangan Bram.Tapi justru kepala Alinda di tarik bahka bahkan jilbabnya ikut terlepas, kemudian tubuh Alinda telah melayang keras pada meja berba
Menatap kearah dua makam kecil masih terlihat baru terbukti dari tanah yang merah juga masih terlhat basah. Padahal sudah dua hari berlalu tapi masih belum kering mungkin saja karena faktor hujan yang menyerang deras bumi siang tadi."Berbahagia lah kalian di sana nak!" Setelah menyertakan bacaan Al- Fatiha aku beranjak pergi. Pasalnya awan di langit terlihat bergumpal - gumpal, aku yakin cepat atau lambatnya awan itu akan segera mencair dan menjatuhkan diri ke bumi.Mengusap air mata kasar karena rasa sakit masih kentara terasa. Ternyata penantianku selama ini hanya berujung sia - sia, lalu pantaskan diri ini untuk kecewa?."Bian!..." Gerakanku ingin membuka pintu mobil terhenti ketika mendengar seseorang memanggil namaku."Melati," sapaku karena ternyata yang memanggil namaku adalah Melati.Meskipun hampir tiga tahun kami tak pernah bertemu tapi wajah itu masih teringat jelas dalam ingatanku. Sepertinya ia ingin mengunjungi makan orang tuanya. "Haii! Apa kabar Bian?" "Baik." jaw
"Mohon isi surat persetujuanya dulu Pak, bahwa Ibu Alinda akan segera kami oprasi. Untuk melihat perkembangan lebih lanjut terkait Ibu dan jan*innya."Dengan tangan gemeter aku meraih pulpen yang diberikan oleh suster itu, detik berikutnya garis tinta telah melekat diatas kertas putih persetujuan orpasi yang akan dilakukan pada Alinda.Menit berikutnya aku tersadar bahwa suster tadi telah pergi setelah mengucapkan terimakasi. Mataku tertuju pada pintu ruangan oprasi yang sudah tertutup beberapa menit yang lalu. Lampu diatas menyala terang membuktikan oprasi sedang berjalan.Mengusap wajah berkali - kali bahwa saat ini aku sedang frustasi. Tidak memperdulikan perut yang terasa melilit akibat belum diisi. Belum lagi tubuh terasa gerah karena tidak menjumpai air dari pagi tadi.Kilasan bayangan demi bayangan yang telah kulalui hari ini terus mengusik pikiranku. Masih teringat jelas banyaknya darah Alinda yang berceceran apalagi saat aku mengangkatnya kemobil. Mengingat itu semua aku tak
Aku menatap kearah Dr. Liona dengan perasaan kesal luar biasa. Bukanya tadi ia membawaku kesini untuk makan dan juga berdiskusi masalalu Alinda.Tapi hampir 10 menit berlalu ia tak kunjung buka suara, ia makan dengan tenang tanpa mengubris siapa pun. Termasuk menawarkanku untuk ikut makan juga tidak. "Allhahdulilah! Sudah selesai." Aku semakin kesal ketika Dr. Liona memandangiku tanpa rasa bersalah atau merasa tidak enak. Padahal ia makan sudah sangat lama walaupun hanya menghabiskan nasi goreng yang ukuranya tak seberapa."Kenapa tidak bicara? Apa perlu saya lebih dulu bersuara?""Saya punya adab. Menghormati ketika orang makan." Dr. Liona mengganguk singat seolah tak peduli."Yang saya ketahui Alinda mengalami trauma berat akibat masalalunya. Setahu saya sudah hampir beberapa tahun yang lalu Alinda keluar dari masa pengobatanya, karena sudah clear.. Intinya Alinda telah sehat berhasil melalui masa traumanya dengan baik. Lalu apa lagi yang perlu dipermaslahkan?""Dokter ingat saat s
Mas! Aku lihat kamu akhir - akhir ini sering melamun deh! Kenapa?. Seharusnya senang karena ngak lama lagi keluarga kita akan lengkap," ucap Alinda. Berhasil membuyarkan lamunanku.Menampilkan senyuman kemudian mendekat pada Alinda. "Mas ngak sedang melamun, cuma kepikiran sama tugas kantor yang akhir - akhir ini menumpuk," kataku menyakinkan Alinda, benar saja Alinda mengganguk percaya.Padahal aku sedang memikirkan Pamanya, Bram Wijaya. Selain memukirkan ucapan sekaligus fakta yang ia katakan aku juga berfikir bagaimana membuat ia tidak pernah bertemu dengan Alinda.Meskipun itu mustahil apalagi setelah mendengar ancamanya ketika di lobi kantor tadi. Dari penampilanya sosok Bram tak pernah main - main dari apa yang ia katakan.Tapi setidaknya jika Bram dan Alinda bertemu jangan sekarang, setidaknya sampai anak kami nanti lahir kedunia.Aku tak mau kondisi Alinda memburuk dan berakibat fatal pada calon anak kami. Apalagi dengan kondisi Alinda seperti yang dikatakan Dr. Indra.Sangat